Lahir di Magelang, Jusuf mulai aktif dalam organisasi Islam selama studinya. Setelah menjadi anggota Masyumi, ia menjadi tokoh pimpinan yang menyatakan pertidaksetujuannya di hadapan umum dengan tokoh Masyumi lainnya seperti Mohammad Natsir. Selama menjabat Menteri Keuangan, Jusuf cenderung melonggarkan kebijakan fiskal pemerintah dan diketahui memberikan kredit dari pemerintah ke perusahaan-perusahaan dengan ikatan politis. Ia juga merupakan tokoh antikomunis dan mencoba untuk mengarahkan Masyumi agar bekerjasama dengan Soekarno untuk melawan Partai Komunis Indonesia, meskipun gagal.
Jusuf dilahirkan dalam keluarga Muslim pada tanggal 28 Februari 1909 di Magelang, Jawa Tengah, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara,[1][2] kedua kakaknya perempuan (Sri Artini dan Umi)[3] dan adiknya seorang laki-laki.[4] Ayahnya, Kunto Wibisono, berasal dari Purworejo dan bekerja sebagai mantri ukur, sementara ibu dari Jusuf berasal dari Magelang.[4][1][2][5] Setelah lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Jusuf melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), meskipun ayahnya tadinya berharap Jusuf akan belajar untuk menjadi guru. Setelah lulus dari MULO di tahun 1928, Jusuf melanjutkan lagi pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung. Setelah lulus AMS di tahun 1931, Jusuf menempuh pendidikan hukum di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS), dan lulus dengan gelar Meester in de Rechten (Mr.) di tahun 1941.[1][2][6] Dengan persetujuan rektor RHS, Jusuf menambahkan "Wibisono" ke namanya selama studinya di RHS untuk membedakan dengan murid-murid RHS lain yang juga bernama Jusuf.[7]
Selama studinya, Jusuf mulai aktif di dalam organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB),[2][8] dan dalam lingkup JIB Jusuf menjadi murid dari Agus Salim beserta tokoh-tokoh pemuda Islam lainnya.[9] Saat melanjutkan pendidikannya, Jusuf bersama dengan Mohammad Roem mulai merasakan ketidakcocokan JIB sebagai wadah untuk pelajar setingkat mahasiswa, maka mereka mendirikan Studenten Islam Studieclub di tahun 1934, kelompok belajar yang beranggotakan murid-murid universitas. Menurut Jusuf, kelompok belajar ini bertujuan untuk "meningkatkan daya tarik studi agama Islam khususnya di kalangan intelektual".[10] Bersama dengan Roem dan Burhanuddin Harahap, Jusuf menerbitkan majalah berbahasa Belanda Moslim Reveil dan menjadi redaktur.[11][12] Sebelumnya, Jusuf sudah pernah menjadi redaktur majalah Het Licht.[11]
Meskipun Perdana Menteri Indonesia masa itu Mohammad Natsir juga merupakan anggota Masyumi, Wibisono dikenal kritis terhadap Natsir.[18] Dari awal pembentukan kabinet tersebut di tahun 1950, Jusuf sudah mengkritik keputusan Natsir untuk memilih tokoh-tokoh Minangkabau "yang dia kenal intim" (Assaat, Bahder Djohan dan Abdoel Halim) sebagai menteri. Selain dari persoalan kedaerahan, Jusuf juga menyinggung kecenderungan menteri-menteri Natsir berideologi sosialisme meskipun bukan anggota Partai Sosialis Indonesia. Secara politis, Jusuf menyatakan kekecewaannya atas dua kursi menteri yang tidak diisi kader Masyumi, meskipun Natsir sebelumnya bersikeras terhadap Partai Nasional Indonesia bahwa kedua kursi tersebut akan diisi menteri Masyumi.[19][20] Wibisono bahkan mendesak Natsir untuk mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri di bulan Maret 1951.[21] Di sisi lain, Wibisono dikenal dekat dengan tokoh Masyumi lainnya, Soekiman Wirjosandjojo.[18]
Menteri Keuangan
Jusuf ditunjuk sebagai Menteri Keuangan di dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo yang diumumkan pada tanggal 26 April 1951 setelah lengsernya Natsir.[22] Dalam konferensi persnya yang pertama sebagai menteri, Jusuf mengumumkan bahwa De Javasche Bank (DJB), bank sentral masa Hindia Belanda, akan dinasionalisasi.[23][24] Nasionalisasi DJB dijalankan secara sukarela, dan pemerintah Indonesia membeli saham DJB dari pemegang saham sebelumnya dengan harga di atas pasar. Selain itu, Jusuf menyatakan bahwa staf DJB berkewarganegaraan asing tidak akan langsung digantikan. Proses nasionalisasi DJB telah mencapai 97 persen di bulan Oktober 1951, dan pada tanggal 15 Desember 1951 DJB resmi dinasionalisasikan melalui Undang Undang No. 24 tahun 1951. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Direktur DJB menggantikan A. Houwink.[6][25]
Sebagai Menteri Keuangan, Jusuf dikenal relatif lebih liberal dalam pengeluaran dibandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara (pendahulunya sebagai menteri). Sebagai menteri di Kabinet Sukiman, penerimaan pemerintah meningkat karena melonjaknya ekspor, dan bank-bank milik pemerintah di bawah Jusuf menyalurkan kredit ke perusahaan-perusahaan dengan koneksi politis. Selain itu, Jusuf juga meningkatkan bonus pegawai negeri sipil, dan secara umum mengurangi penghematan pemerintah.[26][27] Jusuf digantikan oleh Soemitro Djojohadikusumo di kabinet berikutnya di bawah Perdana Menteri Wilopo per tanggal 3 April 1952.[28][29] Selama tidak menjabat sebagai menteri, Jusuf turut serta dalam dewan penasihat DJB,[30] bekerja di perusahaan importir mobil Belanda, dan sejak 1958 sebagai pemimpin anak perusahaan bank Jepang (Bank Perdania) di Indonesia meskipun Jusuf meminta agar namanya tidak dicantumkan dalam daftar pimpinan bank tersebut.[31][32] Di tahun 1953, Jusuf ditunjuk menjadi ketua umum Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII), sayap organisasi buruh Masyumi. Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1966.[33]
Di ranah publik, Jusuf menyatakan dukungannya untuk meningkatkan jam kerja dari tujuh menjadi delapan jam per hari,[34] dan sempat diinvestigasi oleh kejaksaan setelah pernyataannya yang mengkritisi menteri-menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I.[35] Ia juga berpidato dengan topik anti-Uni Soviet dan anti-komunisme,[36] dan Jusuf memimpin upaya Masyumi sepanjang 1953–1954 dalam menolak pembukaan hubungan diplomatis Indonesia–Uni Soviet.[37] Di bulan November 1954, Jusuf meluncurkan mosi tidak percaya terhadap Ali Sastroamidjojo,[38] khususnya karena kebijakan Menteri Keuangan Iskak Tjokroadisurjo yang disebutnya terlalu memihak terhadap Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Iskak mengundurkan diri dari jabatannya, mosi tidak percaya tersebut digagalkan.[39]
Jusuf kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II mulai tanggal 24 Maret 1956.[29][40] Menurut sejarawan Remy Madinier, Jusuf kembali memberikan kredit untuk perusahaan-perusahaan yang berhubungan politis dengan pemerintah. Dalam satu kasus, Jusuf membantu perusahaan yang berkaitan dengan Nahdlatul Ulama untuk melancarkan pemilihan kembali Syafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank Indonesia. Jusuf sempat mengumumkan pemotongan jumlah pegawai pemerintah sebesar 30 persen yang akan dilangsungkan secara bertahap, meskipun pemotongan ini tidak berlangsung selama masa jabatannya.[41] Pada tanggal 9 Januari 1957, Jusuf mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Djuanda Kartawidjaja.[29] Jusuf ditahan di bulan April 1957 atas dugaan tindak pidana korupsi, namun ia dilepaskan di bulan Maret 1958 karena kurangnya bukti.[42]
Pembubaran Masyumi
Sebelum Jusuf dilepaskan, sejumlah tokoh Masyumi seperti Natsir, Syafruddin, dan Burhanuddin Harahap melibatkan diri dalam pemerintah tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menentang pemerintahan pusat di Jakarta. Jusuf sendiri tidak terlibat PRRI, dan awalnya ingin Masyumi mengecam PRRI, namun setelah diskusi internal Masyumi memutuskan untuk tidak mengecam maupun mendukung PRRI.[43] Pergerakan politik ini menyebabkan penguatan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Jusuf mencoba mengarahkan Masyumi untuk bekerjasama dengan PNI dan partai-partai Kristen untuk mencegah masuknya PKI ke dalam pemerintahan. Demi menjegal PKI, Jusuf menawarkan agar wewenang Presiden IndonesiaSukarno diperkuat. Meskipun begitu, strategi Jusuf akhirnya dikesampingkan, dan Masyumi dibawah pimpinan Prawoto Mangkusasmito memutuskan untuk membentuk front bersatu dengan partai-partai Islam lainnya saja.[44][45]
Masyumi dibubarkan pada tahun 1960,[46] dan Jusuf sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat–Gotong Royong di tahun 1960 sebagai perwakilan SBII (yang telah memisahkan diri dari Masyumi).[47][48] Jusuf memutus hubungan dengan tokoh-tokoh Masyumi kecuali Soekiman, sebelum Jusuf ditangkap di akhir 1963 atau awal 1964 dengan tuduhan berkonspirasi melawan pemerintah. Ia dipenjarakan tanpa proses hukum selama tiga tahun.[49]
Orde Baru
Setelah lengsernya Sukarno, Jusuf beserta tokoh-tokoh Masyumi lainnya dilepaskan dari penjara.[50] Soekiman dan Jusuf sempat mempertimbangkan membentuk partai politik sendiri yang akan berbasis Islam namun "tidak terlalu agamis".[51] Namun, kedua tokoh tersebut mengurungkan niat mereka setelah berkonsultasi dengan pihak pemerintah Orde Baru. Sebagai gantinya, Jusuf bergabung dengan Partai Syarikat Islam Indonesia,[a] namun setelah performa buruk PSII dalam Pemilu 1971, Jusuf memutuskan untuk pensiun dari politik.[45][51] Di tahun 1980, pada saat Jusuf berusia 70 tahun, biografinya diterbitkan, bersama dengan tren penerbitan biografi sejumlah tokoh lainnya pada usia 70.[52]
Di tahun 1936, Jusuf menikahi Sumijati Sontodihardjo.[32] Tahun berikutnya, ia menulis suatu buku berbahasa Belanda berjudul Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa yang isinya mendukung sistem poligami berdasarkan Al-Qur'an. Buku tersebut diterjemahkan ke Bahasa Indonesia di tahun 1954, dan karena kurangnya biaya baru diterbitkan di tahun 1980. Meskipun begitu, Jusuf sendiri tidak berpoligami sepanjang hayatnya.[53][54]
Jusuf meninggal pada tanggal 15 Juni 1982 di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebelum meninggal, Jusuf menderita tumor di pangkal hidungnya. Sewaktu wafat, Jusuf memiliki tiga orang anak laki-laki (Imam, Ilham, dan Irsjad) dan satu orang anak perempuan (Tiyas)[55] dan masih bekerja sebagai presiden direktur Bank Perdania.[32][56][57] Sewaktu meninggal, Jusuf tidak memiliki rumah pribadi.[53]
Catatan kaki
^Menurut peneliti Australia Ken Ward, Jusuf Wibisono dan Soekiman bergabung ke PSII pada tahun 1960, tidak lama setelah Masyumi dibubarkan.[45] Jusuf sendiri menolak pernyataan ini, dan menulis bahwa ia bergabung ke PSII di pertengahan 1970-an.[51]