Kabupaten Rokan Hulu, hasil pemekaran dari Kabupaten Kampar, yang berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 berdasarkan kepada UU Nomor 53 tahun 1999 dan UU No 11 tahun 2003 tentang perubahan UU RI No 53 tahun 1999. Jumlah penduduk Rokan Hulu sekitar 561.385 orang pada tahun 2020 dengan luas wilayah 7.588,13 km²,[3] dan pada pertengahan tahun 2024 berjumlah 579.685 jiwa.[1][4]
Kabupaten ini telah dijuluki sebagai Negeri Seribu Suluk yang artinya menjalankan kedisiplinan dalam menjalankan aturan-aturan agama Islam. Banyak terdapat suluk atau masjid yang berdiri di kabupaten ini.[5]
Geografis
Kabupaten Rokan Hulu memiliki wilayah yang terdiri dari 85% daratan dan 15% daerah perairan dan rawa. Secara geografis daerah ini berbatas dengan wilayah sebagai berikut:
Di Kabupaten Rokan Hulu terdapat beberapa sungai. Dua diantaranya adalah sungai yang cukup besar yaitu Sungai Rokan Kanan dan Sungai Rokan Kiri. Selain sungai besar tersebut, terdapat juga sungai-sungai kecil antara lain Sungai Tapung, Sungai Dantau, Sungai Ngaso, Sungai Batang Lubuh, Sungai Batang Sosa, Sungai Batang Kumu, Sungai Duo (Langkut), dan Sungai Siasam.
Jumlah penduduk kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2020 adalah 718.321 jiwa.[8] Mayoritas penduduk Rokan Hulu adalah etnis Minangkabau dan Melayu Riau. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Rokan Hulu menggunakan Bahasa Minangkabau dialek Rokan atau yang disebut dengan Bahasa Rokan.[9] Bahasa ini mirip dengan Bahasa Minangkabau dialek Rao dan Payakumbuh. Sebagian orang ada yang menyebut Bahasa Rokan sebagai Bahasa Melayu Darat, yang berbeda dengan Bahasa Melayu Pesisir.
Orang Rokan Hulu menganut adat yang agak berbeda dengan orang Riau Pesisir, dimana mereka menarik garis keturunan dari pihak ibu (matrilineal). Seperti halnya masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, orang Rokan Hulu juga memiliki persukuan. Adapun persukuan atau klan di Rokan Hulu antara lain Molayu/Mulayu, Kandang Kopuh, Bonuo, Ampu, Pungkuik, Moniliang, Kuti, Caniago, Piliang, Domo, Potopang/Petopang, Maih, Soborang, Anak Rajo-rajo, Non Soatuih, Non Limo Puluh, Molayu Tigo Induk, Molayu Panjang, Molayu Tongah, Ompek Induk, Molayu Bosa, Bono Ampu, Molayu Ompek Induk, Molayu Pokomo, Piliang Kecil, Domo Kecil, Molayu Kecil, Molayu Bawah, Molayu Bukik, Suku Tengku Panglimo Bosa, Suku Maharajo Rokan, Suku Tengku Bosa, Suku Maharajo, dan Bendang.
Di bagian utara dan barat daya Rokan Hulu, terdapat pula kelompok masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan etnis Mandailing. Mereka umumnya bekerja di sektor jasa informal dan perkebunan. Disamping orang Mandailing, banyak pula terdapat orang Minangkabau dari Sumatera Barat. Mereka kebanyakan menekuni kegiatan perniagaan. Selain itu ada juga penduduk dari etnis Jawa yang datang lewat program transmigrasi nasional sejak masa kemerdekaan. Mereka tersebar di seluruh wilayah Rokan Hulu, terutama di sentra-sentra lokasi transmigrasi dan juga di areal perkebunan.
Rura Limbat, Air Terjun Tersembunyi di Bangunpurba
Bukit cinta, Rokan IV koto
Air Terjun Sei Tolap
Batu lumpatan harimau, Rokan
Bukit piang
Bukit Pasir Rambah
Grojokan bukit cinta
Bukit Tungkuh Nasi, Venue PON 2012 desa Cipang Kiri hulu
Bukit Ara Suligi
Air Secupak
Hutan Kota
Pantai Duto, Desa Ngaso
Sawah Koto
Pahlawan Nasional dari Rokan Hulu
Tuanku Tambusai adalah salah seorang tokoh pejuang dari Rokan Hulu dalam Perang Paderi di awal abad ke XIX. Pada masa itu daerah Rokan Hulu masih bagian integral dari wilayah Minangkabau di bawah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung. Setelah jatuhnya Benteng Bonjol dan penangkapan terhadap Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837, maka perjuangan kaum Paderi dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai sebagai panglima terakhir yang masih tersisa bersama sisa laskar Paderi bertahan di benteng terakhir kaum Paderi di daerah Dalu-Dalu Rokan Hulu. Benteng inipun akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1838 setelah digempur selama hampir satu tahun. Dengan jatuhnya benteng tersebut, berakhirlah era Perang Paderi di seluruh wilayah adat Minangkabau.[butuh rujukan]