Roti buaya adalah hidangan Betawi berupa roti manis berbentuk buaya.[1] Roti buaya senantiasa hadir dalam upacara pernikahan dan kenduri tradisional Betawi.[1][2]
Sejarah
Sejarah roti buaya bermula ketika bangsa Eropa datang ke Batavia. Dahulu, orang Eropa mengungkapkan tanda cinta mereka dengan memberikan bunga kepada pasangan mereka. Melihat hal tersebut, masyarakat suku Betawi berpikir untuk memberikan sesuatu sebagai simbol ungkapan perasaan cinta kepada pasangan mereka. Pada saat itu, Batavia memiliki 13 sungai yang menyebar luas yang masing-masing sungai tersebut terdapat buaya. Masyarakat suku Betawi juga mengetahui bagaimana pola hidup buaya yang hanya kawin sekali seumur hidupnya dan tidak kawin dengan buaya lain, meskipun pasangannya sudah mati atau menghilang.[1] Oleh sebab itu, masyarakat suku Betawi pun memutuskan untuk membuat roti yang berbentuk seperti buaya sebagai ungkapan perasaan kepada pasangan mereka, seperti orang Eropa yang mengungkapkan perasaan mereka dengan memberi bunga kepada pasangan mereka.[3][4]
Makna
Suku Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya, maka roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam perkawinan.[1][2] Pada saat pernikahan, roti diletakkan di sisi mempelai perempuan dan para tamu kondisi roti ini melambangkan karakter dan sifat mempelai laki-laki.[5] Buaya secara tradisional dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa).[5] Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan.[6]Akan tetapi, kini dalam simbolisme budaya modern, makna buaya berubah menjadi hal yang buruk, misalnya buaya judi, buaya minum (pemabuk) dan buaya darat (orang yang mata keranjang).[1][5]
Referensi
Lihat pula
Daftar pustaka