Anwar Tjokroaminoto
Oetarjo Anwar Tjokroaminoto (3 Mei 1909 – 16 November 1975) merupakan seorang politikus dan jurnalis Indonesia. Anwar menjabat sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Wilopo selama setahun dan juga merupakan Perdana Menteri Negara Pasundan selama kurang dari sebulan pada tahun 1950. Anwar merupakan anak dari H.O.S. Cokroaminoto, pejuang kemerdekaan Indonesia dan pendiri Sarekat Islam (SI). Saat muda, Anwar belajar jurnalisme dan bekerja di sekolah milik organisasi PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) ayahnya, sebelum ia mulai bekerja di surat-surat kabar. Selama masa pendudukan Jepang, Anwar bekerja di koran Asia Raya, dan ia juga pernah memimpin redaksi koran Pemandangan. Setelah Indonesia merdeka, Anwar ikut bergabung dalam Partai Masyumi, sebelum kembali ke PSII. Ia sempat ditunjuk sebagai Perdana Menteri Pasundan, sebelum kudeta APRA menyebabkan pemerintahan Pasundan dibubarkan. Seusai peristiwa APRA, Anwar menjadi anggota DPR RIS dan DPRS, sebelum ia ditunjuk menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Wilopo pada tahun 1952. Dikarenakan mundurnya PSII dari koalisi pemerintahan seusai peristiwa 17 Oktober, Anwar meletakkan jabatan menterinya pada tahun berikutnya. Tahun 1972, PSII pecah, dan meskipun sayap politik PSII dileburkan ke PPP, Anwar memimpin salah satu pecahan organisasi tersebut hingga ia wafat pada tahun 1975. Masa kecil dan pendidikanAnwar lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 3 Mei 1909. Ia merupakan anak kedua dan anak laki-laki tertua dari Umar Said Cokroaminoto.[1][2] Pendidikan Anwar mulai dari tingkatan ELS dan MULO, dan juga belajar di pesantren-pesantren di Rembang dan Garut. Setelah itu, ia masuk ke Sekolah Pelatihan Guru yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker dan mengambil penjurusan jurnalisme. Anwar lulus tahun 1940.[1][3] KarierSebelum proklamasiDari 1930 sampai 1935, Anwar mengajar di sekolah-sekolah SI di Batavia dan Sumatra. Di Sumatra, Anwar sempat menjabat sebagai kepala sekolah di Menggala dan sebagai pengawas sekolah SI di Sumatera Selatan.[1][4] Seusai menjadi guru, Anwar kembali ke Jakarta dan menjadi pemimpin harian di surat kabar Pembangoenan sampai awal pendudukan Jepang.[1][4] Selain itu, ia juga sempat menjadi pemimpin harian koran Pemandangan pada 1941.[5] Setelah Jepang menyerbu dan merebut Indonesia dari Belanda, Anwar awalnya menulis kolom-kolom yang mendukung Jepang menyingkirkan penjajah Belanda.[6] Sebagai contoh, Anwar menulis kolom di Pemandangan yang intinya mendukung penyamaan zona waktu dengan Tokyo,[7] dan dalam tulisan lain berjudul Lebih Loeas Lagi, Anwar menyatakan dukungannya atas slogan "Asia untuk orang Asia", ditambahkan nilai-nilai Islam.[8] Selama pendudukan itu sendiri, Anwar bekerja sebagai wakil ketua redaksi koran Asia Raya.[4] Menurut Tan Malaka, Anwar juga sebenarnya mengkritik pendudukan Jepang secara satir dengan nama palsu "Bang Bedjat".[1] Belakangan, Anwar bergabung dengan kelompok politik pemuda yang dipimpin koleganya B.M. Diah.[9] Perang kemerdekaanSeusai proklamasi kemerdekaan Indonesia dan penerbitan Maklumat 3 November 1945, Anwar ikut bergabung ke Partai Masyumi sebagai bagian dewan pimpinan, meskipun ia tidak memegang jabatan apapun.[10] Anwar ikut turut serta dalam pendirian Badan Usaha Penerbitan Nasional bersama Adam Malik dkk.,[11] dan kemudian ia ditunjuk sebagai juru bicara Tentara Republik Indonesia. Anwar kemudian diberi pangkat mayor jenderal (meskipun Anwar tidak berpengalaman militer) karena ia ditunjuk sebagai anggota Pendidikan Politik Tentara (Pepolit).[12] Selama membantu TRI, Anwar memegang jabatan kepala redaksi majalah Berita Tentara R.I..[4] Anwar kemudian diberhentikan secara hormat dari tentara dan ia kembali ke industri berita, sebagai kepala redaksi koran Al-Djihad.[4] Pada tahun 1947, ia memperoleh jabatan sebagai Menteri Negara (tanpa portfolio) dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II.[12] Sekitar waktu ini, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pecah dari Masyumi. Anwar beserta saudaranya Harsono pindah ke partai baru ini dan menjadi anggota pimpinan.[13] Setelah 1950Pada 9 Januari 1950, Anwar ditunjuk sebagai Perdana Menteri Negara Pasundan, menggantikan Djumhana Wiriaatmadja yang baru saja mundur.[14] Belum dua minggu, APRA meluncurkan kudeta, dan Anwar beserta beberapa anggota kabinetnya ditahan karena dicurigai telah mendukung pemimpin APRA Raymond Westerling. Penangkapan ini menyebabkan bubarnya Pasundan.[15] Meskipun begitu, Anwar kemudian dilepaskan dan ikut ditunjuk menjadi anggota DPR RIS bulan berikutnya, dan seusai Republik Indonesia Serikat kembali menjadi RI tanggal 17 Agustus 1950, Anwar tetap menjadi anggota DPRS.[4] Tahun 1952, Anwar ditunjuk menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Wilopo.[16][17] Namun, pada Mei 1953, PSII telah pecah koalisi dengan PNI seusai Peristiwa 17 Oktober, sehingga Anwar meletakkan jabatannya dan ia digantikan oleh Soeroso.[18] Dalam pileg 1955, Anwar memperoleh kursi DPR dari dapil Sumatera Selatan.[3] Ia tidak menyetujui kebijakan luar negeri Soekarno dalam Kabinet Dwikora, terutama di bawah Menlu Soebandrio. Pada 1966, Anwar berpidato dan mengkritik posisi Indonesia yang menjadi terisolasi karena Konfrontasi Indonesia–Malaysia, ditambah defisit dan inflasi yang semakin parah. Ia juga mengkritik kabinet yang bersifat sementara dan meminta pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu sehingga kabinet tetap dapat ditunjuk.[19] Di dalam organisasi PSII sendiri, Anwar sering dikritisi karena tuduhan politik dinasti, ditambah lagi hasil yang mengecewakan dalam pileg 1971, dan pada akhirnya ia dilengserkan seusai musyawarah partai pada Juni 1972.[20] PSII kemudian berpecah, dan meskipun sayap politik partai digabungkan ke Partai Persatuan Pembangunan, Anwar menjadi ketua dari salah satu pecahan tersebut.[21] Selain itu, ia juga sempat menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung selama periode 1968–1973 dan 1973–1978.[22] Anwar meninggal pada tanggal 16 November 1975.[23] Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Catatan kaki
Daftar pustaka
|