Setelah terjadinya penculikan Perdana Menteri Soetan Sjahrir, pihak yang bertanggung jawab atas penculikan tersebut mencoba untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta, dengan kabinet pemerintahan yang digantikan oleh sebuah "Dewan Politik Agung" yang dipimpin oleh Tan Malaka dan kekuasaan militer Soekarno dipindahkan kepada Jenderal Soedirman. Jenderal Sudarsono yang telah melakukan penculikan bersama pasukannya, pergi ke Jakarta bersama Mohammad Yamin untuk bertemu presiden, namun keduanya ditangkap. Soekarno pada akhirnya membujuk Soedirman untuk mendukung kembali Sjahrir serta penangkapan para pemberontak termasuk Tan Malaka.[1]
Pada pertengahan Agustus 1946, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menyatakan bahwa keadaan pada masa tersebut menjustifikasi pembentukan kembali sebuah kabinet parlementer. Sjahrir kembali diminta untuk membentuk kabinet, namun pengaruh dalam pemilihan anggota kabinet dibatasi, tidak seperti dalam dua kabinet sebelumnya. Setelah enam minggu negosiasi, kabinet baru diumumkan pada 2 Oktober 1946. Anggota kabinet tersebut meliputi berbagai partai politik, perwakilan dari komunitas Tiongkok dan Arab, dan keterwakilan perempuan. Pada hari yang sama, Soekarno mencabut masa darurat dan mengeluarkan dekrit penunjukan Sjahrir sebagai kepala pemerintahan. Presiden Soekarno secara resmi melantik kabinet pada 5 Oktober di Kota Cirebon, Jawa Barat.[2][3]
Pada 25 Maret 1947, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati. Perjanjian tersebut merupakan hasil dari tekanan terhadap Belanda dari Inggris, yang merencanakan untuk menarik pasukan mereka dari Indonesia sejak akhir dari Perang Dunia II, untuk melakukan perjanjian dengan pihak Indonesia. Perjanjian tersebut mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto terhadap pulau Jawa dan Sumatra dan meminta pembentukan negara federal Republik Indonesia Serikat.[4] Namun kedua pihak semakin tidak sepaham dengan perjanjian tersebut dan saling menuduh satu sama lain melanggar perjanjian tersebut. Setelah ultimatum Belanda pada 27 Mei 1947, yang dianggap sebagai ancaman perang oleh pemerintahan Indonesia, kemudian diklarifikasi oleh Letnan Jenderal Gubernur van Mook, Sjahrir membuat serangkaian konsesi, termasuk kedaulatan sementara Belanda dan kendali atas kebijakan luar negeri. Banyak anggota kabinet sayap kiri, termasuk Amir Sjarifuddin dan Wikana mengutuk konsesi ini, dan satu demi satu partai minoritas meninggalkan Sjahrir. Masyumi kemudian ikut meninggalkan kabinet. Menghadapi oposisi, Sjahrir mengundurkan diri pada 27 Juni 1947. Soekarno kembali menyatakan keadaan darurat dan meminta anggota kabinet untuk tetap bertugas sampai digantikan oleh kabinet baru.[5][6]
Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8
Ricklefs (1982), A History of Modern Indonesia, Macmillan Southeast Asian reprint, ISBN 0-333-24380-3
Simanjuntak, P. N. H. (2003) (in Indonesian), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi, Jakarta: Djambatan, pp. 41–51, ISBN 979-428-499-8.