Rujak cingur merupakan salah satu makanan tradisional dari Jawa Timur, terutama di daerah asalnya Surabaya. Menurut pegiat sejarah Kota Surabaya, keberadaan rujak cingur di Kota Surabaya berawal dari tahun 1930-an yang dibawa oleh pendatang dari Pulau Madura untuk bertahan hidup dengan berdagang kuliner yakni rujak cingur [1]. Awalnya pedagang dari Madura menggunakan Petis ikan cakalang khas Madura, namun untuk menyesuaikan dengan lidah masyarakat Kota Surabaya yang mayoritas bersuku Jawa maka juga menggunakan petis udang.
Dalam bahasa Jawa , kata cingur berarti 'mulut' atau cengor dalam Bahasa Madura, hal ini merujuk pada bahan irisan hidung atau moncong sapi yang direbus dan dicampurkan ke dalam hidangan. Rujak cingur biasanya terdiri dari irisan beberapa jenis buah seperti timun, kerahi (krai, yaitu sejenis timun khas Jawa Timur atau blungkak dalam Bahasa Madura), bengkuang, mangga muda, nanas, kedondong, kemudian ditambah lontong, tahu, tempe, bendhoyo, cingur, serta sayuran seperti kecambah/taoge, kangkung, dan kacang panjang. Semua bahan tadi dicampur dengan saus atau bumbu yang terbuat dari olahan petis, air matang untuk sedikit mengencerkan, gula/gula merah, cabai, kacang tanah yang digoreng, bawang goreng, garam, dan irisan tipis pisang biji hijau yang masih muda (pisang klutuk). Semua saus/bumbu dicampur dengan cara diulek, kemudian diberi potongan cingur. Jika tanpa cingur maka rujak ini disebut "rujak uleg" atau "rujak" saja.
Dalam penyajiannya, rujak cingur dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyajian "biasa" dan matengan "matangan" . Penyajian "biasa" atau umumnya, berupa semua bahan yang telah disebutkan di atas, sedangkan matengan hanya terdiri dari bahan-bahan matang saja: lontong, tahu goreng, tempe goreng, bendhoyo (kerahi yang direbus hingga lunak dan matang) dan sayur (kangkung, kacang panjang, tauge) yang telah direbus atau dikukus. Tanpa ada bahan mentahnya yaitu buah-buahan, karena pada dasarnya ada orang yang tidak menyukai buah-buahan. Keduanya memakai saus atau bumbu yang sama.
Makanan ini disebut rujak cingur karena bumbu olahan yang digunakan adalah petis udang dan irisan cingur. Hal ini yang membedakan dengan makanan rujak pada umumnya yang biasanya tanpa menggunakan bahan cingur atau bibir sapi tersebut. Rujak cingur biasa disajikan dengan tambahan kerupuk udang dan dengan alas pincuk (daun pisang) atau piring.
Dalam penyajian tradisional rujak ini sering juga ditambahkan isian berupa dhidhih (darah yang digoreng). Darah beku ini biasanya diambil dari darah ayam yang dibekukan hingga menggumpal seperti organ hati yang kemudian digoreng. Namun, seiring dengan perkembangan pemahaman ajaran Islam di kalangan masyarakat Jawa dhidhih ini tidak dikonsumsi lagi, meski pada beberapa pedangan rujak cingur masih menyediakannya sebagai pilihan isi.
Bagi masyarakat Jawa Timur terkhusus Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya jika banyak menyubutkan kata "rujak" maka yang mereka maksud pada umumnya adalah rujak dengan bumbu petis, sedangkan jika di luar wilayah tersebut kata "rujak" pasti yang dimaksud adalah rujak buah. Oleh karena itu, masyarakat Jawa Timur pada wilayah yang disebutkan tersebut untuk menyebut rujak yang terdiri dari buah-buahan pasti menyebutkannya sebagai "rujak buah" bukan cuma "rujak".