Krisis Suez
Krisis Suez (bahasa Arab: أزمة السويس - العدوان الثلاثي ʾAzmat al-Sūwais/Al-ʿIdwān al-Thalāthī; bahasa Prancis: Crise du canal de Suez; bahasa Ibrani: מבצע קדש Mivtza' Kadesh "Operasi Kadesh," atau מלחמת סיני Milẖemet Sinai, "Perang Sinai") adalah serangan militer Britania Raya, Prancis dan Israel terhadap Mesir yang dimulai pada tanggal 29 Oktober 1956.[3][4] Serangan ini dilancarkan karena pada tanggal 26 Juli 1956, Mesir menasionalisasikan Terusan Suez setelah tawaran Britania Raya dan Amerika Serikat untuk mendanai pembangunan Bendungan Aswan dicabut.[5] Latar belakangTerusan Suez dibuka pada tahun 1869, didanai oleh pemerintah Prancis dan Mesir.[6] Secara teknis, wilayah yang mengelilingi terusan ini merupakan wilayah kedaulatan Mesir, dan perusahaan yang mengurusnya, Universal Company of the Suez Maritime Canal (Suez Canal Company) adalah perusahaan mesir. Terusan ini penting bagi Britania Raya dan negara-negara Eropa lainnya. Bagi Britania, terusan ini merupakan penghubung ke koloni Britania di India, Timur Jauh, Australia dan Selandia Baru. Maka pada tahun 1875, Britania membeli saham dari Suez Canal Company, memperoleh sebagian kekuasaan atas pengoperasian terusan dan membaginya dengan investor swasta Prancis. Pada tahun 1882, selama invasi dan pendudukan Mesir, Britania Raya secara de facto menguasai terusan ini. Konvensi Konstantinopel 1888 mendeklarasikan terusan ini sebagai zona netral dibawah perlindungan Britania.[7] Dalam meratifikasinya, Kesultanan Utsmaniyah setuju untuk memberikan izin terhadap kapal internasional melewati terusan tersebut, baik saat perang maupun damai.[8] Terusan Suez menunjukan betapa strategis wilayah tersebut selama Perang Rusia-Jepang ketika Jepang melakukan persetujuan dengan Britania. Jepang melancarkan serangan kejutan terhadap Armada Pasifik Rusia yang berbasis di Port Arthur. Ketika Rusia mengirim bantuan dari Baltik, Britania tidak memperbolehkan Rusia melewati terusan. Hal ini menyebabkan armada Rusia mengelilingi seluruh benua Afrika, memberikan waktu bagi tentara Jepang untuk mereorganisir tentara mereka dan memperkuat posisi mereka di Timur Jauh. Kepentingan terusan ini juga terlihat jelas selama Perang Dunia. Pada Perang Dunia Pertama, Britania dan Prancis menutup terusan ini untuk kapal non-Sekutu. Selama Perang Dunia Kedua, Terusan Suez dilindungi selama Kampanye Afrika Utara. Pada Mei 1948, Mandat Britania atas Palestina berakhir, dan tentara Britania mundur dari wilayah tersebut. Deklarasi Kemerdekaan Israel dideklarasikan, dan ditentang oleh Liga Arab. Hal ini menyebabkan terjadinya Perang Arab-Israel 1948. Tentara Israel berhasil memenangkan perang melawan Arab, termasuk Mesir. Negosiasi perdamaian setelah perang gagal, ditambah dengan meningkatnya ketegangan perbatasan antara Israel dan tetangganya, menyebabkan meningkatnya permusuhan antara Arab dan Israel. Akhir peperanganOperasi yang bertujuan merebut Terusan Suez ini berhasil dari sisi militer, namun merupakan bencana politik. Bersama dengan krisis Suez, Amerika Serikat juga harus mengurus Revolusi Hungaria. Amerika Serikat juga takut akan adanya perang yang lebih luas setelah Uni Soviet dan negara-negara Pakta Warsawa lainnya mengancam untuk membantu Mesir dan melancarkan serangan roket ke London, Paris[9] dan Tel Aviv. Maka dari itu, pemerintahan Eisenhower menyatakan gencatan senjata. Amerika Serikat meminta invasi dihentikan dan mensponsori resolusi di Dewan Keamanan PBB yang meminta gencatan senjata. Britania dan Prancis, sebagai anggota tetap, memveto resolusi tersebut. Amerika Serikat lalu memohon kepada Majelis Umum PBB dan mengusulkan resolusi meminta gencatan senjata dan ditariknya pasukan.[10] Majelis Akhir peperanganMajelis Umum mengadakan "sesi khusus kedaruratan" dan mengadopsi resolusi Majelis 1001,[11] yang mendirikan United Nations Emergency Force (UNEF), dan menyatakan gencatan senjata. Portugal dan Islandia mengusulkan untuk mengeluarkan Britania dan Prancis dari pakta pertahanan North Atlantic Treaty Organization (NATO) jika mereka tidak mau mundur dari Mesir.[12] Britania dan Prancis mundur dari Mesir dalam waktu seminggu. Amerika Serikat juga melancarkan tekanan finansial terhadap Britania Raya untuk mengakhiri invasi. Eisenhower memerintahkan George M. Humphrey untuk menjual bagian dari "US Government's Sterling Bond holdings". Pemerintah AS memegangnya sebagai bagian dari bantuan ekonomi terhadap Britania setelah Perang Dunia II, dan pembayaran sebagian hutang Britania kepada AS, dan juga bagian dari Rencana Marshall untuk membangun kembali ekonomi Eropa Barat. Arab Saudi juga memulai embargo minyak terhadap Britania dan Prancis. AS menolak membantu minyak bumi hingga Britania dan Prancis setuju untuk mundur. Negara NATO lainnya juga menolak untuk menjual minyak bumi yang mereka terima dari negara-negara Arab ke Britania atau Prancis.[13] Pemerintah Britania dan pound sterling berada dalam tekanan. Sir Anthony Eden, Perdana Menteri Britania Raya, terpaksa untuk mundur dan mengumumkan gencatan senjata pada tanggal 6 November. Tentara Prancis dan Inggris selesai mundur pada tanggal 22 Dessember 1956, dan digantikan oleh tentara Kolombia dan Denmark yang merupakan bagian dari UNEF.[14] Pasukan Israel meninggalkan Sinai pada Maret 1957. Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Suez Crisis.
Referensi |