Mahāyāna (/ˌmɑːhəˈjɑːnə/MAH-hə-YAH-nə; Sanskerta: महायानcode: sa is deprecated , terj. har.'Kendaraan Besar') adalah istilah untuk sekelompok besar tradisi, teks, filsafat, dan praktik Buddhisme yang dikembangkan di India kuno (ca abad ke-1 SM dan seterusnya). Mahāyāna dianggap sebagai salah satu dari tiga aliran utama Buddhisme yang ada, yang lainnya adalah Theravāda dan Vajrayāna.[1] Mahāyāna menerima kitab suci dan ajaran utama Buddhisme awal, tetapi juga mengakui berbagai ajaran dan kitab yang tidak dianggap asli oleh Buddhisme Theravāda. Kitab-kitab tersebut termasuk sūtra Mahāyāna dan penekanannya pada jalan Bodhisatwa dan Prajñāpāramitā.[2] Aliran Vajrayāna atau tradisi Mantra merupakan bagian dari aliran Mahāyāna yang menggunakan sejumlah metode tantra yang diyakini oleh para penganut Vajrayāna untuk membantu mencapai Kebuddhaan.[1]
Mahāyāna juga merujuk pada jalan Bodhisatwa yang berjuang untuk menjadi seorang Buddha yang sepenuhnya tercerahkan demi manfaat semua makhluk hidup, dan dengan demikian juga disebut "Kendaraan Bodhisatwa" (Bodhisattvayāna).[3][note 1] Buddhisme Mahāyāna secara umum memandang tujuan menjadi seorang Buddha melalui jalan Bodhisatwa sebagai sesuatu yang dapat dicapai oleh semua orang dan memandang tingkat arahat sebagai sesuatu yang tidak lengkap.[4] Mahāyāna juga meyakini banyak sosok Buddha dan Bodhisatwa yang tidak ditemukan dalam aliran Theravāda (seperti Amitābha dan Vairocana).[5] Filosofi Buddhisme Mahāyāna juga mengenalkan teori-teori khas, seperti teori kekosongan Madhyamaka (śūnyatā), Vijñānavāda ("ajaran kesadaran" yang juga disebut "hanya pikiran"), dan ajaran Benih Kebuddhaan (keyakinan bahwa semua makhluk hidup sudah memiliki hakikat Kebuddhaan yang murni di dalam diri mereka).
Meskipun awalnya merupakan gerakan kecil di India, Mahāyāna akhirnya tumbuh menjadi kekuatan berpengaruh dalam Buddhisme India.[6] Pusat-pusat akademis besar yang berhubungan dengan Mahāyāna, seperti Nalanda dan Vikramashila, berkembang pesat antara abad ke-7 dan ke-12.[6] Dalam perjalanan sejarahnya, Buddhisme Mahāyāna menyebar dari Asia Selatan ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan wilayah Himalaya. Berbagai tradisi dari aliran Mahāyāna merupakan bentuk dominan dari Buddhisme yang ditemukan di Tiongkok, Korea, Jepang, Taiwan, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Malaysia.[7] Oleh karena Vajrayāna adalah bentuk tantra dari Mahāyāna, Buddhisme Mahāyāna juga dominan di Tibet, Mongolia, Bhutan, dan wilayah Himalaya lainnya. Aliran ini juga secara tradisional hadir di tempat lain di Asia sebagai agama minoritas di antara komunitas Buddhis di Nepal, Malaysia, Indonesia, dan wilayah-wilayah dengan komunitas diaspora Asia.
Pada tahun 2010, aliran Mahāyāna merupakan aliran Buddhisme dengan penganut terbanyak, dengan 53% Buddhis menganut Mahāyāna Asia Timur dan 6% menganut Vajrayāna, dibandingkan dengan 36% yang menganut Theravada.[8]
Sejarah
Asal-usul
Asal-usul Mahāyāna masih belum sepenuhnya dipahami dan terdapat banyak teori yang saling bersaing.[9] Pandangan Barat yang paling awal tentang Mahāyāna berasumsi bahwa ia ada sebagai aliran terpisah yang bersaing dengan apa yang disebut aliran "Hīnayāna" ("Kendaraan Hina"; "Kendaraan Kecil"). Beberapa teori utama tentang asal usul Mahāyāna meliputi hal berikut:
Teori asal usul umat awam pertama kali dikemukakan oleh Jean Przyluski dan kemudian dipertahankan oleh Étienne Lamotte dan Akira Hirakawa. Pandangan ini menyatakan bahwa umat awam sangat penting dalam pengembangan Mahāyāna dan sebagian didasarkan pada beberapa teks seperti Vimalakirti Sūtra, yang memuji umat awam dengan mengorbankan kaum biksu.[10] Teori ini tidak lagi diterima secara luas karena banyak karya Mahāyāna awal yang mempromosikan monastisisme dan asketisme.[11][12]
Teori asal-usul Mahāsāṃghika, yang menyatakan bahwa Mahāyāna berkembang dalam tradisi Mahāsāṃghika.[11] Hal ini dibela oleh beberapa sarjana, seperti Hendrik Kern, AK Warder, dan Paul Williams yang berpendapat bahwa setidaknya beberapa elemen Mahāyāna berkembang di antara komunitas Mahāsāṃghika (sejak abad ke-1 SM dan seterusnya), mungkin di daerah sepanjang Sungai Kṛṣṇa di wilayah Āndhra di India selatan.[13][14][15][16] Ajaran Mahāsāṃghika mengenai hakikat adiduniawi (lokottara) Buddha terkadang dianggap sebagai cikal bakal pandangan Mahāyāna mengenai Buddha.[5] Beberapa sarjana juga melihat tokoh-tokoh Mahāyāna, seperti Nāgārjuna, Dignaga, Candrakīrti, Āryadeva, dan Bhavaviveka memiliki hubungan dengan aliran Mahāsāṃghika dari Āndhra.[17] Namun, beberapa ilmuwan lain juga menyebutkan beberapa wilayah penting, seperti Gandhara dan India barat laut.[18][19][20]
Seiring berjalannya waktu, teori asal usul Mahāsāṃghika juga terbukti bermasalah oleh para ilmuwan yang mengungkapkan bagaimana sūtra Mahāyāna tertentu menunjukkan jejak-jejak yang berkembang di antara nikāya-nikāya atau aliran monastik lain (seperti Dharmaguptaka).[21] Oleh karena bukti-bukti tersebut, para sarjana, seperti Paul Harrison dan Paul Williams, berpendapat bahwa gerakan ini bukan gerakan sektarian dan mungkin bersifat pan-Buddhis.[11][22] Tidak ada bukti bahwa Mahāyāna pernah merujuk pada sebuah aliran atau sekte formal Buddhisme yang terpisah, namun lebih tepatnya bahwa aliran ini ada sebagai sekumpulan cita-cita tertentu, dan ajaran-ajaran selanjutnya, dengan penekanan pada jalan Bodhisatwa.[23]
Sementara itu, "hipotesis hutan" menyatakan bahwa Mahāyāna muncul terutama di kalangan "para petapa garis keras, anggota sayap penganut ajaran Buddha yang tinggal di hutan (aranyavasin)", yang berusaha meniru kehidupan Buddha di hutan.[24] Hal ini telah dipertahankan oleh Paul Harrison, Jan Nattier, dan Reginald Ray. Teori ini didasarkan pada sūtra tertentu seperti Ugraparipṛcchā Sūtra dan Mahāyāna Rāṣṭrapālapaṛiprcchā yang mempromosikan praktik pertapaan di alam liar sebagai jalan yang unggul dan elit. Teks-teks ini mengkritik para biksu yang tinggal di kota dan merendahkan kehidupan di hutan.[23][25]
Kajian Jan Nattier tentang Ugraparipṛcchā Sūtra, A few good men (2003), menyatakan bahwa sūtra ini merupakan bentuk paling awal dari Mahāyāna, yang menyajikan jalan Bodhisatwa sebagai 'usaha yang sangat sulit' dari asketisme hutan monastik elit.[11] Penelitian Boucher tentang Rāṣṭrapālaparipṛcchā-sūtra (2008) adalah karya terbaru lainnya tentang subjek ini.[26]
Teori pemujaan kitab, yang dibela oleh Gregory Schopen, menyatakan bahwa Mahāyāna muncul di antara sejumlah kelompok biksu penyembah kitab yang saling terkait, yang mempelajari, menghafal, menyalin, dan memuja sūtra Mahāyāna tertentu. Schopen berpendapat bahwa hal tersebut terinspirasi oleh tempat pemujaan yang menjadi tempat penyimpanan sūtra Mahāyāna.[11] Schopen juga berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini sebagian besar menolak pemujaan stupa, atau pemujaan relik suci.
David Drewes belakangan juga mengemukakan argumen yang menentang semua teori utama yang diuraikan di atas. Dia menunjukkan bahwa tidak ada bukti nyata atas keberadaan tempat pemujaan kitab, bahwa praktik pemujaan sūtra bersifat pan-Buddhis dan tidak khas Mahāyāna. Lebih jauh, Drewes berpendapat bahwa "sūtra Mahāyāna lebih sering menganjurkan praktik-praktik mnemik/lisan/pendengaran daripada yang tertulis."[11] Mengenai hipotesis hutan, ia menunjukkan bahwa hanya sedikit sūtra Mahāyāna yang secara langsung menganjurkan tinggal di hutan, sementara yang lain tidak menyebutkannya atau melihatnya sebagai hal yang tidak membantu, mempromosikan praktik-praktik yang lebih mudah seperti "hanya mendengarkan sūtra, atau memikirkan Buddha-Buddha tertentu, yang mereka klaim dapat memungkinkan seseorang untuk terlahir kembali di 'tanah suci' yang istimewa dan mewah di mana seseorang akan mampu membuat kemajuan yang mudah dan cepat di jalan Bodhisatwa dan mencapai Kebuddhaan setelah hanya satu kehidupan."[11]
Drewes menyatakan bahwa bukti-bukti yang ada hanya menunjukkan bahwa "Mahāyāna pada dasarnya adalah sebuah gerakan tekstual, yang berfokus pada pewahyuan, pengajaran, dan penyebaran sūtraMahāyāna, yang berkembang dalam, dan tidak pernah benar-benar meninggalkan, struktur sosial dan kelembagaan Buddhis tradisional."[27] Drewes menunjukkan pentingnya dharmabhanaka (ahli dharma, pembaca sūtra ini) dalam sūtra Mahāyāna awal. Tokoh ini banyak dipuji sebagai sosok yang harus dihormati, dipatuhi ('bagaikan seorang hamba melayani tuannya'), dan diberi sumbangan, sehingga mungkin saja orang-orang ini merupakan agen utama gerakan Mahāyāna.[27]
Ajaran "embrio Tathāgata" atau "rahim Tathāgata" (Sanskerta: Tathāgatagarbha), juga dikenal sebagai "Benih Kebuddhaan" dan "matriks atau prinsip Kebuddhaan" (Sanskerta: Buddha-dhātu), merupakan suatu ajaran penting dalam semua aliran Mahāyāna modern, meskipun ditafsirkan dalam banyak cara yang berbeda. Secara umum, Benih Kebuddhaan berkaitan dengan penjelasan terkait sesuatu yang menjadikan makhluk-makhluk hidup menjadi seorang Buddha.[28] Sumber paling awal untuk gagasan ini mungkin termasuk Tathāgatagarbha Sūtra dan Mahāyāna Mahāparinirvāṇa Sūtra.[29][28] Teks Mahāparinirvāṇa Mahāyāna mengacu pada "benih suci yang menjadi dasar bagi [makhluk] untuk menjadi Buddha",[30] dan juga menggambarkannya sebagai 'Diri' (ātman).[31]
David Seyfort Ruegg menjelaskan konsep ini sebagai dasar atau pendukung bagi praktik sang Jalan, dan dengan demikian merupakan "penyebab" (hetu) bagi buah Kebuddhaan.[28] Sūtra Tathāgatagarbha menyatakan bahwa di dalam kekotoran-kekotoran ditemukan "kebijaksanaan Sang Tathāgata, penglihatan Sang Tathāgata, dan tubuh Sang Tathāgata...yang tidak pernah ternoda, dan...penuh dengan kebajikan-kebajikan yang tidak berbeda dengan milikku...para tathagatagarbha dari semua makhluk adalah abadi dan tidak berubah".[32]
Gagasan-gagasan yang ditemukan dalam literatur tentang Benih Kebuddhaan merupakan sumber dari banyak perdebatan dan perselisihan di antara para filsuf Buddhisme Mahāyāna serta akademisi modern.[33] Beberapa cendekiawan melihat hal ini sebagai pengaruh dari tradisi Brahmana Hinduisme, dan beberapa sūtra ini mengakui bahwa penggunaan istilah 'Diri' (ātman) sebagian dilakukan untuk memenangkan hati para prtapa non-Buddhis (dengan kata lain, ini adalah upaya-kausalya atau cara yang terampil).[34][35] Menurut beberapa cendekiawan, Benih Kebuddhaan yang dibahas dalam beberapa sūtra Mahāyāna tidak mewakili suatu diri substansial (ātman) yang dikritik oleh Sang Buddha; sebaliknya, Benih Kebuddhaan merupakan suatu ekspresi positif dari kekosongan (śūnyatā) dan mewakili potensi untuk mencapai Kebuddhaan melalui praktik-praktik Buddhis.[36] Williams juga berpendapat bahwa ajaran ini pada awalnya tidak membahas masalah ontologis, tetapi membahas "masalah keagamaan tentang realisasi potensi spiritual seseorang, dorongan, dan semangat."[32]
Genre sūtra yang mengulas "Benih Kebuddhaan" dapat dilihat sebagai usaha untuk menyatakan ajaran Buddha dengan menggunakan bahasa positif, namun tetap mempertahankan jalan tengah, untuk mencegah orang menjauh dari Buddhisme karena kesan keliru tentang nihilisme.[37] Inilah posisi yang dianut di Sūtra Laṅkāvatāra, yang menyatakan bahwa para Buddha mengajarkan ajaran tathāgatagarbha (yang terdengar mirip dengan ātman) untuk membantu makhluk-makhluk yang melekat pada gagasan anātman. Namun, sūtra tersebut melanjutkan dengan mengatakan bahwa tathāgatagarbha adalah kosong dan sebenarnya bukan suatu diri yang substansial.[38][39]
Pandangan berbeda dipertahankan oleh berbagai sarjana modern seperti Michael Zimmermann. Pandangan ini adalah gagasan bahwa berbagai sūtra dengan penjelasan terkait Benih Kebuddhaan, seperti Sūtra Mahāparinirvāṇa dan Tathāgatagarbha, mengajarkan visi afirmatif tentang Diri Kebuddhaan yang kekal dan tidak dapat dihancurkan.[31] Shenpen Hookham, seorang sarjana dan lama barat melihat Benih Kebuddhaan sebagai Diri Sejati yang nyata dan permanen.[40] Demikian pula, CD Sebastian memahami pandangan Ratnagotravibhāga tentang topik ini sebagai diri transendental yang merupakan "esensi unik dari alam semesta".[41]
Argumen terhadap keaslian
Umat Buddha Mahāyāna India menghadapi berbagai kritik dari non-Mahāyānis mengenai keaslian ajaran mereka. Kritik utama yang mereka hadapi adalah bahwa ajaran Mahāyāna tidak diajarkan oleh Sang Buddha, tetapi diciptakan oleh tokoh-tokoh belakangan.[42][43] Banyak kitab Mahāyāna membahas masalah ini dan mencoba membela kebenaran dan keaslian Mahāyāna dengan berbagai cara.[44]
Salah satu gagasan yang dikemukakan oleh kitab-kitab Mahāyāna adalah bahwa ajaran-ajaran Mahāyāna diajarkan kemudian karena kebanyakan orang tidak mampu memahami sūtra Mahāyāna pada masa Sang Buddha dan bahwa orang-orang baru siap mendengarkan Mahāyāna pada masa-masa berikutnya.[45] Beberapa catatan tradisional menyatakan bahwa sūtra Mahāyāna disembunyikan atau dijaga dengan aman oleh makhluk-makhluk suci seperti Naga atau Bodhisatwa hingga tiba saatnya untuk disebarkan.[46][47]
Demikian pula, beberapa sumber juga menyatakan bahwa ajaran Mahāyāna diungkapkan oleh Buddha, Bodhisatwa, dan dewa lain kepada sejumlah individu terpilih (sering kali melalui penglihatan atau mimpi).[44] Beberapa ilmuwan melihat adanya hubungan antara gagasan ini dengan praktik meditasi Mahāyāna yang melibatkan visualisasi para Buddha dan tanah suci para Buddha.[48]
Argumen lain yang digunakan Buddhis Mahāyāna India dalam mendukung Mahāyāna adalah bahwa ajarannya benar dan menuntun pada pencerahan karena sejalan dengan Dharma. Oleh karena itu, ucapan-ucapan tersebut dapat dikatakan “diucapkan dengan baik” (subhasita), dan dengan demikian, ucapan-ucapan tersebut dapat dikatakan sebagai sabda Sang Buddha dalam pengertian ini. Gagasan bahwa apa pun yang “diucapkan dengan baik” adalah sabda Sang Buddha dapat ditelusuri kembali ke kitab-kitab Buddhis paling awal, namun gagasan ini ditafsirkan lebih luas dalam Mahāyāna.[49] Dari sudut pandang Mahāyāna, sebuah ajaran adalah “sabda Sang Buddha” karena ajaran tersebut sesuai dengan Dharma, bukan karena ajaran tersebut diucapkan oleh seorang individu tertentu (misalnya Gautama).[50] Gagasan ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan Shantideva (abad ke-8), yang berpendapat bahwa sebuah “ucapan yang diilhami” adalah sabda Buddha jika ucapan tersebut “berhubungan dengan kebenaran”, “berhubungan dengan Dharma”, “menimbulkan pelepasan klesha ("pengotor batin"), bukan peningkatannya” dan “menunjukkan kualitas-kualitas terpuji dari Nirwana, bukan kualitas-kualitas samsara”.[51]
Sarjana Buddhis Zen Jepang modern, DT Suzuki, berpendapat serupa bahwa, meskipun sūtra Mahāyāna mungkin tidak diajarkan secara langsung oleh Buddha historis, "semangat dan gagasan utama" Mahāyāna berasal dari Buddha sendiri. Menurut Suzuki, Mahāyāna berkembang dan menyesuaikan diri dengan zaman dengan mengembangkan ajaran dan berbagai kitab baru, sambil mempertahankan semangat Sang Buddha.[52]
Klaim keunggulan
Mahāyāna sering melihat dirinya sebagai suatu aliran yang menembus lebih jauh dan lebih mendalam ke dalam Dharma dari Sang Buddha. Sebuah komentar India untuk Mahāyānasaṃgraha memberikan klasifikasi ajaran Buddha menurut kemampuan pendengarnya:[53]
Menurut tingkatan murid, Dharma diklasifikasikan menjadi rendah dan tinggi. Misalnya, tingkat rendah diajarkan kepada para pedagang Trapuṣa dan Ballika karena mereka adalah orang biasa; tingkat menengah diajarkan kepada kelompok lima karena mereka berada pada tahap orang suci; delapan Prajñāpāramitā diajarkan kepada para Bodhisatwa, dan [Prajñāpāramitā] lebih tinggi dalam melenyapkan bentuk-bentuk yang dibayangkan secara konseptual.
— Vivṛtaguhyārthapiṇḍavyākhyā
Ada pula kecenderungan dalam berbagai sūtra Mahāyāna yang menganggap bahwa kepatuhan terhadap berbagai sūtra tersebut akan menghasilkan manfaat-manfaat spiritual yang lebih besar daripada manfaat dari menjadi pengikut pendekatan non-Mahāyāna (seperti aliran Theravāda). Demikian pula halnya dengan Sutra Siṃhanāda Śrīmālādevī yang menyatakan bahwa Sang Buddha berkata bahwa pengabdian kepada Mahāyāna pada hakikatnya lebih unggul dalam hal kebajikan dibandingkan mengikuti jalan śrāvaka atau pratyekabuddha.[54]
Komentar atas kitab Abhidharmasamuccaya memberikan tujuh alasan berikut untuk "kebesaran" atau "keunggulan" Mahayana:[55]
Keagungan dukungan (ālambana): jalan Bodhisatwa didukung oleh ajaran tak terbatas dari Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam Seratus Ribu Syair dan kitab lainnya;
Keagungan praktik (pratipatti): praktik komprehensif untuk memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain (sva-para-artha);
Keagungan pemahaman (jñāna): dari pemahaman akan ketiadaan diri dalam diri orang dan fenomena (pudgala-dharma-nairātmya);
Keagungan energi (vīrya): dari pengabdian kepada ratusan ribu tugas sulit selama tiga aeon besar yang tak terhitung (mahākalpa);
Keagungan akal budi (upāyakauśalya): karena tidak mengambil pendirian dalam Saṃsāra atau Nirvāṇa;
Keagungan pencapaian (prāpti): karena pencapaian kekuatan tak terukur dan tak terhitung (bala), keyakinan (vaiśāradya), dan dharma yang unik bagi para Buddha (āveṇika-buddhadharma);
Keagungan perbuatan (karma): karena berkehendak melakukan perbuatan seorang Buddha hingga akhir samsara dengan memperlihatkan pencerahan, dsb.
Dalam kitab-kitab Buddhis awal, dan seperti diajarkan oleh aliran Theravada modern, tujuan menjadi seorang Buddha yang mengajar di kehidupan mendatang dipandang sebagai tujuan sekelompok kecil individu yang berusaha memberi manfaat bagi generasi mendatang setelah ajaran Buddha saat ini telah hilang, tetapi di masa sekarang ini tidak ada kebutuhan bagi sebagian besar praktisi untuk bercita-cita mencapai tujuan ini. Namun, kitab-kitab Theravada menyatakan bahwa tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang lebih berbudi luhur.[56]
Paul Williams menulis bahwa beberapa guru meditasi Theravada modern di Thailand secara populer dianggap sebagai Bodhisatwa oleh masyarakat awam.[57]
Cholvijarn mengamati bahwa tokoh-tokoh terkemuka yang terkait dengan gerakan Dhammakaya di Thailand sering kali terkenal di luar kalangan akademis, di antara masyarakat luas, sebagai guru meditasi Buddhis dan sumber keajaiban, serta jimat suci. Seperti mungkin beberapa biksu pertapa hutan Mahāyāna awal, atau Tantra Buddha kemudian, mereka telah menjadi orang-orang yang berkuasa melalui pencapaian meditasi mereka. Mereka sangat dihormati, dipuja, dan dianggap sebagai arahat atau (perlu dicatat!) bodhisatwa.
Pada abad ke-7, biksu Buddhis Tiongkok, Xuanzang, menjelaskan keberadaan tradisi Mahāvihara dan Abhayagiri Vihara yang hadir bersama-sama di Sri Lanka. Ia menyebut para biksu Mahāvihara sebagai "Hīnayāna Sthavira" (Thera), dan para biksu Abhayagiri Vihara sebagai "Mahāyāna Sthavira".[58] Xuanzang lebih lanjut menulis:[59]
Penganut tradisi Mahāvihāravāsin menolak ajaran Mahāyāna dan mempraktikkan ajaran Hīnayāna, sedangkan penganut tradisi Abhayagirivihāravāsin mempelajari ajaran Hīnayāna dan Mahāyāna serta menyebarkan Tripiṭaka.
Aliran Theravāda modern biasanya digambarkan sebagai Hīnayāna ("Kendaraan Hina" atau "Kendaraan Kecil"; sebuah istilah yang secara umum dianggap merendahkan).[60][61][62][63][64] Beberapa penulis berpendapat bahwa Theravāda seharusnya tidak dianggap sebagai Hīnayāna dari sudut pandang Mahāyāna. Pandangan mereka didasarkan pada pemahaman yang berbeda tentang konsep Hīnayāna. Daripada menganggap istilah ini merujuk pada aliran Buddhisme yang tidak menerima kanon dan ajaran Mahāyāna, seperti yang berkaitan dengan peran Bodhisatwa,[61][63] para penulis ini berpendapat bahwa penggolongan aliran "Hīnayāna" harus bergantung pada kepatuhan pada posisi fenomenologis tertentu. Mereka menunjukkan bahwa, tidak seperti aliran Sarvāstivāda yang sekarang sudah punah yang merupakan objek utama kritik oleh Mahāyāna, Theravāda tidak mengklaim keberadaan entitas independen (dharma); dalam hal ini, Theravāda mempertahankan sikap Buddhisme awal.[65][66][67]
Penganut Buddhisme Mahāyāna tidak setuju dengan pemikiran substansialis dari para Sarvāstivādin dan Sautrāntika, dan dalam menekankan ajaran kekosongan, Kalupahana berpendapat bahwa mereka berusaha untuk melestarikan ajaran awal.[68] Kaum Theravādin pun membantah kaum Sarvāstivādin dan Sautrāntika (serta aliran-aliran lain) dengan alasan bahwa teori-teori mereka bertentangan dengan non-substansialisme dari Kanon. Argumen Theravāda dipertahankan dalam kitab Kathāvatthu.[69]
Beberapa tokoh Theravādin kontemporer telah menunjukkan sikap simpatik terhadap filsafat Mahāyāna yang ditemukan dalam teks-teks seperti Sutra Hati (Sanskerta: Prajñāpāramitā Hṛdaya) dan Bait-Bait Dasar Nāgārjuna tentang Jalan Tengah (Sanskerta: Mūlamadhyamakakārikā).[70][71]
^"Mahayana, 'Kendaraan Agung' atau 'Kereta Agung' (untuk membawa semua makhluk menuju nirwana), juga, dan mungkin lebih tepat dan akurat, dikenal sebagai Bodhisattvayana, 'Kendaraan Bodhisatwa'." Warder, A.K. (edisi ke-3, 1999). Buddhisme India: hlm. 338
^ abWoodhead, Linda; Partridge, Christopher Hugh; Kawanami, Hiroko, ed. (2016). Religions in the modern world: traditions and transformations (edisi ke-Third). Abingdon, Oxon: Routledge. ISBN978-0-415-85880-9. OCLC916409066.
^Foltz, Richard (2013). Religions of Iran:From Prehistory to the Present. Oneworld Publications. hlm. 95. ISBN978-1-78074-309-7. Diakses tanggal 2017-12-18. In the centuries before the Arab conquests Buddhism was spread throughout the eastern Iranian world. Buddhist sites have been found in Afghanistan, Turkmenistan, Uzbekistan, and Tajikistan, as well as within Iran itself.
^"One of the most frequent assertions about the Mahayana is that it was a lay-influenced, or even lay-inspired and dominated, movement that arose in response to the increasingly closed, cold, and scholastic character of monastic Buddhism. This, however, now appears to be wrong on all counts...much of its [Hinayana's] program being in fact intended and designed to allow laymen and women and donors the opportunity and means to make religious merit." Macmillan Encyclopedia of Buddhism (2004): hlm. 494
^Guang Xing. The Concept of the Buddha: Its Evolution from Early Buddhism to the Trikaya Theory. 2004. hlm. 65–66 "Several scholars have suggested that the Prajñāpāramitā probably developed among the Mahasamghikas in Southern India, in the Andhra country, on the Krishna River."
^Warder: "The sudden appearance of large numbers of (Mahayana) teachers and texts (in North India in the second century AD) would seem to require some previous preparation and development, and this we can look for in the South." Warder, A.K. (3rd edn. 1999). Indian Buddhism: hlm. 335.
^Walser, Joseph, Nagarjuna in Context: Mahayana Buddhism and Early Indian Culture, Columbia University Press, 2005, hlm. 25.
^Boucher, Daniel, Bodhisattvas of the Forest and the Formation of the Mahāyāna: A Study and Translation of the.Rāṣṭrapālaparipṛcchā-sūtra. University of Hawaii Press, 2008
^Paul Williams, Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations, Second Edition, Routledge, Oxford, 2009, hlm. 317
^Kevin Trainor, Buddhism: The Illustrated Guide, Oxford University Press, 2004, hlm. 207
^ abZimmermann, Michael (2002), A Buddha Within: The Tathāgatagarbhasūtra, Biblotheca Philologica et Philosophica Buddhica VI, The International Research Institute for Advanced Buddhology, Soka University, hlm. 82–83
^Hookham, Shenpen (1991). The Buddha Within. State University of New York Press: hlm. 104, hlm. 353
^Sebastian, C.D. (2005), Metaphysics and Mysticism in Mahayana Buddhism. Delhi: Sri Satguru Publications: hlm. 151; cf. also hlm. 110
^Sree Padma. Barber, Anthony W. Buddhism in the Krishna River Valley of Andhra. 2008. hlm. 68.
^Werner et al. (2013). The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana. hlm. 89, 93. Buddhist Publication Society.
^ abWerner et al. (2013). The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana. hlm. 89-90, 211-212, 227. Buddhist Publication Society.
^"Though the Buddha had taught [the Mahayana sutras] they were not in circulation in the world of men at all for many centuries, there being no competent teachers and no intelligent enough students: the sutras were however preserved in the Dragon World and other non-human circles, and when in the 2nd century AD adequate teachers suddenly appeared in India in large numbers the texts were fetched and circulated. ... However, it is clear that the historical tradition here recorded belongs to North India and for the most part to Nalanda (in Magadha)." AK Warder, Indian Buddhism, 3rd edition, 1999
^Li, Rongxi (2002). Lives of Great Monks and Nuns. Berkeley, California: BDK. hlm. 23–4.
^Hookham, Dr. Shenpen, trans. (1998). The Shrimaladevi Sutra. Oxford: Longchen Foundation: hlm. 27
^Werner, Karel; Samuels, Jeffrey; Bhikkhu Bodhi; Skilling, Peter; Bhikkhu Anālayo, McMahan, David (2013) The Bodhisattva Ideal: Essays on the Emergence of Mahayana, hlm. 97. Buddhist Publication Society.
^Harvey, Peter (2000). An Introduction to Buddhist Ethics. Cambridge University Press: hlm. 123.
^Paul Williams, Mahāyāna Buddhism: The Doctrinal Foundations. Taylor & Francis, 1989, hlm. 328.
^Collins, Steven. 1990. Selfless Persons: Imagery and Thought in Theravāda Buddhism. hlm. 21
^ abLeVine, Sarah; Gellner, David N. (2005). Rebuilding Buddhism: The Theravada Movement in Twentieth-Century Nepal. Harvard University Press. hlm. 14. ISBN978-0-674-04012-0.
^Swearer, Donald (2006). Theravada Buddhist Societies. In: Juergensmeyer, Mark (ed.) The Oxford Handbook of Global Religions: hlm. 83
^Hoffman, Frank J. and Mahinda, Deegalle (1996). Pali Buddhism. Routledge Press: hlm. 192.
^King, Richard (1999). Indian Philosophy: An Introduction to Hindu and Buddhist Thought. Edinburgh University Press: hlm. 86.
^Nyanaponika, Nyaponika Thera, Nyanaponika, Bhikkhu Bodhi (1998). Abhidhamma Studies: Buddhist Explorations of Consciousness and Time. Wisdom Publications: hlm. 42.
^Kalupahana, David (2006). Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna. Motilal Banarsidass: hlm. 6.
^Kalupahana, David (2006). Mulamadhyamakakarika of Nagarjuna. Motilal Banarsidass: hlm. 24.
^Lopez, Donald S. and Dge-ʼdun-chos-ʼphel (2006). The Madman's Middle Way: Reflections on Reality of the Tibetan Monk Gendun Chopel. University of Chicago Press: hlm. 24.
Lowenstein, Tom (1996). The Vision of the Buddha, Boston: Little Brown, ISBN1-903296-91-9
Schopen, G. "The inscription on the Kusan image of Amitabha and the character of the early Mahayana in India", Journal of the International Association of Buddhist Studies 10, 1990