Sudrajad Djiwandono
Prof. Drs. Joseph Soedradjad Djiwandono, M.A., Ph.D. (EYD: Sudrajad Jiwandono, juga ditulis sebagai Sudrajad Djiwandono, Soedradjat Djiwandono, dan Sudrajat Djiwandono; lahir pada tanggal 7 Agustus 1938) adalah seorang ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia mulai tahun 1993 hingga diberhentikan secara tiba-tiba pada tahun 1998. Djiwandono mendapat gelar sarjana di bidang ekonomi dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1963 dan kemudian mendapat gelar Ph.D. dari Universitas Boston pada tahun 1980.[2] Sebelum menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pada tahun 1993, Djiwandono telah mengungkapkan kekhawatirannya mengenai tingginya jumlah utang buruk di sektor perbankan ke Presiden Suharto.[3] KarierSoedradjad Djiwandono pernah memegang sejumlah jabatan di bidang ekonomi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, sebelum menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pada tahun 1993. Jabatan yang pernah ia pegang antara lain:
Krisis finansial AsiaKrisis finansial Asia mulai berdampak ke Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia mengikuti Thailand dan Malaysia yang beralih ke nilai tukar mengambang.[4] Di bawah kepemimpinan Djiwandono, "respon berorientasi pasar" dari Bank Indonesia terhadap krisis tersebut pun diapresiasi oleh para investor. Namun, Bank Indonesia juga dikritik karena membiarkan sistem perbankan di Indonesia untuk tumbuh terlalu cepat dengan 239 bank telah beroperasi pada bulan September 1997.[5] Dari jumlah tersebut, 16 bank di antaranya akhirnya dilikuidasi pada bulan November 1997. Djiwandono kemudian memutuskan untuk tidak melikuidasi lebih banyak bank, karena "jika lebih banyak bank dilikuidasi, maka [sektor perbankan] mungkin akan kolaps".[6] Djiwandono akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur Bank Indonesia oleh Presiden Suharto pada tanggal 11 Februari 1998, tetapi baru diberi tahu secara resmi mengenai keputusan tersebut enam hari kemudian.[7] Walaupun tidak ada alasan yang diberikan mengenai pemberhentian tersebut, para ekonom percaya bahwa ketidaksetujuan Djiwandono terhadap sistem nilai tukar tetap baru untuk rupiah menjadi salah satu alasan di balik pemberhentiannya.[8] Pemberhentian Djiwandono juga mendapat kritik dari International Monetary Fund dan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, sehingga membuat paket bantuan untuk Indonesia sebesar US$43 milyar beresiko dibatalkan.[9] Djiwandono akhirnya digantikan oleh Syahril Sabirin pada tanggal 19 Februari 1998.[10] Karier di luar Bank IndonesiaPada tanggal 7 Mei 2002, Djiwandono ditetapkan sebagai tersangka dalam investigasi terhadap mantan-mantan gubernur Bank Indonesia. Ia dituduh menyalahgunakan kewenangannya, karena memberikan pinjaman sebesar Rp 19 triliun (US$ 2,1 milyar) kepada bank gagal mulai tahun 1996 hingga 1998.[11] Beberapa tahun sebelumnya, Djiwandono menolak tuduhan dari tiga mantan menteri keuangan yang menuduh bahwa ia salah memahami kebijakan pemerintah dan salah menggunakan program bantuan likuiditas selama krisis finansial.[12] Djiwandono tidak ditahan selama investigasi terhadap pendekatan yang ia pakai dilakukan.[13] Djiwandono tetap berkontribusi pada diskusi kebijakan publik, terutama di Indonesia, dengan menulis artikel, termasuk op-ed mengenai isu ekonomi terkini, terutama mengenai isu yang melibatkan kebijakan moneter.[14] Kehidupan pribadiDjiwandono, seorang Katolik,[15] menikahi Bianti, anak dari Sumitro Djojohadikusumo, salah satu ekonom dan pejabat paling terkenal di Indonesia. Sumitro juga merupakan ayah dari Prabowo Subianto, yang menjadi calon presiden pada tahun 2014 dan 2019, dan presiden terpilih tahun 2024, serta Hashim Djojohadikusumo, seorang pebisnis terkemuka di Indonesia. Soedradjad dan Bianti Djiwandono memiliki dua anak, yakni Thomas Djiwandono dan Budi Djiwandono. Djiwandono setidaknya memiliki sembilan saudara kandung, salah satunya yakni J. Soedjati Djiwandono, juga seorang Katolik, yang meninggal pada tahun 2013. Referensi
Publikasi
|