Dikisahkan bahwa salah seorang anak putri Ki Gede Sebayu yang bernama Rara Giyanti Subalaksana memang terkenal cantik, cerdas, dan cekatan. Kegemarannya menunggang kuda membuat banyak orang semakin kagum. Konon, jika Rara Giyanti sedang di atas pelana kuda kesayangannya akan tampak seperti bidadari yang turun dari langit biru. Jadi, wajarlah bila namanya populer di kalangan masyarakat. Wajar juga banyak pemuda atau perjaka yang ingin menyuntingnya.
Ki Gede Sebayu sering didatangi utusan yang menanyakan keadaan Rara Giyanti. Ada yang berterus terang ingin melamar, ada juga yang hanya sekadar mencari-cari keterangan. Ki Gede Sebayu harus melayani banyak orang yang sama-sama berharap menyunting Rara Giyanti. Ternyata hal itu menimbulkan kerepotan sebab keputusan bukan ditangannya sendiri. Jadi, tidaklah gampang menjawab atau menolaknya. Kemudian pada suatu senja, berkatalah dia kepada Rara Giyanti dengan kata-kata yang ramah. Rara Giyanti terdiam sejenak. Kemudian menjawab penuh kesantunan.
Ternyata Rara Giyanti tidak mengharapkan sayembara harta kekayaaan, ketampanan, dan kepangkatan. Usulnya adalah sayembara kesaktian. Katanya, siapa pun yang dapat menebang dan merobohkan pohon jati raksasa di gunung selatan akan diterima sebagai suaminya. Biarpun dia orang jelata, miskin, atau tidak berpangkat, akan tetapi tetap dilayani sepanjang hayat.
Tidak lama kemudian, dikabarkanlah sayembara itu kepada khalayak luas. Dalam waktu yang singkat, berdatangan perjaka yang berminat menguji kehebatan. Pada waktu itu, telah datang dua puluh lima orang perjaka yang gagah dengan sejumlah pengiringnya. Mereka berasal dari berbagai tempat. Ada yang dekat dan ada juga yang jauh. Kebanyakan dari mereka membawa pethel (kampak) yang tajam-tajam. Pethel itu harus diayunkan dengan tenaga yang keras agar tancapannya mendalam. Dengan cara itulah biasanya batang kayu yang besar dan kokoh lama-lama akan terpotong. Untuk mengormati keberanian mereka itu, dibuatlah dua puluh lima perkemahan di sekitar pohon jati yang disayembarakan. Setiap peserta dibuatkan sebuah kemah. Tempat itu mendadak menjadi pusat keramaian.
Pada hari terakhir, suasana semakin tegang. Ki Gede Sebayu terus komat-kamit berdoa. Wajah Rara Giyanti Subalaksana pun memucat. Matanya meredup menahan tangis sambil bergayut ke pundak ibunya. Pikirnya, jangan-jangan suara gaib itu tipuan jin dan setan. Kalau ada yang menang bagaimanakah nasibnya?
Menjelang sore datanglah seorang santri diiringkan sejumlah remaja yang santun-santun. Dia mengaku bernama Ki Jadug dan memohon izin mengikuti sayembara. Dia terlambat karena memang baru saja mendengar kabar di perjalanan. Ki Gede Sebayu pun memberikan izin, sejenak Ki Jadug berpamitan untuk berwudhu, lantas bersembahyang dua rakaat disaksikan seluruh penonton yang berdebar. Ada yang kontan ikut berdoa. Ada yang mengusap air mata. Ada yang tersenyum kecut. Ada juga yang secara lirih mengejeknya.
Tidak lama kemudian, tampaklah Ki Jadug mengayunkan kampaknya dengan jurus silat yang hebat. Ternyata pada ayunan kelima terdengarlah gemuruh angin lesus dan bumi pun berguncang. Orang-orang berlarian menjauhi gelanggang. Pada saat itulah pohon jati raksasa roboh perlahan-lahan tanpa menyentuh seorang pun di sekitarnya. Lantas terdengarlah sorak sorai berkepanjangan. Setelah mereda, berkatalah Ki Gede Sebayu kepada genap orang yang hadir. Pohon jati itu kelak akan digunakan untuk membuat Masjid di Kalisoka.
Orang-orang pun bubaran dengan hati yang lapang. Kelak tahulah mereka bahwa santri Ki Jadug adalah seorang bangsawan Mataram. Dia sengaja mengembara untuk berguru dan berdakwah. Setelah menikah dengan Rara Giyanti menggunakan nama aslinya, Pangeran Purbaya. Mereka hidup berbahagia dan dikenal sebagai tokoh terpandang di daerah Tegal.
Adapun nama Selawe yang berarti dua puluh lima itu karena perjaka yang datang mengikuti sayembara mendapatkan Rara Giyanti berjumlah dua puluh lima. Karena kejadian tersebut akhirnya desa tersebut dinamakan dusun Selawe. Kemudian lama-lama terucapkan Selawi atau Slawi seperti sekarang.
Masa Kolonial
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Slawi menjadi tempat yang begitu ramai. Pada saat itu wilayah Slawi mulai banyak ditempati para pendatang seperti orang Eropa, Pedagang Arab dan etnis Tionghoa yang kemudian membentuk sebuah kawasan Pecinan. Terdapat juga Pasar Ketapan yang dikenal dengan nama "Pasar Lawas Slawi" yang saat ini telah berubah menjadi komplek Ruko Slawi.
Sekitar tahun 1840-an pemerintah Belanda membangun dua buah pabrik gula besar di kota Slawi yaitu, Pabrik Gula Dukuhwringin dan Pabrik Gula Kemanglen. Keberadaan kedua pabrik gula ini membuat wilayah Slawi dan sekitarnya banyak terdapat perkebunan tebu pada saat itu. Pada tanggal 25 Agustus 1885 dibukalah Stasiun Slawi yang bersamaan dengan peresmian jalur KA lintas Tegal-Balapulang oleh perusahaan kereta api Belanda Javasche Spoorweg Maatschappij, jalur KA ini awalnya difokuskan untuk pengangkutan barang dan hasil distribusi gula yang dihasilkan oleh perusahaan pabrik gula.
Pada tahun 1917 dibangunlah sebuah klinik yang awalnya merupakan balai pengobatan perusahaan gula se Karesidenan Pekalongan, Klinik tersebut bernama Kliniek Doekoewringin van de Vereenigde Suikerfabrieken atau pusat kesehatan perusahaan gula yang lokasinya di Sebelah Timur Pabrik Gula Dukuhwringin, klinik tersebut kini telah berubah menjadi pelayanan Paru RSUD Dr. Soeselo Slawi.
Kemudian pada tahun 1927 berdirilah Europeesche Lagere School atau sekolah untuk anak-anak berkebangsaan Eropa yang lokasinya disebelah Tenggara Pabrik Gula Kemanglen, sekolah tersebut dikenal dengan nama SD Putri yang sekarang ini menjadi salah satu bangunan SD Negeri Slawi Kulon 03.
Masa kini
Slawi didaulat menjadi Ibukota Kabupaten Tegal berdasar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1984, menggantikan Kota Tegal yang menjadi ibukota kabupaten sekaligus menjadi kota madya.
Tanggal 19 Desember 1985 dimulai prosesi boyongan dari Pendopo Alun-Alun Kota Tegal, dengan kirab budaya menggunakan ratusan dokar yang membawa Bupati, pejabat dan pegawai menuju ke selatan Slawi. Saat itu, pusat pemerintahan sementara kabupaten Tegal menempati eks Markas Komando Brigif 4 Dewa Ratna yang juga merupakan eks Pabrik Gula Dukuhwringin sampai tahun 1989, dimana setelah itu pusat pemerintahan Kabupaten Tegal dipindahkan ke lokasi sekarang.
Geografi
Slawi terkenal dengan produksi teh dan budaya moci (minum teh poci). Meskipun terkenal dengan teh, Slawi bukan merupakan dataran tinggi dengan hawa dingin dengan banyak kebun teh. Slawi merupakan daerah yang dekat dengan Pantura sehingga suhunya cenderung panas dengan kontur tanah yang landai tidak berbukit-bukit. Jadi, bahan-bahan baku pembuatan teh tersebut dipasok dari perkebunan teh yang ada di dataran tinggi di sekitarnya, seperti Bumijawa atau Kaligua.
Mata pencaharian penduduknya antara lain petani, pegawai negeri, industri logam, dan industri rumah tangga yang meliputi industri perkayuan (perabotan kayu jati), tekstil (tenun sarung tradisional), kerajinan shuttle cock dan lain-lain. Slawi merupakan kota cikal bakal produsen teh terkemuka di Indonesia yaitu Sinar Sosro.
Bahasa
Bahasa Tegal memiliki kemiripan dengan bahasa Banyumas (ngapak) yaitu dalam kosakata, namun kebanyakan masyarakat Tegal tidak mau disamakan dengan ngapak karena dialek yang berbeda. Bahasa ini umum digunakan di wilayah bagian utara Kabupaten Tegal, Kota Tegal, bagian barat Kabupaten Pemalang, dan bagian timur Kabupaten Brebes.
Budaya
Kebudayaan lainnya yang dapat ditemukan di Slawi adalah wayang kulit dan batik tradisional. Ada pula industri kerajinan tangan dan industri logam.
Tempat menarik bukan berarti tempat wisata loh yaaa.... ^_^
Alun-alun Kota Slawi (AAS), berupa taman dengan air mancur yang sangat besar, ramai pada hari Minggu pagi dan malam minggu berlokasi di depan halaman pendopo Kabupaten Tegal.
Monumen Perjuangan GBN (Procot)
Pusat Perdagangan Ruko Slawi di pusat kota
Pasar Baru Slawi
Mutiara Cahaya (supermarket pertama) di pusat kota Slawi depan ruko Slawi
Yogya Toserba (Ex Dedy Jaya Plaza), yaitu supermarket yang berada di Jl. Ahmad Yani, Procot
Mako Brigif-4 (Markas Komando Brigade Infanteri)
SD (dahulu SD Putri) Negeri 3, 4 dan 6 Slawi (peninggalan Belanda)
Sosrodjojo pendiri pabrik teh PT. Gunung Slamat Tbk.
Hartono Sosrodjojo Direktur Utama perusahaan Teh dan anak dari Sosrodjojo' pendiri perusahaan teh PT. Gunung Slamat Tbk.
Makanan Khas
Beberapa makanan khas dan kegiatan yang terkait:
Moci - Budaya minum teh sebagai teman ngobrol, biasanya dilakukan beramai-ramai. Teh diseduh pada poci tanah (teh poci), kemudian dituang ke dalam cangkir dengan pemanis gula batu. Teh dalam cangkir tidak diaduk. sehingga rasa manis ditemukan pada saat isi teh dalam cangkir hampir habis. Hal ini menyebabkan cangkir terus dituangi.
Warteg (Warung Tegal) - Warung makan dengan menu makanan sederhana sehari-hari. Sebagian Warung Tegal dikelola oleh warga Kecamatan Dukuh Turi tepatnya dari desa Sida Purna, Sida Katon dan desa Krandon. Sekarang keberadaan warung model warteg tidak hanya di Tegal saja tetapi sudah ada di seluruh Indonesia, bahkan sudah sampai ke mancanegara (Jepang dan Australia).
Mendoan - Tempe goreng dilapis tepung dengan bumbu. digoreng setengah matang. Biasanya sebagai teman minum teh Poci, dihidangkan dengan kecap dicampur cabe rawit. Mendoan juga didapati di daerah Banyumas.
Sega Lengko - Nasi lengko adalah nasi dengan bahan pelengkap seperti tempe, tahu yang diiris dadu, toge, kol mentah, dan sambal kacang beserta kerupuk.
Tahu kuping - Tahu kuning yang dipotong setengah dengan arah potongan diagonal kemudia bekas potongan yang diagonal tersebut diberi adonan tepung sagu (aci dalam bahasa tegal) kemudian digoreng kenapa disebut tahu kuping karena sang tahu memiliki kuping yang terbuat dari adonan sagu tersebut.
Rujak Teplak dengan sambal Tapenya
Gemblong kocar-kacir.
Soto Tegal - Soto (sauto) yang menggunakan tauco sebagai salah satu bumbunya.