Mohammad Tabrani Soerjowitjirto |
---|
|
Lahir | (1904-10-10)10 Oktober 1904 Pamekasan, Hindia Belanda |
---|
Meninggal | 12 Januari 1984(1984-01-12) (umur 79) |
---|
|
Mohammad Tabrani Soerjowitjirto atau disingkat M. Tabrani S (10 Oktober 1904 – 12 Januari 1984)[1] adalah jurnalis dan politikus Indonesia. M. Tabrani boleh digolongkan sebagai wartawan dari angkatan tua sekaligus pelopor pemakaian bahasa Indonesia. Sepanjang pergerakan nasional Indonesia, nama M. Tabrani selalu tercatat.[2][3] Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Jong Java dan pemimpin redaksi Harian Pemandangan pada periode Juli 1936 hingga Oktober 1940.[2] Ia meninggal dunia pada tanggal 12 Januari 1984.
Keluarga
M.Tabrani merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan R.Panji Soeradi Soerowitjitro dan R.Ayu Siti Aminah.
Riwayat Hidup
Dasar pendidikan Tabrani cukup kuat yaitu MULO dan OSVIA, Bandung.[4] Minat jurnalistik Tabrani muncul ketika ia menamatkan OSVIA.[4] Pada tahun 1925, Tabrani sudah memimpin harian Hindia Baroe.[4] Sewaktu belajar di Eropa, di Universitas Köln (Universität zu Köln), dia membantu beberapa surat kabar di Indonesia pada periode 1926 hingga 1930.[4] Pada waktu itu, masih jarang pemuda Indonesia yang menuntut pelajaran ilmu jurnalistik di luar negeri dan hanya terdapat beberapa orang seperti, Djamaluddin Adinegoro, Jusuf Jahja dan Tabrani.
Sekembalinya ke tanah air, karier jurnalistik Tabrani mulai menanjak.[4] Momen paling dikenal adalah usulan dirinya terkait penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mematahkan argumen M. Yamin yang ingin menggunakan bahasa Melayu.[5] Tabrani menjabat sebagai Ketua Kongres Pemuda I yang dilaksanakan pada 30 April - 2 Mei 1926 di Loge Ster in Het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia.[6] Ketika itu, Tabrani menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan bangsa. Konsep kebangsaan yang muncul tersebut merujuk pada kondisi nyata keberagaman manusia Indonesia yang masih bersifat kedaerahan atau kesukuan dan masih mengutamakan kepentingan suku ataupun daerahnya masing-masing sebagaimana terbentuknya organisasi-organisasi pemuda pada masa itu. Dalam Kongres Pemuda I tersebut, Tabrani berbeda pendapat dengan Mohammad Yamin yang ingin menggunakan Bahasa Melayu. Menurut Tabrani pada saat itu, jika sudah mempunyai Tanah Air Indonesia, yaitu Bangsa Indonesia maka bahasanya juga harus Bahasa Indonesia.[5][7][8]
Tabrani menjadi pemimpin majalah Reveu Politik di Jakarta dari tahun 1930 hingga 1932, lalu menjadi pemimpin surat kabar Sekolah Kita di Pamekasan dari tahun 1932-1936, dan menjadi direktur sekaligus pemimpin Harian Pemandangan dan Mingguan Pembangoenan.[9] Ketika memimpin Reveu Politik, Tabrani membawakan kepentingan PRI atau Partai Rakyat Indonesia yang ia dirikan.[4] PRI mendapat tentangan keras dari golongan pemuda mahasiswa yang menganggapnya “kurang revolusioner”.[4]
Surat kabar Pemandangan tidak dapat dipisahkan dengan nama M.Tabrani.[9] Selain dibesarkan oleh surat kabar itu, Tabrani juga menjabat sebagai pemimpin redaksi selama dua periode, yaitu Juli 1936 hingga Oktober 1940 dan Juli 1951 hingga April 1952.[9] Melalui surat kabar Pemandangan, Tabrani memperjuangakan Petisi Sutardjo yang berisi tuntutan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar Indonesia diberi kesempatan membentuk parlemen sendiri pada tahun 1936.[10] Pada tahun 1940, Tabrani bergabung dengan Dinas Penerangan Pemerintah bagian Jurnalistik dan selanjutnya pindah ke bagian kartotek dan dokumentasi.[10] Pada tahun yang sama, Tabrani menjabat sebagai ketua umum PERDI atau Persatuan Djurnalis Indonesia di Jakarta periode 1939 hingga 1940.[10]
Ketika Indonesia Merdeka, ia sempat mengelola koran Suluh Indonesia milik Partai Nasional Indonesia. Dalam perjalanan hidupnya, Tabrani ikut mendirikan Institut Jurnalistik dan Pengetahuan Umum bersama Mr. Wilopo di Jakarta. Murid-muridnya antara lain Anwar Tjokroaminoto dan Sjamsuddin Sutan Makmur. Ia wafat di Jakarta, 12 Januari 1984 pada usia 80 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[6]
Penghargaan
Pada tanggal 10 November 2023, Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada Tabrani.[11]
Referensi
|
---|
Politik | |
---|
Militer | |
---|
Kemerdekaan | |
---|
Revolusi | |
---|
Pergerakan | |
---|
Sastra | |
---|
Seni | |
---|
Pendidikan | |
---|
Integrasi | |
---|
Pers | |
---|
Pembangunan | |
---|
Agama | |
---|
Perjuangan | |
---|
|