Inggit Garnasih (17 Februari 1888 – 13 April 1984)[1] adalah istri kedua Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.[2] Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda. Inggit dan Soekarno bercerai di Pegangsaan Timur 56 yang disaksikan oleh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur.[3] Sekalipun bercerai tahun 1942 dan Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal. Kisah cinta Inggit—Soekarno ditulis menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang.[1] Inggit meninggal di Bandung pada tanggal 13 April 1984. Dua bulan sebelum meninggal, Fatmawati sempat mengunjungi Inggit atas bantuan Ali Sadikin.[4]
Arti nama
Ia terlahir dengan nama Garnasih saja. Garnasih merupakan singkatan dari kesatuan kata Hegar Asih, dimana Hegar berarti segar menghidupkan dan Asih berarti kasih sayang. Kata Inggit yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit.[butuh rujukan] Diceritakan bahwa Garnasih kecil menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya. Begitu pula ketika ia menjadi seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya. Di antara mereka beredar kata-kata, "Mendapatkan senyuman dari Garnasih ibarat mendapat uang seringgit." Banyak pemuda yang menaruh kasih padanya. Rasa kasih tersebut diberikan dalam bentuk uang yang rata-rata jumlahnya seringgit. Itulah awal muda sebutan Inggit yang kemudian menjadi nama depannya.[butuh rujukan]
Masa kecil
Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Keresidenan Priangan pada 17 Februari 1888, sebagai putri bungsu dari pasangan Ardjipan dan Amsi (w. 1935). Saat masih remaja, Inggit adalah kembang desa di kampungnya. Banyak lelaki yang berupaya mendekat untuk sekadar bisa mencuri perhatiannya. Ia pernah dipersunting oleh Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian. Kemudian, ia menikah lagi dengan Haji Sanusi, seorang pengusaha yang juga aktif di Sarekat Islam. Pernikahan mereka baik-baik saja meskipun tidak bisa juga dibilang bahagia karena ia sering ditinggal suaminya yang terlalu sibuk. Hingga kemudian datanglah Sukarno. Pada waktu itu, Sukarno telah mempunyai istri bernama Siti Oetari (karena dinikahkan oleh Ayah Oetari, HOS Cokroaminoto). Namun, rasa cintanya pada Oetari lebih condong seperti cinta kepada saudara. Sukarno pun akhirnya menceraikan Oetari, begitu pula dengan Inggit yang secara resmi berpisah dengan Sanusi. Keduanya lalu menikah di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.[2]
Keturunan
Inggit Garnasih dan Soekarno mengadopsi 2 orang anak, antara lain:
Ratna Djuami (4 Mei 1923 – 23 Juni 2013), anak dari Sumarta dan Muntarsih, kakak Inggit. Diadopsi pada bulan Juni 1923. Dia menikah dengan Asmara Hadi (8 September 1914 – 3 September 1976), anggota MRPS sampai tahun 1966. Mereka memiliki 7 orang anak.[5]
Kartika Uteh (l. 28 Februari 1928), anak dari Atmo Sudirdjo, seorang juru ukur. Diadopsi pada tahun 1934. Dia menikah dengan M. Uteh Riza Yahya, mantan Humas PSSI. Mereka memiliki 6 orang anak.[5]
Pandangan masyarakat
Inggit Garnasih merupakan sosok pahlawan yang sebenarnya memiliki jasa yang sangat besar untuk kemerdekaan Indonesia, bagaimana tidak, Inggit Garnasih lah yang selalu setia mendampingi Soekarno dimasa-masa sulitnya, akan tetapi namanya tak pernah disebut dalam buku pelajaran. Inggit Garnasih adalah ibu kos Bung Karno selama masih sekolah. Bagi pembaca yang belum mengenal sosok Inggit Garnasih, beliau adalah istri kedua Soekarno yang membiayai perjuangan Soekarno mulai dari biaya kuliahnya hingga aktivitas politiknya. Bahkan saat Bung Karno dipenjara karena aktivitas politik menentang Belanda, Beliaulah yg membawakan makanan dan buku sebagai penghibur Bung Karno. Selama ini nama Inggit Garnasih masih asing di telinga masyarakat Indonesia bahkan yang lebih menprihatinkan namanya masih asing di tanah kelahirannya yaitu Kamasan.[6]
Bahkan satu-satunya permohonannya kepada negara, tempat untuk memakamkan jasadnya, tetapi itu pun ditolak. Satu-satunya permohonannya tapi ditolak pula sungguh menyedihkan. Namun deritanya tidak sampai di situ. Masih ada yang lebih memilukan. Yakni walaupun jasanya besar, sampai hari ini, 39 tahun setelah ia meninggal, ia tak kunjung diberikan gelar pahlawan nasional padahal sudah berulang kali diusulkan .