Tahu Sumedang (aksara Sunda: ᮒᮠᮥ ᮞᮥᮙᮨᮓᮀ) adalah tahu khas daerah Sumedang. Jika dibeli dalam jumlah banyak, umumnya menggunakan bongsang, anyaman bambu yang dapat memuat 25–100 buah tahu goreng.[2]
Sejarah
Asal kata
Menurut Ong Boen Keng ,tokoh tahu Sumedang, "tahu" berasal dari bahasa Mandarindòufu (豆腐) dibaca tou-fu atau tāu-hū oleh orang Hokkian.[3]
Kreativitas
Bermula dari kreativitas yang dimiliki oleh imigranChina, Ong Kino dan istrinya yang menjadi perintis untuk memproduksi tahu di Sumedang yang awalnya dibuat dari kedelai lurik yang mirip telur puyuh. Tahun demi tahun, Ong Kino beserta istrinya terus menggeluti usaha mereka hingga sekitar tahun 1917, dan anak tunggal mereka bernama Ong Boen Keng untuk melanjutkannya. Ong Boen Keng kemudian melanjutkan usaha kedua orangtuanya yang memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Hokkian, Republik Rakyat Tiongkok.
Melalui generasi Ong Boen Keng yang terus melanjutkan usaha yang diwariskan dari kedua orang tuanya hingga akhir hayatnya di usia 92 tahun[butuh rujukan]. Di balik kemasyhuran tahu Sumedang ada pula kisah seperti yang diceritakan cicit dari Ong Kino, Suryadi. Sekitar tahun 1928, konon suatu hari tempat usaha sang kakek buyutnya, Ong Boen Keng, didatangi oleh Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Atmadja yang kebetulan tengah melintas dengan menggunakan dokar dalam perjalanan menuju Situraja, Sumedang. Kebetulan, sang pangeran melihat seorang kakek sedang menggoreng sesuatu. Pangeran Soeria Atmadja langsung turun begitu melihat bentuk makanan yang amat unik serta baunya yang harum.[3] Sang bupati, Pangeran Soeria Atmadja kemudian bertanya kepada sang kakek, "Maneh keur ngagoreng naon? (Kamu sedang menggoreng apa?)". Sang kakek berusaha menjawab sebisanya dan menjelaskan bahwa makanan yang ia goreng berasal dari tahu. Karena penasaran, sang bupati langsung mencicip satu. Setelah mencicipi, bupati secara spontan berkata dengan wajah puas, "Enak benar masakan ini! Coba kalau kamu jual, pasti laris!". Tak lama setelah kejadian ini, tahu digemari oleh penduduk Sumedang dan kemudian sampai ke seluruh Indonesia.[2]
Perbedaan dengan tahu biasa
Tahu ini setelah digoreng dengan bumbu yang sama, menghasilkan bentuk yang berbeda dari tahu goreng biasanya. Koagulan yang dipakai adalah sisa dari penggumpalan tahu, disebut larutan biang yang disimpan selama 2–3 hari, yang prosesnya menggunakan asam cuka.[2] Tahu ini bisa mengalami perubahan rasa setelah beberapa jam dibeli jika dibuat secara tradisional, kedelai asli tanpa pengawet. Rasa gurih berubah menjadi asam, kulit yang garing menjadi liat. Tapi ini dapat disiasati dengan penyimpanan di kulkas. Penggorengan yang tepat yaitu dalam minyak yang panas / menguap, api besar, daya muat penggorengan, serta jumlah tahunya.[4]