Kontroversi yang melibatkan Prabowo SubiantoSelama karier militer dan politiknya, Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Indonesia ke-26 telah menuai banyak kontroversi. Dimulai dari kontroversinya saat masih aktif di ketentaraan yang meliputi dugaan pelanggaran HAM, isu kudeta serta konflik antara dirinya dengan Presiden BJ Habibie, yang kemudian berujung pada pemberhentiannya dari ketentaraan. Kontroversi mengenai dirinya tetap berlanjut sepanjang karier politiknya, terutama selama pencalonannya dalam pilpres 2014, pilpres 2019, kariernya sebagai Menteri Pertahanan, dan pilpres 2024. Manuver saat Orde BaruDengan menggunakan koneksi dengan Presiden Soeharto, Prabowo dan saudaranya mencoba membungkam kritik jurnalistik dan politik pada tahun 1990-an.[1] Hasyim gagal menekan Goenawan Mohamad agar menjual koran Tempo kepadanya.[1] Ketika menjabat sebagai letnan kolonel, Prabowo mengundang Abdurrahman Wahid ke markas batalionnya pada tahun 1992 dan memperingatinya agar hanya berkecimpung dalam bidang agama dan tidak menyentuh politik, atau ia harus menghadapi akibatnya bila melanjutkan oposisi terhadap Soeharto.[2] Ia juga memperingatkan Nurcholish Madjid (Cak Nur) agar mengundurkan diri dari Komite Independen Pemantau Pemilu, yaitu badan pengawas pemilu yang didirikan oleh Goenawan Mohamad.[3] Konflik dengan L. B. MoerdaniPada tahun 1983, Prabowo, menurut Sintong Panjaitan, terlibat perselisihan dengan beberapa jenderal yang dianggap akan mengkudeta Suharto. Sampai pada akhirnya pada bulan Maret 1983, di Detasemen 81, Prabowo diceritakan mencoba melakukan upaya penculikan sejumlah petinggi militer, termasuk Jenderal L. B. Moerdani yang diduga hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soeharto, namun upaya ini digagalkan oleh Mayor Luhut Panjaitan, Komandan Den 81/Antiteror. Prabowo sendiri adalah wakil Luhut saat itu.[4] Mayor Luhut memerintahkan pembatalan aksi tersebut dan agar senjata dan alat komunikasi diamankan. Ancaman kudeta tersebut akhirnya tidak terbukti, dan Prabowo dianggap dalam keadaan stress dan diberikan cuti.[5] Namun Prabowo membantah cerita versi Sintong Panjaitan ini dengan tertawa . Menurutnya, tidak masuk akal seorang kapten bisa memimpin pasukannya untuk melawan dan menculik jenderal. Ia dengan tenang mengatakan bahwa tiap kali ada buku baru, pasti ada tuduhan kudeta baru yang dialamatkan kepada dirinya, dan membiarkan tiap orang dengan versi ceritanya masing-masing.[5] Pada tahun 1988, Prabowo kembali berhadapan dengan LB Moerdani. Menurut cerita versi Kivlan Zen, menjelang Sidang Umum MPR/RI pada tahun 1988, beredar kabar bahwa LB Moerdani akan memanfaatkan posisinya sebagai Panglima ABRI untuk mendapat dukungan dari Fraksi ABRI agar bisa maju menjadi Wakil Presiden. Prabowo Subianto segera melaporkan dugaan ini kepada Suharto. Suharto menerima masukan ini dan mengganti Panglima ABRI dengan Jenderal Try Soetrisno, sehingga akhirnya jabatan Wakil Presiden jatuh ke tangan Soedharmono.[5] Penggantian LB Moerdhani memunculkan kekhawatiran kudeta. Maka menurut Kivlan Zen, Prabowo menyiapkan 1 Batalyon Kopassus, Batalyon Infanteri Linud 328, Batalyon Infanteri 303, Batalyon Infanteri 321, Batalyon Infanteri 315. Satu batalyon umumnya berkekuatan 700 personel. Meskipun akhirnya kekhawatiran tersebut tidak terbukti, namun memperlihatkan besarnya pengaruh Prabowo di ABRI dan terhadap keputusan seorang Presiden Indonesia pada masa tersebut.[5] Kasus HAM di Timor TimurPada tahun 1990-an, Prabowo terkait dengan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor Timur. Pada tahun 1995, ia dituduh menggerakkan pasukan ilegal yang melancarkan aksi teror ke warga sipil di Timor Timur.[6] Peristiwa ini membuat Prabowo nyaris baku hantam dengan Komandan Korem Timor Timur saat itu, Kolonel Inf Kiki Syahnakri, di kantor Pangdam IX Udayana, Mayjen TNI Adang Ruchiatna.[6][7] Sejumlah lembaga internasional menuntut agar kasus ini dituntaskan dan agar Prabowo dibawa ke Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag.[8] Menurut pakar Adnan Buyung Nasution, kasus ini belum selesai secara hukum karena belum pernah diadakan pemeriksaan menurut hukum pidana.[9] Prabowo juga diduga terlibat dalam peristiwa pembantaian Kraras yang terjadi pada tahun 1983 di Timor Timur.[10][11] Prabowo sendiri membantah dan menyebutnya sebagai tuduhan tak berdasar.[12] Sementara itu, seperti yang tertulis dalam sebuah dokumen yang dibawa dari Dili ke Lisbon pada Juni 1989 oleh seorang pengungsi, dua puluh orang ditembak mati oleh tentara-tentara yang berada di bawah komando Prabowo di wilayah Bere-Coli, Baucau, antara 12 hingga 15 April 1989.[13] Kejatuhan SoehartoPenculikan aktivisPada tahun 1997, Prabowo diduga kuat mendalangi penculikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis pro-Reformasi.[14] Setidaknya 14 orang,[15] termasuk seniman 'Teater Rakyat' Widji Thukul, aktivis Herman Hendrawan, dan Petrus Bima masih hilang dan belum ditemukan hingga sekarang.[16] Mereka diyakini sudah meninggal.[17] Prabowo sendiri mengakui memerintahkan Tim Mawar untuk mengeksekusi operasi tersebut karena menurutnya hal tersebut merupakan hal yang benar menurut rezim saat itu.[18][19] Prabowo hanya mengakui menculik 9 orang aktivis pada saat itu, yang semuanya telah ia kembalikan dalam keadaan hidup. Sementara 13 orang sisanya, ia tidak tahu-menahu. Pernyataan ini dikuatkan oleh Pius Lustrilanang, yang mengaku telah dimintai maaf oleh Prabowo dan kini menjadi anggota DPR dari Partai Gerindra.[20] Sementara saat mengumumkan pembebastugasan Prabowo, Jenderal TNI Wiranto menyatakan bahwa Prabowo dapat diadili karena adanya bukti keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis ini.[21] Namun, Prabowo masih belum diadili atas kasus tersebut hingga sekarang walau anggota Tim Mawar sudah dijebloskan ke penjara.[22][23] Sementara itu, Prabowo dan koleganya, Sjafrie Syamsuddin, tidak pernah memenuhi Panggilan Komnas HAM yang berusaha untuk mengusut kasus tersebut.[24][25] Pengakuan mengejutkan datang dari Kivlan Zen yang pada masa 1998 setia kepada Prabowo. Ia mengaku mengetahui pasti di mana keberadaan 13 orang aktivis yang dipermasalahkan, dan tahu pasti mereka telah dibunuh. Kivlan Zen menantang dibukanya kembali kasus penculikan ini dan dia mengatakan seluruh hal yang diketahuinya. Ia menyatakan operasi penculikan 13 orang tersebut adalah perbutan pihak yang ingin mendiskreditkan Prabowo. Karena pernyataan ini, Komnas HAM didesak untuk membuka kembali penyelidikan atas kasus ini, namun Komnas HAM berkomentar bahwa itu hanyalah pernyataan pribadi Kivlan Zen. Secara resmi pernyataan Kivlan Zen sudah pernah dicatat dalam penyelidikan Komnas HAM dan kini sudah berada di Kejaksaan Agung.[26] Tuduhan pernyataan pengusiran orang TionghoaMenurut Friend (2003), saat dampak krisis finansial Asia 1997 memburuk, Prabowo mengajak Muslim Indonesia untuk bergabung melawan "pengkhianat bangsa".[27] Selain itu, dari wawancara Adam Schwarz dengan Sofjan Wanandi, Prabowo pernah mengatakan pada Sofjan bahwa ia siap "mengusir semua orang Cina meskipun hal itu akan membuat ekonomi Indonesia mundur 20-30 tahun"[28] dan mengatakan "kamu Cina Katolik mencoba menjatuhkan Suharto".[27] Sofjan sendiri membantah pernah berkata bahwa Prabowo akan mengusir semua orang Tionghoa dari Indonesia, dan menyatakan bahwa Schwarz hanya salah persepsi.[29] Dugaan keterlibatan kerusuhan Mei 1998Prabowo diduga kuat mendalangi kerusuhan Mei 1998 berdasar temuan Tim Gabungan Pencari Fakta.[30][31][32] Bahkan menurut Friend (2003), walaupun kubu Wiranto menekankan bahwa mereka tidak ingin pembantaian Tiananmen terjadi di Jakarta, kubu Prabowo memperingatkan Amien Rais bahwa militer tidak takut akan terjadinya "Tiananmen lain" dan "lautan darah" bila demonstrasi dilanjutkan.[33] Dugaan motif Prabowo adalah untuk mendiskreditkan rivalnya Pangab Wiranto, untuk menyerang etnis minoritas, dan untuk mendapat simpati dan wewenang lebih dari Soeharto bila kelak ia mampu memadamkan kerusuhan.[34] Dia juga masih belum diadili atas kasus tersebut.[35] Prabowo mengklaim bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar. Prabowo mengaku sadar bahwa menghancurkan Tionghoa di Indonesia dapat merugikan Indonesia sendiri. Ia juga menyayangkan Menko Polkam Feisal Tanjung dan Panglima ABRI Wiranto yang menurutnya konsisten menyangkal tuduhan bahwa perintah membuat kerusuhan berasal langsung dari mereka atau Soeharto sebagai Panglima Tinggi. Prabowo meyakini bahwa perintah tersebut tidak dalam satu rangkaian komando karena atasannya senang bekerja secara melompat-lompat dalam berbagai tingkatan. Ia memastikan bahwa dirinya tidak pernah memperoleh perintah menyiksa orang.[36] Pembelaan lebih lanjut dari pihak Prabowo adalah dia hanya menjalankan tugasnya sebagai Pangkostrad atas permintaan Panglima Kodam Jaya waktu itu yang mendapat perintah dari Mabes ABRI. Pada waktu itu permintaan Prabowo agar ia difasilitasi pesawat Hercules juga ditolak, sehingga ia terpaksa menggunakan Garuda dan Mandala atas biaya sendiri.[37] Sementara terkait penembakan mahasiswa dalam peristiwa Trisakti, hasil uji balistik di Belfast, Irlandia Utara, memperlihatkan bahwa peluru tersebut berasal dari senjata milik Gegana, Polri, bukan tipe senjata yang digunakan oleh TNI. Penembakan itu juga tidak mungkin dilakukan oleh sniper karena peluru yang digunakan jenis kaliber 5,56mm, sementara senjata sniper berkaliber 7mm ke atas. Target penembakan juga acak, berbeda dengan pola penembakan sniper yang akan memilih pemimpin demonstrasi atau sasaran strategis tertentu.[37] Isu kudeta Mei 1998Pada pagi hari tanggal 22 Mei 1998, Wiranto melaporkan kepada B.J. Habibie, yang baru saja dilantik sebagai Presiden Indonesia ketiga, bahwa telah terjadi pergerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta dan konsentrasi pasukan di kediaman Presiden Habibie tanpa sepengetahuan dirinya sebagai Panglima ABRI. Pergerakan pasukan tersebut diduga sebagai upaya kudeta dan oleh karena itu atas instruksi Presiden Habibie, Prabowo diberhentikan sebagai Panglima Kostrad.[38] Di siang hari pada tanggal yang sama, Prabowo dihubungi Markas Besar Angkatan Darat perihal pemberhentiannya sebagai Panglima Kostrad. Prabowo langsung menghadap Presiden Habibie di istana untuk mendapat kepastian pemberhentiannya. Menurut Presiden Habibie dalam buku Detik-detik Yang Menentukan, Prabowo menyatakan bahwa alasan konsentrasi pasukan itu adalah untuk mengamankan presiden, namun Habibie mengatakan bahwa itu adalah tugas paspampres, bukan kostrad.[39] Dalam buku tersebut, Habibie menulis bahwa Prabowo menyebutnya sebagai “Presiden naif”, dan mengatakan bahwa Habibie menghina Keluarga Soemitro, sementara Habibie hanya menanggapi perkataan Prabowo terebut dengan mengatakan “Masa bodo, saya Presiden harus memperhatikan keadaan bangsa” dan meminta Prabowo untuk menyerahkan seluruh pasukannya sebelum matahari terbenam.[40] Meskipun begitu, menurut autobiografi dari Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah Prabowo, Presiden Habibie mengatakan bahwa pemberhentiannya adalah permintaan langsung dari Presiden Soeharto, dan sumber lain mengatakan bahwa ia akan ditunjuk sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat.[36] Sore harinya Prabowo menyerahkan jabatan Panglima Kostrad kepada Pangdiv I Kostrad Johny Lumintang.[41] Prabowo menegaskan bahwa ia yakin bisa saja melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan pada bulan Mei itu. Namun ia menegaskan, “Keputusan mempercepat pensiun saya adalah sah,” ujarnya. Lebih lanjut Prabowo juga menjelaskan, “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Namun saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik”.[42] Setelah Mei 1998, ia terbang ke Amman, Yordania.[43] Ia diisukan mendapat tawaran status kewarganegaraan dari Abdullah II.[44] Namun tawaran ini ditolaknya.[45] Pangeran Abdullah II yang kemudian pada 1999 menjadi Raja Yordania adalah kawan Prabowo di sekolah militer. Prabowo kembali ke Indonesia pada November 2001.[46] Paradise PapersPada November 2017, sebuah investigasi penyelidikan yang dilakukan oleh Konsorsium Jurnalisme Investigasi Internasional (ICIJ) mencatutkan namanya dalam daftar politisi yang disebutkan dalam tuduhan "Paradise Papers".[47] Usulan perdamaian Rusia–UkrainaPada tanggal 3 Juni 2023, dalam Dialog Shangri-La, Prabowo mengusulkan rencana perdamaian multi-poin termasuk gencatan senjata dan pembentukan zona demiliterisasi yang dipatuhi dan dipantau oleh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB.[48] Proposal ini dikritik oleh kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell dan Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov karena usulan Prabowo tidak membawa perdamaian adil untuk Ukraina.[49] Usulan ini juga dikritik oleh PDI-P di sela-sela pertemuan nasional partai tersebut pada hari Rabu, dimana Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto mengatakan Indonesia tidak membutuhkan seorang pemimpin yang memberikan saran yang menyimpang dari prinsip diplomasi “bebas dan aktif”.[50] Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI TB Hasanuddin sempat mempertanyakan usulan perdamaian tersebut karena dianggap membentuk pandangan kurang baik karena kurang tahu situasi di lapangan.[51] Usulan tersebut namun diterima baik oleh Tiongkok karena persamaan usulan Prabowo dengan usulan Tiongkok yang sebagian besar ditolak di Eropa, sebagian karena rencana tersebut akan membiarkan pasukan Rusia mengendalikan wilayah Ukraina yang direbut segera setelah invasi pada bulan Februari 2022.[52] Usulan tersebut juga disambut baik oleh Rusia, dimana Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrey Rudenko kepada lembaga pemberitaan resmi Rusia, TASS, mengatakan bahwa "Kami menyambut baik upaya semua negara yang ditujukan untuk penyelesaian konflik ini secara damai."[53] Kejanggalan politikPada tanggal 18 September 2017, saat peluncuran buku teori ekonomi politik ayahnya, Prabowo Subianto berpidato yang memperingatkan bahwa Indonesia bisa pecah pada tahun 2030. "Tetapi di negara lain, mereka sudah bikin kajian-kajian di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030." katanya. Klip video pidato tersebut diposting ke halaman Facebook resmi Gerindra pada tanggal 18 Maret 2018. Ketika ditanya studi mana yang dimaksud oleh Prabowo Subianto, pejabat Gerindra Elnino M. Husein Mohi mengatakan, "Pak Prabowo sudah membaca berbagai tulisan orang-orang di luar negeri, para pengamat intelektual yang ada. Anda juga dapat melihatnya secara online."[54] Kemudian terungkap bahwa "studi" tersebut sebenarnya adalah novel perang fiksi ilmiah tahun 2015 berjudul Ghost Fleet oleh penulis Amerika August Cole dan P. W. Singer. Catatan penulis di awal buku menyatakan: "Yang berikut ini terinspirasi oleh tren dan teknologi dunia nyata. Namun, pada akhirnya, ini hanyalah karya fiksi, bukan prediksi."[55] Bingung oleh Prabowo Subianto yang mengutip dalam bukunya, Singer menulis di Twitter: "Pemimpin oposisi Indonesia mengutip #GhostFleet dalam pidato kampanyenya yang berapi-api... Ada banyak liku-liku tak terduga dari pengalaman dalam buku ini, tapi ini mungkin cukup berhasil."[56] Pada akhir tahun 2018, Prabowo Subianto diejek setelah secara keliru menyatakan bahwa Haiti, sebuah republik di Kepulauan Karibia, adalah negara Afrika. Dalam pidatonya pada tanggal 23 Desember 2018 di Solo, Jawa Tengah, Prabowo Subianto mengatakan pemerintah Indonesia telah memindahkan sebagian kekayaan Indonesia ke luar negeri. "Kalau ini terus dibiarkan, Indonesia akan terus dimiskinkan," ujarnya. "Kami masyarakat Indonesia setara dengan negara-negara miskin di Afrika seperti Rwanda, Haiti, dan pulau-pulau kecil seperti Kiribati yang bahkan kami tidak tahu di mana letaknya," imbuhnya.[57] Pada 12 Desember 2023, Prabowo menjadi viral setelah komentarnya tentang saingannya Anies Baswedan tentang etika dengan mengatakan "Ndasmu etik!" yang dianggap menghina dalam kongres internal partai yang diadakan Gerindra.[58] Juru bicaranya kemudian menyatakan bahwa itu hanya lelucon biasa.[58] Lihat pulaReferensi
|