Pangkat terakhirnya adalah Mayor JenderalTNI, tetapi karena gugur dalam tugas, maka diberikan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) menjadi Letjen.TNI (Anumerta).
Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Daigakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Masa Muda
Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai pada zaman kuno. Pernah Gresik menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam di situ. Sampai sekarang keturunan Sunan Giri memakai gelar Mas di muka namanya. Pada tahun 1924 yang menjadi asisten wedana ( sekarang disebut camat ) di Kalitengah, Gresik, ialah Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia berangkat
pindah ke Sidoarjo meskipun isterinya ( Ibu Patimah ) sudah mengandung tua. Tetapi dalam perjalanan ke Sidoarjo itu ibu Patimah merasa akan melahirkan kandungannya. Perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan dan mereka menuju ke rumah M.Harsono Tirtodarmo di Nieuw Holland Straat (sekarang Jalan Gatotan) di Surabaya. Di situ, pada tanggal 20 Januari 1924, ibu Patimah melahirkan puteranya yang ketiga yang diberi nama Haryono, lengkapnya M.T.Haryono.
M.T. Haryono dilahirkan sebagai putera seorang Binnenlands Bestuur, "pemerintahan dalam negeri", disingkat "BB", salah satu bentuk birokrasi pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa. Kalangan BB pada waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa di antara pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hanya BB lah yang di samping kedudukan istimewanya biasanya juga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai di Perguruan Tinggi. Karena nasionalisme itu boleh dikata timbul dan berkembang di antara orang-orang terpelajar, maka tidaklah mengherankan kalau putera-putera orang-orang BB ini tidak sedikit yang menjadi penggerak dan pemimpin nasionalisme, misalnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, dr. Sutomo. Mr. Sartono, dan lain lain. Demikian halnya kelak dengan M.T. Haryono.
Pada masa kecilnya M.T. Haryono hidup sebagai putera seorang jaksa di Sidoarjo. Ketika umur empat tahun ayahnya diangkat menjadi wedana di Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Di sinilah ia ketika umur enam tahun masuk sekolah di HIS 6 (Hollandsch-Inlandsche School = Sekolah Dasar) ia suka berteman dan bermain-main dengan anak-anak lainnya dan selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras ia sebagai pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian ia pada hakikatnya seorang pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian, atas tanggungan seorang Belanda guru ELS (Europeesche Lagere School: Sekolah Dasar Belanda) dan teman ayahnya, ia pindah ke
kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada tahun 1937.
Sebagai pemuda pelajar ia suka berolahraga. Ia suka atletik, tenis dan baseball. Hanya dalam masa libur ia pulang ke orang tuanya yang sejak tahun 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng, Mangetan, Madiun. M.T. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima tahun. Ia tamat dari HBS pada tahun l942 ketika Jepang masuk merebut dan menduduki Indonesia (Maret l942).
Ketika GHS (Geneeskundige Hogeschool: Perguruan Tinggi Kedokteran) di Jakarta dibuka kembali oleh Jepang sebagai Ika Dai Gakko, maka M.T. Haryono masuk Perguruan Tinggi Kedokteran tersebut untuk meneruskan studinya. Ia memang ingin menjadi seorang dokter. Baru tiga tahun lamanya M.T. Haryono belajar di lka Dai Gakko ketika tiba-tiba Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. M.T. Haryono sebagai pemuda mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan. Segera menceburkan diri dalam kancah perjuangan militer.
Hidup Kekeluargaan
Mayor M.T. Haryono yang selama perjuangan bersenjata tidak sempat memikirkan tentang hal perkawinan, sekarang ingin membentuk hidup kekeluargaan yang diidam-idamkan. Ia telah menjatuhkan pilihannya kepada Mariatni, seorang puteri Mr. Besar Martokusumo yang berdomisili di Jakarta dan seorang tokoh yang tidak asing bagi Pemerintah Indonesia. Pertunangannya akan dirayakan pada tanggal 2 Juli 1950.
Pada waktu itu Pemerintah memerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan pilihannya jatuh pada Mayor M.T. Haryono. Ini dapat dimengerti karena Mayor M.T. Haryono merupakan seorang terpelajar, fasih berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman dan berpengalaman dalam perundingan-perundingan dengan Belanda, terutama dalam KMB yang baru saja berlalu. Dalam bulan Juli 1950 itu ia diangkat menjadi Atase Militer dan harus sudah di posnya di Den Haag pada akhir bulan itu juga. Berhubung dengan keberangkatannya yang mendadak ini, maka hari pertunangannya pada tanggal 2 Juli 1950 itu diubah menjadi hari pernikahannya, dan pada tanggal 24 Juli 1950 mereka berangkat ke Negeri Belanda. Sebagai penganten baru untuk sementara mereka hidup di gedung Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, ibu kota Negeri Belanda dan seolah-olah berbulan madu di luar negeri.
Wataknya yang sederhana dan berhati-hati ditambah dengan jalan pikiranya yang praktis tidak membiarkan keluarganya hanyut dalam arus kemewahan yang waktu itu melanda kehidupan orang yang ingin disebutnya “kelas atas". Keluarganya tetap hidup sederhana, baik ketika di luar negeri maupun ketika mereka telah kembali ( 1954 ) di Indonesia. Rumahnya di Jalan Prambanan no. 8 Jakarta tidak mencerminkan rumah seorang "kelas atas" maupun seorang yang bermandikan kemewahan yang luar biasa. Rumah itu mencerminkan kesederhanaan yang bertanggung-jawab.
Di rumah, M.T. Haryono suka menanam dan memelihara anggrek. Di samping rumahnya terdapat berderet-deret pot dengan aggrek yang beraneka ragam dan warna. Pemeliharaan anggrek memerlukan ketekunan dan kesabaran, kehalusan dan kasih sayang yang tidak sedikit.
M.T. Haryono seorang pendiam, tetapi ini tidak berarti bahwa ia bersikap acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia menjabat Atase Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang kedua Haryanti Mirya, seorang puteri. Anak yang ketiga, Rianto Nurhadi, yang keempat, Adri Prambanto. dan yang kelima, Endah Marina, seorang puteri, Iahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keiuarga dan terutama anak-anaknya, M.T Haryono tidak pernah membawa senjata pulang dan menaruhnya di rumahnya. Sifat berhati-hati tidak pernah ditanggalkan oleh M.T. Haryono. Demikian M.T. Haryono merupakan suami yang baik dan ayah yang bertanggung-jawab dalam keluarganya
Kematian
Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, anggota Tjakrabirawa, yang menyebut diri mereka adalah Gerakan 30 September, mendatangi rumah Haryono di Jalan Prambanan No 8. Istrinya terbangun oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa suaminya telah dipanggil oleh Presiden Sukarno. Mrs Haryono kembali ke kamar tidur mengunci pintu di belakangnya dan mengatakan suaminya apa yang terjadi. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak pergi dan memberitahu para pasukan untuk kembali pada pukul 8:00. Namun, Haryono curiga dan mematikan lampu memberitahu istrinya untuk pindah bersama anak-anak mereka ke kamar sebelah. Tjakrabirawa kemudian melepaskan tembakan melalui pintu kamar tidur terkunci dan Haryono melompat ke lantai. Ia bersembunyi untuk menunggu penyerang pertama yang masuk ke kamar tidur membawa kertas pembakaran untuk cahaya. Haryono mencoba untuk merebut senjata prajurit, namun gagal dan berlari keluar dari pintu dalam kebingungan. Dia ditembak mati oleh ledakan dari senjata, diseret melalui kebun, dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, markas pemberontak di selatan pinggiran Jakarta, Jenazahnya disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh lainnya.
Seluruh mayat ditemukan pada 4 Oktober dan para jenderal diberi pemakaman kenegaraan. Haryono dimakamkan dengan rekan-rekannya di Taman Makam Pahlawan di Kalibata pada tanggal 5 Oktober. Pada hari yang sama, atas perintah Presiden Soekarno, ia secara anumerta dipromosikan dan menjadi Pahlawan Revolusi.
Ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dengan SK Presiden/Pangti ABRI/KOTI No. lll/KOTI/1965. Ditetapkan menjadi Letnan Jenderal TNI Anumerta dengan SK Presiden/Pangti ABRI/KOTI No. I IO/KOTI/1965.