Puri ini diperkirakan dibangun oleh Kyai Gede Raka atau Kyai Jambe Pole sebagai raja Pemecutan I pada sekitar tahun 1660 M. Kyai Jambe Pule merupakan putra dari Arya Notor Wandira, salah satu cucu dari Arya Kenceng.[2]
Sejarah
Dikisahkan bahwa Sri Megada Nata (Raja Tabanan II) memiliki beberapa orang putra, salah satunya adalah Kyai Ketut Bendesa (Kyai Pucangan) yang lahir dari seorang putri Bendesa Pucangan. Setelah beranjak remaja, ia lantas diserahkan kepada keluarga di kerajaan Tabanan.[3] Kemudian dikisahkan setelah dewasa, Kyai Ketut Bendesa diuji kesaktiannya oleh kakaknya, Arya Ngurah Langwang (Raja Tabanan III) dengan menebang sebuah pohon beringin yang angker. Tugas itu berhasil dilaksanakan oleh Kyai Ketut Bendesa, dan setelah itu pula beliau pun bergelar Arya Notor Wandira. Setelah itu dia diberi hadiah berupa sebuah keris bernama I Cekle. [3][4]
Kemudian dikisahkan, Arya Notor Wandira mempunyai seorang istri yang berasal dari desa Buwahan dan dikaruniai 2 orang putra, yang bernama Kyai Gede Raka dan Kyai Gede Rai.[3] Beliau juga mempunyai seorang anak angkat yang berasal dari desa Tambyak, dan kemudian diberi nama Ki Tambyak, yang di kemudian hari bernama Ki Handagala.[4] Namun, adapula sebuah versi yang mengatakan bahwa Ki Tambyak diangkat anak oleh Kyai Gede Raka, saat hendak bertapa di Gunung Batur.[2]
Pada suatu hari, Kyai Gede Raka pergi meninggalkan Puri Tabanan dan bertapa ke Gunung Batur. Sampai di puncak Gunung Batur, beliau bersemedi dan muncullah Bhatari Danu yang akan mengabulkan apa yang menjadi keinginan Kyai Gede Raka. Namun sebelumnya Bhatari Danu minta kepada Kiyai Bebed (nama lain Kyai Gede Raka) untuk menggendongnya ke tengah danau. Kiyai Bebed menyanggupi permintaan tersebut sehingga digendonglah Bhatari Danu ke tengah danau. Namun sungguh ajaib beliau tidak tenggelam beliau seperti berjalan diatas tanah saja, air hanya sampai dipergelangan kaki saja. Ketika sampai di pinggir danau bersabdalah Bhatari Danu bahwa beliau akan mengabulkan permohonan Kiyai Bebed untuk memperoleh kejayaan di daerah Badung. Singkat cerita, akhirnya Kyai Gede Raka membangun sebuah Puri di Badung yang diberi nama "Puri Agung Pemecutan", yang berasal dari kata "pecut", sebuah cambuk yang merupakan salah satu senjata anugerah dari Bhatari Danu. Beliau pun menjadi raja pertama disana dan kemudian bergelar Kyai Jambe Pole.[2]
Puri Agung Pemecutan juga turut serta dalam perang Puputan Badung yang terjadi pada tanggal 20 September 1906, sebagai benteng terakhir kerajaan Badung, setelah Puri Agung Kesiman dan Puri Agung Denpasar berhasil dikalahkan oleh pasukan Belanda. Namun pada akhirnya, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan (Raja Pemecutan saat itu) dan pengikutnya beserta seluruh rakyat Badung yang ikut berperang berhasil dibunuh oleh pasukan Belanda.[5]
Gugurnya Raja Pemecutan beserta rakyatnya tersebut juga menandakan, bahwa Hindia Belanda telah sepenuhnya menguasai seluruh wilayah kerajaan Badung.[5]
^ abcDawan, Lanang (2009-11-22). "SEJARAH PEMECUTAN". PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT. Diakses tanggal 2023-07-30.
^ abcImade Purna, Renggo Astuti, A.A. Gde Alit Geria, Fajria N. Manan (1994). Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan(PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)