Ballaʼ Lompoa (Makassar: ᨅᨒ ᨒᨚᨄᨚᨓ, translit. Ballaʼ Lompoa, har.'rumah besar', pengucapan bahasa Makassar: [balːaʔlomˈpoa]) adalah istilah kediaman raja/karaeng sekaligus pusat kegiatan adat masyarakat etnis Makassar. Setiap daerah memiliki Ballaʼ Lompoa-nya sendiri seperti di Sungguminasa, Galesong, Limbung, Maros, Binamu, Bantaeng dll. Ballaʼ Lompoa yang cukup terkenal adalah Ballaʼ Lompoa ri Sungguminasa, berada tepat di tengah Kota Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, menghadap ke arah selatan di Jalan Wahid Hasyim. Lokasi itu merupakan situs budaya dalam sebuah komplek yang luasnya sekitar tiga hektar. Di bagian belakangnya (Jalan Andi Lombasang) terdapat tembok batu alam yang tebal dan pintu kayu yang lebar dan kokoh, sedangkan di bagian depannya berpagar permanen yang rendah dan halaman yang terbuka. Di samping barat bangunan Ballaʼ Lompoa terdapat bangunan replika Istana Tamalate yang ukurannya jauh lebih besar yang dibangun pada era kepemimpinan Bupati Gowa Syahrul Yasin Limpo pada tahun 1997 -1998. Lokasi Ballaʼ Lompoa berjarak kurang lebih 10 Km dari Karebosi pusat Kota Makassar. Arus lalu lintas ke lokasi itu sangat lancar karena berada di jalur yang dilewati pete-pete (angkot). Kawasan ini berada di empat persimpangan jalan, sehingga akses untuk memasuki lokasi tersebut dapat melalui ke empat pintu gerbang. Pintu gerbang utama berada di Jalan KH. Wahid Hasyim, pintu gerbang kedua berada di bagian belakang Ballaʼ Lompoa yaitu Jalan Andi Mallombassang, pintu gerbang timur berada di Jalan Habibu Daeng Kulle dan pintu gerbang barat berada di Jalan A. Baso Erang.[1]
Ballaʼ lompoa dibangun tahun 1936 setelah diangkatnya Raja Gowa ke-XXXV I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompoʼ yang bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Pembangunan istana dan pusat kegiatan pemerintahan dilakukan sebagai penolakan terhadap salah satu ayat Perjanjian Bungaya yang menyatakan bahwa gerbang-gerbang dan tembok pertahanan raja Gowa harus dimusnahkan dan raja Gowa tidak boleh lagi mendirikan bangunan tanpa izin kompeni. Raja Gowa tidak boleh mendirikan perkampungan, rumah dan sebagainya sampai jauhnya satu hari perjalanan dari pinggir laut, juga dilarang mendirikan benteng-benteng atau kubu-kubu pertahanan. Yang dipertahankan oleh Belanda hanya Benteng Ujung Pandang yang kemudian berganti nama menjadi Fort Rotterdam.[1]
Daftar Ballaʼ Lompoa di Tanah Makassar
Terdapat banyak Ballaʼ Lompoa yang tersebar di seluruh Tanah Makassar, berikut adalah daftarnya:
Kediaman pribadi. Pada tahun 1930an, merupakan kediaman Andi Mappanyukki (Raja Bone ke-XXXII), anak dari I Makkulau Daeng Serang (Raja Gowa ke-XXXIV). Juga disebut sebagai Saoraja Arumpone ri Jongaé dalam bahasa Bugis.