Rasidin semula adalah dokter di Padang Panjang.[2] Ia bersama istrinya pernah ditahan oleh Belanda pada masa revolusi fisik. Mereka dijebloskan ke dalam penjara militer di Simpang Haru, Padang.[3]
Sebagai Wali Kota Padang, ia mengawali jabatannya dengan pengambilalihan kekuasaan dari tangan Belanda. Ia pernah mengeluarkan kebijakan pelarangan becak sebagai sarana transportasi karena menurutnya kurang manusiawi.[4]
Keluarga dan kehidupan pribadi
Rasidin memiliki empat saudara: Arifin St. Saidi, Tiara, Sairah dan Agus Sulaiman.
Ia memiliki seorang istri bernama Johanizoen (adik Mohammad Natsir) atau akrab disapa Umi Cun.[5] Pasangan ini tidak dikarunia anak.
Penghargaan
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Pemerintah Kota Padang mengabadikan namanya pada nama sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah kota Padang yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Rasidin.
Rujukan
^Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.
^Safwan, Mardanas, (1987), Sejarah kota Padang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
^Cultureel niews Indonesië (dalam bahasa Belanda). Stichting voor de Culturele Samenwerking te Amsterdam. 1954.