Drs. H. Azhari gelar Sutan Samponokayo (22 Juli 1923 – 7 September 1997) adalah birokrat dan tokoh pendidikan Sumatera Barat. Ia merupakan Penjabat Wali Kota Padang periode 1966-1967.[1][2] Ia memimpin pasca-Gerakan 30 September, menggantikan wali kota sebelumnya yang dipaksa mundur oleh kalangan mahasiswa.[3]
Azhari mengenyam pendidikan di Sekolah Desa “Sikola Basi” Bonjo Alam pada 1930 dan Sekolah Lanjutan “Schakelschool” Tanjuang Alam pada 1933.[2]
Lulus sekolah lanjutan, Azhari segera memulai pekerjaan di “Kunu V & W” (kini Pekerjaan Umum) menjadi juru tulis, juru gambar, dan juru ukur berturut-turut sejak 1939 hingga 1947.[2]
Pada 1947, Azhari berkesempatan melanjutkan pendidikan pamong praja di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri hingga 1948. Pada saat seleksi, Azhari termasuk di antara 30 orang yang diterima dari total 250 orang yang mendaftar.[2]
Pada akhir 1948, bersamaan dengan Agresi Militer Belanda II, ia diangkat bekerja pada Pemerintahan Darurat. Ia diberi mandat mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Darurat Tanjung Alam (kini SMP Negeri 1 Ampek Angkek).[2]
Karier pemerintahan
Ia diangkat menjadi Kepala Seksi Politik di Kantor Bupati Solok pada awal Agustus 1950. Kemudian, ia diangkat merangkap sebagai Camat Kubung.[2]
Semasa menjadi Camat Kubung, ia bertugas sebagai Sekretaris Presidium Sekolah Guru Atas (SGA) Solok dan mendirikan Kursus B.I. Sejarah Solok.[2]
Berbekal kinerjanya yang bagus, pada 1954 ia berkesempatan melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik (HESP), Universitas Gadjah Mada, yang diselesaikan selama 4 tahun hingga lulus pada 1958.[2]
Setelah penumpasan Gerakan 30 September (Gestapu), pimpinan militer Sumatera Barat Mayor Imam Suparno mensyaratkan pemimpin sipil harus memenuhi kriteria yaitu tidak ambisius, cakap, sederhana, jujur dan berjiwa anti Gestapu/PKI. Azhari memenuhi syarat itu dan diangkat sebagai Penjabat Wali Kota Padang.[2]
Selesai menjabat wali kota, pada 1967 Azhari diangkat sebagai Asisten V Bidang Pengawasan dan Efisiensi oleh Gubernur Sumatera BaratHarun Zain hingga 1969. Ia kemudian menjadi Administrator Sosial Politik hingga 1970. Ia mengakhiri karier birokrat sebagai Kepala Pembangunan Desa dan pensiun dalam umur 60 tahun.[2]
Kiprah kemasyarakatan
Semasa berkuliah, pada 1950-an Azhari dan Amir Thaib mendirikan Ikatan Keluarga Ampek Angkek Candung (IKAC) yang eksis hingga sekarang dan berperan dalam mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah Ampek Angkek Candung di Parik Putuih.[2]
Saat menjabat Kepala Pembangunan Desa, pada 1980-an ia turut mendirikan SD Negeri 13 Parik Putuih yang berdiri di atas lahan Muhammadiyah Ranting Parik Putuih.[2]
Kiprah pendidikan
Pada 1953, pernah berdiri Perguruan Tinggi Islam Darul Hikmah Bukittinggi, yang diresmikan sebagai universitas pada 1957, lalu terpaksa dihentikan pada 5 Mei 1958 karena terjadinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan ditutup 4 Juni 1962. Azhari dan kawan-kawan lalu mendirikan Yayasan Imam Bonjol pada 1962. Yayasan ini tercantum dalam Akta Notaris No. 34 tanggal 19 Februari 1962. Saat itu, Azhari menginginkan membangun pendidikan Islam masyarakat Sumatera Barat dengan mendirikan perguruan tinggi Islam.[5] Yayasan ini mendirikan Fakultas Sosial Politik dan Fakultas Tarbiyah pada 5 Juni 1962 di Padang. Fakultas Tarbiyah ini dinegerikan menjadi Fakultas Tarbiyah Cabang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[2]
Sebagai ketua yayasan,[6] Azhari bersama Mansur Datuk Nagari Basa, Firdaus Efendi (Ketua Pengadilan Negeri Bukittinggi), dan Naimah Djambek sebagai pengurus yayasan mendirikan Fakultas Agama Islam Syari'ah (FAIS) Yayasan Imam Bonjol di Bukittinggi dan diresmikan pada 20 Januari 1963. Peresmian hampir batal karena pihak kepolisian menolak memberikan izin sebab seluruh mahasiswa FAIS terlibat PRRI.[2]
FAIS Yayasan Imam Bonjol diresmikan menjadi Fakultas Syari'ah IAIN Imam Bonjol di Garegeh, yang berubah menjadi STAIN Muhammad Djamil Djambek. Bersamaan dengan itu, Azhari dengan Izzuddin Marzuki mendirikan Fakultas Adab di Payakumbuh. Pada 5 Juli 1963, ia bersama Rustam Jamil mendirikan Fakultas Ushuluddin di Padang Panjang.[2]
Bersama Mansur Datuk Nagari Basa dan Gubernur Sumatra TengahRuslan Mulyoharjo, Azhari dicatat berusaha untuk menyanggupi persyaratan dari Departemen Agama Republik Indonesia untuk mendirikan 4 fakultas beserta sarana prasarananya serta berusaha melobi Menteri Agama Saifuddin Zuhri untuk meloloskan pendirian perguruan tinggi Islam negeri pertama di Sumatera Barat.
Pada 1 Agustus 1963, Azhari mendirikan Sekolah Asisten Apoteker (SAA) yang kini menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi Bukittinggi. Pada 1964, ia mendirikan Jurusan Teknik Seni dan Arsitektur serta Sekolah Analis Kimia Menengah Atas (SAKMA) Padang yang diberikan kepada Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Pada Oktober 1964 ia mendirikan Fakultas Teknik yang membawahi Jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur dan kini menjadi Universitas Bung Hatta. Beberapa tahun selanjutnya, ia berniat mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran Padang, tetapi tidak mendapat izin. Ia juga bekerja sebagai dosen di kampus negeri dan swasta di Padang.[2]
Sekretaris pribadi Azhari, Gani mengenang sosok Azhari sebagai orang yang disiplin, tidak mempersulit, dan bekerja tanpa pamrih. Ia menolak tanda jasa yang direncanakan dianugerahkan oleh pemerintah.[2] Namun, ia sempat menerima penghargaan dalam memperingati 22 tahun lahirnya UUPA di Sumatera Barat yang diserahkan Sekwilda Sumatera Barat Syurkani pada ca 1982/1983.[7]
Rujukan
^Colombijn, F., (1994), Patches of Padang: the history of an indonesian town in the twentieth century and the use of urban space, Research School CNWS, ISBN 978-90-73782-23-5.