Masa Bersiap adalah sebuah istilah yang diberikan oleh Belanda untuk merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di Jawa, yang terjadi pada tahun 1945–1947. Di Indonesia, istilah Berdaulat juga digunakan untuk masa transisi ini.[2] Periode ini diawali oleh peralihan kekuasaan dari Tentara Kekaisaran Jepang kepada pemerintahan Republik Indonesia. Estimasi jumlah korban dari kekacauan ini berkisar antara 3.500 hingga 20.000 jiwa yang terdiri atas orang Belanda beserta keturunannya, Tahanan perang Tentara Jepang dan Korea, orang Tionghoa, orang Jawa, orang Maluku, dan kelompok lain dari status sosial ekonomi yang tinggi.[3]
Periode ini ditandai dengan terjadinya huru-hara, pembantaian, dan perampokan massal yang dilakukan oleh masyarakat pro-kemerdekaan, atau yang biasa disebut sebagai Pemoeda dan Pelopor. Orang-orang Eropa dan orang Indo menjadi target utama dalam kekacauan ini, walaupun banyak juga korban yang merupakan orang Maluku dan orang Tionghoa. Oleh sebab itu, jarang sekali ditemukan orang keturunan Belanda atau Eropa yang tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan karena banyak yang menjadi korban dalam Masa Bersiap atau melarikan diri ke Eropa. Sebagai akibat dari perang saudara di Tiongkok Daratan, sebagian orang Tionghoa kaum kanan waktu itu banyak yang mendukung partai Kuomintang yang juga pro-Belanda, secara otomatis tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga mereka juga ikut menjadi korban dari masa tersebut.
Awal masa ini bermula dengan dijarah dan dirampoknya Depok oleh para Pemoeda atau Pelopor pada tanggal 9 Oktober 1945.[4] Depok waktu itu dikenal sebagai pusat tempat tinggalnya orang Indo.[4] Sedangkan masa akhir Bersiap ditetapkan selesai dengan munculnya aksi Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisi Belanda I pada bulan Januari 1947.[5] Namun pemerintah Belanda mendefinisikan masa ini lebih luas, yaitu dari Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.[6]
Istilah
Fase revolusi nasional Indonesia ini disebut "Bersiap" oleh orang-orang Indo Belanda (Eurasia) yang selamat dari periode penuh konflik ini dan digunakan dalam karya akademis Belanda dan Inggris. Istilah ini berasal dari seruan perang pro-Republik Indonesia dan seruan terus-menerus untuk mengangkat senjata: "Siap!" - "Siap!" yang terdengar ketika orang yang tampak sebagai musuh potensial revolusi memasuki daerah pro-republik.[7] Tetapi banyak istilah lain yang dipakai seperti gedoran di Depok, ngeli di Banten dan sekitarnya, dan gegeran atau dombreng di Jawa Tengah.[3]
Pada tahun 2022, sejarahwan Indonesia Bonnie Triyana memicu kontroversi di Belanda saat ia merilis sebuah editorial di surat kabar Belanda NRC Handelsblad mengenai sebuah pameran di Rijksmuseum mengenai Revolusi Nasional Indonesia.[8][9] Bonnie yang menjadi kurator tamu dalam pameran tersebut menyatakan bahwa istilah "Bersiap" memiliki konotasi rasis yang kuat di Belanda dan penggunaannya memunculkan stereotip orang Indonesia sebagai "primitif dan tidak beradab". Ia mengklaim bahwa tim kurator sepakat bahwa istilah tersebut tidak akan digunakan dalam pameran tersebut. Hal ini memicu kemarahan dari ketua Federatie Indische Nederlanders (FIN, Federasi Indo Belanda) Hans Moll yang kemudian menuduh Rijksmuseum melakukan penyangkalan genosida, penyensoran, dan pemalsuan sejarah dengan mengabaikan fakta bahwa ribuan orang Belanda telah disiksa, diperkosa, dan dibunuh secara brutal oleh orang Indonesia karena etnis mereka.[10][11] Rijksmuseum kemudian memberikan klarifikasi bahwa Bonnie Triyana hanya mengutarakan opini pribadinya dan pihak museum akan tetap menggunakan istilah tersebut.[12] Bonnie Triyana kemudian digugat oleh Hans Moll dari FIN dan Jeffry Pondaag dari Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda[13][14] namun pihak kepolisian memutuskan untuk tidak menindak lanjuti. Triyana juga dikecam oleh Partai untuk Kebebasan, Gerakan Petani Sipil, JA21 dan Seruan Demokrat Kristen karena menyangkal fakta historis dan genosida yang dilakukan oleh Indonesia.[13]
Saat ini istilah pembunuhan Bersiap juga digunakan untuk menghindari kebingungan di Belanda.[15][16]
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Tentara Kekaisaran Jepangmenyerah kepada Sekutu. Karena kemenangan ini bukan karena penaklukkan kembali oleh Tentara Sekutu atas Indonesia, Tentara Kekaisaran Jepang masih menduduki Indonesia, tetapi telah menerima perintah khusus untuk mempertahankan status quo sampai pasukan Sekutu tiba. Soekarno, Hatta, dan pimpinan Republik yang lebih senior ragu untuk bertindak dan tidak ingin memprovokasi konflik dengan pihak Jepang.[17] Laksamana Tadashi Maeda, yang takut akan kelompok 'pemuda' yang mudah terpancing dan tentara Jepang yang terdemoralisasi, menginginkan perpindahan kekuasaan yang cepat kepada para pemimpin senior Indonesia.[17]
Sementara kepemimpinan kelompok nasionalis yang lebih senior, termasuk Soekarno dan Hatta enggan terhadap perpindahan kekuasaan ini, anggota elit muda yang lebih muda yang sering disebut 'pemuda Indonesia', percaya bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mendorong revolusi. Sebuah kelompok yang terkait dengan "Menteng 31" menculik Soekarno dan Hatta dan memaksa mereka untuk menyetujui untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah terhadap Sekutu, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Soekarno di Jakarta.[18] Staf Indonesia sempat merebut radio Jakarta dari atasan Jepang mereka dan menyiarkan berita tentang deklarasi tersebut di seluruh Jawa.[19]
Formasi pemerintahan
Pada akhir Agustus, pemerintahan pusat Republik dibentuk di Jakarta dan mengadopsi konstitusi yang disusun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.[20] Mengikuti saran Angkatan Laut Jepang yang menyatakan bahwa orang Kristen Indonesia tidak akan menyetujui dan diskusi dan perdebatan internal di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta lobi pribadi Mohammad Hatta dan Teuku Mohammad Hasan terhadap Ki Bagus Hadikusumo,[21] ketentuan untuk peran khusus bagi Islam, seperti Piagam Jakarta dan kepala negara wajib beragama Islam, tidak diberlakukan.[20] Dengan pemilihan umum yang belum diadakan, Komite Nasional Indonesia Pusat ditunjuk untuk membantu presiden. Namun pemilihan umum tidak diadakan selama 10 tahun. Komite serupa dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten.[20] Penasihat administratif Indonesia (sanyo), yang telah ditunjuk oleh Jepang, dan wakil bupati ditunjuk sebagai pejabat Republik. Hal ini memungkinkan penyerahan kekuasaan yang efisien dan bijaksana dari Jepang yang meminimalkan pelanggaran terhadap ketentuan penyerahan Jepang.[20]
Pertanyaan tentang kesetiaan segera muncul di antara para penguasa lokal. Misalnya, kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah segera menyatakan bahwa mereka mendukung Republik, sementara para penguasa di luar Pulau Jawa tidak begitu antusias. Keengganan seperti itu di antara banyak pulau terluar dipertajam oleh sifat radikal, non-aristokrat, dan terkadang Islam dari kepemimpinan Republik yang berpusat di Jawa. Namun, dukungan datang dari Sulawesi Selatan (termasuk dari Andi Mappanyukki, Sultan Bone, yang masih ingat pertempuran melawan Belanda di awal abad tersebut), kebanyakan raja Makassar dan Bugis, menggikutinya dan mendukung Gubernur Sulawesi Sam Ratulangi, seorang Kristen Manado. Banyak raja Bali menerima otoritas Republik.[22] Di Aceh, permusuhan sengit antara para pemimpin agama (ulama) pro-Republik dan administrator aristokrat (uleëbalang) pro-Belanda yang berakar pada Perang Aceh, yang dihentikan sementara oleh Jepang pada tahun 1942, berubah menjadi perang saudara.[23] Gerakan republikanisme sangat ditentangi oleh Kesultanan Pontianak dan aristokrat Kutai, sementara aristokrat Kalimantan Selatan lebih reseptif dengan Pangeran Mohammad Noor sebagai Gubernur Kalimantan. Ia mengirim Hasan Basry untuk memimpin perlawanan di Pegunungan Meratus sementara mengirim Tjilik Riwut untuk menghubungi dan memimpin perlawanan bersama dengan suku Dayak lokal.[24]
Karena khawatir Belanda akan mencoba menegakkan kembali kekuasaan mereka atas Jawa dan Sumatera, Pemerintah Republik De facto yang baru dan para pemimpinnya bergerak cepat untuk memperkuat pemerintahan yang masih muda. Di Indonesia, pemerintahan yang baru dibentuk, meskipun bersemangat, rapuh dan terfokus di beberapa bagian Jawa. Jarang dan longgar berhubungan dengan pulau-pulau terluar,[25] yang memiliki lebih banyak pasukan Jepang (terutama di wilayah angkatan laut Jepang), komandan Jepang yang kurang simpatik, dan lebih sedikit pemimpin dan aktivis Republik yang mapan. Di Sumatra, kaum muda memiliki monopoli virtual atas otoritas revolusioner sebagai akibatnya. Banyak pemuda juga akan bergabung dengan pasukan revolusioner berbasis Islam, yang meliputi pasukan Masyumi dari Barisan Hizbullah, dan Barisan Sabilillah yang dipimpin oleh guru-guru Islam pedesaan.[26] Pada November 1945, pemerintahan parlementer didirikan dan Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri. Sementara itu, pulau-pulau lainnya telah dibebaskan oleh pasukan Sekutu, termasuk pasukan Inggris, Australia, dan Belanda, sebelum otoritas republik dapat dibentuk, sehingga demonstrasi dipadamkan dan beberapa pejabat pro-Republik ditangkap.[27]
Pada minggu setelah Jepang menyerah, kelompok Giyūgun (PETA) dan Heiho dibubarkan oleh Jepang.[28] Struktur komando dan keanggotaan yang vital bagi tentara nasional pun dibubarkan. Jadi, alih-alih dibentuk dari tentara yang terlatih, bersenjata, dan terorganisasi, angkatan bersenjata Republik mulai tumbuh pada bulan September dari inisiatif lokal oleh para pemimpin yang cakap, biasanya lebih muda, karismatik dengan/atau akses ke senjata. Menciptakan struktur militer rasional yang patuh pada otoritas pusat dari disorganisasi seperti itu, merupakan salah satu masalah utama pada periode revolusi dan setelahnya.[22]
Dalam tentara Indonesia yang dibentuk sendiri, perwira Indonesia yang dilatih oleh Jepang biasanya menang dalam argumen atas mereka yang dilatih oleh Belanda.[29] Dalam pertemuan antara mantan KNIL dan mantan Komandan Divisi PETA, yang diselenggarakan oleh kepala staf (KSO) Badan Keamanan Rakyat, Oerip Soemohardjo, seorang mantan guru sekolah berusia tiga puluh tahun dan anggota PETA, Sudirman, terpilih sebagai 'panglima tertinggi' di Yogyakarta pada 12 November 1945.[30][31]
Belanda menuduh Soekarno dan Mohammad Hatta atas berkolaborasi dengan Jepang, dan mengecam Republik sebagai ciptaan fasis Jepang.[32] Pemerintahan kolonial Hindia Belanda mendapatkan pinjaman sebanyak $10 juta dollar dari Amerika Serikat untuk membiayai kembalinya ke Indonesia.[33]
Pendudukan sekutu
Belanda mengalami kondisi yang sangat lemah akibat Perang Dunia II di Eropa dan baru bangkit kembali sebagai kekuatan militer yang signifikan pada awal tahun 1946. Jepang dan anggota pasukan Sekutu dengan berat hati setuju untuk bertindak sebagai penjaga.[34] Saat pasukan Amerika Serikat pimpinan Douglas MacArthur ditugaskan untuk menduduki pulau-pulau Jepang, Indonesia berada di jurisdiksi Laksamana Inggris Louis Mountbatten, Panglima Sekutu Tertinggi di Komando Asia Tenggara. Daerah kantong sekutu mulai dibentuk di Kalimantan, Morotai (Maluku) dan sebagian wilyah di Irian Jaya, dimana Belanda perlahan-lahan kembali memerintah.[26] Di wilayah angkatan laut Jepang, kedatangan pasukan Sekutu dengan cepat mencegah terjadinya kegiatan revolusioner dimana pasukan Australia diikuti oleh pasukan dan administrator Belanda mengambil alih penyerahan Jepang (kecuali Bali dan Lombok).[27] Karena kurangnya perlawanan yang kuat, dua divisi Angkatan Darat Australia berhasil menduduki Indonesia Timur.[35]
Komando Asia Tenggara yang dipimpin Inggris ditugaskan untuk memulihkan ketertiban dan pemerintahan sipil di Jawa. Belanda menganggap ini berarti pemerintahan kolonial sebelum perang dan terus mengklaim kedaulatan atas Indonesia. Karena pemerintah pengasingan Belanda yang berpusat di London bersekutu dengan Inggris, mereka mengharapkan kembalinya koloni mereka, dan Jepang serta anggota Pasukan Sekutu dengan enggan memenuhi janji ini.[34] Sebelum tanggal 24 Agustus, Perjanjian Urusan Sipil Van Mook–MacArthur masih berlaku. Ketentuan utama perjanjian ini adalah bahwa wilayah yang direbut kembali oleh pasukan Sekutu akan dikembalikan ke kekuasaan Belanda melalui Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA). Setelah Perjanjian Urusan Sipil Inggris–Belanda ditandatangani secara resmi, perjanjian tersebut diterima oleh Inggris. Pada tanggal 2 September, diputuskan bahwa perjanjian tersebut akan berlaku untuk semua wilayah Hindia Belanda yang diduduki oleh pasukan Inggris.[36] Namun, pasukan Persemakmuran Inggris tidak mendarat di Jawa untuk menerima penyerahan Jepang hingga akhir September 1945. Tugas langsung Lord Mountbatten termasuk pemulangan sekitar 300.000 orang Jepang dan pembebasan tawanan perang. Ia tidak ingin atau tidak memiliki sumber daya untuk mengerahkan pasukannya dalam perjuangan panjang untuk merebut kembali Indonesia bagi Belanda.[37] Pasukan Inggris pertama tiba di Jakarta pada akhir September 1945, dan tiba di kota-kota seperti Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Surabaya pada Oktober. Untuk menghindari konflik dengan pemuda Indonesia, komandan Inggris Letnan Jenderal Sir Philip Christison mengalihkan tentara bekas tentara kolonial Belanda ke Indonesia Timur, dimana pendudukan kembali Belanda berjalan lancar.[27] Ketegangan meningkat saat pasukan Sekutu memasuki Jawa dan Sumatera; bentrokan terjadi antara pihak Republik dan musuh mereka, yaitu tahanan Belanda, pasukan kolonial Belanda (KNIL), Tionghoa, Eurasia, dan Jepang.[27]
Tahap pertama peperangan dimulai pada bulan Oktober 1945 ketika, sesuai dengan ketentuan penyerahan mereka, Jepang mencoba untuk membangun kembali otoritas yang mereka serahkan kepada kaum nasionalis Indonesia di kota-kota. Polisi militer Jepang membunuh pemuda Republik di Pekalongan pada tanggal 3 Oktober, dan pasukan Jepang mengusir pemuda Republik dari Bandung di Jawa Barat dan menyerahkan kota tersebut kepada Inggris, tetapi pertempuran paling sengit yang melibatkan Jepang terjadi di Semarang. Pada tanggal 14 Oktober, pasukan Inggris mulai menduduki kota tersebut. Pasukan Republik yang mundur membalas dengan membunuh antara 130 dan 300 tahanan Jepang yang mereka tahan. Lima ratus orang Jepang dan 2.000 orang Indonesia telah terbunuh dan Jepang hampir merebut kota tersebut enam hari kemudian ketika pasukan Inggris tiba.[27] Sekutu memulangkan sisa pasukan dan warga sipil Jepang ke Jepang, meskipun sekitar 1.000 orang memilih untuk tetap tinggal dan kemudian membantu pasukan Republik dalam memperjuangkan kemerdekaan.[38]
Inggris kemudian memutuskan untuk mengevakuasi 10.000 orang Indo-Eropa dan tahanan Eropa di pedalaman Jawa Tengah yang bergejolak. Detasemen Inggris yang dikirim ke kota Ambarawa dan Magelang menghadapi perlawanan kuat dari pihak Republik dan menggunakan serangan udara terhadap orang Indonesia. Sukarno mengatur gencatan senjata pada tanggal 2 November, tetapi pada akhir November pertempuran kembali terjadi dan Inggris mundur ke pesisir.[39] Serangan Republik terhadap warga sipil Sekutu dan yang diduga pro-Belanda mencapai puncaknya pada bulan November dan Desember, dengan 1.200 orang tewas di Bandung ketika pemuda kembali melakukan serangan.[40] Pada bulan Maret 1946, para anggota Partai Republik yang meninggalkan Bandung menanggapi ultimatum Inggris agar mereka meninggalkan kota Bandung dengan sengaja membakar sebagian besar bagian selatan kota yang dikenal di Indonesia sebagai "Bandung Lautan Api". Pasukan Inggris terakhir meninggalkan Jawa pada bulan November 1946, tetapi saat itu 55.000 pasukan Belanda telah mendarat.
Pendaratan NICA
Dengan bantuan Inggris, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) mendaratkan pasukannya di Jakarta dan beberapa kota penting lainnya. Sumber Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 8.000 pasukan gugur pada tahun 1946 dalam pertahanan Jakarta, namun mereka tidak berhasil mempertahankan kota tersebut.[41] Pemerintahan republik kemudian pindah ibukota ke Kota Yogyakarta dengan dukungan krusial datang dari Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Yogyakarta kemudian memainkan peranan penting selama Revolusi Nasional Indonesia yang terakhir menghasilkan kota tersebut diberi status Daerah Istimewa sendiri.[42] Di Bogor, dekat Jakarta, dan di Balikpapan di Kalimantan, pejabat Republik dipenjara. Dalam persiapan untuk pendudukan Belanda di Sumatera, kota-kota terbesarnya, Palembang dan Medan, dibom. Pada bulan Desember 1946, Depot Pasukan Khusus (DST), yang dipimpin oleh komando dan ahli kontrapemberontakan Kapten Raymond 'Turk' Westerling, dituduh menenangkan wilayah Sulawesi Selatan dengan menggunakan teknik teror sewenang-wenang, yang ditiru oleh anti-Republik lainnya. Sebanyak 3.000 milisi Republik dan pendukung mereka terbunuh dalam beberapa minggu.[43]
Di Jawa dan Sumatra, Belanda memperoleh keberhasilan militer di kota-kota besar, tetapi mereka tidak mampu menaklukkan desa-desa dan daerah pedesaan. Di pulau-pulau terluar (termasuk Bali), sentimen Republik tidak sekuat itu, setidaknya di kalangan elit. Akibatnya, mereka diduduki oleh Belanda dengan relatif mudah, dan negara-negara otonom didirikan oleh Belanda. Yang terbesar, Negara Indonesia Timur (NIT), meliputi sebagian besar Indonesia timur, dan didirikan pada bulan Desember 1946, dengan ibu kota administratifnya di Makassar.
Fase
Beberapa fase dibedakan selama periode Bersiap, masing-masing dengan tingkat kekerasan dan kekacauan yang berbeda.
Bersiap sebagian besar terjadi di pulau Jawa. Pasukan Inggris mendarat di Sumatra pada bulan Oktober 1945. Mantan tahanan sipil di Sumatra ditempatkan di kamp-kamp besar di pedalaman yang jarang penduduknya. Mereka dibawa ke pesisir ke kota Padang, Medan, dan Palembang. Pada akhir November, semua kamp tahanan Jepang di Sumatra telah dibersihkan. Di Sumatra, Jepang bekerja sama dengan Inggris dan kaum republikan Indonesia tidak terlalu militan dibandingkan di Jawa, karena Inggris tidak pernah masuk ke pedalaman dan lebih suka melewati daerah dengan medan yang sulit seperti Aceh dan Batak. Situasi di sana, meskipun terjadi kerusuhan di Medan dan Padang, relatif damai pada akhir tahun 1945. Kekerasan Bersiap yang kacau tidak terjadi di pulau lain mana pun di Indonesia.[44]
Bersiap dimulai segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan sebelum kedatangan angkatan bersenjata pertama Inggris dan Belanda. Rumah-rumah dan toko-toko orang Tionghoa dijarah dan keluarga mereka dibunuh. Milisi dibentuk di seluruh pulau Indonesia, di Sulawesi Utara, pemuda membentuk milisi BPMI. Pada bulan Oktober, para pemimpin Republik mencoba mengorganisasi milisi-milisi ini menjadi paramiliter formal yang disebut TKR, namun, upaya ini diperlambat oleh sekutu.
Pada tanggal 18 September 1945 sekelompok mantan tawanan yang dipimpin oleh Tn. W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato tempat mereka menginap. Tindakan ini membuat marah pemuda Surabaya yang tidak bersenjata. Beberapa orang tewas.
Pada tanggal 23 September 1945, Kapten Belanda P.J.G. Huijer yang masuk ke Surabaya dengan izin dari Laksamana Helfrich (Panglima pasukan Belanda di Hindia Belanda), dan Jenderal Van Oyen (Panglima KNIL), mengklaim bahwa mereka diperintahkan oleh Mountbatten untuk meminta Jenderal Nagano (Divisi IJA ke-16) menyerah. Mereka sebenarnya tidak memiliki izin dari Inggris. Pasukan Jepang berparade di lapangan udara dan meletakkan senjata mereka, termasuk tank, senjata anti-pesawat, artileri, transportasi dan amunisi, kemudian mundur ke Semarang. Milisi TKR Indonesia yang baru dibentuk turun ke lapangan udara dan menyita senjata. Huijer ditangkap oleh TKR pada tanggal 9 Oktober dan diserahkan ke konsulat Inggris. Peristiwa ini merupakan awal dari banyak konflik di wilayah Surabaya.[45]
Pada fase kedua Bersiap (15 September – 14 Oktober 1945), kelompok-kelompok Pemuda lokal yang terdesentralisasi mulai mengorganisasi dan memperoleh senjata. Tentara Jepang pertama dianiaya dan sikap terhadap warga sipil Belanda dan Eurasia menjadi bermusuhan. Propaganda Indonesia juga menjadi agresif. Kekejaman yang dilakukan oleh pasukan revolusioner terhadap orang Indo-Eropa dimulai.[46] Perkelahian antara Pemuda dan pemuda Indo pecah, yang mengakibatkan pemboikotan makanan bagi orang Indo (5 Oktober), yang kemudian mengakibatkan perkelahian yang lebih keras. Pada bulan Oktober, razia (serangan) dimulai dan laki-laki Indo ditangkap dan dibunuh. Pada tanggal 12 Oktober, pemerintah Revolusioner memerintahkan penangkapan semua laki-laki dan anak laki-laki Indo. Di Surabaya, 42 orang Indo dibunuh di ruang bawah tanah Simpang Club dan beberapa ratus orang disiksa di Penjara Kalisosok di Werfstraat. Setelah seorang penjaga penjara Ambon memberi tahu Inggris tentang rencana untuk meracuni para tahanan (9 November), mereka diselamatkan (10 November) oleh seorang komandan Indo dan unit Gurkha.[47][48] Pada akhir September, pasukan Inggris dari India mulai tiba. Inggris mencoba tetap netral dan meminta kerja sama dengan pemimpin Republik. Jepang juga menyatakan netralitas dan hanya akan bereaksi jika diganggu.
Brigade Infanteri India ke-49 tiba di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 di bawah Brigadir Mallaby. Pada awalnya, Inggris diterima dengan baik oleh komandan TKR Mustopo dan Gubernur Jawa Timur Raden Soerjo, dan dikerahkan dalam unit-unit kecil di seluruh kota. TKR diinstruksikan untuk mendukung Inggris dalam mengamankan tahanan Jepang dan menyelamatkan tawanan sekutu. Pada pagi hari tanggal 27, sebuah pesawat Sekutu menyebarkan selebaran yang menuntut agar orang Indonesia menyerahkan senjata mereka atau ditembak. Ultimatum dari Jenderal Hawthorne ini, menyebabkan pemberontakan di Surabaya oleh puluhan milisi pemuda yang menyebabkan pertempuran pada tanggal 10 November dan fatwa jihad (perang suci) terhadap orang-orang barat.
Pada bulan Oktober 1945, sebuah fatwa jihad yang mendukung perang di Surabaya digaungkan di Aceh oleh ulama populer Daud Beureu'eh. Beberapa kontingen milisi dari Sulawesi dan daerah Indonesia lainnya terlibat dalam perang Surabaya.[49] Pasukan Belanda yang kecil akan mendarat di Kutaraja, dari Oktober hingga awal November, tetapi akan mundur ke Medan karena suasana semakin tidak bersahabat. Uleëbalang yang pro-Belanda berharap Belanda akan kembali, dan dibiarkan terekspos ketika mereka tidak kembali. Belanda akan membiarkan Aceh tidak tersentuh selama sisa Revolusi, situasi ini akan mengubah perang saudara di Aceh secara meyakinkan di kalangan ulama yang pro-Republik.[23]
Tahap ketiga (pertengahan Oktober hingga akhir November 1945) dianggap sebagai yang paling keras. Di Surabaya dan Malang, pasukan Indonesia berhasil melucuti senjata militer Jepang. Pria dan anak laki-laki Eropa dan Indo-Eropa dikurung, diikuti oleh wanita dan anak perempuan. (Militer Inggris kemudian memutuskan untuk mengevakuasi 10.000 orang Indo-Eropa dan tahanan Eropa dari pedalaman Jawa Tengah yang bergejolak).[50] Perjalanan bagi penduduk yang dianggap anti-revolusioner—orang Indonesia Kristen, Tionghoa Indonesia, orang Eropa, dan Indo-Eropa—menjadi mustahil. Angkatan bersenjata Inggris mencoba untuk menguasai, tetapi menghadapi perlawanan hebat, khususnya di bagian tengah Jawa. Surabaya menjadi tempat pertempuran sengit. (lihat Pertempuran Surabaya)
Republik berhasil mereformasi paramiliter TKR menjadi angkatan bersenjata resmi: Tentara Republik Indonesia (TRI), yang diorganisasi oleh Mayjen Oerip Soemohardjo, mantan mayor KNIL. Organisasi baru ini berhasil membubarkan sebagian besar milisi. Akan tetapi, banyak milisi besar masih tetap berada di luar TRI hingga reorganisasi besar-besaran pada tahun 1947 yang dimungkinkan oleh gencatan senjata yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelum perundingan Renville.
Tahap keempat (Desember 1945 hingga Desember 1946) dianggap sebagai akibat dari pertempuran Bersiap yang paling berat. Di Jakarta, tempat ratusan kelompok Pemuda otonom berada, bulan-bulan terakhir tahun 1945, menurut Cribb, adalah "waktu yang mengerikan dari penjarahan, perampokan, penculikan, dan pembunuhan acak yang teratur di mana orang Eropa dan Indo-Eropa menghilang bahkan dari jantung kota, untuk ditemukan mengambang di kali (kanal) beberapa hari kemudian".[51] Di Bandung, serangan Republik terhadap warga sipil yang diduga pro-Belanda mencapai puncaknya pada bulan November dan Desember, dengan 1.200 orang tewas di sana.[52] Warga sipil yang diduga pro-Belanda sebagian besar termasuk penduduk asli Indo-Eropa, Indo-Tiongkok, penduduk asli Kristen (misalnya Manado dan Ambon) dan bangsawan pribumi, yang membuat periode Bersiap menjadi campuran kacau perang saudara, konflik agama, dan revolusi sosial. Pembunuhan lain di antara kelompok yang diduga revolusioner juga terjadi, dengan seorang nasionalis dan menteri terkemuka Indonesia, Oto Iskandar di Nata diculik dan dibunuh pada tanggal 19–20 Desember 1945 oleh Laskar Hitam.[53] Sementara itu, di Aceh, antara Desember 1945 hingga Maret 1946, para uleëbalang terkemuka di Aceh dan keluarga mereka akan dipenjara atau dibunuh, yang menyebabkan dominasi ulama pro-Republik menggusur para elit uleëbalang.[54]
Di seluruh Jawa, kekerasan terus berlanjut hingga Maret 1946. Pada Maret 1946, pasukan Republik yang berangkat menanggapi ultimatum Inggris agar mereka meninggalkan Bandung dengan sengaja membakar sebagian besar bagian selatan kota, yang dikenal sebagai "Bandung Lautan Api". Komandan Indonesia berupaya keras untuk mengorganisasi unit-unit tempur tidak teratur dan mengkonsolidasikan pasukan mereka di Jawa. Nasution di Jawa Barat dan Sudirman di Jawa Tengah mengalami kesulitan mengendalikan banyak angkatan bersenjata yang berbeda dan mengecualikan pasukan kriminal dari barisan mereka, tetapi pada akhirnya mereka berhasil. Tekanan dari Inggris memaksa politisi Belanda untuk memulai negosiasi dengan pimpinan Republik, yang mengarah pada Perjanjian Linggarjati, yang akhirnya gagal.
Pasukan Indonesia mulai mengevakuasi pasukan militer Jepang dan tahanan sipil Eropa dan Eurasia. Pada bulan Maret 1946, Tentara Kerajaan Belanda mulai memasuki negara itu untuk memulihkan ketertiban dan perdamaian. Pada bulan Juli 1946, pasukan Jepang terakhir dievakuasi dan semua pasukan Inggris ditarik pada akhir tahun, meninggalkan militer Belanda yang bertanggung jawab dan secara de facto mengakhiri periode Bersiap. Jawa dan Sumatra sekarang dibagi menjadi wilayah yang dikuasai Republik dan Belanda. Kekerasan dan peperangan terus berlanjut.
Periode pasca-Bersiap
Karena kepemimpinan militer Indonesia mampu mengendalikan dan mengorganisasi kekuatan revolusioner militan, kepemimpinan politik Indonesia mempertahankan otoritas keseluruhan dan pengaruh politik di arena internasional. Evakuasi warga sipil Eropa dan Indo-Eropa berlanjut hingga pertengahan tahun berikutnya (Mei 1947). Permusuhan dan peperangan baru berlanjut selama perjuangan kemerdekaan Indonesia dan berlangsung hingga, di bawah tekanan politik yang kuat dari Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan penuh atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada bulan Desember 1949.
TNI didirikan pada bulan Juni 1947 dengan menggabungkan semua milisi yang ada dengan TRI, membentuk komando tentara Republik bersatu di wilayah Jawa dan Sumatera yang membentuk Republik Indonesia secara de facto. Pembentukan TNI, dan pembubaran milisi, meningkatkan keamanan di wilayah yang dikuasai Republik, sehingga memungkinkan terciptanya hukum dan ketertiban.
Sebagian besar evakuasi warga sipil (tahanan sekutu) dan tahanan Jepang dari pedalaman Jawa dan Sumatra dilakukan oleh TRI (kemudian TNI setelah Juni 1947), sebagai hasil dari Perjanjian Linggarjati dan Renville, yang memungkinkan Inggris untuk pulang pada bulan November 1946.
Salah satu katalisator yang mendorong kekejaman yang dilakukan oleh Pemuda Indonesia terhadap penduduk sipil Eurasia dan Ambon adalah propaganda Republik yang bersifat menghasut. Propaganda Republik selama revolusi digunakan sebagai bentuk perang politik, dengan mengomunikasikan pesan-pesan yang sarat muatan untuk menghasilkan tanggapan emosional dan memengaruhi sikap massa, dengan tujuan untuk memajukan agenda politik dan militernya. Sarana komunikasi massa yang efektif adalah siaran-siaran di stasiun-stasiun radio Republik seperti 'Radio Pemberontak' dan pidato-pidato selama demonstrasi massa. Pemimpin tertinggi Republik Sukarno telah menguasai bentuk-bentuk komunikasi ini. Akan tetapi, selama periode Bersiap, agenda strategis Republik belum sepenuhnya menemukan titik temu dan pesan yang terpadu tentang cara mencapai misi tunggalnya yaitu kemerdekaan. Karena paradoks ini, komunikasi Republik sering kali berfluktuasi antara pesan-pesan moderat (politik) dan radikal (militer). Deklarasi militer Republik tentang perang total (14 Oktober 1945) menyatakan: "Ketika matahari terbenam, kami rakyat Indonesia berperang dengan Belanda." Deklarasi tersebut kemudian berlanjut dengan jelas menargetkan kelompok sipil: "Dengan deklarasi ini kami memerintahkan semua orang Indonesia untuk mencari musuh mereka sendiri – Belanda, Indo atau Ambon."[55]
Dalam pidato-pidatonya, pemimpin revolusioner, Sutomo, secara khusus mengarahkan kata-katanya kepada penduduk Eurasia, dengan kata-kata yang merendahkan mereka seperti anjing pelacak. Di Surabaya, Sutomo memiliki studio radio dan peralatan transmisi yang dapat digunakannya. Transmisi pertama dilakukan pada tanggal 13 Oktober 1945, tetapi hanya dapat diterima di Surabaya dan sebagian Jawa Timur. Sejak tanggal 16 Oktober 1945, siaran radio dapat didengar di seluruh Indonesia. Pidato Sutomo berikutnya disiarkan pada tanggal 14 Oktober dan pidato lainnya pada malam tanggal 15 Oktober. Malam itu adalah 'Senin Hitam', hari ketika warga negara Belanda dan Eurasia ditangkap dan dibunuh di penjara Kalisosok dan Bubutan di Surabaya.[47]
Siksa mereka sampai mati, hancurkan anjing-anjing pelacak kolonialisme itu sampai ke akar-akarnya. […] Roh abadi leluhurmu menuntutmu: balas dendam, balas dendam berdarah!
Tak lama kemudian, di jalan-jalan ibu kota, Batavia, slogan-slogan eksplisit muncul dalam bentuk grafiti di dinding: "Matilah Orang Ambon dan Indo!" Satu-satunya angkatan bersenjata pro-Belanda yang ada di Jawa adalah satuan-satuan kecil KNIL Maluku Selatan yang dikelompokkan kembali. Orang-orang yang disebut 'Orang Ambon' atau 'Belanda Hitam' (Bahasa Indonesia: Belanda Hitam) sebagaimana orang Indonesia lainnya menyebutnya, akibatnya membalas setiap provokasi atau serangan oleh Pemuda. Dari jutaan orang di Jawa, jumlah Pemuda, yang kira-kira beberapa ribu, termasuk kecil, tetapi di Jakarta, operasi kontra-teror otonom mereka meningkat ke titik di mana pimpinan militer Inggris ingin mendemobilisasi mereka dari kota. Para pemimpin Indonesia seperti Sukarno dan Sjahrir berusaha menyerukan agar tetap tenang, tetapi tidak mampu mencegah kekejaman. Kota kecil Depok, yang sebagian besar dihuni oleh orang Kristen pribumi, adalah salah satu tempat pertama yang dihancurkan. Banyak penduduknya disiksa dan dibunuh oleh Pemuda.
Campuran ganas revolusi sosial, xenofobia, kejahatan oportunis, dan populisme liar yang mengakibatkan kekejaman Bersiap mengejutkan dan membuat ngeri tidak hanya para komandan Inggris, tetapi juga para pemimpin moderat Indonesia. Setelah merenung, pemimpin Islamis Abu Hanifah yang kemudian menjadi menteri pendidikan dan duta besar mengakui: "Revolusi Indonesia tidak sepenuhnya murni." Namun, sementara para pemimpin Indonesia yang berpendidikan Barat sangat terguncang oleh apa yang mereka saksikan, banyak catatan Indonesia saat itu menganggap kekerasan itu tak terelakkan, dan bahkan netral secara moral.[57]
Perjuangan Kita
Oktober 1945 sebagai reaksi awal terhadap kekejaman Bersiap, pemimpin kemerdekaan Indonesia Soetan Sjahrir menerbitkan pamflet revolusionernya yang terkenal Perjuangan Kita. Di dalamnya, Sjahrir menentang keras dan mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga negara.
Mungkin puncak kariernya adalah penerbitan pamfletnya Perjuangan Kita. Siapa pun yang membaca pamflet itu hari ini hampir tidak dapat memahami apa yang dituntutnya dalam hal wawasan dan keberanian. Karena pamflet itu muncul pada saat massa Indonesia, yang mencapai titik didih oleh pendudukan Jepang dan perang saudara, mencari pelepasan dalam luapan emosi rasis dan histeris lainnya. Pamflet Sjahrir secara langsung menentang hal ini, dan banyak yang pasti menganggap seruannya untuk bersikap sopan, untuk memahami kelompok etnis lain, sebagai serangan pribadi.
Perkembangan terakhir menunjukkan kekacauan rakyat kita [...] khususnya pembunuhan dan kekejaman yang ditujukan kepada orang Indo, Ambon, dan Menado yang bagaimanapun juga tetap merupakan saudara sebangsa kita. [...] Kebencian terhadap orang Indo, Ambon, Manado ini hanya dapat dijelaskan sebagai kurangnya kesadaran nasional di antara massa rakyat kita. [...] Kebencian terhadap kaum minoritas dan orang asing merupakan faktor tersembunyi dalam setiap perjuangan nasionalis..., tetapi gerakan nasionalis yang membiarkan dirinya terbawa oleh xenofobia pada akhirnya akan mendapati seluruh dunia melawan dirinya sendiri. [...] Kekuatan kita harus ada dalam menumbuhkan rasa keadilan dan kemanusiaan. Hanya nasionalisme yang didasarkan pada perasaan ini yang akan membawa kita lebih jauh dalam sejarah dunia.
Studi yang menyeluruh dan luas mengenai periode Bersiap jarang dilakukan baik oleh sejarahwan Indonesia maupun Belanda. Karya standar mengenai hal ini adalah oleh H.Th. Bussemaker, yang menyimpulkan dalam disertasinya pada tahun 2012 bahwa sekitar 20.000 orang Belanda (India) dibunuh oleh orang Indonesia selama Bersiap.[47] Selebihnya, sejarahwan Belanda hanya fokus hanya berfokus pada lokasi dan insiden tertentu sementara Institut NIOD untuk Pembelajaran Perang, Holokaus dan Genosida tidak banyak memberitakan episode penting dari fase akhir pemerintahan kolonial Belanda ini sementara sejarahwan Indonesia sebagian besar berfokus pada aspek heroisme revolusi tersebut.[60] Sejarahwan Jepang hanya menunjukkan sedikit ataupun tidak ada minat untuk membuat riset mengenai periode tersebut setelah Perang Dunia II. Studi yang paling menyeluruh yang mencakup semua elemen ini sebenarnya telah dilakukan oleh sejarawan Amerika dan Inggris.
Proyek penelitian ini mendapat kritik dari beberapa pihak sejak awal.[63] Di satu sisi, kelompok kepentingan masyarakat Indo-Belanda, antara lain, merasa bahwa rancangan penelitian ini menunjukkan terlalu sedikit perhatian terhadap sebagian besar warga Belanda (Indo-India) yang menjadi korban Bersiap.[64] Peneliti individu dari proyek tersebut dituding melakukan bias.[65] Kritik juga datang dari Indonesia, yang merasa riset Belanda tidak independen dan juga merasa tidak pantas jika masa kolonial itu sendiri tidak dijadikan bahan analisis.[66]
Publikasi
Laporan penelitian masa Bersiap yang ditetapkan 17 Agustus 1945 sampai dengan 31 Maret 1946 yang dikerjakan selama 4 tahun oleh KILTV, NIOD dan NIMH dan diterbitkan pada 17 Februari 2022 antara lain mengungkapkan , sejumlah hampir 6.000 warga (Indo-)Eropa, Maluku, Manado, dan Timor yang tewas akibat kekerasan selama Bersiap.[67] Sub-studi ini juga memberikan analisis mengenai kemungkinan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kekerasan tersebut.[2]
Memori dan Peringatan
Tidak ada peringatan resmi bagi para korban Bersiap di Belanda. Namun, Monumen Nasional Hindia di Roermond setiap tahunnya memperingati para prajurit yang gugur dalam dinas Belanda di Hindia Belanda dan Nugini selama tahun 1945 - 1962. Oleh karena itu, ada ruang untuk mengenang korban sipil yang gugur di pihak Belanda.[68]
^ abTriyana, Bonnie (2022-01-12). "Istilah "Bersiap" yang Problematik". Historia. Diakses tanggal 2022-02-13.Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Triyana 2022" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
^Bayly, Christopher Harper, Tim ‘’Forgotten Wars, Freedom and revolution in Southeast Asia’’ (Publisher: Harvard University Press, 2006) ISBN9780674021532 P.181 Googlebooks
^Ricklefs (1991), page 213; Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and History. Yale University Press. hlm. 325. ISBN0-300-10518-5.; Reid (1973), page 30; Vickers (2005), p. 95
^Ricklefs (1991), page 216; McMillan, Richard (2005). The British Occupation of Indonesia 1945–1946. Melbourne: Routledge. hlm. 306–307. ISBN0-415-35551-6.
^McMillan, Richard (2006). The British Occupation of Indonesia: 1945-1946: Britain, The Netherlands and the Indonesian Revolutio. Routledge. hlm. 32. ISBN9781134254286.
^Frederick, Willam H. Visions and Heat: The Making of the Indonesian Revolution (Publisher Ohio University Press, Athens, Ohio, 1989.) P. 237-243 ISBN0-8214-0906-9
^ abcBussemaker, H.Th. Bersiap! - Opstand in het paradijs. (Walburg Pers, Zutphen, 2005) ISBN90-5730-366-3 summarised in the educational paper: tongtong.nl
^Cribb, Robert. Gangsters and revolutionaries, the Jakarta peoples militia and the Indonesian revolution 1945-1949. (Publisher: Equinox, Singapore, 2009) p.64 ISBN978-979-3780-71-9
^Meijer, Hans. 'In Indie geworteld, de Geschiedenis van Indische Nederlanders, de twintigste eeuw.' (Publisher Bert Bakker, Amsterdam, 2004) p. 247 ISBN90-351-2617-3
^Meijer, Hans. 'In Indie geworteld, de Geschiedenis van Indische Nederlanders, de twintigste eeuw.' (Publisher Bert Bakker, Amsterdam, 2004) P.245 ISBN90-351-2617-3. Note: Citing Dutch newspaper De Haagsche Post, article dated 4 December 1954."Extremists Run Amok Against Indische-Nederlanders | Dutch-Indonesian Community". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-10. Diakses tanggal 2011-08-31.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)