Muhammad Saleh Werdisastro (15 Februari 1908 – 14 Mei 1966) adalah seorang pejuang perintis kemerdekaan yang sepanjang hayatnya mendirikan dan memimpin sekolah PHIS Soemekar Pangabru Sumenep, merintis Muhammadiyah Sumenep, menjadi Ketua Hisbul Wathon (HW) Madura, aktivis Muhammadiyah dan Boedi Oetomo, menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Yogyakarta yang pertama. Serta tercatat sebagai salah satu pemimpin penyerbuan markas Jepang di Kota Baru, yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru.
Di samping itu, ia juga ikut sebagai salah seorang pendiri Universitas Gadjah Mada dan Universitas Surakarta dan menjadi Wakil Wali Kota Yogyakarta, Residen Kedu, dan Wali kota Surakarta untuk dua periode.
Biografi
Asal-Usul
Muhammad Saleh Werdisastro, putera asli Sumenep, lahir 15 Februari 1908 dari pasangan R. Musaid Werdisastro dan R. Ayu Aminatuszuhra. Ayahnya adalah seorang cendekiawan dan budayawan Madura yang berhasil menyusun buku ”Babad Songenep” (Sejarah Sumenep), yang banyak mengungkap berbagai fenomena kehidupan di daerah tempat kelahirannya. Buku tersebut pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka, pada 1914 dengan menggunakan bahasa Madura, berhuruf Jawa.
Perjalanan Karier
Setelah menamatkan sekolahnya di Hogere Kweekschool (HKS) di Purworejo dan Magelang 15 Mei 1930, Muhammad Saleh diangkat menjadi guru Gouvernements HIS (Hollands Inlandse School), Sekolah Dasar 7 tahun di Rembang, Jawa Tengah. Didorong rasa nasionalismenya yang tinggi, selama bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda membuat dirinya tidak bahagia, karena sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nuraninya. Ia tidak ingin mengabdi kepada Pemerintah Kolonial. Setelah bertahan setahun, ia berhenti menjadi guru di HIS dan kembali ke kampung halamannya, Sumenep pada 1931.
Di Sumenep hanya ada satu sekolah HIS milik pemerintah kolonial Belanda khusus untuk anak-anak Belanda, bangsawan, kaum ningrat, anak priyayi atau anak-anak orang kaya. Ada keinginan yang luhur dalam jiwa Muhammad Saleh ingin mengadakan suatu perubahan serta inovasi dalam sistem pendidikan yang selalu mengutamakan anak-anak orang tertentu. Ia menginginkan dunia pendidikan dalam ruang lingkup dan intensitas yang sama, tidak ada diskriminasi bagi siapapun yang ingin menuntut ilmu. Ia melihat pendidikan sebagai komponen dasar dalam membangun kekuatan suatu bangsa.
Walaupun harus menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, dengan tekad bulat, Muhammad Saleh Werdisastro, mendirikan sekolah setaraf HIS yang dapat menampung anak-anak lapisan bawah. Bertempat di Karembangan, Sumenep. HIS Partikelir (PHIS) Sumekar Pangabru dibuka, dipimpin langsung oleh Meneer Muhammad Saleh sendiri sebagai kepala sekolah.
Lahirnya PHIS 31 Agustus 1931 ternyata mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Keberadaan PHIS tidak terbatas hanya menuntut ilmu saja, iapun berusaha menanamkan rasa kebangsaan kepada murid-muridnya misalnya melalui lagu-lagu yang mengandung nilai-nilai heroik dan patriotik sehingga sikap yang demikian dianggap tidak memihak kepada pemerintah kolonial, sehingga mendapat teguran langsung dari Residen Madura, karena murid-murid PHIS tidak mau menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus. Sebagai aksi perlawanan, Muhammad Saleh kemudian menghapus mata pelajaran menyanyi di sekolah PHIS.
Keinginannya untuk menimba ilmu agama secara mendalam selalu menjadi cita-citanya, melalui metode belajar membaca buku berbagai ilmu pengetahuan umum dan agama, juga memperdalam pengetahuan agamanya pada para Kyai Sumenep, bahkan sempat mondok di berbagai pesantren pada saat liburan sekolah, antara lain di Kecamatan Ambunten, Guluk-Guluk dan di Pesantren Kyai Zainal Arifin Terate, Sumenep.
Setelah 10 tahun menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya di PHIS Sumekar Pangrabu, pada 1 September 1941, M. Saleh menyerahkan jabatan kepala sekolah kepada Meneer Badrul Kamar, seorang pendidik yang dianggap cakap dan mumpuni untuk memimpin sekolah PHIS. Ia sendiri hijrah ke Jogyakarta dan tetap menjadi guru di Gesubsidiceerde Inheemse Mulo Muhammadiyah, yang berlangsung sampai datangnya bala tentara Dai Nippon yang menduduki Indonesia.
Ketika terjadi pembentukan PETA (Pembela Tanah Air) suatu bagian dari kesatuan tentara Jepang, para prajurit sampai komandan, semuanya terdiri dari orang Indonesia. Pihak Jepang mengangkat tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk dijadikan Komandan PETA. Muh. Saleh terpilih menjadi komandan, bersama tokoh Muhammadiyah lainnya seperti Sudirman (kemudian menjadi Panglima Besar TNI setelah Indonesia merdeka), Muljadi Djojomartono (kelak menjadi Menko Kesra), serta tokoh-tokoh lainnya.
Muh. Saleh berhenti menjadi guru, setelah menempuh pendidikan Perwira Militer. Kemudian bertugas sebagai Dai Dancho (Komandan Daidan Batalyon Dai Ni Daidan di Yogyakarta bermarkas di Bantul dan bertanggung jawab atas pertahanan wilayah Yogyakarta bagian tengah (mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke pantai laut selatan). Pada saat itu, Muh. Saleh mendapat berita duka bahwa PHIS Sumekar Pangrabu Sumenep diambil alih oleh Jepang. Dengan derai air mata kesedihan ia hanya bisa berdoa agar penjajahan Jepang cepat berakhir dari bumi Indonesia. Doa ia terkabul, pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. PETA dibubarkan dan Muh. Saleh pulang kembali ke Madura. Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Pemerintah RI membentuk Komite Nasional Indonesia baik di pusat maupun di daerah. Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono IX dan para pemuka masyarakat Yogyakarta mencari calon yang tepat dan mampu untuk menjadi Ketua KNI Yogyakarta. Untuk daerah Yogyakarta, dipimpin langsung oleh Sultan sendiri didampingi Ketua KNI. Secara bulat pilihan jatuh kepada Muhammad Saleh Werdisastro guna memegang tampuk kepemimpinan KNI di Yogyakarta. Sultan langsung mengirim telegram memanggil ia sebagai anggota KNI Pusat.
Selanjutnya KNI Pusat pada akhirnya dilebur menjadi DPR dan KNI Daerah menjadi DPRD. Bekas prajurit PETA menjadi perintis perjuangan melucuti senjata tentara Jepang dan merupakan cikal bakal TNI. Pada masa itu tentara Jepang yang berada di Yogyakarta belum mau menyerahkan senjatanya. Muhammad Saleh berusaha mengadakan perundingan dengan tentara Jepang bertempat di Gedung Negara.
Ada kisah yang patut diketahui dalam perundingan ini, yang cukup alot dan berlarut-larut. Rakyat merasa tidak sabar menunggu. Mereka berbondong-bondong mendatangi Gedung Negara dengan semangat perjuangan sambil berteriak ”Pak Saleh keluar!”. Tanpa gentar sedikitpun karena dirinya merasa benar dan merasa berpihak kepada rakyat, dengan sikap kesatria ia memilih keluar menghadapi rakyat yang sedang emosi seraya berkata ”Ketahuilah Saudara-saudara, saya sedang berunding dengan Jepang, percayalah kalian kepada saya”. Kemudian menghunus keris miliknya dengan suara lantang berteriak di depan massa ”Jika saya mengkhianati saudara-saudara, bunuh saya dengan keris ini”. Rakyat mulai tenang dan membubarkan diri.
Sebagai seorang muslim yang taat, Muh. Saleh selalu menjauhi syirik. Ia tetap menganggap kerisnya sebagai senjata dan benda biasa yang tidak mungkin dapat mengubah nasib seseorang. Segala apa yang terjadi adalah kehendak Allah semata. Namun di sisi lain, banyak orang Yogyakarta menganggap keris Pak Saleh tersebut sangat bertuah dan keramat, sehingga beberapa hari kemudian keris yang ditaruh dalam tas kantornya hilang dicuri orang.
Jepang ternyata ngotot tidak mau menyerahkan senjatanya. Dengan semangat patriotisme, rakyat Yogyakarta dipimpin antara lain oleh Muh. Saleh, menyerbu markas Jepang di Kota Baru, yang tercatat dalam sejarah sebagai Pertempuran Kotabaru. Akhirnya Jepang menyerah.
Wali kota Solo
Pada clash kedua, Muh. Saleh ikut bergerilya mendampingi Panglima Sudirman di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah penyerahan kedaulatan, Muh. Saleh mengundurkan diri dari Militer dengan pangkat letnan kolonel (Pada masa itu, Panglima TNI seluruh tanah Jawa dijabat A.H. Nasution masih berpangkat kolonel), ia diangkat menjadi Wakil Wali kota [[Yogyakarta]]. Pada 1951 Muh Saleh menjabat sebagai Wali kota Solo.
Tahun 1960, Muhammad Saleh diangkat menjadi residen Kedu sampai pensiun tahun 1965. Muh. Saleh yang mempunyai sifat pendidik dan sangat memperhatikan masalah pendidikan, pada tahun 1946 bersama rekan-rekannya mendirikan Universitas di Yogyakarta, yang sekarang dikenal sebagai Universitas Gadjah Mada; di samping turut memberikan sumbangan dalam berdirinya Universitas Surakarta.
Akhir Masa Jabatan
Muhammad Saleh Werdisastro mengakhiri kariernya sebagai pamong praja setelah pensiun sebagai Residen Kedu pada tahun 1964 dengan pangkat Gubernur. Dia pada akhir jabatannya sebagai residen sempat sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang. Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro dinyatakan menderita sakit kanker lever dan usianya diperkirakan tidak lebih dari satu tahun.
Pada tahun 1965, dia sekeluarga pindah ke Yogyakarta untuk menjalani masa pensiun disertai saran dari Team Dokter agar banyak beristirahat. Namun, dia tidak mau berhenti berkarya. Kegiatan Majelis Tanwir Muhammadiyah, dakwah agama Islam, ceramah dan mengajar di universitas tambah ditingkatkan propaganda dan agitasi komunis PKI. Bahkan dia bersama teman-teman Muhammadiyah menerbitkan koran dengan nama Harian Mertju Suar Yogyakarta. Dia memang seorang pejuang yang penuh dengan ide-ide dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pikiran-pikirannya cemerlang dan diusahakannya untuk menjadi kenyataan. Namun kegiatan-kegiatannya yang meningkat rupanya tidak didukung kesehatan badanya yang mulai digerogoti penyakit lamanya.
Muhammad Saleh Werdisastro jatuh sakit lagi dan pada tahun 1966 dia wafat karena penyakit kanker levernya kambuh lagi. Dia sempat beberapa hari dirawat di Rumah Sakit PKO Muhammadiyah Yogyakarta. Jenazahnya dimandikan oleh warga Muhammadiyah, dan kerandanya ditutup dengan kain berlambang Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah benar-benar kehilangan dan berkabung. Jalan-jalan sekitar kediamannya penuh dengan warga Muhammadiyah berbaur dengan massa yang lain, jumlahnya ribuan yang hendak memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Ketika pihak militer meminta jenazah Muhammad Saleh Werdisastro untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta karena almarhum memiliki Bintang Gerilya, pihak Muhammadiyah menolak karena Muhammad Saleh Werdisastro begitu besar jasanya kepada Muhammadiyah sehingga untuk menghormatinya, jenazah ia dimakamkan berdampingan dengan pendiri Muhammadiyah lainnya, Kyai Haji Achmad Dahlan di pemakaman Karangkajen Yogyakarta. Ribuan pelayat mengiringi jenazah Muhammad Saleh Werdisastro yang dipikul secara bergantian oleh warga Muhammadiyah sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta lebih kurang 2 km menuju Masjid Besar Alun-alun Utara Yogyakarta untuk disholatkan.
Jalan Malioboro penuh dengan iring-iringan ribuan pelayat yang berjalan kaki. Toko-toko di sepanjang jalan yang dilalui jenazah banyak yang menyediakan minuman di depan tokonya untuk diminum para pelayat. Tampak di antara pelayat berjalan kaki Ketua Umum Muhammadiyah Kyai Haji Ahmad Badawi, Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal TNI Soerono, Komandan Korem 072/ Pamungkas Yogyakarta Kolonel TNI Leo Ngali serta pejabat-pejabat lainnya dari Yogyakarta, Surakarta, Magelang dan Semarang. Semua kendaraan menepi memberi jalan bagi jenazah beserta ribuan pelayat. Setelah disholatkan, jenazah dipikul lagi sekitar 2 km menuju Pemakaman Karangkajen. Ribuan pelayat dengan dipandu warga Muhammadiyah membaca doa membesarkan nama Allah sepanjang jalan, dipemakaman Karangkajen ribuan pelayat mengaminkan doa Sang Iman, memohonkan ampun kepada Allah SWT serta memberikan penhormatan terakhir kepada seorang hamba Allah bernama Muhammad Saleh Werdisastro yang selama hidupnya mengabdikan dirinya kepada negara, nangsa, dan agama Islam khususnya Muhammadiyah.
Keluarga
Muhammad Saleh Werdisastro menikah dengan seorang gadis bernama R. Ayu Masturah, putri seorang opsir Kesultanan Sumenep bernama R. Setjodipoero. Pasangan muda ini ternyata mempunyai keinginan untuk memajukan bangsanya. R. Ayu Masturah yang hanya lulusan Sekolah Angka Dua mendapat bimbingan sendiri dari suaminya Muhammad Saleh Werdisastro sehingga mampu sejajar atau wanita lainnya dalam pergaulan antar istri pejabat atau petinggi lainnya.
Ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan ibu-ibu yang tergabung dalam Aisyah. Dia dapat menjadi contoh ibu teladan yang dengan setia dan penuh pengorbanan mendampingi suaminya dalam perjuangan menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan 5 anak yang masih belum dewasa dia rela menderita di Yogyakarta, ditinggal suami berjuang, bertempur sampai bergerilya melawan penjajah Belanda dari tahun 1945 sampai tahun 1950. Sebagai isteri seorang pejuang kemerdekaan, R. Ayu Masturah sering mendapat teror dan diancam akan dibunuh sekeluarga. Maka dari itu, berdasarkan pertimbangan bersama teman-teman Muhammadiyah, dia beserta keempat anaknya mengungsi ke kampung Kauman Yogyakarta yang mayoritas penduduknya warga Muhammadiyah dan pejuang-pejuang kemerdekaan.
Sedang anak sulungnya bernama Muhammad Mansyur yang waktu itu berusia 15 tahun, dijemput anak buah ayahnya untuk bergabung bergerilya melawan penjajah Belanda keluar kota Yogyakarta. Dibidang pendidikan R. Ayu Masturah berprinsip bahwa anak-anaknya tidak lepas dari pendidikan Muhammadiyah. Karena itu anak-anaknya, pendidikan dasarnya disekolahkan pada Sekolah Rakyat Muhammadiyah. R. Ayu Masturah juga menampung kemenakan-kemenakannya dan kemenakan suaminya bahkan beberapa cucu untuk disekolahkan samapai tamat SMA atau setingkat. Untuk itu dia tidak segan-segan mengorbankan harta benda atau barang berharganya demi tercapainya pendidikan tersebut di atas.
Kemauan berkorban dan kegigihan dalam mendorong dan mem back up perjuangan suami di segala bidang, terutama dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, dijadikan alasan oleh keluarga besar Muhammad Saleh Werdisastro, terdiri dari anak dan menantunya yaitu:
- Ir. Muhammad Mansur Werdisastro (beserta istri: Su'udiyah, BA)
- Kolonel TNI (Purn) Drs. Muhammad Ilyas Werdisastro (beserta istri: Roostien Iljas)
- DR. Drs. Muhammad Muhtadi Werdisastro (beserta istri: Ajeng Tarlina)
- Farida, BA. (beserta suami: Marjanto Danusaputro, SE)
- Prof. DR. Ny. Badriyah Rifai, SH (beserta suami: Prof. Dr. Achmad Rifai Amirudin, SpPd., KGEH)
Referensi