Peta anakronis yang menunjukkan wilayah yang pernah menjadi bagian dari Imperium Britania Raya. Wilayah Seberang Laut Britania Raya ditandai dengan tulisan merah.
Imperium Britania Raya (bahasa Inggris: British Empire) adalah suatu imperium kekuasaan yang terdiri dari wilayah-wilayah koloni, protektorat, mandat, dominion dan wilayah lain yang pernah diperintah atau dikuasai oleh Britania Raya. Imperium Britania Raya dimulai pada akhir abad ke-16 sejalan dengan berkembangnya kekuatan Angkatan Laut Britania Raya dan merupakan imperium yang paling luas dalam sejarah dunia serta pada suatu periode tertentu pernah menjadi kekuatan utama di dunia.[1] Pada tahun 1922, Imperium Britania Raya mencakup populasi sekitar 458 juta orang, kurang lebih seperlima populasi dunia pada waktu itu,[2] yang membentang seluas lebih dari 33.700.000 km2 (13.012.000 sq mi), atau sekitar seperempat luas total bumi.[3][4]
Akibatnya, pengaruh Britania Raya, terutama Inggris, melekat kuat di seantero dunia: dalam praktik ekonomi, hukum dan sistem pemerintahan, masyarakat, olahraga (seperti kriket dan sepak bola), serta penggunaan bahasa Inggris. Imperium Britania Raya pada suatu masa pernah dijuluki sebagai "kerajaan tempat Matahari tak pernah tenggelam" karena wilayahnya membentang sepanjang bola dunia dan dengan demikian Matahari selalu bersinar, paling tidak di salah satu dari begitu banyak koloninya.
Selama Zaman Penjelajahan pada abad ke-15 dan ke-16, Portugal dan Spanyol mempelopori penjelajahan maritim Eropa ke berbagai belahan dunia sekaligus mendirikan wilayah koloni. Iri melihat keberhasilan dan kejayaan yang mereka peroleh, Inggris, Prancis dan Belanda mulai membentuk koloni dan jaringan perdagangan mereka sendiri di Amerika dan Asia.[5] Serangkaian kemenangan dalam peperangan pada abad ke-17 dan 18 dengan Prancis dan Belanda membuat Inggris (kemudian bernama Britania Raya setelah bersatu dengan Skotlandia pada tahun 1707) memperoleh wilayah-wilayah koloni yang dominan di India dan Amerika Utara. Lepasnya Tiga Belas Koloni Britania Raya di Amerika Utara pada tahun 1787 setelah perang kemerdekaan membuat Britania Raya kehilangan wilayah koloninya yang paling tua dan paling padat penduduknya.
Lepasnya Amerika Utara membuat perhatian Britania Raya beralih ke wilayah-wilayah koloni di Afrika, Asia dan Samudra Pasifik. Setelah kekalahan Napoleon dari Prancis pada tahun 1815, Britania Raya berkesempatan untuk memperluas imperiumnya ke seantero dunia dan menjadi negara imperialis paling berjaya dan tak tertandingi pada waktu itu. Beberapa wilayah koloninya dijadikan sebagai koloni imigran kulit putih dan beberapa di antaranya dijadikan sebagai wilayah dominion.
Kebangkitan Jerman dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 turut menyebabkan pudarnya kejayaan Britania Raya. Ketegangan militer dan ekonomi antara Britania Raya dan Jerman adalah penyebab utama Perang Dunia I, ketika Britania Raya sangat bergantung pada imperiumnya.
Perang tersebut telah menyebabkan hancurnya sistem keuangan Britania Raya dan walaupun Britania Raya masih merupakan negara dengan wilayah jajahan terluas setelah Perang Dunia I, Britania Raya tidak lagi menjadi pemimpin perekonomian dan militer di dunia. Perang Dunia II menyebabkan sebagian besar koloni Britania Raya di Asia Tenggara diduduki oleh Jepang. Meskipun pada akhirnya Britania Raya dan Sekutu berhasil memenangkan Perang Dunia II, perang ini turut berdampak pada semakin sempitnya wilayah Imperium Britania Raya. Dua tahun setelah perang berakhir, India—koloni Britania Raya yang paling berharga—memperoleh kemerdekaannya.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, sebagai akibat dari gerakan dekolonisasi negara-negara terjajah, Britania Raya memberi kemerdekaan pada sebagian besar koloninya. Proses dekolonisasi ini berakhir dengan diserahkannya Hong Kong ke tangan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1997. Empat belas koloni Britania Raya yang masih tersisa (disebut dengan Wilayah Seberang Laut Britania Raya) tetap berada di bawah kedaulatan Britania Raya. Setelah kemerdekaan, banyak bekas koloni Britania Raya yang bergabung dengan Persemakmuran Bangsa-Bangsa, yaitu suatu persatuan secara sukarela yang melibatkan negara-negara berdaulat yang didirikan atau pernah dijajah oleh Britania Raya.
Ide mengenai penjelajahan seberang lautan (dalam pengertian eksplorasi lautan di luar Eropa dan Kepulauan Britania Raya) sudah dicetuskan saat Inggris dan Skotlandia masih berada dalam pemerintahan yang terpisah. Pada tahun 1496, Henry VII dari Inggris ingin mengikuti keberhasilan Spanyol dan Portugal dalam menjelajahi seberang lautan. Ia kemudian menugaskan John Cabot memimpin pelayaran untuk menemukan rute menuju Asia melalui Samudra Atlantik Utara.[6] Cabot mulai berlayar pada tahun 1497; lima tahun setelah benua Amerika ditemukan oleh Christopher Columbus. Meskipun pada akhirnya ia berhasil berlabuh di pantai Newfoundland, ia mengira kalau ia sudah mencapai Asia dan pada akhirnya tidak berhasil mendirikan koloni.[7] Cabot memimpin pelayaran lain ke Amerika pada tahun berikutnya namun tidak diketahui lagi kabarnya.[8]
Tidak ada upaya lebih lanjut untuk mendirikan koloni Inggris di Amerika hingga memasuki masa pemerintahan Elizabeth I pada dekade terakhir abad ke-16.[9] Adanya gerakan Reformasi Protestan telah membuat Inggris bermusuhan dengan Katolik Spanyol.[6] Pada tahun 1562, Kerajaan Inggris memerintahkan navigator John Hawkins dan Francis Drake untuk menyerang kapal-kapal Spanyol dan Portugal yang melintas di lepas pantai Afrika Barat dengan tujuan untuk melumpuhkan sistem perdagangan di Atlantik.[10] Upaya ini tidak berhasil dan kemudian, saat Perang Inggris-Spanyol terjadi, Elizabeth I memerintahkan penyerangan terhadap pelabuhan Spanyol di Amerika dan kapal-kapal Spanyol yang melintasi Atlantik serta membajak kapal-kapal Spanyol yang sarat dengan harta dari Dunia Baru.[11] Pada saat yang sama, penulis yang berpengaruh seperti Richard Hakluyt dan John Dee (yang pertama kali menggunakan istilah Imperium Britania Raya) mulai menekan kerajaan agar segera memulai penjelajahan seberang lautan.[12] Pada saat itu, Spanyol telah menguasai Amerika, Portugal telah mendirikan pos perdagangan dan benteng di pantai Afrika, Brasil dan Tiongkok, sedangkan Prancis sudah mencapai Sungai Saint Lawrence dan kemudian mendirikan koloni Prancis Baru.[13]
Kolonisasi Irlandia
Meskipun Inggris jauh tertinggal di belakang negara-negara Eropa lainnya dalam membangun koloni seberang lautan, Inggris telah berhasil menguasai Irlandia pada abad ke-16.[14][15] Beberapa orang yang berperan dalam kolonisasi Irlandia ini selanjutnya juga berperan dalam proses kolonisasi awal di Amerika Utara, kelompok ini selanjutnya dikenal sebagai "para lelaki dari barat".[16]
Imperium Britania pertama (1583–1783)
Pada tahun 1578, Ratu Elizabeth I memerintahkan Humphrey Gilbert untuk memulai penjelajahan seberang lautan.[17] Gilbert kemudian berlayar menuju Hindia Barat dengan tujuan untuk membajak kapal-kapal Spanyol dan memulai kolonisasi di Amerika Utara. Namun, ekspedisi ini dihentikan sebelum mencapai Samudera Atlantik.[18][19] Pada tahun 1583, Gilbert melakukan pelayaran kedua. Dalam pelayaran itu, ia berhasil mencapai Newfoundland dan mengklaim wilayah itu sebagai koloni Inggris pertama, meskipun pada saat itu pulau tersebut tidak berpenghuni. Gilbert tidak berhasil kembali ke Inggris, kemudian ia digantikan oleh saudara tirinya, Walter Raleigh, yang diberi mandat oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1584. Raleigh berhasil membangun koloni di Roanoke (sekarang North Carolina), tetapi kurangnya persediaan makanan menyebabkan upaya untuk membangun koloni lebih lanjut gagal dilakukan.[20]
Tahun 1603, Raja James VI dari Skotlandia naik takhta menjadi raja Inggris dan mengesahkan Traktat London 1604 yang mengakhiri permusuhan dengan Spanyol. Setelah berdamai dengan saingan utamanya, upaya Inggris terfokus untuk mengambil alih wilayah-wilayah koloni negara lain dan membangun koloni seberang lautan sendiri.[21] Imperium Britania mulai terbentuk pada awal abad ke-17, yang mencakup wilayah-wilayah di Amerika Utara dan pulau-pulau kecil di Karibia serta membentuk kongsi dagang bernama East India Company (EIC) untuk mengelola dan mengendalikan perdagangan di wilayah koloni Britania. Periode ini hingga terjadinya Perang Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyebabkan lepasnya Tiga Belas Koloni Britania di akhir abad ke-18 disebut sebagai "Imperium Britania pertama".[22]
Amerika, Afrika dan perdagangan budak
Pada awalnya, Karibia merupakan koloni Inggris yang paling penting dan menguntungkan,[23] namun itu sebelum upaya kolonisasi di beberapa wilayah mengalami kegagalan. Kolonisasi di Guyana pada tahun 1604 hanya berlangsung dua tahun, dan gagal mencapai tujuan utamanya untuk menemukan tambang emas.[24] Upaya kolonisasi di St. Lucia (1605) dan Grenada (1609) juga tidak berhasil. Namun, tidak semua upaya gagal, koloni Inggris di St. Kitts (1624), Barbados (1627) dan Nevis (1628) berhasil dibentuk.[25] Inggris mengadopsi sistem kolonisasi negara-negara lain kemudian menerapkannya di wilayah-wilayah koloninya. Sistem yang diadopsi itu antara lain upaya Portugis dalam mengembangkan perkebunan gula di Brasil yang bergantung pada tenaga budak serta kebijakan Belanda dalam penjualan budak dan hasil penjualannya selanjutnya dibelikan gula.[26] Untuk memastikan kalau keuntungan tetap di tangan Inggris, Parlemen Inggris pada tahun 1651 memutuskan hanya kapal-kapal Inggris yang boleh melakukan perdagangan di wilayah-wilayah koloninya dan perdagangan dikuasai oleh EIC. Keputusan ini menyebabkan permusuhan dengan Belanda yang membangun koloni di bagian timur, kebijakan ini pada akhirnya semakin memperkuat posisi Inggris di Amerika meskipun hal ini merugikan Belanda.[27] Pada tahun 1655, Inggris mencaplok Jamaika dari Spanyol dan pada tahun 1666 berhasil menduduki Bahama.[28]
Permukiman permanen pertama para imigran dari Inggris di Amerika didirikan tahun 1607 di Jamestown, Virginia yang dipimpin oleh Kapten John Smith dan dikelola oleh perusahaan Inggris bernama Virginia Company. Bermuda dihuni dan diklaim oleh Inggris setelah adanya kapal dagang yang tenggelam di perairan Bermuda yang menggunakan bendera Inggris pada tahun 1609, kemudian pada tahun 1615, pengelolaan Bermuda diserahkan pada perusahaan Inggris yang baru, Somers Isles Company.[29] Hak Virginia Company dicabut pada tahun 1624 dan pengelolaan Virginia diberikan kepada kerajaan, yang selanjutnya mendirikan Koloni Virginia.[30]Newfoundland Company didirikan pada tahun 1610 dengan tujuan untuk menciptakan sebuah permukiman permanen di Newfoundland, tetapi tidak berhasil.[31] Pada tahun 1620, Inggris membentuk Koloni Plymouth sebagai tempat pembuangan bagi kelompok separatis Protestan di Inggris.[32] Berikutnya, Inggris mulai membangun koloni-koloni berdasarkan penganut agama. Tahun 1634, Maryland didirikan sebagai permukiman bagi orang-orang yang menganut Katolik Roma, Rhode Island (1636) didirikan sebagai koloni yang toleran terhadap semua agama dan Connecticut (1639) bagi para penganut Kongregasional. Sedangkan Carolina didirikan pada tahun 1663. Tahun 1664, Inggris menukar Suriname di Amerika Selatan dengan Fort Amsterdam kepada Belanda. Penukaran ini membuat Inggris menguasai koloni Belanda di Belanda-Baru (sekarang New York).[33] Kemudian, pada tahun 1681, Koloni Pennsylvania didirikan oleh William Penn. Secara umum, koloni-koloni di Amerika kurang sukses secara finansial dibandingkan dengan koloni Inggris di Karibia, tetapi koloni-koloni di Amerika mempunyai iklim yang sama dengan Eropa serta lahan pertanian yang luas dan subur, hal ini membuat para imigran Inggris lebih suka menetap di Amerika dibanding koloni-koloni lainnya.[34]
Pada tahun 1670, Raja Charles II memberikan mandat kepada Hudson's Bay Company untuk memonopoliperdagangan bulu di wilayah bagian utara yang dinamakan Dataran Rupert—hamparan luas wilayah yang nantinya akan membentuk sebagian besar Kanada. Benteng dan pos perdagangan didirikan di sana, tetapi sering diserang oleh Prancis, yang juga melakukan perdagangan bulu di Prancis Baru yang lokasinya berdekatan dengan Dataran Rupert.[35]
Dua tahun kemudian, Royal African Company ditugaskan oleh Raja Charles II untuk memonopoli pemasokan budak dari koloni Inggris di Karibia.[36] Sejak awal, perbudakan sudah menjadi dasar dari Imperium Britania di Hindia Barat. Sampai adanya kebijakan penghapusan perdagangan budak pada tahun 1807, Inggris bertanggung jawab atas perpindahan sekitar 3,5 juta budak Afrika ke Amerika. Sepertiga dari keseluruhan budak tersebut diangkut melintasi Samudera Atlantik.[37] Untuk memfasilitasi perdagangan ini, benteng dan pos-pos pengawasan didirikan di pantai Afrika Barat seperti Pulau James, Accra dan Pulau Bunce. Di Karibia, persentase penduduk keturunan Afrika meningkat dari 25 persen pada tahun 1650 menjadi sekitar 80 persen pada tahun 1780. Sedangkan di Tiga Belas Koloni meningkat dari 10 persen menjadi 40 persen pada periode yang sama (sebagian besar di koloni-koloni selatan).[38] Perdagangan budak telah menghasilkan keuntungan yang besar bagi Inggris dan menjadi andalan perekonomian bagi kota-kota di Inggris seperti Bristol dan Liverpool; yang kemudian membentuk suatu jalur perdagangan segitiga dengan Afrika dan Amerika. Kondisi kapal yang tidak higienis dalam proses pengangkutan budak serta pekerjaan yang keras dan jam kerja yang panjang mengakibatkan tingkat kematian budak sangat tinggi, rata-rata satu dari tujuh budak meninggal selama pengangkutan maupun selama bekerja.[39]
Pada tahun 1695, Parlemen Skotlandia memberikan mandat kepada Company of Scotland untuk mengkolonisasi Tanah Genting Panama. Tetapi proses kolonisasi ini tidak berhasil. Penjelajah Skotlandia dikepung oleh kolonis Spanyol di Granada dan terserang wabah malaria. Akibatnya, koloni ini ditinggalkan dua tahun kemudian. Kegagalan Skotlandia dalam pengkolonisasian Tanah Genting Panama ini (yang dikenal dengan sebutan Bencana Darien) menyebabkan keruntuhan perekonomian Skotlandia sekaligus mengakhiri harapan Skotlandia untuk membentuk imperium seberang lautan sendiri.[40] Peristiwa ini juga memiliki konsekuensi politik yang besar, membuat Pemerintah Inggris dan Pemerintah Skotlandia berunding mengenai penyatuan kedua negara. Hal ini terjadi pada tahun 1707 dengan disahkannya Undang-Undang Penyatuan pembentukan Kerajaan Britania Raya.[41]
Persaingan dengan Belanda di Asia
Pada akhir abad ke-16, Inggris dan Belanda mulai menentang monopoli Portugis terhadap perdagangan di Asia dengan bekerjasama membentuk kongsi dagang gabungan antara East India Company (EIC) milik Inggris dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) milik Belanda pada tahun 1602. Tujuan utama dari kongsi-kongsi dagang tersebut adalah untuk menguasai pasar perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan, terutama di kawasan Kepulauan Hindia Timur serta wilayah sentral jaringan perdagangan di Asia; India. Pada akhirnya, Inggris dan Belanda justru saling bersaing memperebutkan supremasi perdagangan di Asia dari Portugis.[42] Meskipun Inggris pada akhirnya bisa mengimbangi posisi Belanda sebagai kekuatan kolonial, dalam waktu singkat sistem keuangan Belanda melesat lebih maju dibandingkan dengan Inggris.[43] Serangkaian peperangan antara Belanda dengan Inggris pada abad ke-17 turut memperpanas persaingan mereka di Asia. Permusuhan antara kedua negara ini baru berhenti setelah meletusnya Revolusi Agung pada tahun 1688, yaitu saat William III dari Oranye naik tahta menjadi raja Inggris dan mengesahkan kesepakatan damai antara Inggris dan Belanda. Kesepakatan itu menyatakan kalau Belanda berhak menguasai perdagangan rempah-rempah di Hindia Timur, sedangkan Inggris mendapatkan industri tekstil di India. Meskipun demikian, industri tekstil perlahan-lahan mulai menyalip perdagangan rempah-rempah Belanda dalam hal keuntungan dan penjualan. Kemudian, pada tahun 1720, kejayaan ekonomi Belanda berhasil disusul oleh Britania.[43]
Persaingan dengan Prancis
Perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1688 menandakan bahwa kedua negara tersebut akan memasuki Perang Sembilan Tahun sebagai sekutu. Namun, perang tersebut membuat Belanda harus mencurahkan sebagian besar anggaran militernya untuk kepentingan perang, hal ini pada akhirnya membuat kekuasaan kolonial Inggris lebih kuat dari Belanda.[44] Pada abad ke-18, Inggris (kemudian menjadi Britania Raya setelah bersatu dengan Skotlandia pada tahun 1707) berjaya sebagai kekuatan kolonial paling dominan di dunia, dan hanya Prancis yang menjadi saingan utamanya di ranah imperialisme.[45]
Setelah kematian Charles II dari Spanyol pada tahun 1700, tahta Spanyol beserta wilayah-wilayah koloninya jatuh ke tangan Philippe dari Anjou, cucu dari Louis XIV dari Prancis. Philippe kemudian mencetuskan ide mengenai prospek penyatuan Spanyol dan Prancis beserta wilayah koloninya masing-masing untuk membentuk suatu aliansi kolonial yang akan mengalahkan Inggris dan tak tertandingi di Eropa.[46] Pada tahun 1701, Inggris, Portugis dan Belanda bergabung dengan Kekaisaran Romawi Suci untuk melawan Spanyol dan Prancis dalam Perang Suksesi Spanyol. Perang ini berakhir pada tahun 1713 dengan disahkannya Perjanjian Utrecht,[46] yang menyatakan bahwa Kerajaan Spanyol-Prancis dibagi-bagi dan Britania mendapatkan bagian terbesar: dari Prancis, Britania mendapatkan Newfoundland dan Acadia, sedangkan dari Spanyol, Britania mendapatkan Gibraltar dan Menorca. Gibraltar (yang saat ini masih dimiliki oleh Britania Raya) dijadikan sebagai pangkalan angkatan laut penting dan memungkinkan Britania untuk mengontrol jalur perdagangan Atlantik dari dan ke Mediterania. Menorca dikembalikan kepada Spanyol dalam Perjanjian Amiens pada tahun 1802 setelah dipindah-tangankan sebanyak tiga kali. Spanyol juga menyetujui untuk memberikan hak Asiento, yaitu hak untuk menjual budak-budak di Spanyol-Amerika kepada Britania.[47]
Perang Tujuh Tahun yang meletus pada tahun 1756 menjadi perang pertama yang berlangsung dalam skala global. Perang ini berlangsung di Eropa, India, Amerika Utara, Karibia, Filipina dan pesisir Afrika. Penandatanganan Perjanjian Paris 1763 yang menandai berakhirnya perang ini memiliki konsekuensi penting terhadap masa depan Imperium Britania. Di Amerika Utara, kejayaan Prancis berakhir seiring dengan diserahkannya Dataran Rupert (Kanada) kepada Britania.[35] Prancis juga harus merelakan Prancis Baru jatuh ke tangan Britania (meninggalkan sebagian besar penduduk berbahasa Prancis yang berada di bawah kendali Britania). Sedangkan Spanyol menyerahkan Florida dan Louisiana ke tangan Britania. Di India, setelah Perang Carnatic, Prancis memang masih menguasai India-Prancis, tetapi dengan adanya pembatasan militer dan kewajiban untuk mendukung wilayah-wilayah koloni Britania, harapan Prancis untuk menguasai India pun berakhir.[48] Kemenangan Britania atas Prancis dalam Perang Tujuh Tahun menjadikannya sebagai kekuatan maritim paling kuat di dunia pada saat itu.[49]
Imperium Britania kedua (1783–1815)
Penguasaan India
Selama abad pertama pengoperasiannnya, British East India Company (EIC) cuma terfokus pada perdagangan di India, sama sekali tidak terpikir untuk menantang Kesultanan Mughal, yang memberi izin berdagang pada tahun 1617 karena posisi serta kekuasaannya di India lebih kuat dari Inggris.[50] Namun hal ini berubah pada abad ke-18. Ketika Kesultanan Mughal membatasi hak-hak EIC, Britania dengan EIC berjuang menjatuhkan Kesultanan Mughal—yang dibantu oleh Prancis—dalam Perang Carnatic pada periode 1740-an dan 1750-an. Dalam Pertempuran Plassey 1757, Britania yang dipimpin oleh Robert Clive berhasil menaklukkan Mughal beserta sekutu Prancisnya. Kemenangan ini menjadikan Britania sebagai penguasa serta kekuatan militer dan politik terbesar di India.[51] Selama dekade berikutnya, Britania secara bertahap sukses memperluas wilayah teritori yang berada di bawah kekuasaannya di India, baik dengan menguasainya secara langsung ataupun melalui penguasa lokal yang berada di bawah ancaman kekuatan tentara Britania di India.[52]Kemaharajaan Britania (sebutan untuk India Britania) akhirnya tumbuh menjadi harta yang paling berharga bagi Imperium Britania, dijuluki "permata dalam mahkota", mencakup wilayah yang lebih besar dari Kekaisaran Romawi, India menjadi koloni yang paling penting bagi kekuatan Britania, sekaligus membantu mendefinisikan statusnya sebagai imperium terbesar di dunia.[53]
Selama periode 1760-an dan 1770-an, hubungan antara Tiga Belas Koloni dan Britania menjadi semakin tegang, terutama karena Undang-Undang Stempel 1765 yang dikeluarkan oleh Parlemen Britania yang tidak konstitusional. ParlemenBritania menegaskan bahwa mereka punya hak untuk memberlakukan pajak pada para kolonis.[54] Kolonis mengklaim bahwa karena mereka penduduk Britania, perpajakan tanpa perwakilan rakyat dianggap ilegal. Kolonis di Tiga Belas Koloni membentuk Kongres Kontinental yang bersatu dan pemerintahan bayangan di setiap koloni serta menyerukan istilah "tolak pajak tanpa perwakilan rakyat". Pemboikotan kolonis terhadap teh Inggris yang terkena pajak mendorong terjadinya peristiwa Pesta Teh Boston pada tahun 1773. Perselisihan demi perselisihan pada akhirnya mengakibatkan terjadinya Revolusi Amerika dan pecahnya Perang Revolusi pada tahun 1775. Tahun berikutnya, koloni menyatakan kemerdekaan atas Britania dan dengan bantuan dari Prancis, Tiga Belas Koloni akhirnya berhasil memenangkan perang pada tahun 1783 dan kemudian mendirikan Amerika Serikat.[55]
Lepasnya koloni-koloni Britania yang paling padat penduduknya di Amerika Utara oleh para sejarawan didefinisikan sebagai masa peralihan dari "Imperium Britania pertama" ke "Imperium Britania kedua".[56] Sejak itu, Britania mengalihkan perhatiannya pada koloni-koloninya yang tersebar di Asia, Pasifik dan Afrika. Tahun 1776, Adam Smith lewat bukunya yang berjudul The Wealth of Nations menyatakan kritik terhadap merkantilisme. Menurut Smith, ekonomi pasar merupakan sumber utama kemajuan, kerja sama, dan kesejahteraan, sementara campur tangan politik dan peraturan pemerintah merupakan hal yang tidak ekonomis, kemunduran, dan dapat menyebabkan konflik.[49][57] Pertumbuhan perdagangan antara Amerika Serikat sebagai negara yang baru merdeka dengan Britania Raya sebagai negara tua sejak tahun 1783 membuktikan teori Smith bahwa kontrol politik tidak diperlukan untuk keberhasilan ekonomi.[58][59] Ketegangan antara kedua negara ini meningkat selama berlangsungnya Perang Napoleon. Britania berusaha untuk memutuskan hubungan dagang antara Amerika Serikat dengan Prancis. Pada tahun 1812, Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Britania, dan kedua negara tersebut saling menyerbu. Namun, konflik lebih lanjut di antara kedua negara itu berhasil dicegah dengan disahkannya Traktat Ghent pada tahun 1815.[60]
Serangkaian peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat turut mempengaruhi kebijakan Britania di Kanada.[61] Sekitar 40.000 hingga 100.000 Loyalis yang telah kalah bermigrasi ke Kanada setelah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat.[62] Kurang lebih 14.000 Loyalis menetap di sepanjang sungai Saint John dan Saint Croix (sekarang bagian dari Nova Scotia). Tetapi mereka menganggap kalau lokasinya terlalu jauh dari pusat pemerintahan provinsi di Halifax. Oleh sebab itu, Britania kemudian memekarkan New Brunswick menjadi satu koloni terpisah pada tahun 1784.[63] Undang-Undang Konstitusi 1791 disahkan untuk membagi Kanada jadi dua bagian, yaitu Provinsi Kanada Hulu (untuk penduduk berbahasa Inggris) dan Kanada Hilir (untuk penduduk berbahasa Prancis) dengan tujuan meredakan ketegangan antara komunitas Prancis dan komunitas Inggris di Kanada. Sistem pemerintahan yang diterapkan di Kanada harus berpedoman pada Britania Raya untuk menegaskan kewenangan imperialisnya dan segala jenis kontrol pemerintahan yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Amerika tidak diijinkan.[64]
Penjelajahan Pasifik
Sejak tahun 1718, pembuangan orang-orang Britania ke koloni-koloni di Amerika Utara telah menjadi suatu bentuk hukuman bagi berbagai tindak pidana di Britania. Ribuan orang buangan diangkut setiap tahunnya melewati Atlantik.[65] Tetapi setelah lepasnya Tiga Belas Koloni pada tahun 1783, Britania dipaksa untuk mencari lokasi alternatif sebagai tempat pembuangan baru bagi orang-orang tahanan. Kemudian, Britania berpaling ke daratan di selatan yang baru ditemukan bernama Australia.[66] Pantai barat Australia sebenarnya telah ditemukan oleh seorang penjelajah Belanda bernama Willem Janszoon pada tahun 1606 yang kemudian dinamakannya Belanda Baru, tetapi tidak ada usaha lebih lanjut untuk membangun koloni di sana sampai pada tahun 1770, James Cook menemukan pantai timur Australia dalam perjalanannya menuju Samudera Pasifik Selatan. Cook mengklaim benua tersebut atas nama Britania dan menamakannya New South Wales.[67] Pada tahun 1778, Joseph Banks, seorang ahli botani yang ikut serta dalam pelayaran bersama Cook memberi saran kepada Pemerintah Britania supaya Australia dijadikan sebagai koloni tahanan yang baru. Selanjutnya, pada tahun 1787, pengiriman perdana para tahanan dari Britania dilakukan dan sampai di New South Wales pada tahun 1788.[68] Britania terus mengirim para tahanan ke New South Wales hingga tahun 1840.[69] Seiring perkembangannya, koloni Australia akhirnya menjadi koloni yang sangat menguntungkan, terutama karena produksi wol dan tambang emasnya,[70] yang turut didukung oleh adanya "demam emas" yang sedang berlangsung di koloni-koloni Victoria. Hal ini menjadikan Melbourne sebagai kota terkaya di dunia pada saat itu,[71] sekaligus kota terbesar kedua (setelah London) dalam Imperium Britania.[72]
Dalam perjalanannya, Cook juga mengunjungi Selandia Baru, yang ditemukan pertama kali pada tahun 1642 oleh penjelajah Belanda bernama Abel Tasman. Cook kemudian mengklaim pulau-pulau di Utara dan di Selatan atas nama Kerajaan Britania Raya pada tahun 1769 dan 1770. Awalnya, interaksi antara Suku Māori; penduduk asli Selandia Baru dengan orang-orang Eropa terbatas hanya pada transaksi perdagangan.Tetapi, permukiman bagi orang-orang Eropa makin diperluas selama dekade awal abad ke-19 dan pos-pos perdagangan banyak didirikan, terutama di Pulau Utara. Pada tahun 1839, perusahaan Britania bernama New Zealand Company menyatakan rencananya untuk membeli lahan yang luas dan mendirikan koloni di Selandia Baru. Pada tanggal 6 Februari 1840, William Hobson dan sekitar 40 orang tokoh adat Māori menandatangani Perjanjian Waitangi.[73] Perjanjian ini dianggap sebagai dokumen awal pendirian negara Selandia Baru,[74] namun penafsiran terhadap teks perjanjian versi Britania dan versi Māori amat berbeda, sehingga tidak ada kesepakatan pada masalah yang telah disetujui dan terus menerus menjadi sumber sengketa hingga saat ini.[75][76]
Britania sekali lagi ditantang oleh Prancis di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte. Tetapi tidak seperti perang-perang sebelumnya, perang kali ini lebih merupakan suatu kontes ideologi antar kedua negara.[77] Perang ini tidak hanya mengancam posisi Britania sebagai pemimpin di kancah imperialisme dunia, tetapi Napoleon mengancam akan menyerang Britania sendiri, seperti yang telah dilakukan oleh pasukannya terhadap negara-negara lainnya di Benua Eropa.[78]
Perang Napoleon adalah peperangan pertama yang membuat Britania benar-benar harus menginvestasikan modal dan sumber daya dalam jumlah besar supaya bisa memenangkan peperangan. Pelabuhan Prancis berhasil diblokade oleh Angkatan Laut Britania Raya, yang selanjutnya menjadi penentu kemenangan Britania atas armada Prancis-Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar pada tahun 1805. Koloni seberang lautan Britania diserang dan diduduki, termasuk pemberian Belanda, yang dianeksasi oleh Napoleon pada tahun 1810. Prancis akhirnya berhasil dikalahkan oleh koalisi tentara Eropa pada tahun 1814.[79] Setelah kekalahan Napoleon, Britania lagi-lagi memperoleh keuntungan besar dari hasil perjanjian damai: Prancis menyerahkan Kepulauan Ionia, Malta (yang diduduki pada tahun 1797 dan 1798), Mauritius, St. Lucia, dan Tobago. Sedangkan Spanyol menyerahkan Trinidad, Guyana Belanda dan Koloni Cape. Sementara itu, Britania mengembalikan Guadeloupe, Martinique, Guyana Prancis dan Réunion kepada Prancis serta Jawa dan Suriname kepada Belanda.[80]
Pendudukan Hindia Belanda
Pada tahun 1811, tentara Britania melancarkan serangan terhadap daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda, termasuk Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Pasukan Britania tidak mengalami kesulitan menghadapi pasukan Belanda. Selain itu, pasukan Belanda juga mendapat serangan dari pasukan raja-raja di Jawa. Serangan itu menyebabkan Belanda akhirnya menyerah kepada Britania.[81] Oleh sebab itu, sejak tahun 1811 Hindia Timur menjadi jajahan Britania Raya dengan kongsi dagang EIC nya yang dipimpin oleh Gubernur-JenderalLord Minto. Lord Minto kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai pemegang kekuasaan atas Pulau Jawa dengan pangkat Wakil Gubernur Jenderal.[82]
Peristiwa yang terjadi di Eropa selanjutnya turut memengaruhi kekuasaan Britania di Hindia Timur. Napoleon berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Leipzig. Sebagai dampak dari kekalahan Napoleon, pada tahun 1814 Britania harus mengembalikan semua daerah kekuasaan Belanda yang pernah dikuasainya melalui Perjanjian London. Raffles tidak setuju atas keputusan-keputusan itu.[83] Ia meletakkan jabatannya dan kemudian digantikan oleh Wakil Gubernur Jenderal John Fendall. Pada tahun 1816, Fendall menyerahkan Hindia Timur kembali kepada Belanda.[84]
Penghapusan sistem perbudakan
Di bawah tekanan yang meningkat dari gerakan abolisionisme, Pemerintah Britania Raya mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Budak 1807 yang menghapuskan perdagangan budak di Imperium Britania. Pada tahun 1808, Sierra Leone ditetapkan sebagai koloni Britania pertama yang secara resmi membebaskan semua budak.[85] Undang-Undang Penghapusan Perbudakan disahkan pada tahun 1833, dan pada 1 Agustus 1834, sistem perbudakan secara resmi dihapuskan di segenap koloni Britania di seluruh dunia (kecuali St. Helena, Sri Lanka, dan koloni yang dikelola oleh EIC, meskipun pada akhirnya pengecualian ini dicabut). Menurut Undang-Undang Penghapusan Perbudakan, para budak diberi kebebasan dan emansipasi penuh setelah "magang" selama 4 sampai 6 tahun.[86]
Periode antara tahun 1815 sampai 1914 disebut oleh beberapa sejarawan sebagai "era keemasan Imperium Britania",[87][88] ketika lebih dari 10.000.000 mil persegi (26.000.000 km2) luas wilayah dan sekitar 400 juta penduduk menjadi bagian dari Imperium Britania.[89] Kekalahan Napoleon pada tahun 1815 membuat Britania tidak memiliki saingan yang berarti, kecuali Rusia di Asia Tengah.[90] Menjadi yang tak terkalahkan di lautan, Britania kemudian menobatkan dirinya sebagai polisi dunia, yang selanjutnya dikenal sebagai Pax Britannica.[91] Bersamaan dengan hak kontrol tidak resmi yang dimilikinya, posisi Britania yang dominan dalam perdagangan dunia berarti bahwa secara efektif Britania bisa mengendalikan perekonomian dari banyak negara, seperti Tiongkok, Argentina, dan Siam (Thailand). Kondisi ini oleh para sejarawan disebut sebagai "imperium informal".[92][93]
Era keemasan Imperium Britania didukung oleh berbagai penemuan teknologi selama masa Revolusi Industri seperti kapal uap dan telegraf. Berbagai teknologi baru yang diciptakan pada paruh kedua abad ke-19 memungkinkan Britania untuk mengontrol dan mempertahankan kejayaan imperiumnya. Pada tahun 1902, koloni-koloni di Imperium Britania bisa saling terhubung berkat adanya penemuan jaringan kabel telegraf yang bernama "All Red Line".[94]
East India Company (EIC) atau Perusahaan Hindia Timur secara tidak langsung telah ikut berperan serta dalam mendukung kejayaan Imperium Britania di Asia. Tentara EIC pertama kali bergabung dengan Angkatan Laut Britania saat terjadinya Perang Tujuh Tahun, dan kemudian terus bekerja sama dalam berbagai pertempuran di luar India, di antaranya: pengusiran Napoleon dari Mesir (1799), pengambilalihan Jawa dari Belanda (1811), akuisisi Singapura (1819) dan Malaka (1824) serta pendudukan Birma (1826).[90]
Berawal dari basis di India, sejak tahun 1730 EIC lambat laun mulai melebarkan jalur perdagangannya dengan merambah perdagangan opium (candu) dengan Tiongkok. Perdagangan ini sangat menguntungkan namun ilegal karena dilarang oleh Dinasti Qing sejak tahun 1729. Perdagangan opium ini membantu mengembalikan ketidakseimbangan perdagangan Britania akibat impor teh yang tidak menghasilkan keuntungan di Tiongkok.[95] Pada tahun 1839, sekitar 20.000 peti candu Britania disita oleh Pemerintah Tiongkok, yang memicu meletusnya Perang Candu Pertama. Tiongkok kalah dalam perang ini, kemudian berdasarkan hasil Perjanjian Nanjing, Hong Kong diserahkan kepada Britania.[96]
Pada tahun 1857, di India terjadi Pemberontakan Sepoy yang dilakukan oleh prajurit-prajurit India (sepoy) yang berada di bawah kekuasaan EIC. Pemberontakan ini berkembang dan meluas menjadi pemberontakan penduduk di dataran Gangga hulu dan India Tengah dan berakhir dengan pembubaran EIC serta kekuasaan di India dijalankan secara langsung oleh Kerajaan Britania Raya.[97] Pemberontakan ini memakan waktu enam bulan sebelum berhasil ditumpas dan memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Setelah pemberontakan usai, Monarki Britania memegang kendali langsung atas India, membawa India memasuki periode yang dikenal sebagai Kemaharajaan Britania (British Raj) dengan seorang gubernur jenderal ditunjuk oleh Pemerintah Britania untuk membawahi India dan Ratu Victoria dinobatkan sebagai Maharani India. EIC dibubarkan pada tahun berikutnya.[98]
India mengalami serangkaian kegagalan panen serius pada akhir abad ke-19, menyebabkan bencana kelaparan yang meluas ke seantero negeri dan diperkirakan lebih dari 15 juta orang meninggal akibat kelaparan. EIC telah gagal mengimplementasikan kebijakan dan kontrol yang terkoordinasi untuk menangani kelaparan selama periode kekuasaannya. Hal ini berusaha diubah selama masa Kemaharajaan Britania, sebuah komisi khusus dibentuk untuk mengatasi dan menerapkan kebijakan baru dalam pengentasan kelaparan, yang memakan waktu hingga awal 1900-an supaya bisa menghasilkan efek.[99]
Sepanjang abad ke-19, Britania dan Rusia saling bersaing untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan olah Utsmaniyah, Persia dan Dinasti Qing. Persaingan di Eurasia ini oleh Arthur Connolly disebut sebagai Permainan Besar(The Great Game).[100] Kekalahan yang diderita oleh Rusia di Persia dan Turki memunculkan kekhawatiran Britania akan ambisi imperialis Rusia untuk menguasai Asia Tengah dan ketakutan akan adanya invasi darat Rusia ke India.[101] Pada tahun 1839, Britania mendahului Rusia dengan menginvasi Afganistan, yang memicu meletusnya Perang Inggris-Afganistan, tetapi perang ini adalah bencana bagi Britania.[80] Saat Rusia menginvasi Balkan pada tahun 1853, kekhawatiran akan adanya dominasi Rusia di Mediterania dan Timur Tengah memicu Britania dan Prancis untuk menyerang Semenanjung Krimea dan melumpuhkan Angkatan Laut Rusia.[80] Peristiwa ini memicu berkobarnya Perang Krimea yang meletus pada tahun 1854-1856 antara Kekaisaran Rusia melawan sekutu yang terdiri dari Britania, Prancis, Kerajaan Sardinia, dan Kesultanan Utsmaniyah. Perang ini dianggap sebagai perang modern pertama dalam sejarah dunia, baik dari segi teknik maupun penggunaan senjata,[102] dan merupakan satu-satunya perang global yang terjadi antara Britania dengan imperium lainnya selama masa Pax Britannica. Perang ini berhasil dimenangkan dengan gemilang oleh Britania dan sekutunya.[80] Setelah perang usai, situasi di Asia Tengah tetap tidak terselesaikan selama dua dekade lebih. Britania mencaplok Baluchistan pada tahun 1876 dan Rusia menguasai Kirghizia, Kazakhstan dan Turkmenistan. Untuk sementara waktu, perang lain antar kedua negara tersebut memang bisa dihindari, tetapi di sisi lain terjadi perebutan supremasi antar kedua belah pihak di Asia Tengah, terutama dalam penyebaran pengaruh dan ideologi politiknya masing-masing. Kesepakatan antara Britania dan Rusia baru benar-benar bisa tercapai setelah ditetapkannya batas-batas kekuasaan kedua negara dalam Perjanjian Britania-Rusia pada tahun 1907.[103] Lumpuhnya Angkatan Laut Rusia dalam Pertempuran Port Arthur saat terjadinya Perang Rusia-Jepang juga semakin memperbesar peluang Britania dalam menguasai Asia.[104]
Belanda sebenarnya telah mendirikan Koloni Cape di ujung selatan Afrika pada tahun 1652 sebagai pos persinggahan bagi kapal-kapalnya yang sedang dalam perjalanan ke Hindia Timur. Namun, Britania secara resmi mengakuisisi Koloni Cape pada tahun 1806—termasuk Bangsa Boer yang berdiam di sana—setelah mendudukinya pada tahun 1795 untuk mencegah koloni tersebut jatuh ke tangan Prancis yang pada saat itu berhasil mengalahkan Belanda.[105] Para imigran dari Kepulauan Britania mulai berdatangan sejak tahun 1820. Hal ini memicu menyingkirnya ribuan Bangsa Boer yang tidak setuju dengan hukum Britania ke arah utara dan mendirikan negara republik bebas sendiri (kebanyakan tidak bertahan lama) pada periode 1830-an sampai awal 1840-an.[106] Dalam prosesnya, Bangsa Boer berulang kali bentrok dengan tentara Britania, yang memiliki agenda sendiri sehubungan dengan ekspansi kolonial di Afrika Selatan dan menguasai permukiman bangsa-bangsa asli Afrika, termasuk Bangsa Sotho dan Zulu. Pada akhirnya, Bangsa Boer berhasil mendirikan dua negara republik baru yang memiliki umur lebih lama: Republik Afrika Selatan atau Republik Transvaal (1852-1877; 1881-1902) dan Negara Bebas Oranye (1854-1902).[107] Pada tahun 1902, Britania berhasil menduduki kedua republik tersebut, yang memicu meletusnya Perang Boer.[108]
Pada tahun 1869, Terusan Suez yang menghubungkan Laut Tengah dengan Samudra Hindia dibuka oleh Napoleon III. Pembukaan terusan ini pada awalnya ditentang oleh Britania, tetapi begitu mengetahui nilai strategis terusan ini, Britania langsung berhasrat untuk menguasainya.[109] Pada tahun 1875, Pemerintah KonservatifBenjamin Disraeli membeli 44 persen—sekitar £4 juta (£370 juta pada tahun 2024)—saham penguasa Mesir; Ismail Pasha dalam kepemilikan Terusan Suez. Meskipun pembelian ini tidak memberikan kontrol langsung atas Terusan Suez, Britania secara tidak langsung telah menanamkan pengaruhnya di Mesir. Dengan adanya kontrol dari Prancis dan Britania terhadap keuangan Mesir, Mesir pun akhirnya diduduki penuh oleh Britania Raya pada tahun 1882.[110] Prancis, yang merupakan pemegang saham mayoritas atas Terusan Suez, berupaya untuk melemahkan posisi Britania,[111] tetapi kedua negara tersebut pada akhirnya berhasil mencapai suatu persetujuan dengan disahkannya Konvensi Konstantinopel pada tahun 1888 yang memutuskan bahwa Terusan Suez adalah wilayah netral.[112]
Ketika aktivitas Prancis, Belgia dan Portugis di bagian hulu Sungai Kongo sudah mengancam kedudukan Britania di Afrika, Konferensi Berlin diadakan pada tahun 1884 dan 1885 dengan tujuan untuk mengatur persaingan antar bangsa-bangsa Eropa di Afrika, yang selanjutnya dikenal sebagai “Perebutan Afrika” (dalam artian pendudukan efektif agar mendapat pengakuan internasional atas klaim teritorial).[113] Perebutan ini berlanjut hingga tahun 1890-an, yang menyebabkan Britania mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menarik diri dari Sudan pada tahun 1885. Sekompi pasukan gabungan tentara Britania dan Mesir berhasil mengalahkan Tentara Mahdi pada tahun 1886 dan mencegah usaha Prancis untuk menduduki Fashoda pada tahun 1898. Setelah itu, Sudan diklaim sebagai Kondominium Britania-Mesir, meskipun pada kenyataannya Sudan merupakan koloni Britania.[114]
Kemenangan Britania di Afrika Timur dan Selatan mendorong Cecil Rhodes—pelopor ekspansi Britania ke Afrika—untuk membangun sebuah jalur kereta api dari Cape ke Kairo guna menghubungkan Terusan Suez dengan Afrika bagian selatan yang kaya dengan mineral.[115] Pada tahun 1888, Rhodes beserta perusahaannya yang bernama British South Africa Company mencaplok dan menduduki sebuah wilayah yang kemudian dinamakan sesuai namanya; Rhodesia.[116]
Perubahan status koloni kulit putih
Sejak abad ke-18, telah terjadi perbedaan yang nyata antara status koloni Britania yang dihuni oleh penduduk berkulit putih dengan koloni yang dihuni oleh penduduk non-kulit putih. Saat pemikiran "absolutisme tercerahkan" berkembang di Eropa, Britania didesak untuk mengubah status koloni-koloni kulit putih agar mengizinkan mereka membentuk pemerintahan sendiri.[117]
Langkah koloni kulit putih untuk memperoleh kemerdekaan dari Imperium Britania dimulai dengan adanya Laporan Durham pada tahun 1839: dua provinsi di Kanada (Kanada Hulu dan Kanada Hilir) diusulkan untuk diunifikasi sebagai solusi atas kerusuhan politik yang kerap terjadi di sana.[118] Unifikasi ini disahkan dalam Undang-Undang Penyatuan pada tahun 1840, yang kemudian membentuk Provinsi Kanada. Pemerintahan mandiri pertama kali diberikan pada Nova Scotia pada tahun 1848, kemudian menyusul koloni-koloni Britania lainnya di Amerika utara. Selanjutnya, dengan diberlakukannya Undang-Undang Konstitusi oleh Parlemen Britania Raya pada tahun 1867, Kanada Hulu, Kanada Hilir, New Brunswick, dan Nova Scotia disatukan menjadi Dominion Kanada, dengan status sebagai Pemerintahan Konfederasi yang menikmati hak penuh kecuali dalam hal hubungan internasional.[119]Australia dan Selandia Baru juga memperoleh status yang sama setelah tahun 1900. Koloni-koloni di Australia diunifikasi pada tahun 1901 menjadi Federasi Australia, sedangkan Selandia Baru menyusul setelahnya dengan status sebagai Pemerintah Dominion. Istilah Pemerintahan Dominion sendiri secara resmi baru diperkenalkan dalam Konferensi Kolonial 1907 di London untuk menegaskan status Kanada, Australia dan Selandia Baru.[120]
Pada dekade terakhir abad ke-19, Britania dihadapkan pada kampanye politik rakyat Irlandia yang ingin memisahkan diri dari Britania Raya. Irlandia sendiri telah bergabung dengan Inggris (dan bersama Skotlandia kemudian membentuk Britania Raya) sejak tahun 1800, setelah meletusnya Pemberontakan Irlandia pada tahun 1798, yang diikuti dengan bencana kelaparan parah pada periode 1845 sampai 1852. Kemerdekaan Irlandia ini didukung oleh Perdana Menteri Britania Raya, William Ewart Gladstone, yang berharap bahwa Irlandia mungkin bisa mengikuti jejak Kanada sebagai sebuah Pemerintahan Dominion dalam Imperium Britania. Tetapi Rancangan Undang-Undang (RUU) pembebasan Irlandia ditolak oleh Parlemen Britania Raya,[121] meskipun RUU ini menawarkan otonomi yang lebih sedikit bagi Irlandia ketimbang Kanada.[121] Kebanyakan anggota parlemen takut kemerdekaan Irlandia mungkin akan menimbulkan ancaman keamanan bagi Britania atau menandai awal pecahnya Imperium Britania.[122] RUU kemerdekaan kedua juga ditolak dengan alasan yang sama.[122] RUU ketiga berhasil disahkan oleh parlemen, tetapi tidak diproses lebih lanjut karena pecahnya Perang Dunia I.[123] Sementara itu di Afrika, pada tahun 1910, Koloni Cape, Natal, Republik Transvaal dan Negara Bebas Oranye bergabung menjadi Uni Afrika Selatan yang juga diberi status dominion.[124]
Perang Dunia (1914–1945)
Pada pergantian abad ke-20, kekhawatiran Britania bahwa mereka tidak lagi mampu mempertahankan kejayaan imperiumnya mulai tumbuh. Jerman meningkat pesat sebagai kekuatan militer dan industri baru di dunia dan tampaknya akan menjadi lawan yang paling mungkin bagi Britania dalam perang berikutnya.[125] Sadar bahwa ia kewalahan di Pasifik dan terancam oleh Angkatan Laut Jerman,[126] Britania membentuk aliansi dengan Jepang pada tahun 1902, dan dengan musuh lamanya, Prancis dan Rusia pada tahun 1904 dan 1907.[127]
Perang Dunia I
Kekhawatiran Britania Raya terhadap peperangan dengan Jerman terbukti dengan pecahnya Perang Dunia I. Keputusan Britania untuk melancarkan perang terhadap Jerman dan sekutunya juga melibatkan wilayah-wilayah koloni dan dominionnya, yang menyediakan tenaga militer, dukungan finansial dan material yang tidak ternilai. Lebih dari 2,5 juta tentara Britania diambil dari wilayah-wilayah dominionnya, serta ribuan sukarelawan yang berasal dari koloni-koloninya.[128] Sebagian besar koloni seberang lautan Jerman dengan cepat berhasil direbut dan diduduki. Sementara di Pasifik, Australia dan Selandia Baru berhasil mengambil alih Nugini Jerman dan Samoa. Kontribusi Australia, Newfoundland dan Selandia Baru selama Kampanye Gallipoli melawan Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1915 memiliki dampak besar terhadap semangat kebangsaan dan kecintaan mereka terhadap tanah air serta berperan penting dalam proses transisi Australia dan Selandia Baru dari negara koloni menjadi negara yang merdeka. Negara-negara tersebut terus memperingati peristiwa tewasnya ribuan tentara mereka dalam perang ini setiap tahunnya. Kanada juga mengalami hal yang sama saat ikut serta dalam Pertempuran Vimy Ridge pada tahun 1917.[129] Kontribusi penting dari para dominion Britania diakui oleh Perdana Menteri Britania, David Lloyd George. Pada tahun 1917, ia mengundang semua Perdana Menteri dari wilayah dominion Britania dan kemudian membentuk Kabinet Perang Imperialis untuk mengkoordinasikan kebijakan militer di Imperium Britania.[130]
Menurut ketentuan Perjanjian Versailles 1919, Britania mendapat jatah terbesar dalam pembagian wilayah sengketa perang. Sekitar 1.800.000 mil persegi (4.700.000 km2) dan 13 juta penduduk baru ditambahkan ke kekuasaan Imperium Britania.[131] Koloni-koloni Jerman dan Kesultanan Utsmaniyah dibagi-bagikan ke Sekutu sebagaimana keputusan dari Liga Bangsa-Bangsa. Britania mendapatkan mandat atas Palestina, Transyordania, Irak, sebagian Kamerun dan Togo, serta Tanganyika. Wilayah dominion Britania juga mendapat bagian tersendiri: Afrika Barat Daya (sekarang Namibia) diserahkan kepada Afrika Selatan, Australia memperoleh Nugini Jerman, sedangkan Selandia Baru memperoleh Samoa Barat. Nauru ditetapkan sebagai milik gabungan antara Britania dan dua dominion Pasifiknya.[132]
Periode antar-perang
Berbagai perubahan yang terjadi pasca Perang Dunia I, khususnya pertumbuhan Amerika Serikat dan Jepang sebagai kekuatan baru angkatan laut dunia dan munculnya gerakan-gerakan kemerdekaan di India dan Irlandia menyebabkan kebijakan imperial Britania Raya dikaji ulang.[133] Britania harus memilih apakah mau bersekutu dengan Jepang atau Amerika Serikat. Kemudian, Britania memilih tidak memperpanjang aliansi dengan Jepang dan dengan disahkannya Perjanjian Laut Washington 1922, Britania secara resmi menyetujui persekutuan dengan Angkatan Laut Amerika Serikat.[134] Keputusan ini menjadi sumber perdebatan di Britania Raya sepanjang tahun 1930;[135] pemerintahan militer sudah diberlakukan di Jepang dan Jerman, dan didukung oleh sedang berlangsungnya era Depresi Besar, dikhawatirkan Britania tidak akan bertahan menghadapi serangan dari kedua negara tersebut.[136] Meskipun masalah keamanan imperiumnya menjadi perhatian serius bagi Britania, pada saat yang sama imperium juga sangat penting bagi perekonomian Britania, terutama dalam menghadapi perang.[137]
Perang Dunia I menyebabkan pelaksanaan Undang-Undang Kemerdekaan Irlandia tertunda dan hasilnya, Irlandia memproklamasikan kemerdekaannya sendiri pada tahun 1919. Sinn Féin, partai prokemerdekaan Irlandia, berhasil memenangkan mayoritas suara dalam Pemilihan Umum 1918 dan kemudian memproklamasikan kemerdekaan Irlandia. Britania tidak mengakuinya, dan hal ini memicu meletusnya Perang Kemerdekaan Irlandia. Para tentara Republik Irlandia secara bersamaan memulai perang gerilya melawan Pemerintah Britania.[138] Perang ini berakhir pada tahun 1921 dengan jalan buntu dan menghasilkan Traktat Anglo-Irlandia. Dua puluh enam county di Irlandia Selatan kemudian mendirikan Negara Bebas Irlandia, yang selanjutnya ditetapkan sebagai wilayah dominion dalam Imperium Britania, yang berdiri sebagai negara bebas namun secara konstitusional dan kelembagaan masih merupakan bagian dari Kerajaan Britania Raya.[139] Sedangkan enam county di Irlandia Utara memilih untuk tetap menjadi bagian dari Pemerintahan Britania Raya.[140]
Status koloni di Asia
Perjuangan kemerdekaan yang sama juga berlangsung di India saat Undang-Undang Pemerintahan India 1919 gagal dalam memenuhi tuntutan kemerdekaan rakyat India.[141] Kekhawatiran terhadap penyebaran komunis dan campur tangan asing dalam Konspirasi Ghadar menyebabkan disahkannya Undang-Undang Rowlatt.[142] Hal ini menyebabkan ketegangan, terutama di daerah Punjab, tempat ketegangan berubah menjadi tragedi berdarah pada tahun 1919 yang dikenal dengan peristiwa Pembantaian Amritsar. Di Britania, peristiwa ini dilihat sebagai tindakan untuk menyelamatkan India dari aksi anarki, tetapi banyak pihak—termasuk Churchill—yang menganggapnya sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan.[142] Keadaan terus bergejolak hingga bulan Maret 1922 diikuti oleh insiden Chauri Chaura dan terus berlanjut sampai 25 tahun ke depan.[143] Pada tahun 1922, Mesir, yang dinyatakan sebagai wilayah protektorat Britania setelah Perang Dunia I, diberikan kemerdekaan resmi, tetapi tetap menjadi negara satelit Britania sampai tahun 1954. Tentara Britania tetap ditempatkan di Mesir sampai ditandatanganinya Perjanjian Inggris-Mesir pada tahun 1936,[144] yang menyepakati bahwa Britania akan menarik tentaranya dari Mesir, tetapi Britania tetap berhak menduduki dan memiliki Terusan Suez. Sebagai imbalannya, Mesir dibantu untuk bergabung dengan Liga Bangsa-Bangsa.[145] Sementara itu, Irak, wilayah mandat Britania sejak tahun 1920 yang kaya dengan minyak juga dibantu menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa setelah diberi kemerdekaan pada tahun 1932.[146]
Kemerdekaan domini
Keinginan para dominion untuk memerdekakan diri dari Britania ditanggapi dengan diadakannya Konferensi Imperial 1923.[147] Permintaan Britania atas bantuan militer dalam menghadapi Krisis Chanak pada tahun sebelumnya ditolak oleh Kanada dan Afrika Selatan. Kanada juga menolak isi Perjanjian Lausanne 1923.[148][149] Setelah adanya tekanan dari Selandia Baru dan Afrika Selatan, Britania menyelenggarakan Konferensi Imperial 1926 dan mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang menyatakan bahwa "semua dominion merupakan komunitas swatantra dalam Britania Raya, sama dalam kedudukan, dengan tiada yang lebih rendah antara satu dengan lainnya dalam tiap aspek urusan dalam maupun luar negerinya, meski dipersatukan oleh kesetiaan umum pada Raja, dan secara bebas terhubung sebagai anggota negara-negara Persemakmuran Britania".[150] Deklarasi ini disahkan secara hukum dalam Undang-Undang Westminster 1931.[120] Kanada, Australia, Selandia Baru, Uni Afrika Selatan, Negara Bebas Irlandia dan Newfoundland akhirnya menjadi negara yang merdeka dan memiliki parlemen yang bebas dari kontrol legislatif Britania. Mereka tidak lagi terikat kepada undang-undang Britania dan Britania tidak boleh mengesahkan undang-undang yang berkaitan dengan negara-negara tersebut tanpa mendapat persetujuan mereka.[151] Newfoundland kembali menjadi koloni Britania pada tahun 1933 akibat kesulitan keuangan selama masa Depresi Besar.[152] Sedangkan Irlandia menjauhkan diri dari Britania dengan mengesahkan konstitusi baru pada tahun 1937 dan berdiri sebagai negara republik serta berusaha melepaskan diri dari semua pengaruh Britania.[153]
Perang Dunia II
Keputusan Britania dalam menyatakan perang terhadap Jerman Nazi pada bulan September 1939 juga mengikutsertakan seluruh koloninya, tetapi tidak secara otomatis menyertakan dominionnya. Australia, Kanada, Selandia Baru dan Afrika Selatan memilih untuk menyatakan perang terhadap Jerman, tetapi Negara Bebas Irlandia memilih untuk tetap netral secara legal selama perang berlangsung.[154] Setelah pendudukan Jerman atas Prancis pada tahun 1940, Britania dan imperiumnya berjuang sendiri dalam melawan Jerman, sampai masuknya Uni Soviet ke dalam kancah peperangan pada tahun 1941. Perdana Menteri Britania, Winston Churchill, berhasil melobi Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt agar mengirimkan bantuan militer bagi Britania, tetapi Roosevelt belum siap melibatkan Amerika Serikat dalam peperangan.[155] Pada Agustus 1941, Churchill dan Roosevelt mengadakan perundingan dan menandatangani Piagam Atlantik, yang menyatakan bahwa "hak bagi semua bangsa untuk memilih bentuk pemerintahan tempat mereka tinggal harus dihormati" (hak untuk menentukan nasib sendiri). Namun kata-kata ini bermakna ambigu, entah yang dimaksudkan itu mengenai penjajahan Jerman atas Eropa atau penjajahan negara-negara Eropa atas negara-negara lainnya. Pada akhirnya, kata-kata ini diinterpretasikan secara berbeda oleh Britania, Amerika Serikat, dan gerakan nasionalisme negara-negara terjajah.[156][157]
Pada bulan Desember 1941, Jepang dengan cita-cita Asia Timur Rayanya secara berurutan melancarkan serangan terhadap koloni Britania di Malaya, Hong Kong dan pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor. Amerika Serikat pun kemudian ikut serta dalam peperangan. Reaksi Churchill atas masuknya Amerika Serikat dalam kancah peperangan adalah bahwa sekarang Britania yakin akan kemenangan dan keberlangsungan imperiumnya pada masa depan,[158] namun cara Britania yang cepat menyerah memberi kesan buruk bagi kedudukan dan statusnya sebagai penguasa imperial.[159][160]Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang pada tahun 1942 adalah kekalahan yang paling memalukan bagi Britania karena Singapura dianggap sebagai benteng pertahanan Britania yang tak tertembus dan setara dengan Gibraltar di Laut Tengah.[161] Sadar akan posisi Britania yang tidak mampu lagi mempertahankan imperiumnya, Australia dan Selandia Baru yang semakin terancam oleh Jepang kemudian menjalin hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat. Hubungan ini selanjutnya diwujudkan dengan disahkannya Pakta ANZUS 1951 antara Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat, tanpa melibatkan Britania Raya.[156]
Dekolonisasi dan keruntuhan (1945–1997)
Walaupun Britania Raya dan imperiumnya berhasil memenangkan Perang Dunia II, efek dari konflik yang terjadi memengaruhi Britania baik di dalam maupun luar negeri. Hampir keseluruhan kejayaan negara-negara Eropa—benua yang mendominasi dunia selama berabad-abad lamanya—berada di ambang keruntuhan, digantikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang tumbuh sebagai kekuatan global baru. Britania sendiri terpuruk dan mengalami kebangkrutan, dan baru bisa diselamatkan setelah mendapat pinjaman sebesar $3,5 miliar dari Amerika Serikat; negara adidaya baru yang dulu pernah menjadi koloninya.[162] Pinjaman itu sendiri baru berhasil dilunasi oleh Britania pada tahun 2006.[163]
Pada saat yang sama, gerakan antikolonial berkembang di negara-negara koloni Eropa. Situasi ini makin diperumit seiring berlangsungnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada prinsipnya, kedua negara tersebut sama-sama menentang kolonialisme Eropa, tetapi pada kenyataannya sentimen antikomunis lebih diutamakan ketimbang antiimperialis sehingga Amerika Serikat tetap mendukung keberlangsungan Imperium Britania.[164]
Istilah "angin perubahan yang berhembus di negara-negara koloni Britania" berarti bahwa kejayaan Imperium Britania sudah berada di ambang keruntuhan. Britania mulai menggunakan cara aman untuk menghadapi keruntuhannya, yaitu dengan memberikan kemerdekaan pada satu-persatu negara koloninya jika mereka sudah stabil serta tidak condong pada paham komunis. Cara ini berbeda dengan negara-negara Eropa lain seperti Prancis, Belanda dan Portugal, yang mengobarkan perang berbiaya mahal untuk tetap mempertahankan koloninya namun pada akhirnya gagal menjaga keutuhan imperium mereka. Antara periode 1945 sampai 1965, jumlah penduduk yang berada di bawah kekuasaan Britania (di luar Britania Raya) merosot dari angka 700 juta ke angka 5 juta, dan 3 juta di antaranya berada di Hong Kong.[165]
Partai Buruh yang prodekolonisasi berhasil memenangkan Pemilihan Umum Britania Raya 1945. Clement Attlee, pemimpin Partai Buruh yang terpilih sebagai Perdana Menteri segera bertindak cepat untuk menyelesaikan masalah penting negara, yaitu kemerdekaan India.[166] Dua organisasi pergerakan kemerdekaan India; Kongres Nasional India dan Liga Muslim India telah mengampanyekan kemerdekaan India berdekade-dekade lamanya, tetapi tidak menemui kesepakatan soal bagaimana pelaksanaannya. Kongres menginginkan India yang bersatu tetapi Liga menginginkan negara yang terpisah bagi penduduk Muslim karena takut akan adanya dominasi oleh mayoritas Hindu. Meningkatnya kerusuhan sipil dan pemberontakan dari Angkatan Laut India pada tahun 1946 membuat Attlee menjanjikan kemerdekaan bagi India paling lambat tahun 1948. Namun, situasi yang makin mendesak dan ancaman akan adanya perang saudara membuat Louis Mountbatten, Maharaja India yang baru dilantik (sekaligus yang terakhir) memproklamasikan kemerdekaan India lebih awal pada tanggal 15 Agustus1947.[167] Perbatasan yang dibuat oleh Britania untuk membagi India ke dalam kawasan untuk penduduk Hindu dan Islam tidak menghiraukan nasib berpuluh-puluh juta minoritas di India dan Pakistan.[168] Akibatnya, jutaan Muslim kemudian menyeberang dari India ke Pakistan dan Hindu ke arah sebaliknya, dan bentrokan yang terjadi antar dua komunitas tersebut menyebabkan lebih dari dua ratus ribu nyawa melayang. Sri lanka dan Myanmar, yang merupakan bagian dari Kemaharajaan Britania, memperoleh kemerdekaan pada tahun 1948. India, Pakistan dan Sri lanka selanjutnya bergabung menjadi anggota Negara-Negara Persemakmuran, tetapi Myanmar memilih untuk tidak bergabung.[169]
Status Palestina
Mandat Britania atas Palestina, tempat mayoritas Arab tinggal berdampingan bersama minoritas Yahudi, juga menimbulkan masalah yang sama dengan India.[170] Hal tersebut makin dipersulit dengan sejumlah besar pengungsi Yahudi yang menginginkan tempat tinggal di Palestina setelah peristiwa Holocaust, sementara komunitas Arab menentang pembentukan negara Yahudi. Frustrasi atas kerumitan masalah tersebut dan diserang oleh organisasi paramiliter Yahudi serta meningkatnya biaya untuk mempertahankan militernya di Palestina, Britania mengumumkan pada tahun 1947 menarik diri dari kasus Palestina dan menyerahkan perkara tersebut pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk diselesaikan.[171]Majelis Umum PBB kemudian menyikapinya dengan Rencana Pembagian Palestina menjadi dua bagian, yaitu negara Arab (Palestina) dan negara Yahudi (Israel).[172]
Kemerdekaan Malaysia
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, kemunculan gerakan perlawanan anti-Jepang di Malaya mengalihkan perhatian penduduk Malaya dari Britania, yang dengan cepat merebut kembali kendali atas koloni Malaya, terutama karena menilai wilayah itu sebagai sumber karet dan timah.[173] Fakta bahwa gerakan gerilya yang terjadi di Malaya sebagian besar didukung oleh komunis Melayu-Tionghoa menandakan bahwa upaya Britania untuk memadamkan pemberontakan tersebut didukung oleh mayoritas Melayu-Muslim, dengan artian bahwa setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan, kemerdekaan Malaya akan dikabulkan.[173]Kedaruratan Malaya diberlakukan dari tahun 1948 sampai tahun 1960. Tetapi pada tahun 1957, Britania sudah merasa cukup percaya diri untuk memberikan kemerdekaan pada Federasi Malaya. Pada tahun 1963, 11 negara bagian Federasi Malaya, beserta Singapura, Sarawak dan Borneo Utara, bergabung untuk membentuk Malaysia. Tetapi pada tahun 1965, Singapura yang didominasi oleh komunitas Tionghoa keluar dari federasi menyusul ketegangan antara komunitas Melayu dan Tionghoa. Brunei, yang menjadi protektorat Britania sejak tahun 1888 menolak untuk bergabung dengan federasi dan mempertahankan statusnya sampai memperoleh kemerdekaan pada tahun 1984.[173]
Pada tahun 1951, Partai Konservatif kembali berkuasa di Britania di bawah kepemimpinan Winston Churchill. Churchill dan Konservatif percaya bahwa posisi Britania sebagai kekuatan dunia bergantung pada keberlangsungan imperiumnya, dan hal ini ditentukan oleh Terusan Suez yang memungkinkan Britania untuk mempertahankan posisi unggulnya di Timur Tengah, meskipun sudah kehilangan India. Namun, Churchill tidak bisa meremehkan Pemerintahan Revolusioner baru bentukan Gamal Abdul Nasser di Mesir yang meraih kekuasaan pada tahun 1952 dan berusaha mengusir Britania dari Mesir. Pada tahun berikutnya, disepakati bahwa pasukan Britania akan menarik diri dari Terusan Suez dan nasib Sudan akan ditentukan pada tahun 1955.[174] Sudan kemudian diberi kemerdekaan pada tanggal 1 Januari 1956.
Bulan Juli 1956, Nasser secara sepihak menasionalisasi Terusan Suez. Perdana Menteri Britania yang baru, Anthony Eden, menanggapinya dengan membuat kesepakatan bersama Prancis untuk mengatur serangan dari Israel ke Mesir yang selanjutnya akan memberi alasan bagi Britania dan Prancis untuk campur tangan dan merebut kembali Terusan Suez.[175] Tindakan Eden yang tidak meminta nasihat dari sekutunya, Amerika Serikat, menyebabkan Presiden AS, Dwight D. Eisenhower marah dan menolak mendukung invasi tersebut.[176] Eisenhower juga mencemaskan kemungkinan perang dengan Uni Soviet setelah Nikita Khrushchev menyatakan dukungannya pada Mesir. Eisenhower menerapkan opsi keuangan dengan mengancam akan menjual cadangan AS dalam poundsterling dan dengan demikian akan memicu kejatuhan mata uang Britania. Walaupun invasi militer tersebut berhasil merebut kembali Terusan Suez,[177] adanya campur tangan PBB dan tekanan dari Amerika Serikat memaksa Britania untuk menarik pasukannya dengan memalukan dari Terusan Suez dan diikuti dengan pengunduran diri Eden pada tahun 1957.[178][179]
Krisis Suez ini sangat terpublikasi dan dengan sendirinya memperlihatkan kelemahan Britania kepada dunia, dan menandakan kemerosotan kekuasaannya di pentas dunia. Krisis Suez juga menunjukkan bahwa Britania tidak boleh bertindak tanpa persetujuan atau dukungan dari Amerika Serikat.[180][181][182] Peristiwa Suez ini membuat Britania "terluka" secara nasional. Seorang anggota Parlemen Britania menggambarkannya sebagai peristiwa "Waterloo Britania",[183] dan menyatakan kalau Britania sudah menjadi "satelit Amerika Serikat".[184]Margaret Thatcher kemudian mendeskripsikan pola pikir yang menimpa pendirian politik Britania sebagai "sindrom Suez", sejak Britania yang terpuruk sampai berhasil merebut kembali Kepulauan Falkland dari Argentina pada tahun 1982.[185]
Krisis Suez memang menyebabkan kekuatan Britania di Timur Tengah melemah, tetapi imperiumnya tidak runtuh.[186] Britania mengatur kembali pengiriman pasukannya ke Timur Tengah dengan intervensi di Oman (1957), Yordania (1958) dan Kuwait (1961), dan tentunya dengan persetujuan dari Amerika Serikat,[187] yang menjadi kebijakan luar negeri Perdana Menteri Britania yang baru, Harold Macmillan, untuk tetap kuat bersekutu dengan Amerika Serikat.[183] Britania mempertahankan kehadirannya di Timur Tengah selama satu dekade berikutnya dan baru menarik diri dari Aden pada tahun 1967 dan dari Bahrain tahun 1971.[188]
Angin perubahan
Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Harold Macmillan, berpidato di Cape Town, Afrika Selatan pada bulan Februari 1960, ketika dia mengatakan tentang "angin perubahan yang bertiup di benua ini."[189] Macmillan ingin menghindari perang kolonial seperti yang dihadapi oleh Prancis di Aljazair, dan menjanjikan bahwa di bawah pemerintahannya, proses dekolonisasi akan berjalan dengan cepat.[190] Banyak koloni Britania yang diberinya kemerdekaan pada tahun 1950-an dan 1960-an, termasuk Sudan, Pantai Emas (sekarang Ghana) dan Malaysia.[191]
Koloni Britania yang tersisa di Afrika, kecuali Rhodesia Selatan, semuanya diberikan kemerdekaan pada tahun 1968. Penarikan pasukan Britania dari bagian selatan dan timur Afrika bukanlah proses yang damai. Kemerdekaan Kenya didahului oleh Pemberontakan Mau Mau selama delapan tahun. Di Rhodesia, deklarasi kemerdekaan sepihak tahun 1965 oleh minoritas kulit putih menyebabkan perang saudara antara penduduk kulit hitam dan kulit putih yang berlangsung hingga disahkannya Perjanjian Lancaster 1979 yang meletakkan Rhodesia di bawah kuasa Britania. Pemilihan umum yang diadakan pada tahun berikutnya dimenangkan oleh Robert Mugabe, yang kemudian menjadi Perdana Menteri bagi negara merdeka yang kini bernama Zimbabwe.[192]
Di Laut Tengah, perang gerilya oleh penduduk Siprus-Yunani berakhir pada tahun 1960 dengan pembentukan negara merdeka Siprus, tetapi Britania tetap mempertahankan pangkalan-pangkalan militernya di Akrotiri dan Dhekelia. Sedangkan Malta dan Gozo diberikan kemerdekaan pada tahun 1964.[193]
Sebagian besar koloni Britania di Hindia Barat memperoleh kemerdekaan setelah keluarnya Jamaika dan Trinidad dari Federasi Hindia Barat pada tahun 1961 dan 1962. Pada awalnya, Federasi Hindia Barat didirikan pada tahun 1958 dalam upaya menyatukan koloni-koloni Britania di Karibia di bawah satu pemerintahan, tetapi federasi ini dibubarkan setelah kehilangan dua anggota terbesarnya.[194]Barbados memperoleh kemerdekaan pada tahun 1966 dan pulau-pulau lain di Karibia menyusul pada tahun 1970-an dan 1980-an.[194] Tetapi, Anguilla dan Kepulauan Turks & Caicos memilih untuk kembali ke pangkuan Britania dalam perjalanan menuju kemerdekaannya.[195]Kepulauan Virgin Britania Raya,[196]Kepulauan Cayman dan Montserrat juga memilih untuk tetap bersama Britania.[197]Guyana memperoleh kemerdekaan pada tahun 1966. Koloni terakhir Britania di daratan Amerika, Honduras Britania, menjadi koloni berpemerintahan sendiri pada tahun 1964 dan dinamai Belize pada tahun 1973, sebelum meraih kemerdekaan penuh pada tahun 1981. Perselisihan antara Belize dengan Guatemala mengenai klaim atas Belize yang tersisa masih belum terselesaikan hingga saat ini.[198]
Teritori Britania di Pasifik memperoleh kemerdekaan pada tahun 1970 (Fiji) dan 1980 (Vanuatu). Proses pemberian kemerdekaan setelah itu mengalami penundaan karena adanya konflik politik antara penduduk yang berbahasa Inggris dengan penduduk yang berbahasa Prancis.[199] Fiji, Tuvalu, Kepulauan Solomon dan Papua Nugini memilih menjadi anggota Negara-Negara Persemakmuran setelah merdeka.
Pemberian kemerdekaan kepada Rhodesia (sebagai Zimbabwe), Hebrides Baru (sebagai Vanuatu) pada tahun 1980, dan Belize pada tahun 1981 menandakan bahwa selain pulau-pulau kecil yang bertaburan, proses dekolonisasi koloni-koloni Britania yang dimulai setelah Perang Dunia II sudah selesai. Tetapi pada tahun 1982, tekad Britania untuk mempertahankan wilayah seberang lautannya yang tersisa diuji ketika Argentina menyerang Kepulauan Falkland, yang disebutnya sebagai klaim atas "warisan" dari Imperium Spanyol yang gagal pada tahun 1810.[200] Britania merespon dengan mengerahkan pasukan militernya untuk merebut kembali pulau-pulau tersebut dan kemudian memicu meletusnya Perang Falkland. Britania berhasil mempertahankan Kepulauan Falkland dari Argentina. Kemenangan ini dipandang oleh banyak pihak telah memberikan kontribusi dalam mengembalikan status Britania sebagai kekuatan dunia.[201] Sementara itu pada tahun yang sama, Kanada memutuskan untuk tidak lagi melibatkan Britania dalam urusan konstitusionalnya.[202] Tindakan serupa juga dilakukan oleh Australia dan Selandia Baru pada tahun 1986. Pada 1984, Brunei, protektorat Britania terakhir di Asia, diberikan kemerdekaan.[203]
Pada bulan September 1982, Perdana MenteriMargaret Thatcher berkunjung ke Beijing untuk berunding dengan Pemerintah RRT mengenai masa depan Hong Kong yang pada saat itu merupakan koloni seberang laut Britania terakhir yang paling besar dan paling padat penduduknya.[204] Menurut ketentuan Perjanjian Nanking 1842, Pulau Hong Kong diberikan "selama-lamanya" kepada Britania, namun mayoritas koloni itu dibentuk oleh Teritori Baru yang diperoleh dalam sewa selama 99 tahun sejak tahun 1898 dan akan berakhir pada tahun 1997.[205][206] Thatcher awalnya berniat untuk mempertahankan Hong Kong di bawah Pemerintahan Britania tetapi berada di bawah kedaulatan Tiongkok, tetapi hal ini ditolak oleh Pemerintah Tiongkok.[207] Sebuah kesepakatan akhirnya berhasil dicapai pada tahun 1984 dengan ditandatanganinya Deklarasi Bersama Tiongkok-Britania; Hong Kong ditetapkan sebagai Daerah Administratif Khusus Republik Rakyat Tiongkok yang diizinkan untuk mempertahankan gaya hidupnya sekurang-kurangnya 50 tahun.[208]Upacara penyerahan Hong Kong pada tahun 1997 ditandai oleh banyak pihak, termasuk Pangeran Charles,[209] sebagai "akhir Imperium Britania".[202][210]
Peninggalan
Britania Raya mempertahankan kedaulatannya atas 14 teritori di luar Kepulauan Britania, yang selanjutnya berganti nama menjadi Wilayah Seberang Laut Britania pada tahun 2002.[211] Beberapa dari teritori tersebut tidak berpenghuni kecuali untuk tujuan militer atau penelitian ilmiah sementara, sedangkan sisanya berupa pemerintahan sendiri yang bergantung pada Britania dalam hal hubungan luar negeri dan pertahanan. Pemerintah Britania telah menyatakan kesediaannya untuk membantu setiap Wilayah Seberang Lautnya yang ingin memperoleh kemerdekaan.[212] Beberapa Wilayah Seberang Laut Britania tidak diakui oleh tetangga geografisnya; Gibraltar diklaim oleh Spanyol, Kepulauan Falkland dan Georgia Selatan dan Kepulauan Sandwich Selatan diklaim oleh Argentina, sedangkan Wilayah Samudra Hindia Britania diklaim oleh Mauritius dan Seychelles.[213] Wilayah Antartika Britania secara bersamaan diklaim oleh Argentina dan Chili, sementara sebagian besar negara tidak mengakui klaim teritorial Britania atas Antartika.[214]
Selama berabad-abad, Pemerintah Britania dan imigrannya telah meninggalkan jejaknya pada negara-negara merdeka yang muncul dari Imperium Britania. Pengaruh yang paling besar terlihat dalam penyebaran bahasa Inggris di berbagai wilayah di seantero dunia. Saat ini, bahasa Inggris merupakan bahasa utama bagi lebih dari 400 juta penduduk di dunia dan dituturkan oleh sekitar satu setengah miliar orang sebagai bahasa pertama, kedua atau bahasa internasional.[216] Penyebaran bahasa Inggris sejak paruh kedua abad ke-20 juga turut dibantu oleh pengaruh budaya Amerika Serikat, yang awalnya juga terbentuk dari koloni Britania. Dalam sistem pemerintahan, dengan pengecualian di hampir semua bekas koloni Britania di Afrika yang sekarang telah mengadopsi sistem presidensial, sistem parlementer Inggris telah menjadi model umum bagi negara-negara bekas koloni Britania, demikian juga sistem hukum Inggris.[217] Komisi Yudisial Dewan Privi juga masih berfungsi sebagai pengadilan tertinggi di beberapa bekas koloni Britania di Karibia dan Pasifik. Tentara dan Pegawai Negeri Sipil Britania selama masa kolonisasi juga turut menyebarkan dan membentuk Komuni Anglikan di seluruh benua. Arsitektur kolonial Britania seperti gereja, stasiun kereta api dan bangunan pemerintah masih berdiri kokoh di banyak kota yang pernah menjadi bagian dari Imperium Britania.[218] Cabang-cabang olahraga yang berasal dari Kepulauan Britania, khususnya sepak bola, kriket, tenis dan golf, turut serta diekspor.[219] Penggunaan sistem pengukuran dan sistem imperial Inggris terus digunakan di beberapa negara yang diadopsi dalam berbagai cara. Konvensi mengemudi di sisi kiri jalan juga masih dipertahankan oleh sebagian besar negara-negara bekas Imperium Britania.[220]
Batas-batas politik yang diciptakan oleh Britania tidak selalu mencerminkan kehomogenan etnis atau agama, justru sering kali memberikan kontribusi bagi konflik di daerah-daerah yang pernah menjadi koloni Britania. Imperium Britania juga bertanggung jawab atas migrasi jutaan penduduk dari Kepulauan Britania (terutama Inggris dan Irlandia) ke Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Para imigran ini secara perlahan-lahan menanggalkan identitas Britania mereka setelah terbentuknya negara baru. Imigrasi besar-besaran selama masa kejayaan Imperium Britania sering kali menyebabkan ketegangan antar etnis dan semakin tersingkirnya minoritas asli di wilayah koloni seperti Aborigin di Australia, Indian di Amerika Utara dan sebagainya. Jutaan jiwa bermigrasi dari dan ke wilayah-wilayah koloni Britania. Sejumlah besar orang India beremigrasi ke bagian lain dari imperium, seperti ke Malaysia dan Fiji. Emigrasi warga Tionghoa, terutama dari Tiongkok Selatan, menyebabkan terbentuknya mayoritas Tionghoa di Singapura dan minoritas Tionghoa di Karibia. Sementara itu, komposisi penduduk Britania Raya sendiri berubah setelah terjadinya Perang Dunia II, yaitu terjadi gelombang migrasi besar-besaran dari negara-negara koloni ke Kepulauan Britania.[221]
Di Indonesia, meski masa kekuasaannya singkat, Imperium Britania juga turut mewariskan beberapa pengaruh dan peninggalannya. Saat Raffles berkuasa, ia membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan, dengan tujuan untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasainya. Sistem karesidenan ini tetap dipakai sampai tahun 1964. Raffles juga membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pada pengadilan Inggris. Selain itu, Raffles juga tertarik kepada sejarah, kebudayaan dan kesenian Jawa. Ketertarikannya ini diwujudkan dalam sebuah buku karangannya mengenai sejarah Jawa yang berjudul History of Java. Warisan Raffles lainnya adalah sebuah kebun di Paleis Buitenzorg (Istana Bogor), yang merupakan tempat kediaman Raffles di Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda). Berawal dari dari kebun istana ini, Raffles berkeinginan untuk mengumpulkan bermacam- macam tanaman yang ada di Indonesia hingga akhirnya kelak menciptakan Kebun Raya Bogor.[222]
^Williams, Beryl J. (1966). "The Strategic Background to the Anglo-Russian Entente of August 1907". The Historical Journal. 9 (03): 360–373. doi:10.1017/S0018246X00026698. JSTOR2637986.
^Hogg, hal. 424 chapter 9 English Worldwide by David Crystal: "approximately one in four of the worlds population are capable of communicating to a useful level in English."
Clegg, Peter (2005). "The UK Caribbean Overseas Territories". Dalam de Jong, Lammert; Kruijt, Dirk. Extended Statehood in the Caribbean. Rozenberg Publishers. ISBN90-5170-686-3.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)
Games, Alison (2002). Armitage, David; Braddick, Michael J, ed. The British Atlantic world, 1500–1800. Palgrave Macmillan. ISBN0-333-96341-5.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)
Sutrisno, Sulastin (2001). Dari Lima Penjajahan Menuju Zaman Kemerdekaan. Indira.
Turpin, Colin (2007). British government and the constitution (6th ed.). Cambridge University Press. ISBN978-0-521-69029-4.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
Hopkirk, Peter (2002). The Great Game: The Struggle for Empire in Central Asia. Kodansha International. ISBN4-7700-1703-0.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
Janin, Hunt (1999). The India–China opium trade in the nineteenth century. McFarland. ISBN0-7864-0715-8.
Joseph, William A. (2010). Politics in China. Oxford University Press. ISBN978-0-19-533530-9.
Kelley, Ninette (2010). The Making of the Mosaic (2nd ed.). University of Toronto Press. ISBN978-0-8020-9536-7.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
Knight, Franklin W. (1989). The Modern Caribbean. University of North Carolina Press. ISBN0-8078-1825-9.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)