Sebelum kepemilikan VOC diambil alih oleh Kerajaan Belanda, VOC pernah menyewa Resimen Württemberg pada tahun 1790-1808, yang berjumlah sekitar 2.000 tentara.[1] KNIL secara resmi berdiri pada tanggal 28 Agustus 1814,[2] tidak lama setelah kekuasaan Belanda di Hindia Belanda dikembalikan. Pada awalnya, KNIL merupakan bagian dari Tentara Kerajaan Belanda dan dibentuk untuk menumpas pemberontakan di koloni-koloninya.
Pada tanggal 4 Desember 1830, Johannes van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan angkatan tentara tersendiri untuk Hindia Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur). Kemudian, pada tahun 1836, Raja Willem I, memberi predikat "Koninklijk" pada angkatan perang ini.[3] Tentara-tentara KNIL kadang dijuluki secara kolektif "Jan Fuselier" dan istri-istrinya dijuluki "Sarinah".[4]
Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad. Baru pada tahun 1933, Hendrik Colijn, Perdana Menteri Belanda saat itu, diam-diam memberitahu Gubernur Jenderal Hindia Belanda bahwa ia akan menghargai kalau nama angkatan tentaranya diganti dengan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger.[5]
Undang-Undang Belanda tidak mengizinkan para wajib militer untuk ditempatkan di wilayah jajahan, sehingga tentara di Hindia Belanda hanya terdiri dari prajurit bayaran atau sewaan. Kebanyakan mereka berasal dari Prancis, Jerman, Belgia dan Swiss. Tidak sedikit dari mereka yang adalah desertir dari pasukan-pasukannya untuk menghindari hukuman. Namun juga tentara Belanda yang melanggar peraturan di Belanda diberikan pilihan, menjalani hukuman penjara atau bertugas di Hindia Belanda. Mereka mendapat gaji bulanan yang besar. Tahun 1870 misalnya, seorang serdadu menerima 300 Gulden atau setara dengan penghasilan seorang buruh selama satu tahun.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, KNIL melanjutkan penaklukannya di seluruh kepulauan di Indonesia. Setelah tahun 1904, Hindia Belanda dianggap aman, dengan tidak adanya lagi perlawanan bersenjata berskala besar terhadap pemerintahan Belanda hingga Perang Dunia II, dan KNIL menjalankan peran defensif untuk melindungi Hindia Belanda dari kemungkinan invasi asing.
Setelah nusantara dianggap aman, KNIL utamanya dilibatkan dalam tugas kepolisian militer. Untuk memastikan segmen militer Eropa di KNIL tetap besar, dan untuk mengurangi biaya perekrutan yang mahal di Eropa, pemerintah kolonial memperkenalkan wajib militer untuk semua laki-laki di umur legal pada tahun 1917.[8] Pada tahun 1922, undang-undang tambahan memperkenalkan pembentukan "Penjaga Kota" (Belanda: Landstorm) untuk semua anggota wamil Eropa yang berusia lebih dari 32 tahun.
Pasukan Belanda di Hindia Belanda sangat dilemahkan oleh kekalahan dan pendudukan Belanda itu sendiri, oleh Jerman Nazi, pada tahun 1940. Bantuan luar dari Belanda terhadap KNIL secara otomatis terputus, kecuali oleh satuan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Pasukan KNIL, yang tergesa-gesa dan tidak memadai, berusaha untuk berubah menjadi kekuatan militer modern yang mampu melindungi Hindia Belanda dari invasi asing. Pada bulan Desember 1941, pasukan Belanda di Indonesia berjumlah sekitar 85.000 personel: pasukan reguler terdiri dari sekitar 1.000 perwira dan 34.000 tentara yang terdaftar, 28.000 orang di antaranya adalah pribumi. Sisanya terdiri dari milisi lokal, satuan penjaga teritorial dan pembantu sipil.
Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (Militaire Luchtvaart van het KNIL, ML-KNIL) berjumlah 389 pesawat dari semua jenis, tetapi sebagian besar dikalahkan oleh pesawat-pesawat Jepang yang lebih superior. Pasukan Udara Angkatan Laut Kerajaan, atau MLD, juga memiliki kekuatan yang cukup signifikan di Hindia Belanda.[9]
Selama kampanye Hindia Belanda yang berlangsung pada tahun 1941 hingga 1942, sebagian besar satuan KNIL dan pasukan Sekutu lainnya dikalahkan dengan cepat.[10][11] Sebagian besar tentara Eropa, yang dalam praktiknya mencakup semua pria Indo-Eropa bertubuh sehat, diasingkan oleh pihak Jepang sebagai tawanan perang. 25% tawanan perang tidak bertahan dalam masa pengasingan mereka.
Sejumlah tentara, yang kebanyakan terdiri dari anggota pribumi, melakukan perang gerilya melawan Jepang. Peristiwa ini biasanya tidak diketahui dan tanpa dibantu oleh Sekutu sampai akhir perang.
Pada awal 1942, beberapa anggota KNIL melarikan diri ke Australia. Beberapa anggota pribumi diasingkan di Australia karena dicurigai bersimpati dengan Jepang. Sisanya memulai proses pengelompokan ulang yang panjang. Pada akhir tahun 1942, sebuah usaha yang gagal untuk mendarat di Timor Leste, untuk memperkuat pasukan komando Australia yang melakukan perang gerilya, berakhir dengan hilangnya 60 personel Belanda. Empat skuadron "Hindia Belanda" (skuadron RAAF-NEI) dibentuk dari personel ML-KNIL, di bawah naungan Angkatan Udara Kerajaan Australia, dengan staf lapangan Australia.
Pasukan infanteri KNIL (mirip dengan rekan-rekan mereka di Britania Raya), diperkuat oleh perekrutan yang dilakukan di antara kaum ekspatriat Belanda di seluruh dunia dan oleh pasukan kolonial dari tempat yang jauh seperti Hindia Barat Belanda. Selama tahun 1944 hingga 1945, beberapa satuan kecil terlibat aksi dalam kampanye Nugini dan kampanye Borneo.
Tepat di sebelah selatan Casino, New South Wales, sebuah kamp didirikan pada tahun 1942 untuk Batalyon Teknis KNIL. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tentara Belanda di batalion itu mengasingkan dan memenjarakan 500 rekan pribumi mereka di dalam kamp. Perlakuan keras dan hukuman dikeluarkan oleh Belanda pada tentara yang mendukung kemerdekaan. Hal ini menyebabkan kematian dua tentara KNIL pribumi; satu kemungkinan akibat bunuh diri dan yang lainnya akibat memimpin protes. Hal ini menimbulkan kecaman dari penduduk lokal Australia, yang memaksa otoritas Australia untuk memulangkan semua tentara yang dipenjara, meskipun enggan untuk mengindahkan permintaan bantuan sebelumnya.[12]
1945–1950
Setelah Perang Dunia II, KNIL digunakan dalam dua kampanye militer besar pada tahun 1947 dan 1948 untuk mengambil alih kendali Belanda atas Indonesia. KNIL dan kaki tangannya di Ambon dituduh melakukan kejahatan perang selama "aksi polisinil" ini. Upaya Belanda untuk membangun kembali koloni mereka gagal dan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia datang pada tanggal 27 Desember 1949.[13] Pada tanggal 26 Januari 1950, unsur-unsur KNIL terlibat dalam kudeta gagal di Bandung yang direncanakan oleh Raymond Westerling dan Sultan Hamid II. Kudeta tersebut gagal dan hanya mempercepat pembubaran Republik Indonesia Serikat.[14]
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember1949, maka pada tahun 1950, KNIL dibubarkan. Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan dibubarkan.
Pembubaran
Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 65.000 anggota, 26.000 diantaranya masuk ke "Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat" (APRIS)[15] dan harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian pada tahun 70-an mencapai pangkat Mayor Jenderal TNI. Sisa tentara KNIL yang mayoritas berasal dari Ambon diperkirakan sekitar sebanyak 39.000 orang, mengambil opsi pensiun atau masuk ke dalam Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda dan bertugas di Papua ataupun Suriname. Beberapa diantara mereka terlibat dalam kontingen Belanda pada Perang Korea (1950-1953).
Namun, upaya untuk mengintegrasikan unit-unit bekas KNIL ke dalam TNI terhambat oleh ketidakpercayaan timbal balik antara pasukan KNIL yang didominasi orang Ambon dan militer Republik yang didominasi orang Jawa, yang menyebabkan bentrokan di Makassar pada bulan April dan upaya pemisahan diri dari Republik Maluku Selatan (RMS) yang merdeka pada bulan Juli.[14] Pemberontakan ini dipadamkan pada bulan November 1950 dan sekitar 12.500 personel KNIL Ambon dan keluarga mereka memilih untuk menetap sementara di Belanda. KNIL secara resmi sudah tidak ada lagi, namun tradisinya dipertahankan oleh Resimen van Heutsz dari Angkatan Darat Kerajaan Belanda modern.[16]
Kekuatan
Ketika Perang Diponegoro meletus, jumlah tentaranya mencapai 6.148 tentara Belanda dan 5.734 tentara pribumi. Perwiranya juga mencapai 369 orang.[1] Dua tahun setelah dipisah dari angkatan perang utamanya, KNIL memiliki 21.486 tentara dan 640 perwira. Jumlah tentaranya hampir naik menjadi 30.000 pada tahun 1882 dan 37.000 pada tahun 1930.[17]
Pada tahun 1940, menjelang perang pasifik dan invasi Jepang, kekuatan KNIL yang dimobilisasi mencapai 40.000 tentara terlatih dan 20.000 cadangan darat serta wajib militer. Di tahun yang sama pula KNIL mencoba memesan 500 pesawat terbang yang terdiri dari pengebom, pengembom tukik, dan pesawat tempur.[18]
Keterlibatan pribumi
Salah satu aspek dari taktik rekrutmen KNIL di koloni-koloni Belanda adalah klasifikasi orang-orang tertentu yang, entah bagaimana, lebih cocok untuk menjadi tentara. Di Hindia Belanda, orang Ambon dan orang Manado, dengan tambahan dari beberapa orang Batak dan orang Timor, dianggap cocok untuk menjadi tentara. Bersama-sama, mereka sering disebut dengan Amboinezen. Pemilihan orang Ambon dan Manado ini dilatarbelakangi dari pengetahuan VOC terhadap mereka, sehingga VOC menjadikan mereka sebagai tentara privatnya.[19]
Tahun 1936, jumlah pribumi Hindia Belanda yang bergabung di KNIL mencapai 33.000 tentara, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Meskipun KNIL banyak menyerap pribumi Hindia Belanda, Belanda juga merekrut mantan budak Ghana dari Pantai Emas Belanda untuk melengkapi kembali jumlah tentara yang hilang saat Perang Diponegoro. Mereka kemudian dikenal sebagai Belanda Hitam. Terhitung sekitar 3000 orang Ghana yang melayani KNIL antara tahun 1830-1881.[20]
^Klemen, L (1999–2000). "Dutch East Indies 1941–1942". Dutch East Indies Campaign website. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-26. Diakses tanggal 2018-02-08.