Kabinet Hatta Pertama atau Kabinet Hatta I adalah kabinet ketujuh yang dibentuk di Indonesia. Kabinet ini dibentuk oleh Wakil PresidenMohammad Hatta, atas perintah Presiden Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948, hari yang sama saat kabinet sebelumnya dinyatakan bubar. Kabinet ini bertugas pada periode 29 Januari 1948 sampai 4 Agustus 1949. Menyusul agresi militer Belanda kedua, ketika ibu kota republik Yogyakarta direbut dan sebagian besar anggota kabinet ditangkap. Meskipun begitu, kabinet tidak secara resmi dibubarkan. Setelah kepemimpinan politik kembali berlaku efektif 13 Juli 1949, kabinet melanjutkan mandatnya hingga dirombak pada 4 Agustus.
Latar belakang
Kabinet Amir Sjarifuddin II, di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, bubar pada 23 Januari 1948 setelah adanya kemarahan besar terhadap Perjanjian Renville, yang dianggap oleh masyarakat telah memberikan terlalu banyak kekuatan politik pada negara yang baru lahir tersebut.[1]Mohammad Hatta, yang sedang menjabat sebagai wakil presiden, diminta oleh Presiden Soekarno untuk membentuk sebuah kabinet baru yang menyatukan seluruh partai politik di Indonesia.[1] Hatta mempertahankan sepuluh anggota kabinet sebelumnya, dan mengeluarkan para wakil menteri[2] serta menteri dengan paham Kiri.[3]
Kabinet Hatta I dibentuk pada 29 Januari 1948, dengan Hatta menjabat sebagai wakil presiden dan perdana menteri secara bersamaan.[4] Kabinet tersebut resmi bertugas pada 2 Februari.[5] Mandat pada Kabinet Hatta diantaranya adalah menangani perjanjian Renville, membangun negara, serta bekerja menuju pemerintahan yang terkonsolidasi.[6] Bersama Jenderal Soedirman, Panglima militer, Hatta bekerja mengurangi pengaruh paham kiri dalam angkatan bersenjata, yang dieksploitasi pada masa kabinet Amir Sjarifuddin.[7] Namun, hal tersebut dilemahkan oleh selisih paham terhadap Perjanjian Renville yang terus berlanjut.[8]
Pakar hukum dan politikus Indonesia Bibit Suprapto menulis bahwa Kabinet Hatta tidak sepenuhnya bersifat parlementer, karena Hatta tetap menjabat di lembaga eksekutif pemerintahan, namun juga tidak sepenuhnya bersifat presidensial, karena Hatta secara resmi menyandang gelar perdana menteri.[4]
Mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin tidak menerima pembubaran kabinetnya; pasukan dan politisi paham kiri telah lama mengendalikan kabinet sejak kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.[13] Bersama dengan tokoh Partai Komunis Indonesia, Musso, Amir mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menjadi oposisi kabinet Hatta dan meminta kabinet baru yang berpaham kiri. Pada awal Februari 1948, Amir dan Musso telah bertemu dan berdiskusi mengenai bagaimana cara menangani kabinet baru.[14]
FDR mengklaim bahwa kabinet Hatta, yang sebagian besar diisi oleh partai Islam Masyumi, tidak akan mampu memenuhi mandat mereka dan segala proyek yang diselesaikan akan bertentangan terhadap kebutusan para sosialis dan komunis.[15] Mereka menjuluki kabinet Hatta sebagai "Kabinet Masyumi" dan "Kabinet Borjuis". Selama awal 1948 FDR terus mengkritisi kelompok-kelompok islam dan kelompok pemerintahan; mereka juga memimpin serangkaian mogok kerja dan meminta Kabinet Hatta untuk menarik diri secara sepihak dari Perjanjian Renville.[12] Sebagai balasan, pemerintah membebaskan Tan Malaka dan beberapa tahanan politik lainnya yang dimulai pada pertengahan Agustus; walaupun para tahanan yang dibebaskan merupakan tahanan komunis, mereka dengan tegas menolak FDR dan bekerja untuk menumbangkan FDR.[16]
Perbedaan pendapat tersebut mencapai puncaknya pada Peristiwa Madiun, di mana pasukan FDR di bawah komando Musso, Sjarifuddin serta tokoh-tokoh berpaham kiri lainnya, mengepung Kota Madiun, Jawa Timur pada 18 September 1948; FDR membakar rumah penduduk dan membunuh ribuan warga yang sebagian besar merupakan tokoh Islam. Empat hari kemudian, Angkatan Darat ditugaskan untuk merebut kembali Kota Madiun. Pasukan pertama tiba pada 30 September dan mulai bertempur keesokan harinya, merebut kembali Kota Madiun. Anggota FDR menyebar di wilayah Madiun, yang menyebabkan angkatan darat menghabiskan beberapa bulan untuk memburu mereka. Musso dibunuh pada awal Oktober, sementara Sjarifuddin ditangkap pada 29 November dan dihukum mati pada bulan Desember.[12]
Tekanan Belanda
Setelah Perjanjian Renville, Garis Van Mook – yang memisahkan wilayah yang dikendalikan oleh Belanda dengan wilayah Indonesia – secara resmi diakui. Dibalik garis tersebut Belanda membentuk beberapa negara bagian kecil pada wilayah yang diklaim olehIndonesia, termasuk Madura dan Pasundan.[12] Beberapa pertempuran terjadi di sepanjang garis tersebut antara pasukan Indonesia dengan Belanda.[17] Pasukan Belanda terus menghadang kepulauan Indonesia, mencegah kapal pemasok mencapai masyarakat.[18] Oleh karena itu, pada bulan Desember ketegangan antara kedua kekuatan meningkat.[17]
Kejatuhan
Pada Operasi Kraai, sebuah serangan Belanda ke ibu kota di Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Presiden Sukarno dan kabinet Hatta ditangkap dan diasingkan. Kabinet darurat, di bawah kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara, dibentuk di Sumatera; namun Kabinet Hatta tidak dibubarkan secara resmi. Setelah kepemimpinan politik dilepaskan oleh Belanda dan dikembalikan ke Yogyakarta, Prawiranegara mengembalikan kendali negara kepada kabinet Hatta efektif pada 13 Juli 1949; kabinet Hatta mempertahankan susunan kabinetnya sampai 4 Agustus 1949, ketika dirombak, kembali dengan Hatta sebagai perdana menteri.
Simanjuntak, P. N. H. (2003) (in Indonesian), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi, Jakarta: Djambatan, pp. 62–73, ISBN 979-428-499-8.