Televisi digital terestrial di Indonesia dimulai pada tahun 2009 dan sejak akhir 2023 menjadi satu-satunya medium penyiaran televisi terestrial yang beroperasi. Pada awalnya, televisi terestrial digital di Indonesia menggunakan sistem DVB-T, namun kemudian berganti ke DVB-T2 dengan terbitnya Permenkominfo No. 5/2012.[1]
Penghentian siaran analog secara nasional dimulai pada 30 April 2022,[2] dan per Juni 2023, 288 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia (atau 140 dari 225 wilayah siaran) telah menerima siaran digital secara penuh/mematikan siaran analognya secara permanen. Sejak 12 Agustus 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa siaran televisi analog resmi dihapus, dan per 16/17 Agustus 2023 tidak ada lagi siaran berbasis analog di seluruh wilayah Indonesia.[3][4] Di tahun 2024, Indonesia sudah menerapkan sistem siaran televisi digital secara penuh.[5]
Sistem
Sejak tahun 2012, infrastruktur pendukung siaran televisi digital sudah mulai dibangun.[6] Proses pembangunan itu dimulai dari pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.[6] Proses pembangunan telah dilakukan guna mendapatkan siaran televisi digital yang merata,[6] dan di banyak daerah, infrastruktur (terutama mux) sudah selesai dibangun dan beroperasi.[7][8]
Standar penyiaran
Pada tahun 2007, pemerintah menetapkan DVB-T sebagai standar penyiaran televisi digital terestrial.[9] Aturan yang berjudul "Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak" ini termuat dalam peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Sofyan Djalil, Nomor: 07/P/M.KOMINFO/3/2007 pada 21 Maret 2007.[9] Dalam Permen ini diatur bahwa teknologi untuk televisi tidak bergerak di Indonesia yaitu menggunakan standar Digital Video Broadcasting - Terrestrial (DVB-T) terhitung sejak tahun 2007.[9] Dalam ketetapan ini pula diatur tentang rencana induk frekuensi penyiaran digital terestrial, standarisasi perangkat penyiaran digital terestrial, dan jadwal proses pelaksanaan peralihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital termasuk masa transisi penyelenggaraan penyiaran analog dan digital secara bersamaan (simulcast period).[9] Peraturan tentang lembaga penyiaran jasa televisi terestrial serta industri perdagangan yang berhubungan dengan pengalihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital juga disebutkan dalam Permen ini.[9]
Namun ketetapan ini mengalami perubahan pada tahun 2012, sehingga standar penyiaran digital terestrial yang semula berstandar DVB-T diubah menjadi standar Digital Video Broadcasting Terrestrial - Second Generation (DVB-T2). Perubahan ini diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan InformatikaRepublik Indonesia No. 36/2012 tentang Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Pemancar Televisi Siaran Digital, yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring pada 20 November 2012.[10][11] Perubahan ini terjadi dengan harapan mempercepat penyelesaian proses transisi siaran televisi analog ke digital.[11] Selain itu, DVB-T2 juga dianggap merupakan sistem yang lebih canggih daripada DVB-T.[12][13] Dengan DVB-T2, masyarakat dapat menikmati siaran tv digital secara gratis dengan gambar tajam, bening dan kualitas suara yang lebih jernih serta mempunyai kemampuan untuk memutar film dengan kualitas HD 1080p.[13] Selain itu, sebagian set-top box DVB-T2 dapat juga berfungsi sebagai pemutar media digital yang memberikan terobosan baru dengan berbagai macam dukungan format file seperti mendengarkan musik dan menonton film. Seiring dengan perubahan ini, pemerintah saat itu juga menganggarkan penyediaan set-top box (STB) 1 juta unit secara gratis ke masyarakat senilai Rp 300 miliar dari APBN 2013.[11]
Berdasarkan ketetapan yang diatur pemerintah dalam Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Pemancar Televisi Siaran Digital, setiap alat dan perangkat televisi siaran digital berbasis DVB-T2 yang dibuat, dirakit, dan dimasukkan untuk diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib memenuhi persyaratan teknis sebagaimana tercantum dalam lampiran Permenkominfo No. 36/2012.[10] Untuk dapat memenuhi syarat, setiap perangkat DVB-T2 harus terlebih dahulu melaksanakan pengujian yang dilakukan oleh Balai Uji yang memiliki akreditasi dan telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika selaku badan penetap.[10]
Landasan peraturan yang menetapkan sistem DVB-T2 ini sendiri kemudian digantikan dengan Permenkominfo No. 4/2019 berjudul "Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi Untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran dan Radio Siaran", dan Permenkominfo No. 6/2019 berjudul "Rencana Induk Frekuensi Radio Untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran Digital Terestrial Pada Pita Frekuensi Radio Ultra High Frequency". Meskipun demikian, aturan baru tersebut (ditambah dengan aturan selanjutnya yang mengatur siaran digital seperti Peraturan Pemerintah No. 46/2021 dan turunannya seperti Permenkominfo No. 6/2021) tidak mengubah sistem penyiaran digital, sehingga DVB-T2 tetap berlaku sebagai sistem siaran digital nasional.[14][15]
Spesifikasi teknis
Dalam Permenkominfo No. 4/2019 tercantum syarat teknis pemancar dan alat penerima (televisi/dekoder) siaran digital, seperti yang ada di bawah ini:[14]
Resolusi video: SDTV 720x576 (wajib), HDTV 1920x1080i (opsional), HDTV 1920x1080p (opsional), UHD4K 3840x2160p (opsional), UHD 8K 7680x4320p (opsional). Bitrate siaran digital SDTV paling tinggi 2,5 Mbps, sedangkan untuk HDTV paling tinggi 6 Mbps.[15]
Dekoder audio: MPEG 1 Layer I & II (wajib), HE-AAC (opsional)
Paling sedikit mendukung Service Description Table (SDT), Event Information Table (EIT) dan Time and Date Table (TDT)
Perangkat dapat mengidentifikasi kanal baru dan/atau multipleks baru secara otomatis dan memperbarui PAT, PMT, NIT dan SDT.
Identitas informasi layanan
country_code: IDN
original network id: 0x2168
private_data_specifier_id: 0x00002168
Description: Digital Terrestrial Network of Indonesia
Penerima DVB-T2 harus mendukung LCN dengan menggunakan descriptor tag 0x83 (Versi 1) dan 0x87 (Versi 2). Semua layanan harus diurutkan, didaftar, dan diatur sesuai dengan LCN yang ditentukan. Jika kedua LCN versi 1 dan dan versi 2 dipancarkan dalam satu Original Network ID, maka perangkat penerima DVB-T2 harus mengurutkan dari LCN versi 2 (prioritas lebih tinggi).
Firmware dan sistem operasi
Perubahan transmisi: Perangkat mampu mengatasi perubahan mode transmisi dengan gangguan yang minimal terhadap pengguna.
Bentrok Layanan: Layanan diurutkan berdasarkan LCN yang memiliki sinyal paling kuat. Jika terdapat 2 LCN yang sama, maka LCN yang memiliki sinyal yang lebih lemah dimasukkan ke dalam LCN 800-999. Perangkat mampu mengurutkan nomor pada LCN 800-999 ini secara incremental sesuai dengan jumlah LCN yang berbenturan.
Perangkat menyediakan factory reset
Perangkat menyediakan firmware upgrade menggunakan setidaknya satu dari interface berikut: USB, RJ 45 atau Wi-Fi (Ethernet IEE802.3), kartu memori, over the air.
Logo Siap Digital: Alat dan/atau perangkat penerima televisi siaran digital berbasis DVB-T2 wajib dilengkapi dengan logo "Siap Digital".
Lainnya: Alat dan/atau perangkat penerima televisi siaran digital berbasis DVB-T2 wajib memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) paling sedikit 20%. Selain itu, wajib juga dilengkapi dengan EWS.
Dengan adanya siaran digital, tidak seperti televisi analog, maka tidak semua stasiun televisi akan memiliki frekuensi/kanalnya sendiri. Secara resmi, dalam Permenkominfo No. 6/2021, para pemilik frekuensi/kanal digital dikenal dengan nama "Penyelenggara Multipleksing" (dahulu LPPPM/LP3M). Mereka inilah yang akan mengelola dan menyewakan saluran dalam siaran digital. Penyelenggara mux memiliki cakupan siar regional (daerah)[15] dengan kanal yang berbeda-beda tentunya per wilayah. Stasiun televisi yang tidak memiliki frekuensi dan akan menjadi penyewa saluran di kanal penyelenggara multipleksing (mux) dikenal dengan nama "Lembaga Penyiaran Layanan Program Siaran", yang memiliki cakupan operasi secara regional maupun nasional.[16] Pengelola multipleksing terdiri dari dua jenis, yaitu langsung ditetapkan pemerintah (yaitu TVRI) dan hasil seleksi (dari televisi swasta). TVRI merupakan pengelola mux terbanyak sebesar 136 pemancar/frekuensi digital di seluruh daerah di Indonesia,[17] sedangkan televisi swasta umumnya memiliki frekuensi di berbagai daerah dengan jumlah yang lebih sedikit.
Setiap saluran yang mengisi mux digital, nantinya akan diberi nomor khusus dari pemerintah, atau dikenal dengan nama logical channel number (LCN). Mereka juga bisa menampilkan jadwal dan keterangan acaranya jika diperlukan lewat Panduan jadwal acara (electronic program guide, EPG). Saluran-saluran yang bersiaran digital dapat memancarkan siarannya secara standard definition (SD) atau high definition (HD). Selain televisi, sebenarnya stasiun radio juga dapat menyalurkan siarannya menggunakan metode ini,[18][19] walaupun sejauh ini potensi tersebut masih belum terlalu dimanfaatkan oleh perusahaan media maupun diatur oleh pemerintah. Selain fitur-fitur tersebut, televisi digital di masa mendatang juga diharapkan akan dilengkapi dengan aneka fitur lain, seperti sistem peringatan dini bencana (early warning system, EWS) dan pengaman anak (parental lock).[20][21]
Pengaturan kanal dalam siaran digital dilakukan oleh pemerintah. Dahulu, pada saat siaran digital masih di awal percobaan (2008), pemerintah sempat menyatakan bahwa akan menggunakan kanal 28-45 UHF.[22] Namun, kemudian alokasi frekuensi tersebut diubah seiring waktu. Saat ini, menurut Permenkominfo No. 6/2019, siaran digital akan menggunakan frekuensi dari 478 MHz-694 MHz (kanal 22-48 UHF). Kanal utama yang digunakan bagi mengirimkan siaran berada di 27-48 UHF, sedangkan sisanya (22-26 UHF) untuk cadangan siaran digital di masa mendatang.[15] Dengan siaran digital, berarti kanal 49-62 UHF (atau frekuensi 695,25-799,25 MHz) tidak dipergunakan lagi, sehingga sisa frekuensi ini dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan lain, terutama di bidang telekomunikasi yang jika dimanfaatkan bisa memberi pemasukan bagi negara dan meningkatkan kualitas jaringan. Inilah yang disebut dengan dividen digital (digital dividend) dari siaran televisi digital.[23]
Pembagian wilayah
Menurut Permenkominfo No. 6/2019, wilayah siaran digital di Indonesia secara resmi dibagi menjadi 225 wilayah layanan siaran.[24] Satu wilayah siaran dapat terdiri dari beberapa kabupaten/kota, atau di beberapa wilayah layanan seperti Jabodetabek dan DI Yogyakarta, melintasi batas provinsi. Umumnya satu wilayah siaran memiliki satu pemancar, namun jika diperlukan perluasan cakupan siaran di wilayah tersebut, dapat diterapkan single frequency network (SFN) yang berarti terdapat beberapa pemancar meskipun dalam wilayah siar dan kanal yang sama. Berikut wilayah layanan siaran digital di Indonesia:[15][25]
^Kanal yang dimaksud adalah yang dijatahkan pemerintah untuk digunakan di wilayah layanan tersebut, bukan yang benar-benar digunakan untuk bersiaran oleh penyelenggara mux.
^Daerah yang tidak mengikuti ASO maksudnya adalah daerah blank spot, yang mana daerah tersebut tidak terjangkau siaran analog dikarenakan keterbatasan jangkauan dan belum tersedianya infrastruktur (non terrestrial services), nantinya akan langsung menerima siaran digital.
Adapun, sebelum peraturan tersebut disahkan, sebelumnya dalam Permenkominfo No. 22/2011 dan Permenkominfo No. 23/2011 sempat diatur juga sistem berbasis wilayah layanan, dengan total jumlahnya mencapai 216 dan berbeda dengan yang diterapkan saat ini. Antara tahun 2009/2011-2013, di samping wilayah layanan, juga muncul pembagian zona, yang dimaksudkan untuk ditenderkan kepada calon penyelenggara mux. Pembagian berbasis zona pertama kali muncul dalam Permenkominfo No. 39/2009, meskipun tidak dijelaskan lebih jauh skemanya sebelum digantikan Permenkominfo No. 22/2011.[26] Terdapat 15 zona dalam kedua Permenkominfo tersebut, dimana satu zona bisa terdiri dari 1 hingga 4 provinsi dan banyak wilayah layanan.[27][28] Zona dihapuskan seiring dibatalkannya Permenkominfo No. 22/2011 di Mahkamah Agung, dan dalam aturan penggantinya (Permenkominfo No. 32/2013) tidak lagi menyebutkan zona, yang diganti dengan provinsi.[29][30] Namun, Permenkominfo No. 23/2011 masih berlaku (yang berarti pembagian wilayah layanan di bawah ini tetap bertahan), hingga akhirnya dicabut lewat Permenkominfo No. 6/2019.[15] Berikut skema pembagian wilayah siaran digital di Indonesia yang berlaku pada 2011-2019:
Zona
Provinsi
Wilayah Layanan
Alokasi Kanal Tetap (UHF)
I
Nanggroe Aceh Darussalam
Banda Aceh
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sabang
30, 33, 36, 39, 42, 45
Meulaboh
29, 32, 35, 38, 41, 44
Tapaktuan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Singkil
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sinabang
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sigli
28, 31, 34, 37, 40, 43
Takengon
28, 31, 34, 37, 40, 43
Lhokseumawe
28, 31, 34, 37, 40, 43
Kutacane
29, 32, 35, 38, 41, 44
Langsa
29, 32, 35, 38, 41, 44
Bireuen
29, 32, 35, 38, 41, 44
Jantho
30, 33, 36, 39, 42, 45
Sumatera Utara
Medan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sidikalang
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kabanjahe
29, 32, 35, 38, 41, 44
Rantauprapat
30, 33, 36, 39, 42, 45
Pematangsiantar
29, 32, 35, 38, 41, 44
Gunungsitoli
29, 32, 35, 38, 41, 44
Padang Sidempuan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Tarutung
29, 32, 35, 38, 41, 44
Panyabungan
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kisaran dan Tanjung Balai
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sibolga dan Kota Pandan
30, 33, 36, 39, 42, 45
Balige
28, 31, 34, 37, 40, 43
II
Sumatera Barat
Padang dan Pariaman
30, 33, 36, 39, 42, 45
Bukittinggi dan Padang Panjang
29, 32, 35, 38, 41, 44
Lubuk Basung
30, 33, 36, 39, 42, 45
Tua Pejat
29, 32, 35, 38, 41, 44
Payakumbuh
30, 33, 36, 39, 42, 45
Lubuk Sikaping
28, 31, 34, 37, 40, 43
Painan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Solok dan Muara Sijunjung
29, 32, 35, 38, 41, 44
Batusangkar
28, 31, 34, 37, 40, 43
Riau
Pekanbaru
30, 33, 36, 39, 42, 45
Siak Sri Indrapura
SFN dengan wilayah layanan Pekanbaru
Dumai
29, 32, 35, 38, 41, 44
Bengkalis
28, 31, 34, 37, 40, 43
Tembilahan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Rengat
30, 33, 36, 39, 42, 45
Teluk Kuantan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Pangkalan Kerinci
29, 32, 35, 38, 41, 44
Pasir Pangarayan
29, 32, 35, 38, 41, 44
Ujung Tanjung
30, 33, 36, 39, 42, 45
Ranai
30, 33, 36, 39, 42, 45
Jambi
Jambi
29, 32, 35, 38, 41, 44
Kuala Tungkal
28, 31, 34, 37, 40, 43
Bangko
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sungai Penuh
30, 33, 36, 39, 42, 45
Sarolangun
29, 32, 35, 38, 41, 44
Muara Sabak
30, 33, 36, 39, 42, 45
Muara Tebo
30, 33, 36, 39, 42, 45
III
Sumatera Selatan
Palembang
29, 32, 35, 38, 41, 44
Lahat
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sekayu
28, 31, 34, 37, 40, 43
Lubuk Linggau
30, 33, 36, 39, 42, 45
Baturaja
29, 32, 35, 38, 41, 44
Prabumulih
30, 33, 36, 39, 42, 45
Muara Enim
SFN dengan wilayah layanan Prabumulih
Kayu Agung
28, 31, 34, 37, 40, 43
Bangka Belitung
Pangkal Pinang
30, 33, 36, 39, 42, 45
Sungai Liat
28, 31, 34, 37, 40, 43
Tanjung Pandan
29, 32, 35, 38, 41, 44
Bengkulu
Bengkulu dan Curup
28, 31, 34, 37, 40, 43
Arga Makmur
30, 33, 36, 39, 42, 45
Manna
29, 32, 35, 38, 41, 44
Lampung
Tanjung Karang dan Metro
30, 33, 36, 39, 42, 45
Liwa
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kotabumi
28, 31, 34, 37, 40, 43
Blambangan Umpu
SFN dengan wilayah layanan Kotabumi
Kota Agung
28, 31, 34, 37, 40, 43
Manggala
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kalianda
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sukadana
29, 32, 35, 38, 41, 44
IV
Banten
Cilegon
29, 32, 35, 38, 41, 44
Pandeglang
SFN dengan wilayah layanan Cilegon
Malingping
28, 31, 34, 37, 40, 43
DKI Jakarta
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
30, 33, 36, 39, 42, 45
V
Jawa Barat
Bandung, Cimahi, Padalarang, dan Cianjur
29, 32, 35, 38, 41, 44
Purwakarta
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sukabumi
28, 31, 34, 37, 40, 43
Pelabuhan Ratu
29, 32, 35, 38, 41, 44
Cianjur Selatan
30, 33, 36, 39, 42, 45
Cirebon dan Indramayu
29, 32, 35, 38, 41, 44
Kuningan
SFN dengan wilayah layanan Cirebon dan Indramayu
Majalengka
SFN dengan wilayah layanan Cirebon dan Indramayu
Garut dan Tasikmalaya
28, 31, 34, 37, 40, 43
Ciamis
SFN dengan wilayah layanan Garut dan Tasikmalaya
Sumedang
30, 33, 36, 39, 42, 45
VI
Jawa Tengah
Semarang, Kendal, Ungaran, Demak, Jepara dan Kudus
28, 31, 34, 37, 40, 43
Pati dan Rembang
29, 32, 35, 38, 41, 44
Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Purwokerto, Banyumas, Purbalingga, Kebumen dan Cilacap
30, 33, 36, 39, 42, 45
Purworejo
28, 31, 34, 37, 40, 43
Magelang, Salatiga dan Temanggung
30, 33, 36, 39, 42, 45
Blora dan Cepu
30, 33, 36, 39, 42, 45
DI Yogyakarta
Yogyakarta, Wonosari, Solo, Sleman dan Wates
29, 32, 35, 38, 41, 44
VII
Jawa Timur
Surabaya, Lamongan, Gresik, Mojokerto, Pasuruan dan Bangkalan
29, 32, 35, 38, 41, 44
Malang
28, 31, 34, 37, 40, 43
Kediri, Pare, Kertosono, Jombang, Blitar, Tulungagung dan Trenggalek
30, 33, 36, 39, 42, 45
Madiun, Ngawi, Magetan dan Ponorogo
29, 32, 35, 38, 41, 44
Jember
30, 33, 36, 39, 42, 45
Tuban dan Bojonegoro
28, 31, 34, 37, 40, 43
Banyuwangi
29, 32, 35, 38, 41, 44
Pacitan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Pamekasan dan Sumenep
30, 33, 36, 39, 42, 45
Situbondo
28, 31, 34, 37, 40, 43
VIII
Bali
Denpasar
30, 33, 36, 39, 42, 45
Singaraja
28, 31, 34, 37, 40, 43
Nusa Tenggara Barat
Mataram
29, 32, 35, 38, 41, 44
Dompu
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sumbawa Besar
30, 33, 36, 39, 42, 45
Raba
28, 31, 34, 37, 40, 43
Nusa Tenggara Timur
Kupang
29, 32, 35, 38, 41, 44
Kalabahi
29, 32, 35, 38, 41, 44
Atambua (Belu)
30, 33, 36, 39, 42, 45
Ende
29, 32, 35, 38, 41, 44
Larantuka
28, 31, 34, 37, 40, 43
Ruteng
29, 32, 35, 38, 41, 44
Bajawa
30, 33, 36, 39, 42, 45
Maumere
30, 33, 36, 39, 42, 45
Waikabubak
30, 33, 36, 39, 42, 45
Waingapu
28, 31, 34, 37, 40, 43
Soe
28, 31, 34, 37, 40, 43
Lewoleba
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kefamenanu
29, 32, 35, 38, 41, 44
IX
Papua
Biak
28, 31, 34, 37, 40, 43
Timika
28, 31, 34, 37, 40, 43
Nabire
28, 31, 34, 37, 40, 43
Enarotali
29, 32, 35, 38, 41, 44
Serui
29, 32, 35, 38, 41, 44
Jayapura
28, 31, 34, 37, 40, 43
Wamena
28, 31, 34, 37, 40, 43
Merauke
28, 31, 34, 37, 40, 43
Mulia
29, 32, 35, 38, 41, 44
Papua Barat
Sorong
28, 31, 34, 37, 40, 43
Fak-Fak
28, 31, 34, 37, 40, 43
Manokwari
28, 31, 34, 37, 40, 43
X
Maluku
Ambon
28, 31, 34, 37, 40, 43
Masohi
29, 32, 35, 38, 41, 44
Namlea
28, 31, 34, 37, 40, 43
Tual
28, 31, 34, 37, 40, 43
Saumlaki
28, 31, 34, 37, 40, 43
Maluku Utara
Ternate
28, 31, 34, 37, 40, 43
Soa Siu
29, 32, 35, 38, 41, 44
XI
Sulawesi Barat
Mamuju
28, 29, 30, 31, 32, 33
Majene dan Polewali
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sulawesi Selatan
Makasar, Maros, Sungguminasa, Pangkajene dan Takalar
28, 31, 34, 37, 40, 43
Barru
29, 32, 35, 38, 41, 44
Parepare, Pinrang, Sidenreng dan Enrekang
28, 31, 34, 37, 40, 43
Makale
30, 33, 36, 39, 42, 45
Palopo dan Masamba
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sengkang dan Watang Sopeng
30, 33, 36, 39, 42, 45
Sinjai
30, 33, 36, 39, 42, 45
Bantaeng dan Bulukumba
29, 32, 35, 38, 41, 44
Benteng
28, 31, 34, 37, 40, 43
Watampone
29, 32, 35, 38, 41, 44
Jeneponto
30, 33, 36, 39, 42, 45
Sulawesi Tenggara
Kendari
30, 33, 36, 39, 42, 45
Baubau
30, 33, 36, 39, 42, 45
XII
Sulawesi Tengah
Palu
29, 32, 35, 38, 41, 44
Luwuk
28, 31, 34, 37, 40, 43
Buol
30, 33, 36, 39, 42, 45
Bungku
28, 31, 34, 37, 40, 43
Poso
30, 33, 36, 39, 42, 45
Toli-Toli
28, 31, 34, 37, 40, 43
Salakan
30, 33, 36, 39, 42, 45
Banawa
28, 31, 34, 37, 40, 43
Gorontalo
Gorontalo
28, 31, 34, 37, 40, 43
Tilamuta
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sulawesi Utara
Manado
29, 32, 35, 38, 41, 44
Kotamubagu
30, 33, 36, 39, 42, 45
Tahuna
28, 31, 34, 37, 40, 43
Tondano
28, 31, 34, 37, 40, 43
Bitung
30, 33, 36, 39, 42, 45
XIII
Kalimantan Barat
Pontianak
29, 32, 35, 38, 41, 44
Ketapang
28, 31, 34, 37, 40, 43
Singkawang
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sanggau
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sintang
30, 33, 36, 39, 42, 45
Sambas
34, 36, 38, 40, 42, 44
Putussibau
34, 36, 38, 40, 42, 44
Ngabang
30, 33, 36, 39, 42, 45
Mempawah
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kalimantan Timur
Palangkaraya
30, 33, 36, 39, 42, 45
Pangkalan Bun
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sampit
28, 31, 34, 37, 40, 43
Kuala Kapuas
29, 32, 35, 38, 41, 44
Buntok
28, 31, 34, 37, 40, 43
Muara Teweh
29, 32, 35, 38, 41, 44
XIV
Kalimantan Timur
Samarinda dan Tenggarong
28, 31, 34, 37, 40, 43
Balikpapan
29, 32, 35, 38, 41, 44
Tanjung Redeb
28, 31, 34, 37, 40, 43
Bontang
29, 32, 35, 38, 41, 44
Tanjung Selor
29, 32, 35, 38, 41, 44
Sendawar
28, 31, 34, 37, 40, 43
Sanggata
30, 33, 36, 39, 42, 45
Tanah Grogot
28, 31, 34, 37, 40, 43
Nunukan
34, 36, 38, 40, 42, 44
Malinau
28, 31, 34, 37, 40, 43
Tarakan
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kalimantan Selatan
Banjarmasin, Martapura dan Marabahan
28, 31, 34, 37, 40, 43
Kandangan dan Rantau
30, 33, 36, 39, 42, 45
Amuntai dan Barabai
29, 32, 35, 38, 41, 44
Tanjung Tabalong
30, 33, 36, 39, 42, 45
Kotabaru
30, 33, 36, 39, 42, 45
Pelaihari
30, 33, 36, 39, 42, 45
XV
Kepulauan Riau
Batam dan Tanjung Balai Karimun
40, 42, 44, 46
Tanjungpinang
48, 50, 52, 54
Catatan: Provinsi yang tercatat adalah yang ada ketika dua Permenkominfo tersebut diberlakukan (33 provinsi).
Migrasi siaran digital diatur dalam tahapan-tahapan dalam jangka waktu tertentu, dengan umumnya di banyak negara melalui tahapan simulcast atau siaran bersama dengan siaran analog sebagai masa transisi, sampai waktu penghentian siaran analog atau dikenal dengan analog switch-off (ASO). Di Indonesia, tahapan migrasi ini ditandai dengan aneka perubahan waktu seiring dengan naik-turunnya dan sempat belum pastinya kebijakan pemerintah mengenai siaran digital itu sendiri. Di awal kemunculan siaran digital pada 2009, awalnya pemerintah sempat menargetkan siaran digital dapat berlangsung di seluruh Indonesia pada 2011-2012, setelah beroperasinya infrastruktur penyelenggara televisi digital dalam kurun waktu 2009 hingga 2012.[31][32] Rencana tersebut kemudian diubah dengan dikeluarkannya Permenkominfo No. 39/2009 pada 6 Oktober 2009, yang menargetkan selesainya masa simulcast di akhir 2017 dan pemberian izin siaran baru setelah penyelenggara mux ditetapkan. Setelah aturan ini digantikan oleh Permenkominfo No. 22/2011, pemerintah menyusun rancangan baru yang lebih spesifik, dengan target proses migrasi secara resmi akan dimulai pada 2012 dan proses ASO akan tuntas pada 2018. Secara garis besar, tahapan cakupan migrasi televisi digital saat itu direncanakan sebagai berikut:
Pada 2012, diperkirakan seluruh daerah di Pulau Jawa dan Kepulauan Riau sudah bisa menerima siaran digital.
Pada 2016, siaran digital akan diperluas ke Kalimantan Selatan dan seluruh Sulawesi.
Pada 2017, siaran digital akan diperluas ke Maluku dan Papua, sehingga diharapkan seluruh wilayah Indonesia sudah siap melakukan ASO di awal 2018.
Permenkominfo tersebut juga mengatur tentang masa simulcast yang berlangsung kurang lebih selama 3 tahun (dengan jadwal yang berbeda-beda menurut provinsi) dan mencantumkan klausul yang mewajibkan televisi swasta untuk bermigrasi ke siaran digital dalam waktu setahun jika sudah ada mux yang beroperasi di wilayah siarnya. Selain cakupan wilayah, pemerintah menargetkan peningkatan cakupan (coverage) siaran digital menurut penduduk saat itu.
Pada 2010-2011 direncanakan 10% penduduk sudah tercakup siaran digital.
Pada 2011-2012 direncanakan 20% penduduk sudah tercakup siaran digital.
Pada 2012-2013 direncanakan 35% penduduk sudah tercakup siaran digital.
Pada 2013-2014 direncanakan 50% penduduk sudah tercakup siaran digital.
Pada 2015-2016 direncanakan 75% penduduk sudah tercakup siaran digital.
Pada 2017-2018 direncanakan 100% penduduk sudah tercakup siaran digital.[33]
Pasca pembatalan Permenkominfo No. 22/2011 yang memberi landasan bagi ASO di Mahkamah Agung, maka dikeluarkan penggantinya berupa Permenkominfo No. 32/2013 yang menghapuskan target waktu ASO seperti telah disebutkan di atas. Sebagai penggantinya, aturan baru ini hanya mengatur tentang kapan siaran digital akan dimulai di berbagai daerah, dari awal 2013-awal 2015 tergantung status daerahnya (ekonomi maju/ekonomi kurang maju).[30] Ditambah dengan kemandekan siaran digital pasca 2015, membuat pemerintah tidak lagi menetapkan tahapan-tahapan ASO secara rinci sejak itu dan lebih mengandalkan "ASO alami" tanpa batas waktu dan sesuai selera pasar/konsumen. Baru pasca pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2 November 2020, pemerintah menerbitkan aturan turunannya (yaitu Permenkominfo No. 6/2021) yang menetapkan waktu migrasi siaran digital di berbagai daerah (sebelumnya, beberapa daerah sempat merencanakan bahwa migrasi akan dilakukan secepatnya, seperti Kalimantan Timur pada 30 Juni 2021 dan Jakarta pada 2 November 2021, walaupun semuanya tidak terealisasi).[34][35] Dalam percobaan migrasi kedua ini, waktu yang diberikan cenderung lebih singkat, hanya selama 2 tahun hingga 2022. Setelah dua tahun periode ASO selesai, mulai tanggal 3 November 2022 hingga 30 Juni 2023, ditargetkan akan dilakukan penataan kembali frekuensi baik untuk layanan seluler atau penyiaran televisi.[36]
Pada awalnya, waktu ASO akan dibagi menjadi lima tahap, yaitu pada 17 Agustus 2021 (6 wilayah layanan), 31 Desember 2021 (20 wilayah layanan), 31 Maret 2022 (30 wilayah layanan), 17 Agustus 2022 (31 wilayah layanan) dan terakhir pada 2 November 2022 (24 wilayah layanan).[37] Namun, kemudian waktunya dijadwal ulang kembali dengan penetapan Permenkominfo No. 11/2021 (yang dikeluarkan pada 10 Agustus 2021) seiring dengan masukan dari berbagai pihak dan juga dikarenakan pandemi Covid-19 yang terus berlangsung, sehingga waktu migrasi menjadi sepenuhnya pada 2022 dalam tiga tahap dan dimulai waktunya dari 30 April 2022[16][38] (56 wilayah siar 30 April, 31 wilayah siar 25 Agustus, dan 25 wilayah siar 2 November).[39] Meskipun awalnya pemerintah cukup optimis dalam ASO tahap pertama di 30 April,[40] kemudian sehari menjelang ASO pertama, pada 29 April, pemerintah memutuskan menunda kembali ASO di mayoritas wilayah ke batas waktu yang belum ditentukan, menyisakan 4 wilayah siaran di 3 provinsi saja yang akan dilakukan ASO pertama.[41] Pemerintah beralasan karena set-top-box belum selesai dibagikan di 52 wilayah siar ditambah belum tuntasnya perizinan MUX swasta[42] maupun belum dibangunnya infrastruktur mux, maka ASO akan ditunda sambil menunggu selesainya pembagian STB, penuntasan infrastruktur dan evaluasi.[43] Meskipun demikian, proses sosialisasi televisi digital akan tetap dilakukan di daerah yang mengalami penundaan ASO.[44] Meskipun akhirnya hanya mematikan siaran analog di beberapa daerah saja, pemerintah tetap mengklaim bahwa ASO tahap pertama "sukses" dilakukan dan bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya.[45]
Saat penundaan ASO pertama diumumkan, pemerintah menyatakan, ASO tahap pertama akan diadakan tidak serentak, melainkan bertahap, sedangkan untuk tahap kedua dan ketiga akan diadakan serentak pada jadwal yang ditentukan sebelumnya.[46] Belakangan, setelah mengklaim "perlu melakukan readjustment agar tepat sasaran dan efektif terhadap masyarakat", pemerintah kembali berubah sikap: menyatakan sistem baru yang bernama multiple ASO. ASO dapat dilakukan tanpa memerhatikan batasan waktu, jika daerah-daerah sudah memenuhi syarat. Syarat itu adalah terdapat siaran TV analog yang akan dihentikan siarannya; telah beroperasi siaran TV digital sebagai penggantinya, dan sudah dilakukan pembagian bantuan set top box gratis bagi rumah tangga miskin di wilayah tersebut. Artinya, kali ini daerah dibebaskan melakukan ASO jika sudah siap, dengan batas akhir pada 2 November 2022. Kebijakan ini diambil terutama karena keluhan mengenai penyediaan dekoder, ditambah adanya gugatan pada kebijakan digitalisasi televisi.[47][48][49]
Belakangan, lagi-lagi pemerintah mengubah pernyataannya dengan menyatakan "tidak ada ASO serentak", dan awalnya direncanakan akan terjadi di 222 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Pada realisasinya lagi pada 2 November 2022, pematian televisi analog pun terbatas hanya di Jabodetabek dan sekitarnya.[50] Lebih parahnya lagi, pasca seremoni "ASO" tersebut, justru masih ada sejumlah stasiun televisi yang bersiaran di Jabodetabek. Hal ini membuat sejumlah pihak mengkritik pemerintah akibat sikap inkonsistensi, ketidaktegasan dan ketidakpatuhan pemerintah kepada klausul UU Cipta Kerja.[51][52] Pemerintah dinilai banyak membuat kebijakan yang tidak matang[53] dan justru membiarkan penyimpangan/pelanggaran oleh pihak swasta sempat terjadi. (Menurut Menkominfo, "pembiaran" tersebut bisa terjadi karena pemerintah berada dalam sisi yang dilematis: bisa mencabut izin frekuensinya, yang berarti membuat masyarakat sulit mendapat informasi).[54]
Namun, diklaim saat ASO 2 November 2022 pemerintah tengah menyusun rencana baru terkait pelaksanaan ASO.[55] Muncul dorongan juga seperti dari Komisi Penyiaran Indonesia yang mendorong ASO dituntaskan di akhir tahun.[56] Beberapa wilayah yang disebutkan tengah dipertimbangkan untuk ASO setelah 230 kota/kabupaten[57] adalah Gerbangkertosusila,[58]Bali, Makassar, Palembang, Medan, Banjarmasin,[59]Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan Batam.[60] Kelima daerah terakhir tercatat sudah dipadamkan siarannya mulai 2 Desember 2022, atau sebulan setelah ASO 2 November di Jabodetabek.[61] Waktu/tahapan ASO kemudian tidak lagi ditetapkan secara tegas seperti sebelumnya. ASO dapat dilakukan setelah dilakukan koordinasi bersama pihak terkait, khususnya TV swasta. Selain itu, ASO dapat dilakukan sendiri oleh lembaga penyiaran swasta; dan akan diterapkan pemerintah jika pembagian STB di suatu daerah layanan sudah tuntas dilakukan.[7]
Secara rinci, dapat dideskripsikan tahapan ASO yang telah berjalan (bukan direncanakan), meliputi:
30 April 2022: 8 kabupaten/kota atau 4 wilayah layanan siaran
5 Oktober 2022: 35 kabupaten/kota atau 14 wilayah layanan siaran
2 November 2022: 14 kabupaten/kota atau 1 wilayah layanan siaran
2 Desember 2022: 25 kabupaten/kota atau 4 wilayah layanan siaran, seluruh siaran TVRI[62]
20 Desember 2022: 10 kabupaten/kota atau 1 wilayah layanan siaran
20 Maret 2023: 5 kabupaten/kota atau 1 wilayah layanan siaran
31 Maret 2023: 13 kabupaten/kota atau 2 wilayah layanan siaran
20 Mei 2023: 5 kabupaten/kota atau 1 wilayah layanan siaran
30 Juli 2023: 6 kabupaten/kota atau 1 wilayah layanan siaran
Juli hingga 16/17 Agustus 2023: Waktu terakhir siaran analog beroperasi di sisa wilayah lainnya.[3] Siaran analog stasiun televisi nasional berhenti di Pulau Jawa per 21 Juli 2023 dan nasional per 2 Agustus 2023.[62]
1 Agustus 2023: RCTI, MNCTV, GTV, iNews, RTV, NET.[65]
173 kabupaten/kota atau 113 wilayah layanan siaran: tidak ada ASO karena termasuk daerah blank spot analog, langsung menerima siaran digital[67], namun ada yang beranggapan bahwa wilayah tersebut telah ASO.[68]
Secara efektif, per bulan November 2023, Menkominfo Budi Arie Setiadi menyatakan bahwa siaran analog di Indonesia sudah tidak lagi beroperasi secara penuh.[5] Hal tersebut berarti mengakhiri proses ASO yang berlangsung selama hampir setahun.
Kampanye
Sejak 2012, demi memuluskan siaran digital, pemerintah meluncurkan kampanye program migrasi televisi digital di Indonesia. Kampanye dilakukan lewat berbagai acara, publikasi, internet, dan lainnya. Maskot dari kampanye (tahap pertama) ini dikenal dengan nama "Si Arta" (singkatan dari Siaran Digital), berwujud seekor burungnuri berwarna hijau. Selain adanya maskot Si Arta, berbagai iklan juga diluncurkan (di televisi maupun baliho), dan acara-acara maupun pameran juga diikuti oleh kampanye ini. Untuk memperkuat gerakan ini pemerintah juga meluncurkan situs web (di tvdigital.kominfo.go.id), narahubung (contact center) dengan nomor telepon (021) 500801 dan juga akun media sosial seperti Twitter (@TVDigital_IDN).[69][70] Seiring dengan mandeknya migrasi televisi digital sejak 2015, maka program kampanye migrasi ini menjadi mati suri.
Seiring dengan "bangkit"-nya siaran digital menjelang penghapusan siaran analog pada 2022, kampanye migrasi televisi digital dihidupkan kembali oleh pemerintah, kali ini dengan membentuk suatu komite dari Kemenkominfo bernama "Gugus Tugas Migrasi Sistem Televisi Terestrial Analog ke Digital". Kampanye tahap kedua ini hadir dengan citra baru. Dari maskot, alih-alih Si Arta, dikenalkan sebuah maskot baru berwujud komodo kuning bernama "Modi" (Maskot Digital Indonesia). Modi melambangkan hewan kuno yang bisa beradaptasi sesuai perubahan zaman. Selain maskot baru, medium-medium kampanye baru juga diluncurkan seperti adanya logo baru berbentuk komodo, slogan (Bersih, Jernih dan Canggih), situs web baru (siarandigital.kominfo.go.id), contact center baru (159) dan akun media sosial baru.[71] Kampanye dan maskot migrasi siaran digital ini diperkenalkan pada awal tahun 2021.[72][73] Demi menyukseskan migrasi ini, berbagai promosi dilakukan seperti dengan sosialisasi lewat aneka konferensi, iklan secara daring maupun luring, maupun kampanye menggunakan aneka medium.[74][75] Sesungguhnya, sempat ada juga lomba yang diadakan pemerintah demi mendapatkan lagu tema migrasi siaran digital,[76] namun entah kenapa hasilnya tidak pernah terdengar.
Selain dari pemerintah, dorongan juga dilakukan kepada pemangku kepentingan (stakeholder) utama dalam proses transisi, yaitu stasiun televisi. Dalam Permenkominfo No. 32/2013, pemerintah mewajibkan agar stasiun televisi dalam periode simulcast menayangkan iklan layanan masyarakat untuk menjelaskan
proses implementasi penyiaran televisi digital paling sedikit setiap 2 (dua) jam dari seluruh waktu siaran.[77] Pemerintah juga mendorong agar promosi siaran digital ditingkatkan, salah satunya adalah dengan menampilkan logo siaran digital Modi dalam layar televisi. Selain kepada stasiun televisi, pemerintah juga mendorong kepada produsen elektronik agar segera menghentikan produksi televisi analog.[78] Promosi-promosi ini dirasa penting, karena masih banyak penduduk Indonesia yang belum terlalu mengerti mengenai televisi digital atau proses ASO,[79] entah karena daerah mereka merupakan blank spot[80] atau karena migrasi yang terlambat dibandingkan negara lain sehingga publik mencampurkan layanan lainnya seperti OTT dengan televisi digital terestrial maupun menggunakan perangkat yang tidak tepat.[81]
Bantuan kepada masyarakat
Agar seluruh masyarakat (termasuk masyarakat miskin) menerima siaran digital, salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah rencana membagikan set-top box (STB) gratis ke kelompok ini. Rencana ini sesungguhnya sudah ada bahkan ketika masih di fase awal (2009), dengan target sebanyak 1.000 unit pada masa itu (walaupun akhirnya lebih dari 3.000 unit). Saat ini, pemerintah memperkirakan akan dibagikan sebesar 6,7-6,8 juta unit STB ke penduduk yang membutuhkan (dari kebutuhan 37 juta unit),[82] yang direncanakan akan dibagikan menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial.[83] Metode pembagian lain yang umum adalah dengan kuis/undian dalam berbagai acara ke publik.[84]
Selain dari pemerintah, juga datang STB secara bertahap dari pihak swasta (penyelenggara multipleksing). STB ini merupakan hasil komitmen penyelenggara multipleksing dalam proses seleksi mereka. Diperkirakan, pemerintah akan menyediakan 1 juta unit dari STB pada ASO 2022, sedangkan penyelenggara multipleksing akan menyediakan sisanya. Pada awalnya, diperkirakan ada 8,7 juta STB yang akan dibagikan dalam proses seleksi 2012-2013 (BSTV 3 juta unit; MetroTV 2 juta unit; MNC 1,72 juta unit; SCM 1,47 juta unit; RTV 500 ribu unit; VIVA sebesar 36 ribu unit dan Trans Media sebesar 16 ribu unit).[85] Akan tetapi, karena kemandekan siaran digital, pembagian STB dari pihak swasta ini sempat terbengkalai. Tercatat, hanya BSTV yang tercatat pernah membagi-bagikan STB-nya di Malingping pada Agustus 2014, itu pun belum mencapai 3 juta.[86][87] Kemacetan yang sama juga terjadi pada bantuan pemerintah, dimana pada tahun 2013 sempat ditargetkan akan dibagikan sebanyak 250.000 unit.[88]
Baru ketika pada 2021, pihak swasta mulai membagi-bagikan STB ke publik, seperti Trans7, pada Oktober 2021 dengan mencapai lebih dari 1.000 unit di berbagai wilayah Jabodetabek.[89] Namun, pembagian STB yang formal sebagai pelaksanaan komitmen penyelenggara multipleksing swasta dan bantuan pemerintah, baru berlangsung efektif sejak 15 Maret 2022 dalam rangka menyambut ASO tahap pertama,[90] diundur dari rencana pada Januari 2022 seiring upaya pematangan komitmen.[83][85] Berdasarkan verifikasi ulang Kemenkominfo, diperkirakan pada ASO tahap 1 dan 2 akan dibagikan 5,2 juta unit STB untuk masyarakat miskin, meliputi 1 juta dari pemerintah dan sisanya swasta (1.213.750 juta unit dari SCM; 1.143.121 juta unit dari MNC; 616.511 unit dari Trans Media; 704.378 unit dari MetroTV; dan 500.000 unit dari RTV). Selain itu, ada juga dari VIVA sebesar 32.849 unit, hal ini belum termasuk kekurangannya 153.000 unit untuk dua tahap ASO dan tahap ketiga yang belum terdata/terpenuhi.[91][92]
Khusus pembagian STB bagi ASO pertama, pemerintah menunjuk Pos Indonesia sebagai penyalur bantuan STB dari Kemenkominfo ke rumah warga miskin (mencapai 87.310 unit),[93][94] sedangkan pihak swasta penyelenggara mux membagikan STB secara mandiri.[92][95][96] Akan tetapi, pembagian ini seringkali juga masih mendapatkan kritik, seperti kekhawatiran tidak seriusnya pihak swasta mematuhi kewajiban mereka,[97] kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dan pihak swasta,[98] maupun belum jelasnya skema/jadwal penyaluran STB di berbagai daerah.[99][100] Ketidakseriusan pihak swasta dalam memenuhi pembagian komitmen STB-nya (dibanding bantuan STB pemerintah yang sudah mencapai 90% dari target)[93] dianggap menjadi salah satu penyebab kegagalan rencana ASO serentak tahap pertama pada 30 April 2022.[42]
Dikabarkan pada pelaksanaan ASO 2 November 2022, pemerintah telah menyerahkan hingga 1 juta unit STB (di Jabodetabek 473 ribu unit, 98,7% dari target). Pemerintah juga menyediakan "Posko ASO" yang dihadirkan di sejumlah hotel di Jabodetabek selama 3 hari (2-4 November 2022) untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan hak STB-nya.[101] Meskipun demikian, ada kritik dari pengamat yang menilai pembagian dekoder TV digital gratis selama ini belum tertata dan tepat sasaran, yang cenderung mengutamakan aspek kemiskinan dibanding kepemilikan atas pesawat TV. Belum lagi hal yang sama terulang seperti sebelumnya, yaitu rendahnya pemenuhan komitmen swasta dalam penyediaan STB. Menurut Kemenkominfo, hal tersebut karena komitmen tersebut tidak bersifat mengikat dan berkekuatan pidana, sehingga pemerintah hanya bisa memberikan imbauan saja.[102] Sebenarnya di dalam lampiran Permenkominfo No. 6/2021 dan No. 11/2021, disebutkan adanya denda administratif, penghentian sementara dan pencabutan izin jika penyelenggara mux tidak memenuhi kewajibannya, namun entah mengapa sampai sekarang belum diterapkan.[16][103] Menurut data per Februari 2024, pemerintah sudah menyerahkan 1,788 juta unit STB gratis, sedangkan dari swasta hanya sekitar 10% atau 421.131 unit dari target 4,33 juta unit.[104]
Sejarah
2004-2008
Salah satu bentuk penyiaran digital paling awal di Indonesia adalah aplikasinya pada siaran televisi satelit berlangganan Indovision (sekarang MNC Vision). Indovision menggunakan sistem DVB-S sejak 1997, seiring peluncuran satelitIndostar-1.[105] Selain itu, sejumlah televisi swasta juga sudah menyiarkan siarannya di satelit secara digital sejak 1999.[81] Sedangkan untuk siaran terestrialfree to-air, langkah awalnya di Indonesia baru dimulai sejak Juni 2004.[106] Kala itu, lembaga bentukan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) bernama "Tim Nasional Migrasi Televisi dan Radio dari Analog ke Digital" (disingkat Timnas Migrasi) yang terdiri atas sejumlah lembaga (seperti TVRI, RRI, BPPT, Kadin, YLKI, ATVSI, dan PRSSNI) ditambah berbagai pihak seperti pakar dan akademisi, telah melakukan beberapa kajian, diskusi dan analisis terhadap implementasi televisi digital di Indonesia.[106]
Kajian ini mengarah ke munculnya uji coba siaran televisi digital pertama di Indonesia pada April-Mei 2006 di Jakarta, dengan penyiar pertamanya saat itu PT Supersave Elektronik yang bersiaran di kanal 27 UHF (menimpa kanal analog Spacetoon),[107] menggunakan sistem DTMB dari Tiongkok; dan sistem lain DVB-T (dari Eropa) di 34 UHF agar dapat dicari mana yang terbaik. Hasil pengujian ini menyimpulkan bahwa DVB-T lebih cocok untuk diimplementasikan di Indonesia.[108][109] Selain dari Timnas Migrasi, pengkajian tentang potensi siaran digital juga merupakan hasil dorongan dari beberapa lembaga internasional, seperti International Telecommunication Union (ITU) pada 2006 yang menargetkan bahwa ASO sudah harus dilakukan pada 2015, dan ASEAN yang memiliki target ASO pada 2020.[110] Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-Undang No. 32/2002 (PP No. 11/2005 dan PP No. 50/2005) juga sesungguhnya sudah mengakomodasi konsep siaran digital, walaupun tidak diatur secara rinci.[111][112]
Kemudian, sejumlah stasiun televisi seperti TVRI dan RCTI tercatat juga melakukan uji coba siaran digital pada Juli-Oktober 2006 di kanal 34 UHF, dan kemudian TVRI melanjutkan uji cobanya pada tahun 2007 pada kanal 27 UHF.[113] Uji coba juga terus dilakukan oleh berbagai lembaga, seperti BPPT-ITS di Jakarta pada Februari 2007.[106] Pada tahun yang sama, Depkominfo resmi menetapkan standar televisi digital pertama yang akan diterapkan di Indonesia: DVB-T, dan pada 5 Agustus 2008,[114] dikeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 27/2008 yang memberi peluang bagi uji coba awal siaran televisi digital di Indonesia.[115]
2008-2011
Soft launching siaran televisi digital diluncurkan pada 13 Agustus 2008 di auditorium TVRI, dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. LPP TVRI menjadi pelaksana dari peluncuran ini, bekerjasama dengan Telkom Indonesia, BPPT, LEN Industri, INTI, Polytron, dan RRI.[116] Televisi digital di Indonesia resmi diluncurkan pada 20 Mei 2009 (di Hari Kebangkitan Nasional ke-101) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di studio SCTV Senayan.[117][118] Sosialisasi siaran televisi digital ke publik secara simbolis diadakan pada 26 Juni 2009 dengan penyerahan set-top box ke masyarakat di kantor Depkominfo Jakarta.[119] Pada saat peluncuran, uji coba penyiaran digital di Jabodetabek dengan menggunakan sistem DVB-T ini direncanakan akan dipegang oleh dua konsorsium, yaitu konsorsium kerjasama TVRI-Telkom dan Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI). Masing-masing konsorsium ini mengoperasikan satu kanal (mux), dalam siaran selama 12 jam sehari.[120]
Pada 3 Agustus 2009, pemerintah juga mulai mengujicobakan sistem televisi digital untuk telepon seluler, menggunakan sistem DVB-H yang perangkatnya disediakan oleh Nokia Siemens Networks.[120] Sistem ini dioperasikan oleh dua konsorsium lain, dengan skema direncanakan berbayar (walaupun akhirnya kurang sukses).[125]
Multipleks kedua (26 UHF) dipegang oleh satu konsorsium lain, yang terdiri dari Telkom-Telkomsel-Indonusa Telemedia yang menyiarkan Tech Sport, CNN, Tres TV, Spacetoon, TV Edukasi, dan 3 siaran diacak dari National Geographic, National Adventure, dan MGM Sport. Cakupan kanal kedua ini berada di Jakarta Pusat dan sebagian Jakarta Selatan.[127] Pihak Telkom sempat merencanakan siaran ini akan dioperasikan secara resmi pada 2010.[128]
Pemerintah pada saat itu mematok target bahwa pada tahun 2009 merupakan akhir dari pemberian izin televisi analog dan awal dari pemberian izin bersiaran digital ke stasiun televisi baru. Selain itu, juga direncanakan pemerintah akan meminjam EUR 17,6 juta dari pemerintah Spanyol bagi mendukung digitalisasi di perbatasan saat itu.[129][130] Sebagai persiapan, pemerintah saat itu sudah mencoba membuat website, rancangan sosialisasi, rencana waktu transisi dalam "Peta Jalan Infrastruktur TV Digital", dan pameran-pameran bagi mempromosikan teknologi baru ini. Hal ini masih belum ditambah upaya bagi-bagi STB pada 2008-2009, yang semuanya mencapai lebih dari 3.000 unit dari Depkominfo, KTDI dan konsorsium TVRI-Telkom.[108][131] Ada juga landasan hukum yang diterbitkan bagi siaran digital terestrial saat itu, yaitu Permenkominfo No. 39/2009 yang bisa dikatakan menjadi "acuan" bagi aturan televisi digital selanjutnya.[132] Walaupun masih belum matang, siaran digital awal ini sudah disambut antusias oleh produsen elektronik, seperti Polytron, LG dan Akari yang mengeluarkan produk-produk penerima siaran DVB-T.[133]
Lalu, pada tanggal 21 Desember 2010 siaran digital TVRI diluncurkan di Jakarta, Surabaya, dan Batam, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan beberapa pejabat (seperti menteri dan kepala daerah). Stasiun televisi khusus digital pertama di Indonesia, TVRI 3 (kini TVRI World) dan TVRI 4 (kini TVRI Sport) juga diluncurkan bersamaan dengan siaran digital TVRI Nasional dan stasiun TVRI daerah.[134][135] Di awal tahun yang sama, siaran digital juga mulai diperluas ke kota Bandung, juga oleh TVRI di kanal 35 UHF yang berisi seluruh stasiun televisi nasional.[121][131] Kehadiran televisi digital di Bandung ini diresmikan oleh Menkominfo Tifatul Sembiring di Sasana Budaya Ganesha, diiringi dengan pembagian 1.000 unit STB ke publik.[118] Perluasan juga awalnya sempat direncanakan di beberapa daerah, seperti Yogyakarta yang pada saat itu ditargetkan memiliki 3 mux (untuk dua konsorsium yang sudah disebutkan diatas dan satu lagi untuk stasiun televisi lokal).[136]
Namun, seiring perkembangannya TV digital tersebut terkatung-katung tanpa landasan yang jelas. Terjadi kerancuan dalam penerapan aturan televisi digital terestrial, seperti misalnya Permenkominfo No. 27/2008 menyatakan bahwa penyelenggara (ujicoba) siaran digital terdiri dari dua konsorsium,[114] sedangkan Permenkominfo No. 39/2009 justru membuka peluang bagi masing-masing televisi swasta untuk mengelola mux-nya sendiri lewat seleksi. Selain itu, tidak jelas juga kapan waktu seleksi dan siaran digital akan dimulai dalam aturan baru tersebut,[26] ditambah pergantian menteri dan kabinet pada Oktober 2009 yang ikut mengubah rencana sebelumnya.[137] Akibatnya, KTDI memutuskan untuk memutus siarannya pada 18 Februari 2010, dan beberapa TV lain juga sempat mematikan siarannya. Selain karena ketidakpastian aturan yang jelas mengenai skema transisi, penghentian siaran tersebut juga disebabkan konflik internal dalam KTDI itu sendiri.[108][138] Pemerintah menjustifikasi pematian siaran ini dikarenakan masa uji coba siaran digital saat itu sudah selesai pada Agustus 2009.[120] Praktis, hingga Agustus 2011, TVRI adalah satu-satunya jaringan TV yang menyiarkan televisi digital di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Batam. TVRI memiliki 376 pemancar analog, 30 di antaranya kompatibel dan siap dialihkan ke digital.[139]
2011-2015
Dengan dikeluarkannya Permenkominfo No. 22/2011 (landasan hukum pertama yang secara spesifik menyebutkan kebijakan ASO/penghentian siaran analog), praktis siaran digital kembali muncul di sejumlah daerah yang diadakan oleh TV-TV swasta nasional yang sudah ada. Perkembangan-perkembangan lain kemudian muncul, seperti dikeluarkannya Permenkominfo No.5/2012 (yang mengganti standar DVB-T menjadi DVB-T2), serta kemudian Permenkominfo No. 17/2012 dan Kepmenkominfo No. 95/2012 yang resmi memberi kesempatan kepada swasta untuk bermain dalam proses digitalisasi penyiaran dalam bentuk pengelolaan multipleks (mux).[108] Dalam skema saat itu, terdapat 15 daerah mux di seluruh Indonesia dan proses ASO akan dilakukan secara bertahap hingga 2018. Kemudian, sebagai realisasi dari peraturan tersebut, pada Juni 2012 Kemenkominfo mengadakan seleksi penyelenggara mux. Seleksi ini berhasil menghasilkan pengelola mux di 5 daerah (DKI Jakarta-Banten; Jawa Barat; Jawa Tengah-DIY; Jawa Timur dan Kepulauan Riau). Lelang kemudian dilanjutkan untuk wilayah Aceh-Sumut dan Kaltim-Kalsel pada Maret 2013.[140] Mayoritas pemenang pengelola multipleksing dalam seleksi tersebut berasal dari perusahaan media besar (Grup MNC, SCM, VIVA, Trans Media dan Media Group), sehingga sempat menuai penolakan dari berbagai pihak. Alasannya karena skema tersebut dirasa tidak memerhatikan keragaman kepemilikan, serta terkesan merugikan dan meminggirkan pemain dari stasiun televisi lokal yang sudah membangun infrastruktur siaran.[141][142]
Walaupun demikian, sejumlah stasiun televisi yang telah memenangkan hasil seleksi tersebut tetap memulai siarannya, seperti MetroTV di Jakarta, Bandung, Medan, Semarang, Surabaya, serta Malingping, Pandeglang, Anyer, dan Cilegon di Banten sejak September 2012.[143] Juga, seiring dengan perkembangan sistem, siaran DVB-T perlahan-lahan menghilang dengan seluruh stasiun televisi swasta berpindah ke DVB-T2, menyisakan TVRI yang kemudian menjadi yang terakhir memutus siaran DVB-T nya.[144] Dalam perkembangannya, pemerintah kemudian juga melakukan sejumlah penambahan penyelenggara pada 2014. Di Jakarta, misalnya penyelenggara siaran direncanakan bertambah, yaitu 18 stasiun TV (TV Betawi, Republika TV, KTI, News TV, Gramedia TV, Warna TV, BBS TV, Tempo TV, SportOne, BNTV, Detik TV, Magna TV, City TV, JPTV Jakarta, Smile TV, RIM TV, Icon TV, Nusantara TV, dan tvMu).[145] Ini masih belum ditambah calon pemain lain, seperti Indonesia TV, MGA TV, Sindo TV, Plaza TV, Gen TV, Jetset Channel, dan TVQ.[146] Selain itu, pemerintah juga menambah penyelenggara multipleks di Jakarta yaitu dari RCTI dan RTV.[147] Di berbagai daerah lain, seperti Yogyakarta, direncanakan ada 10 stasiun TV baru,[148] sedangkan di Jawa Barat diperkirakan akan terdapat 30 stasiun televisi digital baru.[149]
Namun, kemudian perjalanan migrasi televisi digital tidak berjalan mulus. Seperti dari penyelenggara mux LP3M, dari SCTV menyatakan hingga pertengahan 2013, meskipun sudah menyiapkan perangkat pemancar digital (multiplekser) sejak uji coba 2008 dan sudah bersiaran rutin sejak September 2012 dengan memakan investasi tidak sedikit (konon hingga Rp 400 miliar ditambah biaya perawatan Rp 30 – 60 juta per bulan), namun masyarakat belum banyak yang mengetahui siaran digital bahkan setelah 5 tahun diluncurkan akibat belum ada kesiapan perangkat pendukung seperti receiver.[150] Selain itu, dari perspektif Asosiasi TV Lokal (ATVLI) menilai, adanya kewajiban menyerahkan sejumlah uang jaminan sampai miliaran rupiah merupakan hal yang memberatkan bagi TV lokal. Pada tahap prakualifikasi, calon peserta LP3M wajib menyerahkan uang jaminan Rp 1 miliar. Kemudian, jika lulus tahap prakualifikasi, calon peserta LP3M menyerahkan jaminan lagi sebesar Rp 7 miliar agar bisa masuk proses kualifikasi. Selain itu, ATVLI mengeluhkan standar infrastruktur yang harus digunakan sebuah lembaga siaran yang wajib disesuaikan dengan standar penyiaran pemerintah [150]
Ditambah lagi dengan pemerintah, yang dalam hal ini cenderung melupakan ketidakpuasan sebagian masyarakat sipil dan asosiasi industri televisi yang tidak puas akan hasil seleksi sebelumnya. Mereka pun dengan berani menggugat ke Mahkamah Agung pada 2012, karena alasan yang sudah disebutkan di atas. Hasilnya, MA kemudian membatalkan landasan hukum siaran digital, yaitu Permenkominfo No. 22/2011.[141] Respon pemerintah (baik itu era Menkominfo Tifatul Sembiring maupun penggantinya Rudiantara) awalnya bersikukuh melanjutkan program ini.[151] Tifatul bahkan mengeluarkan pengganti Permenkominfo yang dicabut MA yaitu dengan Permenkominfo No. 32/2013,[29] sedangkan Rudiantara bertekad melanjutkan migrasi siaran digital dengan tetap menggunakan hasil seleksi sebelumnya karena dianggap penting untuk jaringan 4GLTE.[131] Akibatnya, muncul kembali berbagai gugatan ke pemerintah, seperti dari asosiasi televisi ATVJI dan ATVLI di PTUN. Pada 5 Maret 2015, PTUN resmi mengeluarkan keputusannya yang mencabut seluruh hasil seleksi mux pada 2012 dan 2013 lalu[152] (hal ini diperkuat dengan putusan MA pada 2016 dan 2018).[153] Putusan tersebut bisa dikatakan merupakan “pukulan telak” bagi proses digitalisasi penyiaran nasional, karena dengan kalahnya pemerintah berkali-kali di pengadilan, maka pemerintah lebih mengharapkan revisi Undang-Undang Penyiaran agar segera disahkan.[108] Hal ini untuk mengantisipasi masalah dalam landasan hukum siaran digital, karena didasari selama ini aturannya hanya diatur lewat Peraturan Menteri, bukan undang-undang maupun peraturan pemerintah, sehingga tidak memiliki "cantolan" hukum yang kuat.[154] Beberapa pihak berpendapat, bahwa raksasa media pada saat itu kemungkinan berada dalam pembatalan ini karena tidak ingin “kekuasaan” dan status quo-nya diganggu.[155] Realisasi penghentian siaran digital saat itu secara resmi dituangkan dalam Surat Edaran Menteri Kominfo No. 4/2015, yang dikeluarkan pada 22 September 2015.[156]
2015-2020
Dengan ketiadaan hukum bagi siaran digital, maka proyek besar pemerintah ini pun seperti "hidup segan, mati tak mau". Hal ini semakin diperparah oleh mandeknya revisi UU Penyiaran di DPR, akibat pertentangan siapa pengelola multipleksing: apakah ia single mux (TVRI saja), multi mux (bersama seluruh televisi swasta), ataupun campuran/hybrid mux.[157] Tampak bahwa stasiun televisi swasta seperti menjadi penghalang utama dari proses migrasi ini,[158] meskipun mereka sering kali berkilah bahwa mereka sudah siap dan "tidak bisa menolak teknologi", hanya saja butuh kepastian tentang skema penyelenggaraannya.[159] Sesungguhnya, sejumlah stasiun TV swasta tetap menjalankan siaran digital, seperti SCTV dan MetroTV (walaupun kini hanya di Jabodetabek saja) dan TVRI masih tetap mempertahankan 4 kanalnya, menjadi satu-satunya TV yang tidak mematikan siaran digitalnya maupun 4 kanal mereka di berbagai daerah secara konsisten.[135] Pada stasiun TV tertentu, misalnya yang ada di bawah grup Media Nusantara Citra (MNC), mereka langsung mematikan seluruh kanalnya[160] dengan alasan ketiadaan hukum.[161]
Selagi menunggu pembahasan RUU Penyiaran yang terkatung-katung, pemerintah tetap berusaha memulai kembali program migrasi televisi digital nasional. Kali ini, pemerintah menempatkan TVRI sebagai pemain utama dalam proses digitalisasi siaran, bekerja sama dengan industri elektronika dan KPI.[108][162] Pada 15 Juni 2016, pemerintah memulai kembali uji coba siaran digital dengan menggandeng 36 LPS/TV swasta (mayoritas baru), yaitu:[163][164]
NET. (PT Net Mediatama Televisi, PT Televisi Anak Bandung, PT Industri Televisi Semarang, PT Mitra Televisi Yogyakarta)
Nusantara TV (PT Nusantara Media Mandiri, PT Nusantara Media Mandiri Parahyangan, PT Nusantara Media Mandiri Tapanuli, PT Nusantara Media Mandiri Batam, PT Nusantara Media Mandiri Yogyakarta)
Ujicoba ini selain diadakan di Jabodetabek, juga dilakukan di 20 kota besar lain seperti Bandung, Yogyakarta dan Medan menggunakan kanal-kanal (multipleks/mux) TVRI yang ada di kota-kota tersebut.[165] Kerjasama ini diformalkan lewat nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) stasiun televisi swasta diatas bersama TVRI pada 9 Juni 2016.[166]
Siaran ujicoba yang awalnya direncanakan selesai pada 15 Desember 2016 ini kemudian diperpanjang hingga 9 Juni 2017. Sebagai landasannya, Kemenkominfo menerbitkan aturan baru yaitu Kepmenkominfo No. 1052/2016 (kemudian diganti menjadi 2053/2016).[167] Pada Februari 2017, dari 36 pentandatangan MoU, menurut MenkominfoRudiantara sudah ada 26 stasiun televisi yang bersiaran di berbagai daerah (meliputi NTV, NET., CNN Indonesia, Inspira TV, Kompas TV, Gramedia TV, tvMu, DAAI TV, Tempo TV, Badar TV, Persada TV dan jaringannya).[159][168] Perlu diketahui bahwa siaran ujicoba ini benar-benar bersifat percobaan saja (tidak mengarah ke ASO), untuk menguji hal-hal seperti konfigurasi jaringan; perangkat dan sistem mux; layanan tambahan pada siaran digital, misalnya data dan informasi cuaca; dan skema sosialisasi siaran digital ke depan.[162]
Hingga 2019, pemerintah tak kunjung mendapatkan kabar baik dari pembahasan RUU Penyiaran, sementara itu Indonesia tampak tertinggal dari beberapa negara tetangga (seperti Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia) dalam proses transisi ke siaran digital.[169] Meskipun beberapa kali pemerintah mendorong agar migrasi segera dilakukan,[170] namun tampak lebih dianggap sebagai "angin lalu" semata, terbukti dari minimnya minat sejumlah televisi swasta besar dalam mempromosikan migrasi siaran digital. Walaupun demikian, pada tahun ini pemerintah dengan "berani" mencanangkan bahwa 2024 merupakan waktu terakhir stasiun TV di Indonesia bersiaran analog.[171] Rencana ini jelas meleset dari target awal pada 2010 lalu yang menargetkan ASO (penghentian siaran analog) pada 2018.[172] Pemerintah kemudian juga mendapatkan angin segar dengan munculnya dukungan dari dua grup media besar, yaitu Trans Media dan Media Group yang menyatakan bahwa mereka akan melakukan siaran digital di 12 daerah yaitu Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara setelah memperbaharui izin multipleks-nya. Menurut mereka, digitalisasi TV adalah sebuah keniscayaan.[173] Uniknya (kemungkinan mencerminkan sikap pemiliknya), dua reaksi berbeda justru muncul dari pimpinan asosiasi TV swasta nasional, ATVSI akan langkah kedua grup tersebut. Dari sang ketua, Ishadi S.K. (Trans Media) tampak mendorong ide tersebut,[174] namun wakilnya (saat itu) Syafril Nasution (MNC) menolaknya dengan alasan "ketiadaan regulasi".[175] Pada 31 Agustus 2019, dua TV swasta yang berasal dari grup yang disebutkan sebelumnya (Trans7 dan MetroTV), juga terlibat dalam peluncuran siaran digital di perbatasan di Nunukan, Kalimantan Utara.[176]
2020-2023
Kemandekan proses revisi UU Penyiaran pada akhirnya dapat dipecahkan dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di tanggal 2 November 2020. Walaupun undang-undang ini bersifat kontroversial, namun dengan adanya penyelipan pasal 60A di UU Penyiaran yang mewajibkan penghentian siaran analog di Indonesia dalam waktu "paling lambat 2 tahun" sesudah disahkan (2022), maka pintu migrasi ke TV digital yang selama ini tertutup, telah terbuka. Alasan penyelipan topik ASO dalam UU Ciptaker adalah untuk menyediakan frekuensi eks-siaran analog untuk keperluan lain, seperti internet.[177][178] Pasca pengesahan UU tersebut, sejumlah TV swasta segera "menyalakan" kembali siaran digitalnya. TV milik MNC Media misalnya "menyalakan" kembali siaran digitalnya di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Batam dan berbagai daerah di Indonesia lainnya secara bertahap setelah berhenti selama 4-5 tahun. Langkah yang sama kemudian juga dilakukan oleh stasiun televisi swasta lain di berbagai daerah. Menurut ATVSI, TV-TV swasta anggotanya juga mendorong siaran digital di 12 daerah demi mendukung kebijakan simulcast siaran di 34 provinsi pada pertengahan 2021 dan pematian siaran analog pada 2 November 2022.[179]
Sebagai turunan dari UU Ciptaker, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan penting. Sebagai turunan dari UU tersebut di bidang penyiaran, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 46/2021 dan Permenkominfo No. 6/2021 yang mengatur berbagai hal mengenai siaran digital, seperti skema pengelola mux dan penetapan waktu ASO.[16] Lalu, pemerintah juga melakukan seleksi bagi penyelenggara mux di daerah tersisa yang belum didapatkan pengelolanya pada lelang 2012-2013. Hasil seleksi ini diumumkan pada 26 April 2021 sehingga proses seleksi tuntas dilakukan.[180] Walaupun kali ini tampak pemerintah lebih selektif dengan tidak memberikan seluruh stasiun televisi swasta besar kanal siaran di seluruh daerah, namun lagi-lagi pemenangnya mayoritas tampak dikuasai oleh grup media besar (terkecuali Nusantara TV di dua daerah) dan pemerintah tidak melakukan revisi atas hasil lelang 2012-2013 yang dirasa kontroversial, sehingga masih memicu kekecewaan dari asosiasi televisi lokal.[181] Namun, tampak pemerintah tidak ingin mengulur waktu lagi, sehingga tetap melanjutkan proyeknya dalam migrasi yang dijadwalkan selesai dalam 2 tahun ini dengan mulai mengadakan berbagai promosi dan kampanye di berbagai daerah dan dengan aneka medium. Salah satu bukti dari keseriusan ini, adalah meskipun pemerintah sempat mengundur tahapan ASO, namun pada 2 November 2021, dalam acara "Anugerah Penyiaran Provinsi Jawa Barat" di Kabupaten Bandung, KPI dan Kominfo sudah "menghitung mundur" waktu setahun dari waktu ASO 2022.[182]
Seiring waktu ASO tahap 1 yang makin dekat, pemerintah juga sudah melakukan verifikasi ulang pada penyelenggara multipleksing,[183] memulai pembagian set-top box sejak Maret 2022 baik oleh pemerintah dan swasta,[184][185] dan terus melakukan berbagai sosialisasi. Selain itu, sejumlah saluran televisi juga mulai bekerjasama dengan penyelenggara multipleksing dan muncul di berbagai daerah.[186][187] Pada 22 April 2022 juga, telah diselenggarakan "Kick Off Analog Switch Off Tahap 1" di Medan,[188] dan pada 26 April 2022 siaran televisi digital telah diresmikan di Kepulauan Riau oleh Gubernur Kepulauan RiauAnsar Ahmad.[189]
Pelaksanaan ASO dan respon
Di tanggal 30 April 2022, ASO tahap pertama telah dilakukan (lebih tepatnya dimulai karena tidak serentak) di 4 wilayah siaran (dari 56 wilayah yang direncanakan) yang mencakup 8 kabupaten/kota[190] di provinsi Riau, Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat.[42][45] Namun, ASO tahap pertama ini rupanya tidak direspon positif oleh beberapa kalangan. Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), misalnya mengkritik kekurangberpihakan pemerintah pada televisi lokal yang dianggap dirugikan dari proses ASO. Belum lagi pemerintah dirasa melangkahi beberapa regulasi yang dibuatnya, belum pahamnya banyak masyarakat akan ASO, dan pembagian komitmen STB yang menurun dari 8,7 juta menjadi 5,7 juta untuk pihak swasta. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 yang menetapkan UU Cipta Kerja No. 11/2020 sebagai inkonstitusional bersyarat,[191] dianggap menjadi landasan kuat bahwa ASO harus ditunda kembali dan dibicarakan dahulu bersama stakeholder terkait.[192] Alasan serupa pun diberikan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang menginginkan revisi Undang-Undang Penyiaran No. 30/2002 diselesaikan dahulu sebelum ASO[193] dan Bambang Santoso, ketua ATVLI.[194]
Belakangan, menjelang ASO tahap kedua (25 Agustus 2022), datang juga kritik dari pemain-pemain besar seperti SCM, Transmedia dan Visi Media Asia yang meminta penundaan dengan berbagai alasan.[195][196] Tidak hanya itu, muncul gugatan kemudian dari sebuah stasiun televisi lokal, Lombok TV yang meminta pemerintah menghentikan rencana ASO karena hasil gugatannya dan asosiasi televisi swasta ATVSI.[197] Akibat dari berbagai kritik dan masukan tersebut, pemerintah tercatat beberapa kali mengubah tatacara pelaksanaan ASO, dan belakangan tidak banyak daerah lain yang mampu melaksanakan ASO sesuai target awalnya. Meskipun demikian, menurut data pemerintah, tercatat ada tambahan 14 wilayah layanan (atau 35 kabupaten/kota) yang menjalankan tahap ASO kedua yang dilakukan pada 5 Oktober 2022, meskipun kurang jelas dimanakah daerah-daerah tersebut.[190]
Akhirnya, pada 2 November 2022 pemerintah mengadakan seremoni transisi penghentian siaran analog, yang dihadiri oleh sejumlah pejabat dari industri pertelevisian, Menkominfo Johnny G. Plate dan Menkopolhukam Mahfud MD; seremoni ini dimaksudkan sebagai pertanda penghentian siaran analog yang resmi diberlakukan pada 24:00 WIB.[198] Akan tetapi, pada saat yang sama, nampak ASO hanya terbatas di Jabodetabek (1 wilayah layanan atau 14 kabupaten/kota)[190] dan masih diwarnai penyimpangan seperti masih adanya televisi swasta yang tidak menghentikan siaran analognya (RCTI, MNCTV, GTV, iNews, antv, dan Cahaya TV).[199][200] 4 stasiun televisi yang menolak ASO tersebut berasal dari grup MNC yang justru kemudian menggunakan isu ASO untuk mempropagandakan pemiliknya, Hary Tanoesoedibjo sebagai "pro rakyat",[201] dan membuat berbagai berita tentang ASO di media miliknya yang mayoritas bernada negatif.[202] Raksasa media tersebut mengklaim tindakan mereka diambil karena alasan "mementingkan kepentingan masyarakat", belum mendapat surat yang mewajibkan ikut bergabung dalam ASO 2 November 2022,[203] serta hasil gugatan Lombok TV dan putusan MK akan UU Cipta Kerja. Tidak matinya siaran dari RCTI dalam seremoni 2 November tersebut membuat Menkominfo kecewa dan memerintahkan "kerjasama" dan "pendekatan lapangan" agar televisi tersebut mau melakukan ASO.[52]
Belakangan, setelah disemprit oleh MenkopolhukamMahfud MD yang mengancam mencabut izin serta menutup siaran televisi-televisi milik MNC Group dan sejumlah televisi lainnya yang masih bersiaran analog,[200] pihak MNC menyatakan mereka bersedia untuk menutup siaran mereka pada 3 November pukul 24:00 WIB, namun setelahnya mereka akan menggugat ke pengadilan karena "terpaksa melakukannya" [204] dan kebutuhan kepastian hukum. Dalam rilis resmi perusahaan, dinyatakan bahwa dengan ASO yang terbatas di Jabodetabek "berpotensi menimbulkan terdegradasinya nilai kesatuan berbangsa".[205] Gertakan Hary Tanoe tersebut direspon Mahfud yang menjamin pemerintah siap menghadapi tindakan raja media tersebut,[206] dan menyentil Hary Tanoe agar tidak mencari masalah.[207] Bagi sejumlah pihak, sikap Hary Tanoe dan kelompok media miliknya tersebut terkesan aneh, mengingat gagalnya pemberlakuan ASO nasional (hanya di Jabodetabek saja) pada 2 November 2022 (yang bisa ditafsirkan melanggar UU Cipta Kerja) salah satunya merupakan akibat dari tekanan industri penyiaran,[208] dan ada yang menafsirkan klaim "pro rakyat" sang konglomerat tersebut hanya tameng demi melindungi bisnisnya.[209] Diketahui bahwa distribusi komitmen STB MNC Grup adalah yang paling terendah dari para penyelenggara mux, meskipun konglomerasi tersebut dan pemiliknya selalu mengklaim soal merugikan rakyat dalam hal STB.[202] Sebenarnya, reaksi dan tindakan hampir serupa juga disampaikan/dilakukan oleh Visi Media Asia (VIVA), meskipun dengan respon yang lebih lunak.[210]
Adapun selain penolakan dari pihak diatas, juga datang keluhan serupa seperti dari ATVLI (yang memang merupakan pihak yang sudah lama menolak ASO, diklaim karena aspek legalitas).[211] Namun, ada juga dukungan hadir ke proyek ASO pemerintah, seperti dari sejumlah anggota DPR,[212][213] MPR dan eks-Menkominfo Tifatul Sembiring. Bagi dua pihak yang terakhir disebutkan, mereka menyarankan pemerintah agar tegas pada televisi swasta yang masih membangkang akan kebijakan ASO.[214][215] Sementara itu, respon masyarakat cukup beragam dalam menanggapi ASO: sejumlah toko elektronik mencatatkan peningkatan penjualan STB,[216] namun ada juga masyarakat yang kurang peduli, seperti menjual televisi analognya.[217] Bagi beberapa kalangan masyarakat, mereka justru terkesan dirugikan dari ASO Jabodetabek yang masih kurang matang, yang membuat mereka justru kehilangan sumber informasi dari televisi,[102] masih belum adanya pemerataan siaran, dan keengganan sejumlah pihak mengeluarkan dana ekstra demi membeli STB[218] yang belakangan harganya sudah melambung.[219] Meskipun demikian, pemerintah sendiri mengklaim bahwa pada November 2022, hasil kerja mereka menghasilkan 98% penduduk Indonesia sudah siap berpindah ke siaran digital[220] (suatu angka yang dibantah oleh survei Poltracking yang menyatakan hanya 33% publik yang menerima penghentian siaran analog, 40% menolak dan sisanya tidak tahu).[221] Jika ada pihak yang masih menyebut masyarakat dirugikan, menurut Kominfo, lebih disebabkan subjekivitas dan informasi yang tidak lengkap.[57]
Sebulan setelah ASO Jabodetabek dilakukan, pada 2 Desember 2022, siaran analog resmi dipadamkan di Bandung, Semarang, Yogyakarta-Surakarta dan Batam.[61] Totalnya ada sekitar 25 kota yang ikut dalam ASO ini, yang meliputi 5 kota tersebut dan daerah penyangganya (seperti Bandung Raya, Kedungsepur, Solo Raya).[222] ASO kemudian dilanjutkan pada akhir Maret 2023 di Bali, Banjarmasin dan Palembang. Berbeda dengan ASO 2 November yang diwarnai riak-riak, penghentian kali ini cenderung mulus dengan hampir semua Lembaga Penyiaran (LPS) mematikan siaran analognya di hari tersebut. Hal ini dikarenakan distribusi dekoder di daerah-daerah tersebut diklaim sudah mencapai 98-100%. Selain itu, semua pihak yang berkepentingan (dalam hal ini Kemenkominfo, KPI Pusat, KPI Daerah, penyelenggara MUX, Lembaga Penyiaran TV Swasta, penyedia STB, Asosiasi Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) dan AC Nielsen) sudah menyepakati tanggal tersebut pada Rapat Koordinasi Pelaksanaan Siaran Digital dan Ketersediaan STB yang diadakan di tanggal 29 November 2022. Namun, ada satu daerah yang batal ikut ASO keempat ini, yaitu Surabaya karena pembagian STB-nya masih sekitar 66% dari target.[223][224] Lebih dari dua minggu kemudian, ASO diperluas ke Surabaya dan sekitarnya yang totalnya mencapai 10 kabupaten/kota dengan situasi yang tidak jauh berbeda. Tidak lama kemudian, kota besar lainnya yaitu Medan dan Makassar ikut menyusul proses ASO.
Sama seperti kasus ASO 2 November, tercatat sempat terjadi lonjakan harga dan permintaan STB (hingga kelangkaan) di kota-kota tersebut pasca-ASO.[225][226] Naiknya harga dekoder di berbagai daerah setelah ASO yang tercatat bisa mencapai dua kali lipat (dari Rp 150.000 menjadi Rp 300.000-400.000) tersebut, banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Namun, Kemenkominfo mengaku mereka tidak bisa mencampuri soal harga dan membiarkannya sesuai pasar, karena kewenangan pengaturan harga ada pada Kementerian Perdagangan[227] dan produksinya ada pada Kementerian Perindustrian. Yang diurus Kemenkominfo hanyalah soal sertifikasi perangkat saja.[228] Selain kenaikan harga, baru-baru ini juga muncul berbagai kabar tentang terbakarnya STB, yang banyak diantaranya masih dapat dipertanyakan kebenarannya.[229]
Akhir penghentian siaran analog
Pada 15 Juni 2023 menurut data Kominfo, data di 11 kota menunjukkan penetrasi siaran digital sudah mencapai 95%, sedangkan angka kepemirsaan juga terus membaik (124,2 juta pemirsa TV digital, sedangkan analog sebelumnya sebesar 129,8 juta).[4] Survei pada Oktober 2023 juga menunjukkan bahwa mayoritas responden di Jakarta telah menerima dan menyambut baik ide penerapan siaran digital.[230] Dengan selesainya proses ASO di kota-kota besar, pemerintah mempercepat prosesnya untuk daerah-daerah lainnya, diiringi upaya berbagai jaringan televisi nasional untuk memadamkan siarannya. Akhirnya, pada bulan Agustus 2023, lembaga penyiaran swasta dan pemerintah resmi mematikan siaran analog terakhir yang masih tersisa, sebagai "kado" bagi perayaan HUT RI ke-78,[4] dan per tahun 2024, Indonesia sudah menerapkan digital broadcasting system secara penuh.[5] Hal ini berarti mengakhiri siaran tersebut di Indonesia sejak kemunculan televisi di tahun 1962, dan menutup proses migrasi siaran analog setelah tersendat-sendat sejak dicanangkan sejak 2009.
Asosiasi utama bagi pemain-pemain dalam penyiaran digital berada dalam satu wadah bernama ATSDI (Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia). Asosiasi ini dibentuk pada sebuah konferensi pada 25 Maret 2015 di Cimahi, Jawa Barat. Ketua umum pertamanya adalah Gilang Iskandar dan Sekretaris Jenderal dijabat oleh Eris Munandar. Saat ini, Eris merupakan ketua umum dari asosiasi ini dan sekjennya dijabat oleh Tulus Tampubolon.[231][232] ATSDI terdiri dari 65 anggota,[233] seperti Nusantara TV, Inspira TV, Tempo TV dan Persada TV. Dibanding asosiasi televisi lain seperti ATVJI, ATVLI dan ATVSI yang cukup resisten atau ambivalen dalam kebijakan migrasi siaran digital, ATSDI tampak sangat mendorong proses ini, lewat proses seperti pertemuan dengan pemerintah (Kemenkominfo, Kemenkumham), Rapat Dengar Pendapat dengan komisi dan sejumlah fraksi di DPR, diskusi dengan LSM terkait, wawancara dan sosialisasi penyiaran digital dengan sejumlah media, dan mengadakan seminar-seminar baik internal maupun eksternal.[234][235] Selain ATSDI, pihak lain yang berkepentingan mendorong digitalisasi juga datang dari sejumlah pemain elektronik.[236]
Pasca-ASO, tercatat muncul sejumlah saluran-saluran baru televisi digital di sejumlah daerah, mulai dari Moji, Mentari TV, CNN Indonesia, Garuda TV, Sin Po TV, dan lainnya yang menambah variasi program siaran. Di satu sisi, menurut beberapa pihak dari industri penyiaran, proses ASO sulit mengubah bisnis mereka yang terus tertekan akibat kehadiran teknologi baru seperti layanan OTT.[237] Bisnis lain yang dianggap mudah terganggu akibat kebijakan ini seperti perusahaan televisi satelit FTA dan provider TV kabel daerah.[238]
^(Indonesia) KEMKOMINFO. "Tentang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-16. Diakses tanggal 24-Februari-2015.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^ ab(Indonesia) Jakarta Notebook. "Revolusi Siaran Digital". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-10. Diakses tanggal 10-Juni-2015.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^(Indonesia) Bambang Subijantoro. "Kebijakan Penyiaran Nasional"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2015-02-18. Diakses tanggal 18-Februari-2015.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)