Kecamatan Limboto adalah sebuah ibu kota Kabupaten Gorontalo yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi dari Kabupaten Gorontalo. Limboto juga merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Indonesia. Limboto juga merupakan salah satu kecamatan dari 19 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Gorontalo.
Limboto juga merupakan ibu kota kabupaten Gorontalo. Terletak di 0,30 derajat Lintang Utara, 1,0 derajat Lintang Selatan, 121 derajat bujur Timur dan 123,3 derajat Bujur Barat.
Kabupaten Gorontalo dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi dengan ibu kota semula Isimu. Pada tahun 1978 ibu kota Kabupaten Gorontalo dipindahkan ke Limboto. Ada sebagian data pada atlas atau peta yang memuat ibu kota Kabupaten Gorontalo adalah Isimu. Jelas hal tersebut tidak sesuai dengan realita dan fakta yang ada di lapangan.
Di Limboto terdapat Danau Limboto, yaitu sebuah danau seluas 2000 ha yang hanya berkedalaman 5 hingga 8 meter.
Kantor Camat Limboto dengan Susunan Struktur Organisasi Tahun 2024 adalah sebagai Berikut ;
Camat (Abdul Azis Pakaya, SST. M.P.H)
Sekcam (Halid Kadir, S.I.P., M.H)
Kasie Pemerintahan (Sriyanti Djahuno, A.Ma.,Ak
Kasie Trantib dan LH (Mahmud Tolingguhu, S.ST., M.Si)
Kasie Kesos (Nancy Laya, M.Pd)
Kasie PMD (Saiful R. PAKAYA, S.IP)
Kasubag Perencanaan dan Keuangan (Lahmudin Mabunga, S.IP
Kasubag Umum dan Kepegawaian (Iyam Ibrahim, S.AP)
Penelaah Teknis Kebijakan (Ramla Hasan)
Pengolah Data Dan Informasi : Marheni Tolingguhu, S.E
Pengolah Data Dan Informasi : Yanti U. Detuage, S.Ei
Pengolah Data Dan Informasi : Tober Lihawa, S.IP
Pengadministrasi Perkantoran : Usman t. Lamalani
Pengadministrasi Perkantoran : Syaiful Adjuna
Pengadministrasi Perkantoran : Fatmah P. Lantowa
Tenaga Kontrak : Ismet Utina
Tenaga Kontrak : Agustin Aliwu, S.AP
Tenaga Kontrak : Reflina Abdullah, SE
Tenaga Kontrak : Rianty Abas, S.Km
Tenaga Kontrak : Rois R. Hilala, S.Ars
Lurah 14 Orang
Sekretaris Lurah 14 Orang
Bendahara 14 Orang
Sejarah Limboto
Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia
Sultanates and kingdoms in Indonesia
Asal-Usul Kerajaan Limboto
Limboto, kerajaan / Sulawesi – prov. Gorontalo
Kerajaan Limboto terletak di Sulawesi, provinsi Gorontalo, kabupaten Gorontalo.
Lokasikabupaten Gorontalo
* Fotofoto Sulawesi dulu, suku Sulawesi dan situs kuno: link
Sejarah kerajaanLimboto
Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaanitu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala’a”. Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala’a :
Pohala’a Gorontalo
Pohala’a Limboto
Pohala’a Suwawa
Pohala’a Boalemo
Pohala’a Atinggola
Janjia Lo U Duluwo (Pertengkaran Antara Kerajaan Gorontalo dan Limboto)
(by: Gorontalo)
Konon pada abad ke-15, kerajaan Gorontalo dan Limboto diperintah oleh sepasang suami isteri yaitu Raja Wolanga dan Ratu Moliye. Zaman itu di Gorontalo dan Limboto belum dikenal lembaga kerajaan dwi-tunggal yang dikenal pada tahun-tahun sesudahnya. Perkawinan antara pemimpin dua kerajaan ini melahirkan seorang anak laki-laki bernama Polamolo. Ketika Polamolo beranjak dewasa, kedua orang tuanya (Moliye dan Wolanga) bermaksud maju berperang ke Teluk Tomini, menaklukkan beberapa kerajaan kecil untuk menambah jumlah rakyatnya. Pemerintahan atas Gorontalo dan Limboto diserahkan kepada Polamolo. Dengan demikian ia menjadi raja pertama yang memerintah dua kerajaan tersebut sekaligus. Polamolo naik tahta dengan gelar “Olangia Mobalanga” artinya raja yang berpindah-pindah, tujuh hari pertama memerintah Gorontalo dan tujuh hari lainnya di Limboto.
Wolanga dan Moliye bertolak dari Gorontalo dan melakukan perjalanan ke arah Barat dan Selatan. Wolanga mengerahkan angkatan lautnya dan bertolak dari Teluk Gorontalo, berlayar menyusur pantai ke arah Barat. Sedangkan Moliye bertolak dari Sungai Paguyaman yang pada waktu itu berfungsi sebagai pelabuhan Limboto di pantai Selatan, kemudian menyeberang ke pulau-pulau Togian, untuk selanjutnya kembali ke daratan pulau Sulawesi di Tanjung Api. Dari sini kemudian berlayar ke arah Barat dan berjumpa di Sausu dengan Wolanga dan gerombolannya. Pada waktu itu mereka telah berhasil menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan selanjutnya menempuh jalan pulang sambil membawa rampasan perang dan budak-budak.
Rombongan Gorontalo dipanglimai oleh Wulea lo Lipu Bilinggata yang bernama Hilibala, bertindak sebagai Luntudulungo artinya pemimpin, penunjuk jalan atau pelopor. Sedangkan rombongan Limboto dipimpin oleh Wulea lo Tibawa bernama Hemuto, yang terkenal berani dan kejam. Konon dalam perjalanan pulang Hemuto dan Hilibala bertukar kedudukan, Hemuto menjadi Luntudulungo dari raja Gorontalo dan Hilibala menjadi Luntudulungo dari istrinya Ratu Moliye dari Limboto.
Menurut cerita, dalam perjalanan pulang itu Moliye berselingkuh dengan Hilibala sehingga hal ini menjadi sebab utama terjadinya kerenggangan hubungan kedua kerajaan tersebut. Polamolo ketika itu berusaha untuk mencari jalan perdamaian. Ia menyalahkan Wulea lo Tibawa Hemuto sebagai pembawa mala-petaka tersebut. Akibatnya beratus-ratus orang Goromtalo dibunuh dan ditawan oleh orang Limboto. Beratus-ratus tengkorang dari orang Gorontalo yang dipotong kepalanya di gunung Huntulobohu masih merupakan saksi dari peristiwa itu.
Kejadian ini membuat polamolo menjadi sedih, sehingga ia memutusakan untuk pergi mengembara (moleyangi). Beserta dengan pengiring-pengiringnya ia melakukan perjalanan ke barat ia kemudian sampai ke sungai buntayoda’a, yang bermuara di teluk tomini dekat kampung kecil marissa dan berlayar terus ke hulu sungai. Suatu ketika ia sedang mandi di sungai itu, terlihatlah olehnya melilit di pinggangnya sehelai rambut yang panjangnya kurang lebih setengah depa. Ia mengambil rambut itu dan menyimpannya. Ketika ia melanjutkan pelayarannya menuju hulu sungai, tampaklah oleh dia dan pengiringnya seorang wanita sedang berlari dan seluruh tubuhnya terselubung oleh rambutnya yang amat panjang. Setelah didekati dan di Tanya bahwa wanita tersebut adalah seorang purti raja Buhu Ponelo bernama Huyahulawa. Polamolo kemudian kawin dengan anak raja itu dan tinggal beberapa lamanya di negri istrinya itu, sampai dipanggil pulang kembali ke gorontalo. Dari perkawinan mereka lahir seorang anak laki-laki yang karma dinilai memiliki sifat-sifat luar biasa diberi nama Limonu atau jilimonu artinya anak yang luar biasa perawakan dan ketampanannya. Baru saja bayi itu dilahirkan, ia segera di bersihkan di sungai pimpine. Di tengah-tengah sungai ini menjulang sebuah batu karang yang berbentuk sebuah gua. Air didalamnya selalu jernih,walau waktu banjir yang paling besar sekalipun, dan bahkan ayam-ayam sabungan yang dimandikan dalam air menjadi tak terkalahkan. Tidaklah mengherankan bahwa pada umur lima tahun limonu sudah terkenal karna ketangkasannya dalam menangkap burung malewo yang dalam jumlah banyak menetas di pantai Marisa. Ia juga dalam segala macam permainan melebihi ketangkasan kawan-kawannya. Kawan-kawannya sering mengolo-olok dengan mengatakan bahwa sifat-sifatnya luar biasa itu dimilikinya karna ia tidak pernah mempunyai seorang ayah. Dengan sedih limonu menanyakan hal itu pada ibunya. Ibunya akhirnya mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di sebuah kerajaan besar yang letaknya di sebelah timur. Limonu kemudian pamit waktu ibunya, ingin berkelana walau pun usianya masih muda belia, karena pada waktu itu ia baru berusia sepuluh tahun.
Setelah mengalami banyak penderitaan dalam pengembaraannya, akhirnya limonu sampai juga di kerajaan gorontalo. Kebiasaan yang berlaku di kerajaan ini adalah bahwa pada setiap petang dilakukan permainan “mosepa” (ketangkasan bermain bola keranjang) di halaman istana, yang melibatkan semua penonton yang terdiri dari pembesar dan ponggawa istana. Limonu kemudian mendekati tempat itu dan berkesempatan memperlihatkan kemahirannya yang luar biasa sehingga membuat kagum semua yang hadir dalam peristiwa tesebut. Karna ketangkasannya itu maka ia dipanggil menghadap raja. Setelah saling mengenal, segeralah tenyata bahwa limonu adalah anak kandung raja sendiri tinggallah ia berdiam di kerajaan itu sebagai anak raja.
Setelah tinggal di kerajaan ayahnya, limonu banyak mendengar tentang perlakuan hemuto terhadap rakyat gorontalo. Di sini ia mendengar keganasan-keganasan hemuto yang membuat gorontalo menderita. Untuk membela rakyatnya akhirnya limonu memutuskan untuk menantang hemuto perang tanding dan berangkatlah ia ke kerajaan limboto dengan bersenjatakan Eluto (keris pendek).
Setibanya di limboto didapatinya pemimpin orang itu sedang berada di kebunnya, mencabuti rumput. Seluruh kebun itu di kelilingi pagar dari kayu nibung yang kuat dan tak berpintu. Dengan sepotong bambu, limonu memukul kayu pagar sehingga mengagetkan hemuto. Hemuto kemudian bertanya, “Hai Siapakah yang berani kurang ajar memukul-mukul pagar rumahku?” kemudian menjawablah limonu, “saya cucumu!”. Hemuto kemudian berkata lagi “Kalau engkau benar cucuku, cobalah masuk ke dalam pagar rumahku yamh tak berpintu ini”.
Limonu kemudian melemparkan sebuah batu ke pagar seberang untuk mengalihkan perhatian hemuto, dan dengan sekali melompat ia sudah berada di dalam lingkungan pagar tak berpintu itu, tanpa disadari oleh hemuto. Menyaksikan hal itu hemuto terperanjat, saat itulah ia sadar bahwa seorang yang luar biasa telah bangkit diantara orang-orang gorontalo. Dengan merendah limonu meminta kepada hemuto untuk mengajarnya silat meskipun dalam perasaan ia bermaksud menjajaki kesaktian hemuto. Dalam permainan ini limonu menggunakan eluto yang dibawanya sebagai senjata dan terjadilah perkelahian seru. Akhirnya dalam perkelahian itu limonu behasil memotong sebagian telinga hemuto. Ketika potonga telinga itu di perlihatkan, hemuto menjadi malu sekali hingga akhirnya melarikan diri ke hutan belantara. Hingga sekarang ini jejaknya tidak diketahui orang, apa yang terjadi atas dirinya dan dimana kuburannya tetaplah masih merupakan misteri yang tak terpecahkan. Kekalahan hemuto sebagai pemimpin balantara limboto atas limonu yang di katakan berasal dari Gorontalo. Selain itu penyebab lainnya (ketiga) juga adalah akibat persaingan yang terjadi antara kedua pemimpin balantara dua negri itu yaitu antara Hilibala dan Hemuto. Menurut kedua cerita kedua wulea ini sekembalinya berperang dari teluk Tomini, saat istirahat mereka membiarkan kerbaunya masing-masing berlaga satu dengan yang lain dengan disaksikan oleh prajurit mereka. Dalam peristiwa laga tersebut kerbau pihak gorontalo menang dua kali dan kerbau Limboto hanya menang satu kali saja. Dengan peristiwa ini akhirnya mereka saling mengejek melemparkan kata-kata bersajak berisi ejekan tantangan pihak-pihak yang kalah, kemudian dibalas pula dengan ejekan bahkan tantangan, bahwa kerbau kan hanya binatang, meskipun ia kalah tapi orang-orangnya belum tentu kalah.
Sebab keempat dan dianggap amatlah berat yang pemicu peperangan kedua belah pihak adalah pembunuh atas raja Polamolo oleh pembesar-pembesar Limboto. Suatu saat raja Polamolo memerintahkan membuat sebuah pondok di Debualolo yang merupakan daerah perbatasan antara Limboto dan Gorontalo. Suatu hari ketika ia sudah menjalankan pemerintahnya selama tujuh hari di Gorontalo, berangkatlah ia menjalankan perintahan di Limboto untuk tujuh hari berikutnya. Tepat saat ia berada di muara sungai Ngango lo Bunggalo di danau Limboto yang sedang tampak olehnya sebuah asap api yang berasal dari tempat orang-orang Limboto yang sedang menebang kayu untuk pembangunan pondok. Karena terkena asap yang hitam dan pekat maka kelihatan kulit mereka menjadi kehitam-hitaman. Polamolo bertanya kepada para Olongia yang mengiringnya “Siapakah orang-orang yang hitam pekat itu?” Pengiringnya berasal dari kerajaan Limboto merasa terhina dengan pertanyaan rajanya itu dan dengan gusar mereka menjawab, “Tidaklah tuanku ketahui bahwa mereka adalah orang-orang Limboto sedang menebang, menyeret dan membakar kayu untuk membangun pondok yang tuan perintahkan dibangun di Dehuaholo”. Mendengar jawaban itu Polamolo tersentak diam. Pengiring-pengiringnya yang terdiri dari para kepala adat menafsirkan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh polamolo itu merupakan suatu penghinaan kepada pondok untuk raja, mengapa dihina seperti itu. Terlebih-lebih para olongia yang berasal dari Dunito dan Hungayo mereka sakit hati mendengar kata-kata itu. Menurut mereka bahwa Limboto negeri dari ibunya dihina sang raja, rakyatnya disebut gelap hitam, sedangkan negeri ayahnya Gorontalo disanjung-sanjung oleh sang raja. Akhirnya Polamolo dibunuh oleh pembesar-pembesar Limboto, kepalanya dikubur di gorontalo dan badannya di Limboto
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun tanpa terasa pertikaian itu telah berlangsung seabad. Ketika itu di Limboto dan Gorontalo telah dikenal adanya pemerintahan dua pihak (dwi-tunggal kerajaan) yang disebut dengan pemerintahan to Huliyalio dan to Tilayo. Seperti misalnya kerajaan Limboto pada waktu itu diperintah oleh dua orang olongia (raja), Olongia to Huliyalo adalah Dulapo dan Olangia to Tilayo yaitu Humonggilu. Masing-masing kerajaan dari tahun ke tahun tetap berusaha menggalang bantuan kepada pihak lain untuk memperkuat kedudukannya. Seperti yang terlihat pada Dulapo, ia mengutus anak laki-lakinya (yang kemudian menggantikannya) Tilahunga ke Ternate meminta bantuan raja Ternate, Ba’abdullah untuk memerangi kerajaan gorontalo. Demikian pula hanya dengan Humonggilu. Hanya berada dengan Dulapo, diketahui ternyata bahwa Olangio to Tilayo lo Limboto ini pernah membantu raja Ba’abdullah dalam suatu perang saudara. Ia kemudian mengawini seorang saudara perempuan raja Ternate itu yang bernama Ju Mu’min. Di Ternate kemudian ia memeluk agama islam dan sekembalinya ke Limboto ia menyebarkan agama itu. Peristiwa tersebut menurut pemberitaan terjadi pada tahun 1562.
Sementara itu di Gorontalo, pemerintahan Dwi-tunggal dipegang oleh Amai sebagai Olongia to Tilayo dan Tuliyabu sebagai Olongia to Huliyalio. Pada salah satu perang penyerbuan ke Teluk Tomini, Amai mengawini seorang anak perempuan raja Kumojolo bernama Owutango, yang dari pihak ibunya adalah keturunan raja-raja Palasa dari Siendeng yang pula bertalian darah erat sekali dengan raja-raja Ternate. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan mereka bernama Matolodula. Matolodula inilah yang selanjutnya menggantikan ayahnya Amai sebagai raja Udik (Olongia to Tilayo). Di bawah pemerintahannya terjadi pengislaman Gorontalo yang juga turut dibantu oleh anggota keluargannya yang berasal dari Ternate.
Dari keterangan di atas tampaklah bahwa kedua kerajaan ternyata sudah memelihara beberapa hubungan dengan Ternate. Diceritakan selanjutnya bahwa rupanya permintaan bantuan Tilahungan, buat sementara waktu belum membawa hasil. Meskipun ternyata diketahui bahwa bantuan itu akhirnya terwujud setelah Tilahunga menggantikan kedudukan ayahnya, Dulapo. Di Gorontalo Matolodupun sudah digantikan oleh anaknya. Pongokiwu sebagai Olongia to Tilayo, sedangkan isteri Matolodula bernama Wulatileni menggantikannya menjadi ratu di kerajaan to Huliyalio lo Hulantalo. Sementara itu untuk kedua kalinnya Limboto berusaha mendapatkan bantuan dari Ternate dalam rangka memerangi kerajaan Gorontalo. Usaha ini berhasil dilakukan melalui Detubiya, anak raja Humonggilo dan Ju’mu’min putri Ternate. Gorontalo akhirnya dapat dikalahkan dan anak perempuan Matolodula dengan Wulatileni bernama Poheleo atau Mboheleo dibawa ke Ternate sebagai tawanan. Putri ini pun akhirnya kawin dengan raja Ju Mangopa dan karna ia mempunyai nama Ternate yaitu Ju Balu. Ketika ibunya Wulatileni mangkat ia pun diizinkan kembali ke Gorontalo menggantikan ibunya sebagai Ratu Hilir (Olongia to Huliyalio). Ketika itu pun ia ditinggal mati suaminya Ju Mangopa.
Sekembalinya ke Gorontalo, Poheleo yang masih sakit hati akibat kekalahan perang melawan Limboto berminat untuk membalas dendam. Ia tidak menghiraukan meskipun merasa mempunyai pertalian darah dengan Ternate. Saat itu ia memutuskan untuk mengirim Hohuhunya (Patih atau Perdana mentri) bernama Bumulo tidak begitu menyukai tugas ini, mengingat ia sudah membuat rencana dengan Khatibida’a (Penghulu Utama) bernama Eyato untuk mengusahakan perdamaian dengan Limboto. Akan tetapi karna Poheleo mengancamnya untuk tidak memberikan persetujuannya mengawini Duhula, cucu Motadula, maka dengan rasa engan dipenuhinya juga perintah tersebut.
Dengan bantuan Gowa, negeri Limboto dikalahkan. Dua anak permpuan dan seorang anak laki-laki dari Limboto, Momiya yang pada waktu itu telah menggantikan ayahnya Tilahunga, ditawan. Kedua anak perempuan itu masing-masing bernama Ntobango dan Tili’aya dibawa ke Gowa dengan dikawal oleh tiga orang Baate, bernama Mopato Langolo, Mopato Hulita, Mopato Taniyo. Sedang laki-lakinya bernama Pomontolo dibawa ke Manguju (Mandar). Mula-mula kedua orang putri Limboto itu menerima perlakuan yang buruk sekali di Gowa. Konon kabarnya akibat perlakuan tersebut negeri Gowa mengalami musim kemarau yang hebat sekali, semua sumur mengalami kekeringan air. Hanya dengan susah payah, dengan menggunakan tali sepanjang seratus depa orang baru dapat menimba air dan hanya mampu mengisi satu ruas bambu penuh, itu pun hanya bisa diperoleh dari sumur didekat raja.
Suatu hari kedua orang putri itu meminta izin untuk mandi di sumur dekat rumah raja itu, sewaktu akan mandi tiba-tiba air sumur naik hingga melimpah-limpah melalui pinggir sumur. Dengan serta merta mereka menyiram air kepada ke badannya dengan sebuah keranjang, dikarenakan orang tidak memberikan merka timba. Ternyata mereka mandi seolah-olah dengan menggunakan timba, air tidak keluar dari keranjang itu. Mukzijat tersebut membuat raja Gowa kagum, kemudian meminta mereka menurunkan hujan, dan betullan ternyata hujan pun turun setelah mereka memohon sambil mengadahkan tangan ke langit. Setelah kejadian itu putri-putri itu selanjutnya diperlakukan dengan hormat. Meskipun demikian setelah lepas dari musibah satu musibah lain pun datang, wabah-wabah lain masih tetap saja menimpa negeri itu. Akhirnya sang raja memutuskan memulangkan saja putri-putri itu ke Limboto. Maka berangkatlah mereka dengan satu kekuatan angkatan laut yang besar dengan tujuan merampas kembali semua barang-barang dan anak buah yang ditawan oleh orang-orang Gorontalo, dan kemudian bermaksud menaklukan Gorontalo dibawah kekuasaan Limboto. Ketika angkatan laut itu sampai di Tolinggula bertemulah mereka dengan utusan-utusan penjemput dari Limboto yang telah memperoleh berita gembira tentang kembalinya Ntobango dari Tili’aya. Di antara para penjemput itu terdapat Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomalo. Disebuah pulau kecil bernama Lihutokalo depan Bolontiyo berhentilah mereka. Disini Popa dan Pomalo berusaha menjalankan misinya, membujuk para pemimpin Gowa tidak bersedia karena merasa belum melaksanakan tugas yang di perintahkan raja mereka.
Sementara itu desas-desus mengenai kedatangan angkatan laut Gowa yang yang besar sudah terdengar di Gorontalo. Hohuhu Bumolu, setelah mendengar desas-desus tersebut menyuruh untuk mengumpulkan dua gantang emas mengirim Khatiibida’a Eyato membawa emas itu mempunyai menemui angkatan laut Gowa dan menbujuk mereka supaya jangan melakukan penyerbuan terhadap kerajaan Gorontalo. Eyato benar-benar berhasi menemui Wulea lo Lipu Pomalo dan Hohuhu Popa, selanjutnya dulohupa pun dilakukan. Dengan tindakan yang bijaksana diperolehlah jaminan dan kesepakatan akan bantuan mereka untuk menciptakan perdamaian di dua negeri yang bersengketa. Mereka menemukan kata sepakat sesudah pemimpin Gorontalo atas jaminan Eyato berjanji akan mengembalikan semua harta rampasan kekerajaan Limboto. Kemudian mereka menjalankan strategi untuk menghalau pasukan angkatan laut Gowa ke Gorontalo. Sambil membagi-bagikan emas kepada karaeng-karaeng Gowa tersebut, Eyato Dengan disaksikan oleh pembesar Limboto menerangkan bahwa Gorontalo akan menaklukan diri pada Limboto. Setelah memperoleh penjelasan tersebut maka akhirnya pasukan angkatan laut Gowa tersebut setuju untuk kembali ke Gowa. Sememtara itu kedua orang puteri Limboto dengan selamat akhirnya kembali ke Limboto didampingi oleh para baate masing-masing. Demikian pula Pomontolo, saudara lelaki mereka berhasil di bebaskan oleh baate Mopatu Taniyo.
Usaha mendamaikan kedua negeri yang bertikai mengalami kemajuan. Hal ini berkat peranan dan strategi yang dijalankan oleh pembesar kedua negeri terutama oleh Khatibida’a Eyato dan Hohuhu Bumulo dari pihak Gorontalo, dan Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomato dari pihak Limboto. Konon perdamaian itu telah jauh-jauh hari sebelumnya mereka rencanakan. Diceritakan suatu ketika Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Polamalo diperintahkan oleh ratu mereka mencari bala bantuan kerajaan Gowa. Akan tetapi dalam perjalanan dicegat oleh Khatibida’a Eyato. Eyato meminta kepada para pembesar Limboto itu untuk tidak tergesa-gesa dan sedapat mungkin memperlambat perjalanan, rupanya dengan maksud mengusahakan perdamaian antara Gorontalo dan Limboto sebelum angkatan laut tiba.akhirnya mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Ketika kembali ke Gorontalo dengan maksud akan menjalankan rencannya membujuk ratu kerajaan tersebut, kehadirannya di tempat itu ditolak. Sebagai Khatibida’a dia tidak berhak berbicara dalam siding pembesar Negara. Akan tetapi dengan kelihainannya akhirnya Eyato berhasil menarik perhatian bahkan meyakinkan kedua pimpinan Gorontalo, Sehingga diizinkan masuk ke Bantayo (ruang sidang)untuk memberikan penjelasan Bumulo, anak dari Hohuhu Hungilo (Buyobudu) saat itu bertindak sebagai perantara. Eyato memeparkan rencananya dalam sidang itu yang pada dasarnya ingin mendamaikan kedua kerajaan Gorontalo dan Limboto. Rencana ini akhirnya mendapatkan persetujuan kedua ratu Gorontalo, Moliye dan Poheleo. Diputusakan juga pada saat itu bahwa Boyubodu demi mendukung kepentingan Bomulo, sekaligus menyerahkan jabatan kepada anaknya itu sebagai Hohuhu Hungilo. Sementara itu Eyato juga menggantikan pamannya Patilama sebagai
Hohuhu Lupoyo, dengan tujuan kedua orang tua muda itu bisa bekerja sama untuk dan atas nama kerajaan Gorontalo melaksanakan rencana mereka. Eyato berlayar menyusul Hohuhu Popa dan akhirnya mencapai kata sepakat.
Untuk mewujudkan perdamaian sebagai mana yang telah disepakati atas maka para pembesar Limboto dengan di antar oleh Eyato selanjutnya selanjutnya secara bersama-sama mengdakan perjalanan ke Gorontalo. Pusat kerajaan Gorontalo ketika itu terletak Lupoyo seorang diantara orang Limboto Palingga sambil berdiri diatas perahunya berseru sambil mengumandangkan tuja’I sebagai berikut :
Tomupa loli Dotula Orang turun dari perahu disungai (Lupoyo)
Mai mohibintua Datang bertanya-tanya
Malongongolipua Sudah bersama-sama satu negeri
Ode hinteyalihua Menuju saudara seibu
Konon kabarnya selama tiga hari berturut-turut tuja’I ini di ulangi tiga kali dalamm sehari. Setelah menerima pesan ini pembesar-pembesar Gorontalo kemudian untuk mencari seorang yang bergelar Lebidi’a, satu-satunya orang yang dianggap mengerti makna tuju’i tersebut. Akan tetapi barulah pada hari ketiga orang yang dicari tersebut muncul. Sambil berdiri di bawah sebatang pohon tintilo ditepi danau dekat Pentadio sekarang ini, Lebida’a membalas tuja’i tersebut dengan kata-kata sebagai berikut :
Tupalai to dutula Silahkan masuk ke sungai
Mahipo bintua-bintua Sedang bertanya-tanya
Odeo hintea lihua Bagaikan barang yang dimandikan
Tilola lulu’ubuwa Ditinggalkan cucu perempuan
Wolo du’alo yiluwa Dengan do’a-do’a selamanya
Lipunto biye lahuwa Negeri yang kita nyanyikan (idamkan)
Molinggadu lo dutuwa Terletak berdampingan
Ma tomoliyatuwa Sudah hendak bersatu badan
Modame moponuwa Berdamai berkasih-kasihan.
Sesudah memperoleh jawaban yang menyenangkan hati, dua kerajaan yang telah lama berseteru itu, akhirnya saling merapatkan barisan armadanya. Ketika di hadapan keduanya seraya berkata : “Sikarayi kalili huwangga lo olongia lo Hulanto to hilawo moputi” (Senjata dari karaeng yang terpilih kepunyaan raja Gorontalo pada hati yang putih). Maksudnya adalah agar keris (Huwangga) ini diberikan kepada raja Gorontalo sebagai bukti kehendak hati yang ingin berdamai. Selanjutnya Hohuhu Popa dengan cara yang sama menghadap ratu Limboto, Momiyo dan Ntihedu (putrid Detubiya) mencabut kerisnya dan meletakannya dihadapan mereka seraya berkata : “Sikarayi kalili huwanga lo olongia lo Limutu tide alinaya” (senjata dari karaeng yang terpilih, kepercayaan raja Limboto tidak menganiyaya) yang juga maksudnya kurang lebih sama dengan pernyataan sebelumnya.
Sejak dilakukan ikrar bersama di sungai Lupoyo itu maka usaha untuk menggalang perdamaian secara menyeluruh pun dilakukan, yang antara lain diwujudkan dengan cara saling mengunjungi antara pembesar kedua negeri yang berttikai. Akhirnya diputuskan unutk merundingkan secara lebih jauh hasilnya melalui perjanjian yang disepakati bersama di atas sumpah. Ketika akan melakukan perjanjian tersebut Ratu to Huliyalio tolo Limboto, Momiyo telah digantikan oleh putranya Pomontolo, yang selanjutnya berangkat ke Gorontalo untuk berunding (lo duudula) dengan pembesar Gorontalo. Ia didampingi oleh Hohuhu Popa, Wulea lo Lipu Pomalo serta pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Sesampainya di Lupoyo (Gorontalo) mereka menyampaikan salam melalui tuja’i sebagai berikut :
Baate-baate Loti’alo Baate-baate sudah berpindah Haluan
Lo Limutu Hulontalo Dari Limboto Gorontalo
Wuudionto dulalo Kehormatan dibawa bersama
Wameti tayuyuwalo Terimalah dan angkatlah
Tuja’i ini dibalas oleh bate-bate Gorontalo :
Baate-baate lo ti’alo Baate-baate sudah berpindah haluan
Wuudionto dilelo Kehormatan dibawa bersama
Wametalo talaalo Terimalah dan jagalah
Tayuyuwo lo dudulalo Terimalah, angkatlah berdampingan
Bangango lolahepo Terangilah segalanya
Kemudian raja Pomontolo turun dari perahunya mengambil tempat duduk di atas babulowangga (tandu) dan berangkatlah dengan pengiring-pengeringnya ke tempat kediaman raja to Huliyalio Bumulo yang sementara itu sudah menggantikan Poheleo. Sesudah pembesar-pembesar kedua kerajaan itu mengambil tempat duduk masing-masing, bersama-sama mereka mengucapkan tuja’i yang berikut :
Hibulo’a hidulitu Duduk teratur
Mopayu wu’udu lipu Berlaku kehormatan negeri
Mojanji bidu motipu Berjanji tidak ada lagi putus ujungnya
Hidulitu hihulo’a Beraturan duduk
Dunggolo de mobu’a Mudah-mudahan tidak bercerai
Tujuh hari lamanya Pomontolo dengan pengiring-pengiringnya berada di Gorontalo untuk merundingkan isi persekutuan antara kedua kerajaan, setelah itu barulah ia pulang ke Limboto. Sementara itu berangkatlah pula raja to Tilayo lo Hulontalo Eyato yang sementara itu telah menggantikan isterinya untuk mengadakan kunjungan balasan ke Limboto beserta pengiring-pengiringnya di antaranya Hohuhu Male dan Wulea to Lipu Uwabu.
Sesampainya di Lintalo, yang merupakan pusat kedudukan kerajaan Limboto waktu itu mereka mengucapkan tuja’i maksudnya kurang lebih sama dengan tuja’i di atas. Selesai acara membalas tuja’i oleh para Baate kedua kerajaan tersebut, Raja Eyato kemudian turun dari perahunya, diambilnya tempat duduk di dalam Babulowangga yang disediakan dan selanjutnya menuju ke tempat kediaman raja to Tilayo lo Limboto (Ilato) yang juga telah menggantikan ibunya Ntihedu, ketika masuk ke dalam istana dan dipersilahkan duduk berdampingan dengan raja Limboto, dengan penuh keakraban mereka mendengarkan tuja’i-tuja’i dan kata-kata sanjungan yang disampaikan oleh baate-baate kedua negeri.
Sama halnya dengan Pomontolo ketika berada di Limboto, raja Eyato pun beserta pengiring-pengiringnya merundingkan perdamaian dengan para pembesar Limboto selama tujuh hari lamanya. Akhirnya saat itu telah dapat dicapai kesepakatan damai, yang dirayakan dengan kenduri diiringi hidangan lemak kerbau dan saling bersumpah. Adapun perjanjian kedua negeri tersebut kurang lebih seperti berikut:
Pertama, kedua kerajaan tidak akan melakukan tindakan kekerasan yang satu terhadap lainya, pelanggaran terhadap ketentuan ini adalah merupakan kutukan yang akan ditimpakan kepada pembesar dan seisi negeri. Kedua, mereka tidak akan saling melemparkan fitnah (fitnah-memfitnah) orang, dan bagi yang akan melakukan ini dan ingin menimbulkan perpecahan antara kedua kerajaan juga akan ditimpa kutukan. Ketiga, bukan saja masing-masing pihak dilarang melakukan perbuatan tercela kepada yang lain, akan tetapi juga terhadap kerajaan-kerajaan yang lain, ataupun orang-orang lain yang bukan penduduk Limboto dan Gorontalo. Tidak akan dimulai sesuatu tindakan, sebelum diadakan perundingan bersama terlebih dahulu. Keempat, kesulitan di masing-masing kerajaan tidak boleh diselesaikan sendiri. Dalam hal kesulitan di Limboto pembesar-pembesar Gorontalo akan ikut merundingkannya dan mencari penyelesaiannya, demikian pula sebaliknya. Kelima, dalam acara-acara persidangan yang dilakukan oleh sesuatu negeri harus mengikutsertakan pembesar dari kerajaan lain, mulai dari Raja, Jogugu, Kapitan Laut, Hakim atau salah seorang dari Wulea Lo Lipu. Jika dalam perkara diputuskan denda maka negeri penyelenggara pengadilan hanya mengambil sepertiga bagian dari denda tersebut, sedang dua pertiga bagian dari denda itu diberikan kepada negeri tamu. Keenam, rencana-rencana besar seperti pembangunan sebuah kota baru, dikerjakan dengan bantu-membantu. Ketujuh, utusan kerajaan lain tidak pernah diterima sendiri-sendiri, akan tetapi selalu oleh pembesar kedua kerajaan secara bersama-sama. Kedelapan, kalau ada anak buah Limboto yang memberontak maka mula-mula Limboto akan berusaha sendiri untuk menundukkan mereka. Kalau usaha ini tidak berhasil maka Limboto dan Gorontalo akan maju bersama-sama, demikian pula sebaliknya. Jika barang rampasan dikembalikan kepada negeri yang ditaklukkan pengembalian itu haruslah dilakukan bersama-sama oleh Limboto dan Gorontalo. Kesembilan, kedua kerajaan sepakat untuk meminta upeti dari rakyatnya masing-masing atau penduduk daerah taklukkannya yang tidak terlampaui haknya. Kalau seseorang yang diperintahkan untuk memungut upeti, meskipun ia raja sendiri, anak raja yang ditaklukkan membayar upeti maka Negara yang dimintai bantuan harus mendapatkan dua per tiga. Apabila terdapat Wulea lo lipu atau pembesar-pembesar menagih terlalu banyak atau terlalu sedikit maka ia akan didenda oleh suatu pengadilan bersama. Kesepuluh, penduduk di Teluk Tomini yang takluk kepada kedua kerajaan diambil dengan ketetapan bahwa batas pengaruh lingkungan masing-masing adalah Kepulauan Sausu-Masabuku dan Tamalate, masuk dalam lingkungan Gorontalo, sedangkan kepulauan Togian dan Nyuala termasuk dalam kerajaan Limboto.
BIONGA BERASAL DARI DASAR KATA DALAM BAHASA GORONTALO YAKNI BIBIONGA YANG ARTINYA MELAKUKAN SUATU HUBUNGAN DALAM HAL INI SUAMI ISTRI NAMUN TIDAK MELALUI PROSES ADAT MAUPUN AGAMA.
DAERAH INI PADA AWALNYA MERUPAKAN WILAYAH YANG TIDAK BERPENGHUNI, SELAMA BERTAHUN-TAHUN, WILAYAH BIONGA SEBELUM DI DATANGI OLEH PENDUDUK YAKNI DITUTUPI OLEH HUTAN BELANTARA YANG BANYAK DITUTUPI OLEH POHON-POHON BESAR. SAMPAI AKHIRNYA SUATU SAAT MUNCUL SEORANG PENGEMBARA YANG DIKEJAR-KEJAR DAN AKAN DIBUNUH OLEH SUATU SUKU YANG BERNAMA SUKU MINDANAO ( MANGGINANO ). PRIA YANG DIKEJAR-KEJAR OLEH SUKU MINDANAO INI LARI MENCARI TEMPAT PERSEMBUNYIAN, YANG PADA AKHIRNYA DIA BERHASIL SEMBUNYI DI HUTAN. PRIA INI MUNCUL SEAKAN-AKAN BEGITU SAJA TANPA DIKETAHUI SEBAB MUJSABABNYA SEHINGGA DIA DIJULUKI LUMOTO. LUMOTO SELAMA BERTAHUN-TAHUN HIDUP DITEMPAT PERSEMBUNYIANNYA, SAMPAI PADA AKHIRNYA SI LUMOTO TURUN DENGAN NIAT HENDAK MANDI DISUMUR LIMBOTO. DAN PADA SAAT DIA MENUJU TEMPAT PEMANDIAN ( SUMUR ) DIA MELIHAT BIDADARI YANG SEDANG MANDI DISUMUR YANG BERNAMA POLIMAMUTA ( YANG BERARTI TEMPAT UNTUK MENCUCI MUKA ) SAMPAI SAAT INI SUMUR ITU MASIH ADA.
MELIHAT BIDADARI YANG SEDANG MANDI LUMOTO BERNIAT UNTUK MENGAMBIL PAKAIAN DARI SEORANG BIDADARI TERSEBUT DAN SELANJUTNYA LUMOTO MENGAMBILNYA YAITU BAGIAN SAYAPNYA. SETELAH MANDI BIDADARI-BIDADARI TERSEBUT HENDAK PULANG DAN MENGAMBIL BAJU MEREKA, NAMUN BETAPA TERKEJUTNYA SEORANG DIANTARA BIDADARI TERSEBUT SETELAH MENDAPATI BAJUNYA SUDAH TIDAK ADA, KARENA BAJU DARI SALAH SEORANG BIDADARI INI TIDAK ADA MAKA SAUDARANYA YANG LAIN MEMBANTU UNTUK MENCARI BAJU. NAMUN KARENA HARI SUDAH PETANG MAKA SAUDARA-SAUDARA BIDADARI ITU PULANG KEMBALI KE KAYANGAN. KARENA MELIHAT SANG BIDADARI YANG SEDANG MENANGIS SEBAB SUDAH PETANG DAN SEBENTAR LAGI LANGIT AKAN GELAP KEMUDIAN SI LUMOTO MUNCUL HENDAK MENOLONG SANG BIDADARI, DAN PADA AKHIRNYA LUMOTO MEMBAWA PULANG BIDADARI TERSEBUT KE PONDOK TEMPAT PERSEMBUNYIANNYA ( YILOWALE ). KEMUDIAN SANG BIDADARI TADI OLEH LUMOTO DIBERI NAMA MBUI BUNGALE DIBERI NAMA DEMIKIAN KARENA SETIAP TEMPAT YANG DILEWATI OLEH SANG BIDADARI AKAN TERCIUM AROMA BUNGA YANG HARUM. SELANG BEBERAPA LAMA TINGGAL BERSAMA LUMOTO SANG BIDADARI ( MBUI BUNGALE ) KAWIN DENGAN SI LUMOTO TANPA MELALUI PROSES ADAT ATAU AGAMA YANG OLEH MASYARAKAT SEKITAR DIKENAL DENGAN NAMA LO BIBIYONGA. DARI SINILAH ASAL NAMA DAERAH BIYONGA.
DENGAN RINTISAN LUMOTO DAN MBUI BUNGALE LAMA KELAMAAN, DAERAH INI SUDAH MULAI DIDATANGI OLEH MASYARAKAT YANG BERASAL DARI DAERAH SEKITAR MISALNYA YANG BERASAL DARI DAERAH TAPA, SUWAWA, KABILA DAN LAIN-LAIN MASYARAKAT TERSEBUT BERDATANGAN KETEMPAT ITU KARENA MELIHAT POTENSI WILAYAH INI SANGAT BAIK UNTUK DAERAH PERTANIAN. TANAHNYA SANGAT BAGUS UNTUK DIJADIKAN TEMPAT BERCOCOK TANAM. KARENA PENDUDUK SUDAH BANYAK MAKA DAERAH INI INGIN MEMBENTUK PEMERINTAHAN TERSENDIRI. DAN TERBENTUKLAH PEMERINTAHAN ITU MENJADI SUATU DESA YANG DIKENAL DENGAN NAMA DESA BIYONGA. DESA BIYONGA INI TERUS MENGALAMI PERKEMBANGAN KARENA DITUNJANG OLEH HASIL-HASIL PERKEBUNAN, PETERNAKAN DAN LAIN-LAIN. SEHINGGA PENDAPATAN MASYARAKAT MENJADI TINGGI DAN BERADA DIATAS RATA-RATA PENDAPATAN MASYARAKAT DIDESA SEKITARNYA, SEHINGGA SUDAH SEWAJARNYA APABILA DESA BIYONGA INI NAIK TINGKATANNYA MENJADI DESA SWADAYA, YAITU DESA YANG SUDAH BISA MENGATUR KEBUTUHAN HIDUP MASYARAKATNYA SECARA MANDIRI TANPA HARUS BERGANTUNG DARI KECAMATAN ATAU KABUPATEN. BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN DESA BIYONGA DIRUBAH MENJADI KELURAHAN BIYONGA SAMPAI SAAT INI KELURAHAN BIYONGA MASIH TETAP EXIST.
2. SEJARAH KELURAHAN KAYUBULAN
Awal mula berdirinya Ayuhulalo (Kayubulan) yaitu Pada tahun 1788 berawal dari tumbuhnya sehamparan Pohon Yang Batang dan Daunya berwarna kuning yang tumbuh di Parasamya yang sekarang sudah menjadi taman menara Keangungan Limboto. Melihat banyaknya pohon yang tumbuh tersebut masyakat belum mengetahui nama dan jenis dari pohon itu. Masyarakat melihat warna dari pohon seperti warna bulan sehingga masyarakat sekitar mengatakan bahwa pohon tersebut adalah AYUHULALO artinya kayu yang berwarna kuning seperti bulan. Namun pada tahun tersebut Ayuhulalo pemerintahannya masih bersifat adat sekitar 140 Tahun.
Dan Kelurahan Kayubulan terbentuk / lahir sejak tahun 1928 yang pada saat itu masih berstatus desa hingga tahun 1974 dengan berkembangnya dunia pemerintahan status desa berubah menjadi kelurahan pada tahun 1974 hingga sekarang.
3. SEJARAH KELURAHAN BULOTA
Kelurahan Bulota sebelumnya adalah Desa yang dibentuk pada tahun 1800 sampai dengan tahun 1825 yang dipimpin oleh seorang kepala Desa yang bernama TALOWO OLII, yang kemudian dialihkan statusnya menjadi kelurahan pada bulan Januari 1982 sampai dengan sekarang.
Tahun 1982; Pada masa ini aktifitas masyarakat Kelurahan mulai mengalami perkembangan yang pesat. System pemerintahan berjalan dengan sangat baik dan terus mengalami pergantian kepala Kelurahan dari setiap periode jabatan. Sarana dan prasarana Kelurahan sudah permanen. Di kelurahan ini sudah banyak juga diberikan bantuan program baik dari pemerintah pusat dan kabupaten yang pada waktu itu masih di propinsi Sulawesi utara pada tahun ini juga kelurahan mengalami bencana alam seperti gempa bumi dengan kekuatan skala righter dan tidak menelan korban
Tahun 2006; Pada masa ini kelurahan bulota mendapat musibah penyakit diare yang diakibatkan oleh banjir. Penderita berjumlah 12 orang dan 1 orang meninggal dunia. Seiring dengan berjalannya waktu pun mulai banyak program dan bantuan datang ke kelurahan ini. Seperti halnya penanggulanan banjir dan pembuatan drainese, MCK serta pembangunan jalan terus berlangsung juga mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten yakni program pengembangan kecamatan (PPK)
Tahun 2007; pada tahun ini kelurahan bulota mendapatkan bantuan langsung berupa pembangunan MCK dan rumah layak huni dari P2KP khususnya bagi masyarakat yang ekonomi lemah.
Tahun 2008 ; tahun ini kelurahan kembali mendapat perhatian dari pemerintah dengan program bantuan pembangunan pendidikan anak usia dini
Tahun 2009 ; tahun ini pemerintah kembali memberikan bantuan PUAP dari dinas pertanian untuk para petani sebagai penambah modal usaha di bidang pertanian sehingga mengurangi beban para petani itu sendiri.
Sejarah berdirinya Kelurahan Bulota dari tahun 1800 dengan susunan Kepala Desa yang pernah menjabat selama rentan waktu sebagai berikut :
Tahun 1800 s/d tahun 1825 : Kepala Desa Talowo Olii
Tahun 1825 s/d tahun 1857 : Kepala Desa Bobihu Madalahula
Tahun 1857 s/d tahun 1866 : Kepala Desa Pulu Kamali
Tahun 1866 s/d tahun 1896 : Kepala Desa Bakoka Taniyo
Tahun 1896 s/d tahun 1939 : Kepala Desa Walangadi Hilimi
Tahun 1939 s/d tahun 1951 : Kepala Desa Lihawa Botutihe
Tahun 1951 s/d tahun 1972 : Kepala Desa Saleh Aliwu
Tahun 1972 s/d tahun 1980 : Kepala Desa Husain L. Botutihe
Tahun 1980 s/d tahun 1981 : Kepala Kelurahan Husain P. Usman
Tahun 1981 s/d tahun 1987 : Kepala Kelurahan Harun K. Lumula
Tahun 1987 s/d tahun 1990 : Kepala Kelurahan Danial Halid
Tahun 1990 s/d tahun 1990 : Kepala Kelurahan Dani Wuso
Tahun 1990 s/d tahun 1991 : Kepala Kelurahan Abd. Rahman Nuna
Tahun 1991 s/d tahun 1994 : Kepala Kelurahan Harun Dj. Rahim
Tahun 1994 s/d tahun 1995 : Kepala Kelurahan Amin Rahmola
Tahun 1995 s/d tahun 2000 : Kepala Kelurahan Dani Wuso
Tahun 2000 s/d tahun 2001 : Kepala Kelurahan Kadir Suleman
Tahun 2001 s/d tahun 2002 : Kepala Kelurahan Danial Sude
Tahun 2002 s/d tahun 2003 : Kepala Kelurahan Djafar Bangga
Tahun 2003 s/d tahun 2005 : Kepala Kelurahan Djafar S. Aliwu
Tahun 2005 s/d tahun 2007 : Kepala Kelurahan Abd. Rahman Demolingo
Tahun 2007 s/d tahun 2008 : Kepala Kelurahan Halid Ibrahim
Tahun 2008 s/d tahun 2010 : Kepala Kelurahan Mohamad Jufri Damima SSTP
Tahun 2010 s/d tahun 2012 : Kepala Kelurahan Muhamad Rizal Botutihe, SSTP
Tahun 2012 s/d tahun 2014 : Kepala Kelurahan Muchtar Potutu. S.Ag
Tahun 2014 s/d tahun 2018 : Kepala Kelurahan Sudarmadji Hasan
Tahun 2018 s/d sekarang : Kepala Kelurahan Muh. Eka Putra M. Olii, S.STP
LETAK GEOGRAFIS
BATAS DESA
UTARA : Kelurahan Malahu
TIMUR : Desa Talumelito
SELATAN : Kelurahan Dutulanaa
BARAT : Kelurahan Biyonga
LINGKUNGAN
Lingkungan Tapamohengu (Lingkungan I),
Lingkungan Patala (Lingkungan II),
Lingkungan Manggulipa (Lingkungan III),
Limgkungan Dunggala (Lingkungan IV),
Lingkungan Polahua (Lingkungan V),
4. Sejarah Kelurahan Dutulanaa
Filosofi Sejarah adalah untuk mempertahankan dan mengenang atau mengingat kembali suatu kejadian atau keadaan masa yang lalu, yang memiliki nilai-nilai yang sangat sakral yang menjadi dasar untuk berpijak bagi penerus sejarah itu sendiri.
DUTULANAA adalah gabungan dua kata yang mempunyai arti yaitu :
- Dutula yang berarti Sungai
- Naa yang berarti Nama Seorang Olongia Bionga pada saat itu, Olongia itu sendiri adalah sebutan pada Seorang Kepala Kelurahan pada jaman dulu.
Dulu sebelum menjadi Kelurahan, Dutulanaa adalah bentangan aliran sungai yang sangat besar. Oleh Olongia Bionga menyarankan agar aliran sungai tersebut di alihkan ketempat lain, supaya akan ada lahan datar yang luas, yang bisa dijadikan sebuah perkampungan dan bisa menjadi tempat tinggal oleh masyarakat setempat.
Saran tersebeut disampaikan kepada Hutuomonu, yang selanjutnya disampaikan kepada Teman-temannya. Dengan jumlah yang sangat sedikit dan alat seadanya,mereka bersama-sama bahu-membahu melaksanakan saran Olongia Bionga tersebut. Sehingga dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu lama apa yang disarankan oleh Olongia Bionga terlaksana, dan bekas aliran sungai tersebut menjadi sebuah dataran dan dikenal dengan sebutan Dutula Mohengu yang ada di Kelurahan Bulota. Masyarakat pun mulai menempati serta membangun tempat tinggal seadanya ditempat itu.
Seiring dengan perkembangan jaman, pendudukpun kian bertambah, maka pada tahun 1660 Resmi menjadi satu Desa yang namanya seperti apa yang kita ketahui saat ini yakni Dutulanaa atau menjadi Desa Dutulanaa. Adapun yang menjadi Kepala Desa pada saat itu adalah orang yang dianggap mampu oleh masyarakat, dan atas pilihan dari masyarakat tersebut terpilihlah Bapak Hedingo (Alm.) dan oleh Beliau Desa Dutulanaa dibagi menjadi Tiga Dusun yaitu :
1. Dusun Butato atau Butatoa
Butato yang berarti tempat melintasnya Olongia menuju danau untuk mencari ikan.
2. Dusun Linggotu atau Hilonggo-linggotua
Linggotu yang berarti Jalan yang berlubang-lubang.
3. Dusun Tolite
Tolite yang berarti sebuah pohon besar yang dijadikan tempat berteduh oleh Olongia saat beliau mencari ikan di Danau Limboto.
Pada tanggal 1 Januari 1981 dengan adanya Peraturan Pemerintah maka Desa Dutulanaa resmi menjadi satu Kelurahan yaitu Kelurahan Dutulanaa dimana yang menjabat Kepala Kelurahan yang pertama kali yaitu Bapak Harun Dj. Rahim (Alm.), dan 3 dusun tersebut menjadi Lingkungan dengah tetap memakai nama sebelumnya.
Akhir sejarah kami cantumkan nama-nama yang menjabat kepala Desa dan Kelurahan dari pertama terbentuk pada tahun 1660 sampai dengan tahun 2014
1. Bapak Alm. Hedingo memerintah dari Tahun 1660 – 1709
2. Bapak Alm. Garai Naue memerintah dari Tahun 1709 – 1775
3. Bapak Alm. Djiba memerintah dari Tahun 1775 – 1835
4. Bapak Alm. Hasan Djafar memerintah dari Tahun 1835 – 1841
5. Bapak Alm. Ub. Amara memerintah dari Tahun 1841 – 1890
6. Bapak Alm. Nani Bula memerintah dari Tahun 1890 – 1904
7. Bapak Alm. Huntu Rahmola memerintah dari Tahun 1904 – 1935
8. Bapak Alm. Rahim Kadir memerintah dari Tahun 1935 – 1950
9. Bapak Alm. Notu Badu memerintah dari Tahun 1950 – 1952
10. Bapak Yantu Badu memerintah dari Tahun 1952 – 1974
11. Bapak Alm. Harun Dj. Rahim memerintah dari Tahun 1974 – 1982
12. Bapak Daud Rahim memerintah dari Tahun 1982 – 1984
13. Bapak Alm. Rudin Kau memerintah dari Tahun 1984 – 1990
14. Bapak Alm. Danial Halid memerintah dari Tahun 1990 – 1994
15. Bapak Kisman Pakaya memerintah dari Tahun 1994 – 1999
16. Ibu Anitje Usman memerintah dari Tahun 1999 – 2004
17. Bapak Romi H. Ali memerintah dari Tahun 2004 – 2009
18. Bapak Abd. Zakir Neo S.STP memerintah dari Tahun 2009 – 2010
19. Bapak Chandra Wijaya Tangahu S.STP memerintah dari Tahun 2010 -2014
20. Bapak Muh. Eka Putra Olii, S.STP memerintah dari Tahun 2014-2016
21. Bapak Moh.Putra Iqro, S.STP,M.SI memerintah dari Tahun 2016-2018
22. Bapak Djefriyanto Nusi,S.STP,M.SI memerintah dari Tahun 2018- Agustus 2019
23. Ibu Karlina Tombokan, S.IP memerintah dari Bulan Agustus 2019 Sampai dengan sekarang.
5. Sejarah Kelurahan Hepuhulawa
Nama Hepuhulawa terbagi dua yaitu Hepu yang artinya adalah, Tumbuhan sejenis tebu yang ditemukan di kawasan ini, dan Hulawa yang artinya adalah emas, sehingga akhirnya nama itu disatukan sehingga melahirkan nama satu kampung yaitu Hepuhulawa.
Kelurahan Hepuhulawa Kecamatan Limboto terbentuk / lahir sejak tahun 1926 yang pada saat itu masih berstatus desa hingga tahun 1974 dengan berkembangnya dunia pemerintahan status desa berubah menjadi kelurahan pada tahun 1974 hingga sekarang.
Dari perjalanan keberadaan kelurahan Hepuhulawa sampai dengan sekarang yang menjadi barometer desa dan kelurahan se Kabupaten Gorontalo telah dijabat kurang lebih 16 kepala Desa / Kelurahan sebagaimana terlampir.
Kelurahan Hepuhulawa terdiri dari 4 lingkungan dengan luas wilayah 400,2 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Biyonga
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Dutulanaa dan Bulota
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Danau Limboto
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Kayubulan
Jumlah penduduk Kelurahan Hepuhulawa Tahun 2014 berjumlah 5266 jiwa yang terdiri dari laki-laki 2585 jiwa dan perempuan 2681 jumlah KK : sejumlah 1340 KK tersebut terdapat KK Miskin sejumlah 124 KK yang terdiri dari penerima raskin.
Saat ini Kelurahan Hepuhulawa Kecamatan Limboto telah menjadi pusat Pemerintahan, Perekonomian, Pariwisata, Pertanian, Perikanan dan Peternakan bahkan sekarang ini telah bermunculan industry-industri rumah tangga yang menjadi perhatian masyarakat Kabupaten Gorontalo bahkan telah dikunjungi dari Provinsi-Provinsi dan Kecamatan Tetangga.
6. Sejarah Kelurahan Hutuo
Diperkirakan pada tahun 1830 ada sekolompok masyarakat dari Kerajaan Suwawa yang melintas ke barat Daerah Hulontalangi, setelah melewati beberapa tempat dan tibalah di tempat ini mereka singgah dan mereka tertarik dengan genangan-genangan air yang ada. Kemudian mereka sepakat untuk tinggal beberapa waktu di tempat ini untuk meneliti genangan air tersebut. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan sejenis ikan dan ikan tersebut dinakan ikan Hutuo. Setelah mereka menemukan dan memberi nama ikan tersebut kemudian mereka berjalan ke utara mencari alat untuk memancing dan mereka menemukan alat tersebut dan mereka namakan Wangea. Setelah itu mereka menyusuri wilayah tersebut mereka menemukan rumput ilalang dalam bahasa Gorontalo padengo yang luas sehingga mereka namakan Padedaa. Setelah mereka mengelilingi tempat ini mereka menemukan sumur besar dan mereka namakan Alidaa. Setelah mereka mengelilingi tempat ini mereka mendirikan Pos atau rumah penjagaan yang mereka namaka Rumah Jaga setelah itu mereka mereka juga mengelilingi wilayah bagian selatan dan mereka menemukan pasir yang mengeluarkan air lalu mereka namakan Butu Hungayo. Kemudian mereka melanjutkan penelitian dan mereka menemukan seseorang yang bernama Olidatu dan setelah itu mereka menutup penelitian mereka dan menetapkan batas yang mereka namakan Dehuwalolo. Maka dari sekolompok masyarakat Kerajaan Suwawa mengahiri penelitian mereka dan kemudian sebahagian dari mereka melanjutkan perjalanan dan sebahagian tinggal menetap disini dan mereka yang tinggal membentuk Pemerintahan yang dinamakan Kampung Hutuo yang dimulai dari kepala Desa yang bernama Amara. Dari nama-nama yang mereka temukan telah disepakati unntuk dijadikan nama-nama lingnkungan dengan urutan sebagai berikut :
1. Lingkungan I Rumah Jaga
2. Lingkungan II Padedaa
3. Lingkungan III Wangea
4. Lingkungan IV Alidaa
5. Lingkungan V Butuhungayo
6. Lingkungan VI Olidatu
7. Lingkungan VII Dehuwalolo.
Dan adapun susunan kepala desa sejak berdirinya kampung Hutuo sampai dengan sekarang adalah :
NO
NAMA
TAHUN MENJABAT
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
AMARA
PAILIYA
PAYUHU
NAUE
OTTO
IBR. KALUKU
D. TANTU
K. POMALINGO
K. LAIYA
G. NAUE
BIKI
Y. NAUE
A. KALEYA
SUDE KAU
NZAM BUNGA
ISHAK MANTULI
KISMAN PAKAYA
SUKIMAN KAU
CHANDRA PUTRA, S.STP
RIA CITRAWATI SUAIB, S.STP, M.SI
FITRIYATI PKAYA, ST
PUTRA MOH. IQROK, S.STP
HAJARAH TALUPE, S.PD
1892 – 1895
1895 – 1899
1899 – 1903
1903 – 1909
1909 – 1912
1912 – 1916
1916 – 1918
1918 – 1928
1928 – 1932
1932 – 1948
1948 – 1949
1949 – 1950
1950 – 1973
1973 – 1994
1994 – 1996
1996 – 1999
1999 – 2008
2008 – 2009
2009 – 2013
2013- 2016
2016 – 2017
2017 – 2019
2019 - sekarang
7. Sejarah Kelurahan Kayumerah
Nama Desa Kayumerah berasal dari Bahasa Daerah Gorontalo yakni AYU - MELA. Dimana pada zaman
dahulu bahwa Masyarakat sering melihat sebatang pohon kayu yang sangat besar dan sering mengeluarkan cahaya
berwarna merah yang menyala seperti api. Sehingga dibuatlah kesepakatan untuk memberikan nama desa AYU -
MELA atau dalam bahsa indonesia KAYUMERAH.
Adapun Pemerintah yang menjabat sebagai Kepala desa masing-masing :
1. N. DUNGGI dari Tahun 1940 – 1953
2. T. L. KAABA dari Tahun 1953 – 1964
3. DJAMADI MAHMUD dari Tahun 1964 – 1975
4. HARUN PARAMATA dari Tahun 1975 – 1990
5. MANSUR WALANGADI dari Tahun 1990 – 2001
6. RUSTAM E.A. CAMARU dari Tahun 2001 – 2002
7. ROSITA YUNUS dari tahun 2002 – 2003
8. HERI DAUD dari tahun 2003 – 2004
9. NURDIN POLAMOLO dari tahun 2004 – 2005
10. YUDAN PULUHULAWA dari tahun 2005 – 2009
11. SUDARMADJI HASAN dari Tahun 2009 – 2010
12. FIRDA HINTA dari Tahun 2010 - 2013
13. ZAINAL SALEH dari Tahun 2013 – 2014
14. NURHAYATI MODJO USMAN dari Tahun 2014 – 2017
15. HERSON M. HASAN Tahun 2017 – 2019
16. ISWAN ABDUL HASAN Tahun 2020
Wilayah Kelurahan Kayumerah memiliki Luas Tanah 744 Ha. Dengan batas – batas sebagai berikut :
Utara berbatasan dengan Kelurahan Bongohulawa
Selatan berbatasan dengan Kelurahan Hunggaluwa
Barat berbatasan dengan Desa Pone Kecamatan Limboto Barat
Timur berbatasan dengan sungai Huludu Pitango
8. Sejarah Kelurahan Polohungo
Wilayah Polohungo sebelum dihuni oleh masyarakat merupakan wilayah hutan yang didalamnya terdapat pohon – pohon besar . pada tahun 1838 hiduplah dua orang pengembara bernama Dula dan Dani yang berasal dari Tapa dalam perjalanan mereka melewati wilayah Telaga sehingga mereka sampai diwilayah limboto tepatnya disungai yang kering yang bernama Tapamohengu dan mereka sampai disungai yang besar bernama Tapadaa yaitu terletak diwilayah polohungo. Dari sekelompok masyarakat diwilayah pengunungan tersebut terdapat hamparan tanaman polohungo kemudian pada saat itu masyarakat belum memiliki nama wilayah maka diberi nama polohungo dan mata pencaharian masyarakat yang terletak dipegunungan yaitu bercocok tanam, masyarakat dipegunungan sering berpindah – pindah tempat atau tidak menetap ditempat maka disebut Molueelo. Setelah perkembangan dari wilayah polohungo Tahun 1905 wilayah tersebut diberi nama kampung Biyonga yang terdiri dari beberapa lingkungan termasuk lingkungan polohungo, lingkungan Tapadaa dan blok molueelo dengan luas kurang lebih 2609.207 Ha sesuai Perda No 3 tahun 2010 yakni pemekaran kelurahan Polohungo dari kelurahan Biyonga. Dan sampai sekarang kelurahan polohungo terdiri dari 4 lingkungan yakni lingkungan I ( YIPILO ), Lingkungan II (Tapadaa), lingkungan III (Dulalowa) , Lingkungan IV (Batu Merah) dan terdiri dari 4 Blok yaitu Blok Pade, Blok Pahu, Blok Botubulotu dan Blok Molueelo. kemudian dilihat dari jumlah kepadatan penduduk Kelurahan Polohungo yakni Jumlah Penduduk pada tanggal 09 Desember 2010 sampai dengan sekarang yakni 1689 Jiwa yang terdiri dari Laki-laki : 860 Jiwa dan Perempuan : 829 Jiwa, dengan Jumlah Kepala Keluarga (KK) : 439 KK dan Jumlah KK Miskin sebanyak : 334 KK.
Jumlah Penduduk KK Miskin yang menerima Program Subsidi Raskin : 334 KK
Jumlah Penduduk yang menerima Jamkesmas sebanyak 1513 Jiwa
9. Sejarah Kelurahan Hunggaluwa
Sebelum Pemerintah Hindia Belanda berkuasa, Hunggaluwa sudah ratusan tahun sudah ada, Hunggaluwa ini adalah salah satu yang termasuk Desa yang berada di Kerajaan Limutu (Limboto). Dalam sejarah berdirinya Gorontalo dikenal dengan 5 Wilayah adat atau 5 Kerajaan yaitu :
Kerajaan Suwawa
Kerajaan Hulondalo dikenal Gorontalo
Kerajaan Limutu dikenal Limboto
Kerajaan Bulango dikenal Kecamatan Tapa
Kerajaan Atinggola
Oleh karena itu, 5 Kerajaan diatas ini dikenal sebagai Provinsi Gorontalo dan merupakan Wilayah kesatuam adat yang mempunyai berbedaan-perbedaan tapi terikat satu perjanjian. Pada tahun 1200Masehi dipersatukan oleh Raja Wadi Polapa bergelar Adat Ilahudu, pada waktu itu Kerajaan Limboto masih beribu kota Limboto atau Limutu dipusatkan di Hindalo ( Limehe Timur ) yang pada saat ini adalah Desa Ujung di Kecamatan Batudaa sebelah barat.
Setelah Belanda masuk, Limboto dipindahkan di Hunduluyu yang tempatnya di Kelurahan Bongohulawa dan Biyonga dengan melihat perubahan situasi dan kondisi maka dipindahkan lagi ke Desa Pone, sesudah itu dipindahkan lagi ke Ibu Kota Limboto yang sekarang Kelurahan Hunggaluwa, bekas Kerajaan itu dapat dijelaskan tepat di jalan Yos Sudarso Lingkungan I. di Keluarahan Hunggaluwa yang dulunya berdiri Mesjid yang sekarang di pindahkan ke Kelurahan Kayubulan yang di kenal dengan sekarang dengan nama Mesjid Agung Baiturrahman Limboto.
Tahun 1870 Kerajaan Limboto Berubah menjadi Odordistik (Desa) yang dikenakan dengan Kecamatan Limboto sudah menjadi satu wilayah dimana Kelurahan Hunggaluwa sebagai salah satu Wilayah Kelurahan.
10. Sejarah Kelurahan Tilihuwa
Kelurahan Tilihuwa adalah kelurahan pemekaran dari Kelurahan Kayumerah.Tilihuwa resmi dikukuhkan oleh Bupati Gorontalo pada tanggal 10 Desember 2010.Kelurahan tilihuwa terdiri dar 3 lingkungan yaitu lingkungan Libuo,Tinelo dan Tilihuwa.
Nama Kelurahan Tilihuwa diambil dari nama salah satu lingkungan yang ada di kelurahan ini yaitu Tilihuwa.Tilihuwa adalah nama sejenis tumbuhan merambat yang biasa menempel di pohon besar.Dahulu tumbuhan ini banyak terdapat disini olehnya masyarakat lazim menyebut daerah itu sebagai tilihuwa.Tumbuhan ini memiliki banyak khasiat dalam mengobati berbagai penyakit.dari sinilah harapan masyarakat menyepakati nama tilihuwa agar kiranya nanti tilihuwa dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.