Tahu adalah makanan yang dibuat dari endapan perasan bijikedelai yang mengalami koagulasi. Tahu berasal dari Tiongkok, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso. Nama "tahu" merupakan serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) (Hanzi: 豆腐, hanyu pinyin: doufu), yang secara harfiah berarti "kedelai terfermentasi". Tahu telah dikenal di Tiongkok sejak zaman dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu An (Hanzi: 劉安) yang merupakan seorang bangsawan, cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang yang mendirikan dinasti Han.
Versi tahu yang dikenal di Jepang adalah tahu sutra (絹漉し豆腐, kinugoshi tōfu). Tahu sutra lebih lunak dan kurang tahan terhadap pengolahan lebih lanjut, sehingga biasanya dikonsumsi mentah. Tahu secara umum dibawa para perantau Cina ke seluruh penjuru dunia sehingga menyebar ke Asia Timur dan Asia Tenggara, lalu juga akhirnya ke seluruh dunia.
Tahu di Indonesia
Tahu telah mengalami indigenisasi di Indonesia sehingga muncul berbagai varian tahu serta panganan berbahan tahu. Tampilan luar tahu ada yang berwarna putih maupun kuning. Karena populernya, tahu menjadi bagian tak terpisahkan yang ditemui di tempat makan berbagai tingkat sosial di Indonesia, bersama-sama dengan tempe.
Di Kediri tahu kuning menjadi makanan khas. Tahu ini dikenal sebagai tahu takwa. Tempat lain yang juga terasosiasi dengan tahu adalah Sumedang (tahu Sumedang).
Tahu masih terkait dengan kembang tahu dan tauhue (juga disebut sebagai "kembang tahu") menurut cara pembuatannya.
Dubu adalah tahu Korea (豆腐, 두부).[5]Orang Korea memanfaatkan tahu untuk berbagai jenis masakan.[6]
Referensi awal mengenai tahu di Korea dapat ditemukan dalam Catatan Mogeun (Mogeunjip) yang ditulis oleh Yi Saek (bernama pena Mogeun, 1328-1396) pada zaman Dinasti Goryeo (938-1392).
[7] Dalam satu puisinya, Yi Saek mengungkapkan kelezatan tahu yang baru saja dibuat.[7]
Referensi lain menuliskan tentang cara memasak tahu Korea dalam Yangchonjip oleh Gwon Geun serta Heo Gyun (1569-1618), seorang sastrawanDinasti Joseon yang menulis artikel dalam Domundaejak tentang kelembutan rasa dubu yang dijual pedagang di luar Gerbang Changui.[7] Sebuah catatan di Sejongsillok (Catatan Pemerintahan Raja Sejong) menyebutkan bahwa Kaisar Ming memuji kelezatan tahu di Joseon dan wanitanya pandai memasak makanan yang lezat.[7]
Catatan sejarah menunjukkan bahwa teknik membuat tahu diperkenalkan dari daratan Cina ke Korea pada zaman Dinasti Goryeo sejak abad ke-10. Dari Korea barulah tahu dikenalkan ke Jepang.[6] Tahu Korea teksturnya di antara tahu Cina dan Jepang, tidak keras atau lembut.[5]Orang Jepang memperkenalkan lebih banyak lagi jenis tahu ke Korea semasa Penjajahan Jepang atas Korea (1910-1945).[5]
Tahu sutera (sundubu): adalah tahu lembut yang tidak diproses layaknya tahu biasa.[9]Sundubu yang paling terkenal adalah sundubu dari Desa Chodang yang dinamakan Chodang Dubu, diproses dengan menggunakan air laut sehingga menghasilkan rasa yang unik.
[10]Sundubu dimakan dengan kecap dan bumbu-bumbu pedas sambil minum makgeolli.[10]
Salah satu tempat pembuatan tahu tradisional di Korea yang paling terkenal adalah Kampung Chodang di Provinsi Gangwon.[10] Di Chodang, tahu diproses dengan air laut yang disuling dari kedalaman 3 meter di bawah permukaan pasir. Sejarah Tahu Chodang bermula dari penemuan sebuah mata air pada tahun 1500-an oleh Heo Yeop, seorang pegawai negeri Joseon yang juga adik dari Heo Nanseolheon. Setelah mencicipi kelezatan air tersebut Heo Yeop lalu menggunakannya untuk pembuatan tahu. Ia menambahkan air laut untuk proses pengentalan. Tahu yang diciptakannya menghasilkan rasa yang unik. Sampai kini, tradisi membuat tahu dengan air laut masih dijalankan. Kampung asal tahu itu dinamakan sesuai nama pena Heo Yeop, yaitu Chodang.
^ abc(Inggris) Kim Joo-young (1997). "Ch'odang Village in Kangnung"(PDF). Koreana. 11 (2): 77–79. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 1-5-2010.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^(Inggris)Dubu Kimchi, mykoreankitchen. Diakses pada 12 Mei 2010.
Anderson, J. W.; Johnstone, B.M.; Cook-Newell, M.E. (1995), Jurnal pengobatan inggris, 333 (5): 276–282, doi:10.1056/NEJM199508033330502, PMID7596371Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
Du Bois, Christine M., Chee Beng Tan and Sidney Wilfred Mintz (2008). The World of Soy. Urbana: University of Illinois Press. ISBN978-0-252-03341-4.
Guo, Shun-Tang; Ono, Tomotada (2005), "The Role of Composition and Content of Protein Particles in Soymilk on Tofu Curding by Glucono-δ-lactone or Calcium Sulfate", Journal of Food Science, 70 (4): 258–262, doi:10.1111/j.1365-2621.2005.tb07170.x.
Sacks, Frank M.; Lichtenstein, Alice; Van Horn, Linda; Harris, William; Kris-Etherton, Penny; Winston, Mary; American Heart Association Nutrition Committee (2006), "Soy Protein, Isoflavones, and Cardiovascular Health. An American Heart Association Science Advisory for Professionals From the Nutrition Committee", Circulation, 113 (7): 1034–1044, doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.106.171052, PMID16418439.
Shurtleff, William; Aoyagi, Akiko (2000), Tofu & soymilk production: a craft and technical manual (edisi ke-3rd), Lafayette, California: Soyfoods Center, ISBN978-1-928914-04-4.
Shurtleff, William; Aoyagi, Akiko (2005), Dou fu zhi shu (The book of tofu), Taibei Shi, ISBN978-986-81319-1-0. (In Chinese.)