Emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan yang berkaitan dengan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.[1] Emansipasi itu harus memberikan hak yang sepantasnya diberikan kepada seseorang atau kumpulan orang yang telah dirampas atau diabaikan sebelumnya. Hal ini penting diberikan sebagai sarana kebebasan pengembangkan diri dan meningkatkan kemahiran profesional agar semua orang saling bahu-membahu dalam pembangunan tanpa membeda-bedakan aspek-aspek kehidupan tertentu. Selain itu, emansipasi juga dilakukan agar mendapatkan hak politik dan persamaan derajat sosial bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik.[2] Pada hakikatnya, secara vertikal emansipasi akan terus berusaha menghilangkan perbedaan yang terlalu besar antara kelas-kelas sosial dan secara horizontal akan memperkecil jarak sosial antara pusat dan pinggiran. Maka dari itu, dengan emansipasi dominasi dan dependensi akan berakhir sehingga tercipta sebuah kesetaraan.[3]
Emansipasi wanita
Emansipasi wanita adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan seorang wanita untuk berkembang dan maju di segala bidang dalam kehidupan masyarakat.[4] Emansipasi wanita bertujuan menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria dan memberi wanita kesempatan bekerja, belajar, dan berkarya seimbang dengan kemampuannya seperti layaknya para pria. Gerakan perempuan ini lahir berdasarkan anggapan dan fakta bahwa perempuan hampir mengalami ketertinggalan di segala sektor kehidupan, mulai dari pendidikan dengan banyaknya buta huruf, kemiskinan, serta ketidak mampuannya dalam berperan secara aktif di lingkungan publik, justru keberadaan mereka lebih menitik beratkan pada aspek profesionalitas di bidang tertentu.[5] Maka dari itu, emansipasi wanita adalah salah satu jalan untuk mencapai cita-cita hidup setara antara perempuan dan laki-laki melalui gerakan memperjuangkan keadilan perempuan.[6]
Gerakan R.A. Kartini
Tokoh emansipasi wanita di Indonesia adalah R.A Kartini, seorang wanita priyayijawa yang memiliki pemikiran maju pada zamannya. Pemikiran maju yang diusung diekspresikan melalui surat-surat koresponden kepada sahabat yang berada di Belanda. Kumpulan surat tersebut kemudian diangkat menjadi buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. R.A. Kartini menjadi penggerak emansipasi wanita agar wanita mendapatkan hak atas pendidikan yang bebas dan setinggi-tingginya. Pada zaman penjahahan yang berhak mendapat pendidikan layak adalah anak keturunan bangsawan, sehingga pada masa lalu banyak wanita Indonesia tidak berpendidikan sama-sekali. Emansipasi yang diusung oleh R.A Kartini agar kecerdasan wanita diakui dan diberikan kesempatan yang sama untuk menerapkan ilmu yang dimilikinya, sehingga wanita akan lebih percaya diri dan tidak direndahkan oleh kaum pria.[4] Gerakan penyetaraan ini dimulai dengan cara mendirikan sebuah sekolah bagi perempuan. Pada masa itu, mereka hanya melayani suami (ranjang) dan mengurusi dapur yang justru mengunci peran wanita menunjukkan dan mengembangkan potensinya. Gerakan R.A. Kartini ini secara perlahan sudah mempengaruhi gerakan wanita pada awal pergerakan di Indonesia pada waktu itu (awal abad 21). Seperti pergerakan Aisyiyah yang menjadi pelopor dari persyarikatan Muhammadiyah yang memiliki peran organisasi di bidang pemberdayaan wanita yang dipelopori Nyai Ahmad Dahlan. Setelah itu, diikuti gerakan Muslimat NU dan banyak berbagai gerakan wanita yang lahir dari latar belakang profesi, keilmuan, agama dan lain-lain.[7]
Gerakan Maria Walanda Maramis
Pada 1890, Maria menikah pada usia 18 tahun dengan seorang guru SD di Manado yang bernama Yoseph Frederik Calusung Walanda. Sejak itu, Maria yang lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis mulai merintis cita-citanya memajukan kaum wanita. Setelah resmi menikah, Maria tinggal di Manado ikut dengan suaminya. Ia mulai menyampaikan isi pikirannya melalui tulisan yang disebar di surat kabarTjahaja Siang, pionir media cetak di Sulawesi Utara. Tulisannya banyak memaparkan tentang kaum wanita harus berpendidikan lebih baik sehingga bisa berperan menjadi istri sekaligus ibu yang lebih baik untuk keluarga. Pada tanggal 8 Juli 1917, saat usia Maria 45 tahun dan rekan-rekannya mendirikan organisasi yang bernama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT). Pada awalnya PIKAT hanya forum saling berbagi dan mendiskusikan berbagai persoalan pendidikan anak. Namun seiring berjalannya waktu timbul gagasan dari Maria untuk mengubah misi dan tujuan PIKAT menjadi wadah memajukan kaum wanita di Minahasa. Setelah itu, PIKAT berkembang pesat dan mempunyai banyak cabang hingga ke daerah Kalimantan dan Jawa. PIKAT mendirikan sekolah anak-anak perempuan yang diberi namna Huishound School Pikat dan tidak dipungut biaya. Maria juga membuka Sekolah Kejuruan Putri berikut asramanya.[8] Peran Maria dalam emansipasi wanita semakin krusial ketika memperjuangkan suara perempuan agar didengar di parlemen. Pada 1919, sebuah parlemen lokal dibentuk dan diberi namaMinahasa Raad. Pada awalnya, hanya pria yang memiliki hak suara untuk memilih para wakil rakyat. Maria berupaya agar kaum perempuan memiliki hak untuk memberikan suara pada pemilihan calon anggota dewan. Usahanya berhasil, kaum perempuan dapat dipilih menjadi anggota pada berbagai badan perwakilan rakyat, termasuk Minahasa Raad, Locale Raad, dan Gemeentse Raad.[8]
Emansipasi minoritas, di mana kaum minoritas menjadi dewasa dalam praktik, biasanya dengan menerima deklarasi pembebasan dari pengadilan secara cepat untuk tujuan ini
^Izad, Rohmatul (2017-11-12). "Emansipasi". GEOTIMES. Diakses tanggal 2020-11-29.
^Murniati, A. Nunuk P. (2004). Getar gender. Magelang: Indonesiatera. hlm. 236. ISBN978-979-9375-27-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)