Pada 21 Maret 1951, Kabinet Natsir dibubarkan karena kehilangan dukungan politik.[2] Lima hari kemudian, Presiden Soekarno meminta pimpinan Partai Nasional Indonesia dan ketua parlemen Sartono untuk membentuk sebuah kabinet koalisi, namun ia gagal mewujudkannya pada 18 April. Pada hari yang sama, Soekarno meminta ketua dewan pimpinan partai Masyumi, Soekiman Wirjosandjojo dan ketua umum PNI Sidik Djojosukarto untuk membentuk kabinet dalam rentang waktu lima hari dengan tambahan tiga hari. Keduanya sepakat bahwa kedua partai akan mendapatkan jumlah posisi yang sama. Namun, terdapat perselisihan terhadap siapa yang akan mendapatkan posisi perdana menteri. Pada akhirnya PNI menuruti permintaaan Soekiman agar posisi perdana menteri diisi dari anggota partai Masyumi asal yang menjabat bukanlah Natsir, yang memimpin kabinet sebelumnya. Soekarno kemudian menyarankan Soekiman mengisi jabatan perdana menteri yang pada akhirnya diterima. Hal tersebut menyebabkan perpecahan antara kubu Soekiman dan Natsir dalam internal partai, dan pimpinan badan partai kubu Natsir menolak komposisi kabinet yang disarankan oleh Sidik dan Soekiman. Hasilnya, tidak ada anggota kubu Natsir yang dimasukkan ke dalam kabinet.[3]
Anggota kabinet diumumkan pada 26 April. Seperti pendahulunya, Kabinet Soekiman berbasiskan anggota partai PNI-Masyumi. Namun, anggota Masyumi merupakan kubu Soekima, dan oposisi yang dipimpin Natsir mengkritisi komposisi kabinet baru. Hanya enam anggota daru kabinet sebelumnya yang kembali menjabat. Berikut merupakan anggota dari Kabinet Soekiman:[4][5]
Adapun Program Kabinet Sukiman-Suwirjo adalah sebagai berikut :
Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara.
Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani.
Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan.
Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah.
Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama (collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian perburuhan.
Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia, menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar, serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara.
Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pembubaran kabinet
Pada tahun 1952, Menteri Luar NegeriAchmad Subarjo, diam-diam menandatangani perjanjian Mutual Security Act dengan Amerika Serikat yang merupakan sebuah perjanjian keamanan untuk membentuk dewan keamanan bersama antara Amerika Serikat dengan negara-negara yang berhubungan dekat dengan AS. Perjanjian tersebut menggantikan Rencana Marshall yang dibuat pada akhir Perang Dunia II. Perjanjian tersebut ditandatangani antara Subarjo dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, H. Merle Cochran. Perjanjian tersebut dianggap merugikan politik luar negeri bebas aktif yang dianut oleh Indonesia. Ditanda tanganinya perjanjian tersebut juga dianggap sebagai masuknya Indonesia menjadi bagian dari Blok Barat yang pada saat itu sedang berkonflik dengan Blok Timur. Akibat adanya kritik dan tekanan terhadap ditanda tanganinya perjanjian tersebut, Kabinet Soekiman mengembalikan amanat pemerintahan kepada Presiden Soekarno di tahun yang sama.[12]
Catatan
^Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1951 tertanggal 27 April 1951.
^Yamin mengundurkan diri 14 Juni1951 dan A. Pellaupessy untuk sementara merangkap Menteri Kehakiman. Pada 20 November1951, posisi Menteri Kehakiman diserahkan kepada Mohammad Nasrun.
^Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1951 tertanggal 19 Juli 1951, Soejono Hadinoto diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri Perekonomian atas permintaan sendiri sejak 16 Juli 1951.
^Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 1951 tertanggal 19 Juli 1951, Wilopo diangkat sebagai Menteri Perekonomian sejak 16 Juli 1951.
^ abUkar Bratakusumah merangkap Menteri Perhubungan sementara sewaktu Djuanda berada di luar negeri.
^Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1951 tertanggal 17 November 1951, Mr. Dr. Gondokusumo diangkat sebagai Menteri Urusan Agraria terhitung mulai 20 November 1951, kemudian Gondokusomo meninggal pada tanggal 6 Maret1952.
Simanjuntak, P. N. H. (2003), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi (dalam bahasa Indonesian), Jakarta: Djambatan, hlm. 116–124, ISBN979-428-499-8.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)