Bagindo Aziz Chan atau juga ditulis dengan ejaan Bagindo Azizchan (30 September 1910 – 19 Juli 1947) adalah seorang guru dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan Wali Kota Padang kedua setelah kemerdekaan, yang dilantik pada tanggal 15 Agustus 1946 menggantikan Mr. Abubakar Jaar.[3]
Bagindo Aziz Chan lahir di Kampung Alang Laweh, Kota Padang pada 30 September 1910. Ia adalah anak keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan Bagindo Montok dan Djamilah.[5]
Kembali ke kampung halamannya pada tahun 1935, ia mengabdi sebagai guru di beberapa sekolah di Padang dan berkali-kali pindah mengajar ke luar kota.[6] Ia sempat aktif di Persatuan Muslim Indonesia (Permi) sampai organisasi itu dibubarkan pada tahun 1937.
Dari pernikahannya dengan Siti Zaura Oesman, Bagindo Aziz dikaruniai anak Ineke Azizchan Nafis.[7][8]
Di tengah situasi pasca-kedatangan Sekutu di Padang pada 10 Oktober 1945, ia menolak tunduk terhadap kekuatan militerBelanda yang berada di belakang tentara Sekutu.[9] Ia terus melakukan perlawanan dengan menulis di surat kabar perjuangan Tjahaja Padang, bahkan turun langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda sampai akhirnya meninggal pada tanggal 19 Juli1947.[10] Ia juga berpidato di depan umum, "Langkahilah dulu mayatku, baru Kota Padang saya serahkan".[11]
Meninggal dunia
Pada 19 Juli 1947 sore hari, Bagindo dan keluarga bertolak dari Padang menuju Padang Panjang. Di daerah Purus, rombongannya dicegat oleh Letnan Kolonel Van Erps yang memberitahukan telah terjadi insiden di Nanggalo yang merupakan daerah garis demarkasi Belanda.[12]
Menurut versi Belanda, ketika Bagindo turun itu dari mobil Jeep yang mengantarkannya di daerah Nanggalo itu, ia tertembak di lehernya dan dibawa ke sebuah rumah sakit di Padang.[12]
Namun, menurut hasil visum yang dilakukan oleh 4 dokter Indonesia di Bukittinggi, Bagindo meninggal karena kepala belakangnya dipukul dengan barang berat sehingga tulang kepalanya hancur. Selain itu, terdapat tiga bekas tembakan di wajahnya yang dilakukan tentara Belanda setelah ia menjadi mayat.[1][12]
Jenazah Bagindo Aziz Chan dimakamkan pada 20 Juli 1947 pukul 02.00 dalam sebuah upacara besar yang dihadiri pejabat sipil dan militer di Taman Makam Pahlawan Bahagia, Bukittinggi.[12] Keesokan harinya Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda.[1]
Penghormatan
Untuk menghormati jasa-jasa dan pengorbanannya, nama Bagindo Aziz Chan diabadikan menjadi nama jalan di beberapa kota, seperti Padang dan Bukittinggi. Di Padang, sebuah monumen berbentuk kepalan tinju didirikan di persimpangan Jalan Gajah Mada dan Jalan Jhoni Anwar, Kampung Olo, Nanggalo. Meskipun diresmikan sebagai Monumen Bagindo Aziz Chan oleh Wali Kota Padang Syahrul Ujud pada 19 Juli 1983, monumen ini berikut persimpangan lebih dikenal sebagai tugu Simpang Tinju.
Monumen lainnya, terletak di Taman Melati dalam kompleks Museum Adityawarman, hasil karya pemahat Arby Samah.[13] Momumen ini memiliki tinggi 2,75 meter. Diresmikan oleh Wali Kota Padang Hasan Basri Durin pada 19 Juli 1973.[14]
Kehidupan pribadi
Bagindo Azizchan memiliki dua orang istri, yakni R. Atisah Adiwirya dan Siti Zaura Oesman. Dari istri pertama, ia dikaruniai tujuh orang anak, yakni Roswita Azizchan, Bagindo Radhi Azizchan, Upy Azumar Azizchan, Bagindo Azir Azizchan, Andoda Nushati Azizchan, Huriah Pratiwi Azizchan, dan Bagindo Rendra Azizchan.[15] Adapun dari istri kedua ia memiliki anak bernama Ineke Azizchan.
^Husein, Ahmad (1992). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau 1945-1950. Volume 1. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau. ISBN 978-979-405-126-9.
^Tabloid Minang News.
Edisi 09 - November 2010, hal 10 - 11 (Tokoh).
^Satu Abad (30 SEPT 1910 - 30 SEPT 2010) Bagindo Azizchan, Pahlawan Nasional dari Kota Padang, Siti Fatimah, Emizal Amri, Yasrina Ayu, ISBN 978-979-3458-14-4, Editor Ahli : Mestika Zed, hal 111 - 114.
^Kahin, A. (1999). Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity. 1926-1998. Amsterdam University Press. ISBN 90-5356-395-4.
^Sudarmanto, J. B. (2007). Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Grasindo. ISBN 978-979-759-716-0.