Nama Soreang berasal dari kata dalam bahasa sunda "Soréang" yang berarti "menoleh ke belakang". Dalam makna kiasannya berarti "teringat pada masa-masa yang telah lewat". Nama ini muncul bukan tanpa alasan. Pada masa lalu, tempat yang kemudian dinamai Soreang itu menjadi tempat untuk berhenti mengaso bagi para pengelana setelah menempuh perjalanan panjang dari berbagai arah, baik dari arah utara, selatan, atau timur, sebelum menuju tempat yang lebih tinggi ke arah bukit dan gunung, atau menuju arah sebaliknya, dari arah gunung untuk menuju tempat-tempat yang lebih datar. Soreang menjadi “tekuklereng”, sehingga air tanah yang meresap di ketinggian gunung, ke luar di mata air dengan jumlah yang sangat berlimpah, sehingga para kelana dapat membersihkan diri, mensucikan pikiran dan hati. Bila sampai ke tempat ini memasuki petang, tempat ini berkembang menjadi pangauban, menjadi tempat untuk berteduh, berlindung dari dingin malam, dan gangguan binatang. Keesokan harinya perjalanan akan dimulai lagi menuju berbagai arah sesuai dengan tujuanya masing-masing. Dari tempat dengan ketinggian antara +720–740 m dpl yang melandai ke arah timur dan utara sampai ketinggian +660 m dpl, para pengelana dapat melihat kemegahan bentang alam dikala petang, dan pesonanya di pagi hari, sehingga pangauban itu sekaligus menjadi "karangtingal", menjadi titik pandang (view point) untuk melihat sekelilingnya secara sekilas pandang. Inilah yang menjadi alasan mengapa tempat ini dinamai Soreang. Pada pagi hari dari Soreang dapat melihat dengan nyata dengan pandangan yang bisa lepas sampai jauh. Kerucut-kerucut gunung api purba yang membiru, mencuat tinggi menembus langit. Tampak Gunung Malabar yang besar, tubuhnya melebar ke berbagai arah. Gunung Tilu, serta perbukitan yang berjajar. Gunung Burangrang dengan lembahnya yang dalam, di sebelah timurnya ada Gunung Tangkubanparahu, terlihat jelas seperti perahu yang terbalik, dan Bukit Tunggul menjadi kerucut tertinggi di jajaran itu. Gunung Manglayang berdiri megah di ujung timur laut, serta Gunung Geulis tampak samar-samar menunjukkan kecantikannya. Semua bentang alam ciri khas Bandung Raya ini dapat dilihat dengan sangat jelas dari Soreang sampai saat ini. Dari tempat melepas pandang ini, para kelana dapat dengan mudah untuk melaksanakan puja di puncak-puncak bukit sunyi yang indah. Hanya tinggal berjalan sedikit saja, akan sampai di Gunung Sadu (+932 m dpl). Di puncak bukitnya terdapat jejak budaya megalitik berupa punden berundak setengah lingkaran yang menghadap ke arah timur-timur laut. Di sebelah barat-barat lautnya, terdapat bukit-bukit yang berupa gunung api purba yang aktif empat juta tahun yang lalu. Di puncak-puncak bukit itulah laku puja dilaksanakan, seperti jejak budayanya terdapat di Gunung Singa, Gunung Lumbung, dan menerus sampai bukit-bukit yang berjajar sampai Cililin. Di kawasan inilah yang menjadi pusat pertahanan Dipati Ukur. Para leluhur Soreang sudah memilih tempat untuk beristirahat dengan sangat baik, sebelum para kelana itu melanjutkan perjalanan. Tempat ini menjadi lokasi istirahat yang dapat memenuhi harapan para kelana. Dengan segala kebaikan tempat itu, seperti air yang melimpah dan kemegahan bentang alamnya. Sesuai maknanya, Soreang itu merupakan titik pandang (view point) untuk melihat sekelilingnya, sehingga dari titik itu pula dapat mengenang perjalanan yang sudah ditempuh, serta perjalanan yang akan dilakukan kemudian.[5]
Masa Penjajahan Belanda
Pada masa administrasi Belanda di Indonesia, Soreang merupakan salah satu dari 10 Kewedanaan yang berada dalam ruang lingkup pemerintahan Kabupaten Bandung. Soreang pada masa itu lebih dikenal dengan nama "Kopo". Kopo sendiri diambil dari nama salah satu desa di Kecamatan Soreang (kini masuk wilayah Kecamatan Kutawaringin) yang kelak kemudian dijadikan nama jalan yang membentang dari Kota Bandung sampai ke wilayah Soreang sekarang. Pada masa ini Dibangun jalur Kereta Api dari Kota Bandung ke Ciwidey yang melintasi Soreang. Sampai tahun 1982 jalur kereta api ini masih aktif digunakan.
Masa Kemerdekaan
Di masa Pegolakan Kemerdekaan, Soreang merupakan salah satu medan pertempuran yang cukup sengit. Kedatangan Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda ke Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945 memunculkan perlawanan sengit dari masyarakat Bandung dan sekitarnya sehingga lahirlah peristiwa Bandung Lautan Api. Berdasarkan kesepakatan para pejuang dan rakyat, Kota Bandung kemudian dibumihanguskan dan para pejuang mundur ke selatan sungai Citarum untuk terus melakukan perlawanan secara gerilya. Pada waktu itu pemerintahan Kabupaten Bandung juga ikut mengungsi dan sempat berkedudukan di Soreang sebelum akhirnya terdesak kekuatan sekutu dan kembali mengungsi ke daerah lain.
Setelah masa-masa revolusi selesai dan status Kewedanaan dihapuskan, maka Soreang berubah menjadi Kecamatan.
Menjadi Ibukota Kabupaten Bandung
Pada dekade 1970-an dengan semakin padatnya Kota Bandung dan tumpang tindihnya peranan Bandung sebagai ibukota tiga wilayah administrasi (ibukota provinsi, ibukota kabupaten, dan sebagai kota otonom) Pemerintah Kabupaten Bandung memutuskan untuk memindahkan ibukotanya ke luar Kota Bandung. Setelah melalui berbagai pertimbangan, dipilihlah Baleendah sebagai calon ibukota yang baru. Pembangunan infrastruktur penunjang ibukota baru seperti pembuatan ruas jalan, Perkantoran, Gedung kejaksaan, Pengadilan Negeri, Gedung DPRD sebagian besar telah dikerjakan oleh Pemkab. Namun sayangnya pemindahan ibukota ini tidak dibarengi dengan kajian yang memadai dan koordinasi yang tidak berjalan baik dengan pemerintah pusat. Banjir besar pada awal tahun 1980-an membuka mata publik bahwa ibukota baru ini tidak aman dari bencana alam. Hal ini diperjelas dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1986 yang menyatakan bahwa ibukota Kabupaten Berada di Kota Soreang bukan di Baleendah. Dengan terbitnya PP ini akhirnya ibukota Kabupaten Bandung secara resmi dipindahkan Ke Soreang. Pada tahun 1987 dimulai Pembangunan Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bandung yang berlokasi di Desa Pamekaran di pinggir jalan raya Kopo.
Geografi
Soreang terletak 18 km di sebelah selatan Kota Bandung. Daerah ini merupakan penghubung antara Kota Bandung dan Ciwidey. Pada zaman penjajahan Belanda, dibangun jalur kereta api Bandung–Ciwidey yang melintasi kota ini untuk mengangkut hasil perkebunan teh dan kina dari Ciwidey. Namun sejak tahun 1970-an jalur ini sudah tidak aktif lagi.
Soreang berada kurang lebih 700 meter di atas permukaan laut, di pojok selatan Cekungan Bandung dengan kontur tanah cenderung melandai ke utara dan timur sementara di selatan terdapat perbukitan yang merupakan bagian dari pegunungan Bandung Selatan.
Titik terendah berada di Desa Sekarwangi dan titik tertinggi berada di Desa Sukajadi. Sungai Ciwidey di barat membatasi Soreang dengan Kecamatan Kutawaringin dan KaliCikambuy di timur membatasi Soreang dengan Kecamatan Cangkuang. Gunung Sadu (932 mdpl) adalah salah satu bukit yang ada di Soreang.
Pada umumnya penduduk Kecamatan Soreang merupakan suku Sunda, serta beberapa suku Jawa, Cirebon, Betawi, dan pendatang lain dari berbagai daerah di Indonesia, seperti suku Batak, Minangkabau , Bugis dan lainnya.[6] Bahasa yang digunakan umumnya Sunda, selain dari bahasa resmi bahasa Indonesia.
Tahun 2021, jumlah penduduk kecamatan Soreang sebanyak 117.587 jiwa, dengan kepadatan 4.651 jiwa/km². Kemudian, persentasi penduduk kecamatan Soreang berdasarkan agama yang dianut yakni Islam 98,65%, kemudian Kekristenan 1,33% di mana Protestan 1,06% dan Katolik 0,27%. Sebagian lagi menganut Buddha yakni 0,02%.[7]
Sarana Olahraga
Di kawasan Soreang (Kutawaringin) terdapat Stadion Si Jalak Harupat yang merupakan salah satu stadion terbesar di Indonesia dan bertaraf internasional. Diresmikan tahun 2005, Stadion ini merupakan homebase dari Persikab Bandung, yang berlaga di Liga 2 Indonesia dan seringkali juga dipakai Persib sebagai homebase untuk laga kandangnya.
Pada gelaran Pekan Olahraga Nasional XIX tahun 2016 dan Asian Games 2018 stadion ini mengalami beberapa kali renovasi dan penambahan fasilitas-fasilitas penunjang. Sampai sekarang kondisi stadion masih tetap terjaga dengan baik dan siap digunakan untuk menggelar berbagai event dan pertandingan.
Pusat Kegiatan Penduduk
Pusat kegiatan penduduk di Soreang tersebar di beberapa titik seperti kawasan Soreang Kota, Gading Tutuka, dan Warung Lobak. Pada hari minggu, biasanya terdapat pasar tumpah di kawasan pertokoan Warung Lobak (sebelumnya digelar di Jalan Terusan Al-Fathu) yang selalu dipadati warga untuk berbelanja. Kini dengan dibangunnya Gedung Budaya Sabililungan dan Munara Sabilulungan yang menjadi icon baru Soreang dan Taman Kota di Jalan Gading Tutuka, menjadi tempat favorit bagi warga kota untuk berolahraga atau sekedar duduk-duduk santai melepas penat.
Dengan kedudukannya sebagai ibukotaKabupaten Bandung sejak tahun 1987, Soreang dituntut untuk berbenah diri dari yang awalnya sekedar kota Kecamatan biasa menjadi Ibu kota kabupaten yang representatif. Dengan tata ruang Soreang yang tidak dirancang sebagai pusat pemerintahan sedari awal dan juga kondisi geografis Soreang yang tidak dilalui jalan nasional sebelum adanya Jalan Tol Soroja, untuk menumbuhkan pusat-pusat keramaian merupakan tantangan tersendiri dan perlu upaya lebih dari pemerintah daerah dan pelaku ekonomi setempat. Namun perlahan-lahan Soreang mulai berkembang dan berbagai infrastrukturnya terus dibenahi. Pembuatan ruas jalan baru, penataan PKL, pembenahan trotoar dan saluran drainase, relokasi Rumah Sakit Umum Daerah Soreang, penataan kawasan Alun-alun dan Taman Kota, dan pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti renovasi Pasar Soreang terus diupayakan PemerintahKabupaten Bandung untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat Soreang dan Kabupaten Bandung pada umumnya.
Dengan selesainya pembangunan Jalan Tol Soreang-Pasirkoja (Soroja) pada akhir 2017 yang menghubungkan Kota Bandung langsung ke Soreang, diharapkan kawasan Soreang dan sekitarnya dapat berkembang lebih cepat.
Di Soreang terdapat beberapa stasiun radio, baik yang masih aktif maupun pernah mengudara, yaitu:
Kandaga AM 810 Khz (Radio Pemerintah Kabupaten Bandung). Link streaming: radiokandaga.bandungkab.go.id
Qyu FM (Tutup)
Mayanada FM (Tutup)
True FM (Tutup)
Perkantoran dan Fasilitas Publik
Fasilitas publik yang ada di Soreang erat kaitannya dengan kedudukannya sebagai IbukotaKabupaten Bandung. Hampir semua lembaga pemerintahan tingkat Kabupaten kecuali Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri telah berkedudukan di Soreang. Berikut adalah beberapa perkantoran dan fasilitas publik yang penting untuk diketahui:
Kecamatan Soreang pada awalnya memiliki wilayah yang cukup luas. Membentang dari perbukitan di selatan dan barat, dataran persawahan di tengah, sampai ke aliran sungai Citarum di utara yang berbatasan dengan kecamatan Margaasih. Namun karena dirasa terlalu luas serta mempertimbangkan proses penataan kawasan Ibu kota kabupaten agar lebih optimal, pada tahun 2007 desa-desa di seberang sungai Ciwidey kemudian dimekarkan menjadi kecamatan Kutawaringin. Sebagai ekses pemekaran, tiga desa di kecamatan Katapang yang wilayahnya berdekatan dengan pusat kota Soreang kemudian dimasukkan ke dalam wilayah kecamatan Soreang, sehingga saat ini Kecamatan Soreang mempunyai total 10 Desa dengan rincian sebagai berikut: