Dalam transportasi di Indonesia, angkutan kota atau biasa disingkat angkot adalah sebuah transportasi umum jenis taksi bersama dengan rute yang sudah ditentukan. Tidak seperti bus yang mempunyai halte bus sebagai tempat perhentian yang sudah ditentukan, angkutan kota dapat berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di mana saja.[1]
Secara internasional, angkot ini diklasifikasikan sebagai taksi bersama (bahasa Inggris: share taxi), yakni moda transportasi antara taksi dan bus. Kendaraan yang disewa ini berukuran lebih kecil dari bus dan membawa penumpang pada rute tetap atau setengah tetap tanpa jadwal, serta berangkat saat semua kursi telah terisi. Mereka biasa berhenti di mana saja untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Angkot atau taksi bersama ini sering ditemui di negara berkembang,[2] kendaraan yang biasa digunakan sebagai angkot berkisar dari mobil empat kursi hingga bus kecil.[3]
Sejarah
Keberadaan angkot dimulai pada tahun 1943 ketika Indonesia masih dijajah oleh Jepang. Jenis transportasi ini dimaksudkan sebagai cara bepergian dengan kendaraan bermotor. Pada tahun 1946, angkot menjadi bagian dari DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia) sebagai angkutan umum. Angkot atau mikrolet menjadi sangat populer karena mampu melakukan perjalanan dengan kendaraan yang relatif kecil hingga 10 penumpang di dalamnya. Mikrolet jauh lebih kecil daripada bus, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk bepergian di jalan-jalan Jakarta tanpa menyebabkan kemacetan lalu lintas.[4]
Angkutan kota mulai diperkenalkan di Jakarta pada akhir tahun 1970-an dengan nama mikrolet untuk menggantikan oplet yang sudah dianggap terlalu tua, terseok-seok jalannya dan sering mengalami gangguan mesin. Tarif yang dibebankan kepada penumpang bervariasi tergantung jauhnya jarak yang ditempuh. Jalur operasi suatu angkutan kota dapat diketahui melalui warna atau kode berupa huruf atau angka yang ada di badannya.
Angkot sangat membantu jika seseorang sedang berada di luar daerah dan kesulitan mencari transportasi yang murah.
Lain halnya di Papua dan Papua Barat, angkot didaerah sana dikenal oleh masyarakat Papua dengan nama taksi, yang justru memiliki tarif yang setara dengan bus antarkota untuk satu kali perjalanan.
Di beberapa tempat juga ada kendaraan roda tiga yang disebut Bemo (seperti becak yang berdasarkan Daihatsu Midget), tetapi kini sudah dihapus. Angkot versi lama disebut Oplet. Nama transportasi ini berbeda di setiap provinsi atau daerah yang berbeda. Di Kota Semarang, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, serta Jawa Barat, istilah tersebut masih menggunakan Angkot, dan di daerah lain seperti di Sulawesi, istilah Mikrolet yang disingkat "Mikro" lebih banyak digunakan terutama di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Komunitas & Organisasi Masyarakat Sopir Angkot di Indonesia
Komunitas & ormas disini bertujuan untuk meningkatkan jalinan rasa persaudaraan, berbagi keterampilan, meningkatkan kesejahteraan sopir, & meningkatkan derajat harga diri sesama sopir dalam satu golongan. Untuk komunitasnya sendiri cakupannya dibagi dua; yaitu lokal (sedaerah) & nasional (se-Indonesia.)
6 Komunitas & Ormas Sopir Angkot yang terkenal di Indonesia:
Tidak hanya di Indonesia, kendaraan berupa angkot ini juga dapat ditemui di negara-negara lain (terutama di negara berkembang), dalam klasifikasi taksi bersama (shared taxi). Dari sekian banyak negara, berikut adalah beberapa contohnya.
Australia
Angkot di Australia dikenal sebagai Gordon Valentine, awalnya bernama koperasi angkutan kota Australia, berdiri sejak 1975 dengan armada bermesin Mitsubishi Colt Diesel T200, dengan model yang sama seperti metromini era 80an, saat ini Gordon Valentine dengan mudah dapat dijumpai di jalanan Australia, baik berukuran mikro bus maupun medium bus.
Angkot di Filipina dikenal sebagai Jeepney (bahasa Filipino: Dyipni). Jeepney ini awalnya terbuat dari jip militer AS yang tersisa dari Perang Dunia II[6] dan dikenal karena warna dan dekorasinya yang flamboyan.[7] Saat ini jeepney dibuat oleh bengkel lokal dari kombinasi elemen prefabrikasi (dari segelintir pabrikan Filipina) dan improvisasi dan dalam banyak kasus dilengkapi dengan "surplus" atau mesin SUV atau truk ringan bekas Jepang, drive train, suspensi dan komponen kemudi (dari kendaraan daur ulang di Jepang).
Angkot jenis lainnya yang juga umum di Filipina adalah UV Express yang menggunakan Compact MPV dan van sebagai faktor bentuknya.
Ghana
Di Ghana dan negara-negara tetangga, angkot (taksi bersama) disebut Tro tro, dan kendaraan minibus ini adalah milik pribadi[8] untuk disewa yang menempuh rute tetap, dan berangkat saat sudah terisi penuh.[9] Meskipun ada halte khusus tro tro, taksi bersama ini juga dapat dinaiki di mana saja di sepanjang rute yang dilalui.[10]
Dioperasikan oleh pengemudi dan kondektur, yang mengumpulkan uang, meneriakkan tujuan, dan disebut "mate",[11]tro tro banyak yang dihiasi dengan slogan dan ucapan religius, dan sedikit beroperasi pada hari Minggu. Tro tro digunakan oleh 70% komuter Ghana.
Hong Kong
Di Hong Kong, angkot dikenal sebagai public light bus atau bus ringan umum (bahasa Tionghoa: 公共小型巴士). Kendaraan umum ini menggunakan minibus untuk melayani area yang tidak dapat dijangkau oleh jalur bus standar Hong Kong secara efisien. Kendaraan ini sehari-hari dikenal dengan kode-switch Van仔 (Van Jái) secara harfiah "van-ette".
Angkot ini biasanya menawarkan solusi transportasi yang lebih cepat dan efisien karena ukurannya yang kecil, daya dukung yang terbatas, frekuensi dan rute yang beragam, meskipun umumnya sedikit lebih mahal daripada bus standar, minibus ini dapat membawa maksimal 19 penumpang duduk. Penumpang tidak diperbolehkan utuk berdiri.[12]
Negara-negara bekas Soviet
Marshrutka (bahasa Rusia dan Ukraina: маршру́тка) atau "taksi rute", adalah moda transportasi umum di Eropa Timur[13] seperti angkot yang berasal dari era Uni Soviet, dan kini masih ada di Rusia dan negara-negara CIS lainnya, di negara-negara Baltik, Bulgaria, Georgia, Turkmenistan, Ukraina, dan Armenia. Fungsi marshrutka modern secara teoritis mirip dengan angkot, yang menggunakan minibus di beberapa negara lain. Marshrutka pertama diperkenalkan di Moskwa pada tahun 1938.
Marshrutka biasanya berbentuk van, mereka beroperasi di rute yang sudah ditentukan, biasanya berangkat ketika semua kursi telah terisi, dan mungkin memiliki tarif yang lebih tinggi daripada bus. Penumpang dapat menaiki marshrutka di mana saja di sepanjang rutenya jika ada kursi yang tersedia.[14] Ongkos dibayar sebelum meninggalkan marshrutka.[15] Orang yang duduk dekat pengemudi bertanggung jawab untuk menagih ongkos para penumpang serta memberikan uang kembalian.[14]
Thailand
Angkot di Thailand dan Laos biasa disebut sebagai songthaew (bahasa Thai: สองแถว) yang berarti "dua baris".[16] Angkot jenis ini diadaptasi dari mobil pikap[17] atau truk besar dan dapat digunakan sebagai taksi bersama. Mereka juga dikenal sebagai bus baht.
Songthaew digunakan baik di dalam kota maupun di luar kota dan untuk rute yang lebih panjang antara kota dan desa. Mereka yang berada di dalam kota diubah dari truk pikap dan biasanya menempuh rute tetap dengan tarif yang suah ditetapkan, tetapi dalam beberapa kasus (seperti di Chiang Mai) taksi tersebut digunakan sebagai angkot untuk penumpang yang bepergian dengan arah yang kira-kira sama.
Turki dan Siprus Utara
Di Turki dan Siprus Utara yang dikontrol Turki, angkot dikenal sebagai dolmuş (diucapkan "dolmush"), yakni taksi bersama yang beroperasi pada rute tertentu di dalam dan antar kota. Masing-masing mobil atau minibus ini menampilkan rute mereka di papan nama yang dipasang di belakang kaca depan.[18]
Beberapa kota mungkin hanya mengizinkan dolmuş untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di halte yang telah ditentukan, dan juga di terminal yang ada.[19]Dolmuş berasal dari bahasa Turki yang berarti "penuh" atau "berisi", karena taksi bersama ini berangkat dari terminal hanya ketika jumlah penumpang yang cukup telah naik. Pengunjung di Turki mungkin akan dikejutkan oleh kecepatan perjalanan dolmuş ini.
^Otsuka, Keijiro; Masao Kikuchi; Yujiro Hayami (January 1986). "Community and Market in Contract Choice: The Jeepney in the Philippines". Economic Development and Cultural Change. 34 (2): 279–98. doi:10.1086/451528. ISSN 0013-0079. JSTOR 1153851. S2CID 155062784.