Perang Korea
Perang Korea (bahasa Korea: 한국전쟁) adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang terjadi sejak 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953. Perang ini juga disebut perang proksi (bahasa Inggris: proxy war) antara Amerika Serikat bersama sekutu PBB-nya dengan komunis Republik Rakyat Tiongkok yang bekerja sama dengan Uni Soviet (juga anggota PBB). Peserta perang utama adalah Korea Utara dan Korea Selatan. Sekutu utama Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya, meskipun banyak negara lain mengirimkan tentara di bawah bendera PBB. Sekutu Korea Utara, seperti Republik Rakyat Tiongkok menyediakan kekuatan militer, sementara Uni Soviet menyediakan penasihat perang, pilot pesawat, dan juga persenjataan untuk pasukan Tiongkok dan Korea Utara. Latar belakangTerminologiDi Amerika Serikat, perang ini secara resmi dideskripsikan sebagai aksi polisional karena tidak adanya deklarasi perang resmi dari Kongres Amerika Serikat. Dalam bahasa sehari-hari, perang ini juga sering disebut "perang yang terlupakan" atau "perang yang tidak diketahui", karena dianggap sebagai urusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berakhir dengan kebuntuan. Selain itu, korban dari pihak Amerika Serikat sangat sedikit dan isu-isu penyebab perang ini kurang jelas bila dibandingkan dengan Perang Vietnam dan Perang Dunia II.[32][33] Di Korea Selatan, perang ini biasa disebut sebagai Perang 6-2-5 (yuk-i-o jeonjaeng) yang mencerminkan tanggal dimulainya perang pada 25 Juni.[34] Sementara itu, di Korea Utara, perang ini secara resmi disebut choguk haebang chǒnjaeng ("perang pembebasan tanah air"). Perang Korea juga disebut Chosǒn chǒnjaeng ("Perang Joseon", Joseon adalah sebutan Korea Utara untuk tanah Korea).[35] Perang Korea secara resmi disebut Chao Xian Zhan Zheng(朝鲜战争) (Perang Korea) di Republik Rakyat Tiongkok. Kata "Chao Xian" merujuk ke Korea pada umumnya, dan secara resmi Korea Utara. Istilah Perang Korea juga dapat menyatakan pertempuran sebelum invasi maupun setelah gencatan senjata dilakukan.[36] Pendudukan Jepang (1910–1945)Setelah mengalahkan Dinasti Qing Tiongkok pada Perang Tiongkok-Jepang Pertama (1894–96), Kekaisaran Jepang menduduki Kekaisaran Korea (1897–1910) yang dipimpin oleh Kaisar Gojong.[37] Satu dekade kemudian, saat mengalahkan Kekaisaran Rusia pada Perang Rusia-Jepang (1904–05), Jepang menjadikan Korea sebagai protektorat-nya melalui Perjanjian Eulsa pada tahun 1905, kemudian menganeksasinya melalui Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea pada tahun 1910.[38][39] Sejak saat itu banyak kaum nasionalis dan intelektual yang melarikan diri. Beberapa dari mereka membentuk Pemerintahan Sementara Korea, dipimpin oleh Syngman Rhee, di Shanghai pada tahun 1919, dan menjadi pemerintahan dalam pengasingan yang hanya diakui oleh sedikit negara. Antara tahun 1919 hingga 1925, kaum komunis Korea memulai pemberontakannya terhadap Jepang.[37][40] Korea dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang bersama dengan Taiwan, yang merupakan bagian dari Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Pada tahun 1937, Gubernur-Jenderal Jirō Minami memerintahkan dilakukannya asimilasi budaya Jepang terhadap 23,5 juta penduduk koloni dengan melarang bahasa, sastra, dan budaya Korea, dan menggantinya dengan budaya Jepang, serta memerintahkan orang Korea mengganti nama mereka menjadi nama Jepang. Pada tahun 1938, pemerintahan kolonial menjalankan sistem kerja paksa; hingga 1939, 2,6 juta orang Korea bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja paksa; pada tahun 1942, pria-pria di Korea dipaksa menjadi tentara Jepang. Sementara itu di Tiongkok, kelompok nasionalis Tentara Revolusi Nasional dan kelompok komunis Tentara Pembebasan Rakyat (sayap-kanan dan sayap-kiri) mengorganisir patriot Korea yang mengungsi. Kelompok Nasionalis yang dipimpin oleh Yi Pom-sok bertempur di Pertempuran Burma (Desember 1941 — Agustus 1945). Kelompok komunis, berada di bawah pimpinan Kim Il-sung, bertempur melawan Jepang di Korea.[41] Selama Perang Dunia II, tentara Jepang memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari Korea untuk tujuan perang. Tentara Jepang di Korea meningkat dari 46.000 (1941) ke 300.000 personel (1945). Tentara Jepang juga merekrut paksa 2,6 juta tenaga kerja yang dikontrol oleh polisi kolaborasionis Korea; lebih dari 723.000 orang dikirim ke luar negeri dan juga ke kota-kota di Jepang. Pada Januari 1945, 32% tenaga kerja Jepang adalah orang Korea; pada Agustus 1945, ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima, 25% di antara mereka tewas.[40] Pendudukan Jepang di Korea dan Taiwan itu tidak diakui oleh negara kekuatan dunia pada akhir perang. Pada tahun berikutnya, Amerika Serikat dan Soviet membuat perjanjian untuk membagi Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Korea saat itu diwakili oleh kolonel Amerika Serikat Dean Rusk dan Charles Bonesteel.[42] Dua tahun sebelumnya, di Konferensi Kairo (November 1943), Nasionalis Tiongkok, Britania Raya, dan Amerika Serikat memutuskan bahwa Korea harus menjadi negara merdeka, "pada waktunya"; Stalin pun setuju. Pada bulan Februari 1945, di Konferensi Yalta, Sekutu gagal mendirikan perwalian Korea sebagaimana diwacanakan pada tahun 1943 oleh presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Sesuai perjanjian AS-Soviet, Uni Soviet mendeklarasikan perang pembebasan Korea dari Jepang pada tanggal 9 Agustus 1945, dan, pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah berhasil menduduki Korea bagian utara, dengan pendaratan amfibi di bagian utara paralel ke-38. Soviet juga berhasil mengusir tentara Jepang dan masuk melalui Manchuria.[40][43] Tiga minggu kemudian, pada 8 September 1945, Letnan Jendral John R. Hodge dari Amerika Serikat tiba di Incheon untuk menerima penyerahan Jepang di wilayah Selatan paralel ke-38.[44] Pemisahan Korea (1945)Pada Konferensi Potsdam (Juli—Agustus 1945), Sekutu secara sepihak memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak Korea sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan Konferensi Kairo (November 1943), ketika Churchill, Chiang Kai-shek, dan Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan bahwa Korea harus menjadi negara bebas dan merdeka.[37][44][45][46] Selain itu, sebelumnya, Konferensi Yalta (Februari 1945) mengizinkan Stalin membangun "zona penyangga" Eropa — negara satelit yang berada di bawah Moskow[47] — sebagai balasan karena telah membantu Amerika Serikat di Perang Pasifik melawan Jepang.[47] Pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah menguasai bagian utara semenanjung Korea, sebagaimana yang telah disepakati, dan pada tanggal 26 Agustus berhenti di paralel utara ke-38 selama 3 minggu untuk menunggu kedatangan pasukan Amerika Serikat di Selatan.[37] Pada hari itu pula, dengan semakin dekatnya jadwal kapitulasi Jepang (15 Agustus), Amerika Serikat ragu Uni Soviet akan mengakui peran mereka dalam "komisi bersama", perjanjian pendudukan Korea yang disponsori Amerika Serikat. Sebulan sebelumnya, untuk memenuhi persyaratan politik-militer Amerika Serikat, Kolonel Dean Rusk dan Charles Bonesteel III membagi semenanjung Korea menjadi dua di garis lintang 38 derajat setelah dengan terburu-buru (tiga puluh menit) memutuskan bahwa Daerah Pendudukan AS di Korea harus setidaknya memiliki dua pelabuhan.[44][48][49][50] Untuk menjelaskan mengapa zona demarkasi (paralel ke-38) terlalu selatan, Rusk mengatakan, "bahkan meskipun perbatasan itu lebih ke utara daripada yang dapat secara realistis dicapai oleh pasukan Amerika, dalam hal terjadi perselisihan Soviet... kami merasa penting untuk menyertakan ibu kota Korea sebagai tanggung jawab pasukan Amerika," terutama ketika "dihadapkan dengan kurangnya jumlah pasukan AS yang tersedia, juga faktor ruang dan waktu, yang mengakibatkan sulitnya pasukan mencapai lebih jauh ke utara sebelum pasukan Soviet sampai terlebih dahulu.”[47] Pasukan Soviet setuju dengan demarkasi itu. Dengan berkuasanya pemerintahan militer, Jenderal John R. Hodge secara langsung mengontrol Korea Selatan (USAMGIK 1945–48).[51] Ia memperkuat kontrolnya dengan cara: pertama, mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang dan juga polisi kolabolatornya; kedua menolak pengakuan USAMGIK terhadap Republik Rakyat Korea (Agustus–September 1945)—pemerintahan sementara Korea yang mulai berkuasa di semenanjung Korea—karena dianggap sebagai komunis. Kebijakan AS, yang menolak pemerintahan populer di Korea, menimbulkan gejolak dalam masyarakat, dan mengakibatkan munculnya Perang Saudara Korea.[38] Pada 3 September 1945, Letnan Jendral Yoshio Kozuki, komandan, Tentara Wilayah ke-17 Jepang, menghubungi Hodge, mengatakan bahwa tentara Soviet mulai bergerak ke arah selatan lintang 38 derajat di Kaesong. Hodge mempercayai keakuratan informasi itu.[44] Pada Desember 1945, Korea di bawah Komisi Bersama AS-Uni Soviet menyetujui Konferensi Menteri Luar Negeri Moskwa (Oktober 1945), lagi-lagi tanpa melibatkan pihak Korea. Komisi tersebut memutuskan bahwa negara tersebut akan merdeka setelah lima tahun di bawah kepemimpinan dewan perwalian.[37][52] Rakyat Korea marah dan memulai revolusi di Selatan, beberapa hanya melakukan protes, sisanya mengangkat senjata;[38] untuk menahannya, USAMGIK melarang demonstrasi (8 Desember 1945) dan mencabut perlindungan hukum terhadap Pemerintahan Revolusioner dan Komite Rakyat Republik Rakyat Korea pada 12 Desember 1945.[53] Penindasan kedaulatan ini mengakibatkan 8.000 pekerja kereta api berunjuk rasa pada 23 September 1946 di Pusan, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Korea yang dikuasai AS; USAMGIK pun kehilangan kekuasaannya. Pada 1 Oktober 1946, polisi Korea membunuh tiga mahasiswa dalam "Pemberontakan Daegu"; rakyat menyerang balik dan membunuh 38 polisi. Demikian pula pada tanggal 3 Oktober, sekitar 10.000 orang menyerang kantor polisi Yeongcheon, membunuh tiga anggota polisi dan melukai 40 orang lainnya; di tempat lain, massa membunuh 20 tuan tanah dan pejabat Korea Selatan yang pro-Jepang.[45] USAMGIK mendeklarasikan hukum perang untuk mengontrol Korea Selatan. Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee, menentang perwalian Soviet-Amerika di Korea, berpendapat bahwa setelah tiga puluh lima tahun (1910–45) dikuasai pemerintah kolonial Jepang (pemerintah asing), rakyat Korea menolak dipimpin pemerintahan asing lainnya, termasuk AS dan Soviet. Untuk mendapatkan keuntungan dari memanasnya suhu perpolitikan, AS keluar dari Persetujuan Moskwa—dan membentuk pemerintahan sipil anti-komunis di Korea Selatan. AS juga melakukan pemilu yang kemudian ditentang, dan diboikot oleh Uni Soviet untuk memaksa AS mematuhi Persetujuan Moskwa.[37][54][55][56] Sebagai hasilnya, pemerintah anti-komunis Korea Selatan yang mengumumkan secara resmi konstitusi politik nasional (17 July 1948) memilih Syngman Rhee (20 July 1948) sebagai presiden dan mendirikan Republik Korea Selatan pada 15 Agustus 1948.[57] Demikian juga di Zona Pendudukan Rusia, Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara[37] yang dipimpin oleh Kim Il-sung.[36] Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengusir komunis dan anggota kelompok sayap kiri dari panggung perpolitikan nasional. Merasa dicabut haknya, mereka pergi ke daerah perbukitan dan bersiap melakukan perang gerilya melawan pemerintahan Republik Korea yang disokong oleh Amerika Serikat.[36] Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung, bermaksud menyatukan Korea, namun di bawah sistem politik yang dianut masing-masing pihak.[37] Dengan persenjataan yang lebih baik, Korea Utara berhasil meningkatkan ketegangan di perbatasan, dan kemudian menyerang setelah sebelumnya melakukan provokasi. Sebaliknya, Korea Selatan, dengan bantuan terbatas dari Amerika Serikat, tidak mampu menandinginya. Pada awal masa Perang Dingin itu, pemerintah AS menganggap semua komunis dari bangsa apapun adalah anggota blok Komunis yang dikontrol atau setidaknya mendapat pengaruh dari pemerintahan Moskwa; akibatnya AS menganggap perang sipil di Korea sebagai manuver hegemoni dari Uni Soviet. Tentara AS mundur dari Korea tahun 1949,[58] meninggalkan tentara Korea Selatan dengan sedikit persenjataan. Di lain pihak, Uni Soviet memberikan bantuan persenjataan dalam jumlah banyak ke tentara Korea Utara dan mendukung rencana invasi Kim Il-Sung. Jalannya perangPeran Joseph Stalin dan Mao ZedongProfessor Shen Zhihua, yang menggunakan dana pribadinya untuk membeli arsip-arsip Uni Soviet, banyak menemukan telegram-telegram antara Moskwa dengan Beijing sebelum perang dimulai. Berikut ini adalah ikhtisar singkat dari sejumlah telegram antara Mao dan Stalin.
Serangan Korea Utara (Juni 1950)Meskipun PBB menerima banyak pesan yang memberitahu bahwa Korea Utara akan melakukan invasi, PBB menolak semuanya. Sebelum perang, pada awal tahun 1950, perwira CIA stasiun Tiongkok Douglas Mackiernan menerima data intelijen Tiongkok dan Korea Utara yang mengatakan bahwa tentara Korea Utara akan menyerang Korea Selatan. Dengan alasan membalas provokasi Korea Selatan, Tentara Korea Utara menyeberangi garis paralel ke-38, dibantu tembakan artileri, Minggu pagi tanggal 25 Juni 1950.[37] Tentara Korea Utara mengatakan bahwa pasukan Republik Korea (ROK), di bawah pimpinan "bandit pengkhianat Syngman Rhee", telah menyeberangi perbatasan "terlebih dahulu", dan mereka akan menangkap serta mengeksekusi Rhee.[44] Pada tahun-tahun sebelumnya, kedua Korea telah saling menyerang satu sama lain. Beberapa jam kemudian, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengecam invasi Korea Utara terhadap Republik Korea, melalui Resolusi 82 DK PBB, meskipun Uni Soviet dengan hak vetonya memboikot pertemuan sejak Januari.[60] Pada 27 Juni 1950, Presiden Truman memerintahkan angkatan udara dan laut AS untuk membantu rezim Korea Selatan. Setelah memperdebatkan masalah ini, DK PBB, pada 27 Juni 1950, menerbitkan Resolusi 83 yang merekomendasikan negara anggota memberikan bantuan militer kepada Republik Korea. Ketika menunggu pengumuman fait accompli dari dewan kepada PBB, Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet menuduh Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan.[61] Uni Soviet menentang legitimasi perang tersebut, karena: (i) data intelijen tentara Korea Selatan yang menjadi sumber Resolusi 83 didapatkan dari intelijen AS; (ii) Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) tidak diundang sebagai anggota sementara PBB, yang berarti melanggar Piagam PBB Pasal 32; dan (iii) perang Korea berada di luar lingkup Piagam PBB, karena perang perbatasan Utara-Selatan awalnya dianggap sebagai perang saudara. Selain itu, perwakilan Soviet memboikot PBB untuk mencegah tindakan Dewan Keamanan, dan menantang legitimasi tindakan PBB; ahli hukum mengatakan bahwa untuk memutuskan suatu tindakan diperlukan suara bulat dari 5 anggota tetap DK PBB.[62][63] Korea Utara memulai "Perang Pembebasan Tanah Air" dengan melakukan invasi darat dan udara dengan 231.000 tentara, yang berhasil menguasai objek dan wilayah sesuai dengan yang direncanakan seperti Kaesŏng, Chuncheon, Uijeongbu, dan Ongjin, yang mereka dapatkan setelah mengerahkan 274 tank T-34-85, 150 pesawat tempur Yak, 110 pesawat pengebom, 200 artileri, 78 pesawat latihan Yak, dan 35 pesawat mata-mata.[44] Sebagai tambahan pasukan invasi, tentara Korut memiliki 114 pesawat tempur, 78 pesawat pengebom, 105 T-34-85, dan 30.000 pasukan yang berpangkalan di Korea Utara.[44] Di laut, meskipun hanya terdiri dari beberapa kapal perang kecil, juga terjadi pertempuran yang cukup sengit antara keduanya. Di pihak lain, tentara Korea Selatan masih belum siap. Pada South to the Naktong, North to the Yalu (1998), R.E. Applebaum melaporkan bahwa tentara Korea Selatan memiliki tingkat kesiapan tempur yang rendah pada 25 Juni 1950. Tentara Korea Selatan hanya memiliki 98.000 tentara (65.000 tentara tempur, 33.000 tentara penyokong), tidak memiliki tank, dan 22 pesawat yang terdiri dari 12 pesawat tipe penghubung dan 10 pesawat latihan AT6. Selain itu, tidak ada pasukan asing yang berpangkalan di Korea saat itu - meskipun terdapat pangkalan AS di Jepang.[44] Dalam jangka waktu beberapa hari saja, banyak tentara Korea Selatan — yang kurang loyal terhadap rezim Syngman Rhee — lari ke selatan atau berkhianat dan bergabung dengan tentara Korea Utara.[37] Aksi Polisional: Intervensi Amerika SerikatMeskipun terjadi demobilisasi besar-besaran pasca Perang Dunia II di tubuh sekutu, ada sepasukan tentara AS di Jepang dengan jumlah yang cukup besar di bawah pimpinan Jenderal MacArthur. Mereka bisa melawan Korea Utara.[37] Selain AS, di sana, Inggris juga memiliki kekuatan tempur yang hampir sama besarnya. Pada hari Sabtu, 24 Juni 1950, Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson memberi tahu Presiden Harry S. Truman melalui telepon, "Bapak Presiden, saya memiliki berita yang sangat serius. Korea Utara telah menyerang Korea Selatan."[64][65] Truman dan Acheson mendiskusikan sebuah serangan balasan sebagai respon yang akan diambil AS dengan pimpinan departemen pertahanan, yang setuju bahwa Amerika Serikat harus mengusir agresi militer, lalu menghubungkannya dengan agresi Adolf Hitler pada tahun 1930 (yang ketika itu didiamkan AS). Kesalahan seperti itu tidak boleh terulang.[66] Presiden Truman mengakui bahwa pertempuran ini berkaitan dengan usaha Amerika mencegah komunisme yang semakin mengglobal:
Presiden Harry S. Truman mengumumkan bahwa AS akan melawan "agresi yang tidak diprovokasi" dan "bersemangat mendukung upaya dewan keamanan [PBB] untuk mengakhiri pelanggaran serius terhadap perdamaian.[68] Pada Agustus 1950, Presiden dan Sekretaris Negara dengan mudah membujuk Kongres mengeluarkan $12 miliar untuk menambah anggaran militer di Asia yang penting untuk mencapai tujuan National Security Council Report 68 (NSC-68), penahanan global AS terhadap komunisme.[68] Atas rekomendasi Acheson, Presiden Truman memerintahkan Jenderal MacArthur mengirim material kepada tentara Republik Korea dan memberikan perlindungan udara pada evakuasi warga negara Amerika Serikat. Akan tetapi, presiden menolak mengebom Korea Utara secara langsung. Selain itu, presiden juga memerintahkan Armada ke-7 AS untuk melindungi Taiwan, yang meminta untuk ikut bertempur di Korea. Akan tetapi presiden menolak permintaan itu dengan alasan dapat memancing kemarahan Tiongkok.[69] Pertempuran Osan adalah pertempuran besar pertama antara AS dan Korea Utara di Perang Korea.[37] Pada 5 Juli 1950, Task Force Smith menyerang Korea Utara di Osan, namun karena tidak membawa senjata yang mampu menghancurkan tank Korea Utara, mereka gagal, dengan total 180 orang tewas, terluka, atau tertangkap. Korea Utara maju ke Selatan, memaksa Divisi ke-24 AS mundur ke Taejeon, yang di kemudian hari juga berhasil dikuasai Korea Utara pada Pertempuran Taejon;[37] Divisi ke-24 menderita 3.602 tewas atau terluka dan 2.962 ditangkap—termasuk komandan divisi Mayor Jendral William F. Dean.[37] Di udara, Angkatan Udara Korea Utara menembak jatuh 18 pesawat tempur dan 29 pengebom AS; sementara AS hanya menjatuhkan 5 pesawat tempur Korea Utara. Pada bulan Agustus, Korea Utara berhasil menekan Korea Selatan dan tentara AS ke kota Pusan, di Korea Tenggara.[37] Dalam serangan itu, Korea Utara menghabisi akademisi Korea Selatan dengan membunuh pegawai negeri dan kaum intelektual.[37] Pada 20 Agustus, Jenderal MacArthur memperingatkan pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung bahwa ia bertanggung jawab terhadap kekejaman tentara Korea Utara.[37][57] Hingga bulan September, tentara PBB hanya bisa mengontrol pinggiran kota Pusan, atau hanya 10% dari wilayah Korea. EskalasiDalam keputusasaan di Pertempuran Perimeter Pusan (Agustus-September 1950), Angkatan Darat Amerika Serikat menahan serangan tentara Korut yang bermaksud merebut kota. Tak lama kemudian, USAF dapat menghambat logistik tentara Korut dengan menghancurkan 32 jembatan.[37] USAF juga menghancurkan depot logistik, penyulingan minyak, dan pelabuhan untuk menghambat pasokan material tentara Korut. Sebagai akibatnya, tentara Korut di semenanjung Selatan tidak bisa mendapatkan pasokan. Di saat yang sama, garnisun AS di Jepang terus-menerus mengirim tentara dan bahan untuk memperkuat Perimeter Pusan.[37] Batalion tank dikerahkan ke Korea dari San Francisco (di daratan Amerika Serikat); pada akhir Agustus, Perimeter Pusan memiliki sekitar 500 tank.[37] Pada awal September 1950, tentara Republik Korea dan pasukan komando PBB menyerang balik 100.000 tentara Korut dengan 180.000 pasukan.[37][44] Pertempuran IncheonKeadaan di Pusan Perimeter telah berbalik; tentara Korut mulai kekurangan orang dan pasokan sementara di sisi Republik Korea pasukan telah mendapatkan tambahan senjata dan amunisi.[37] Untuk membantu pertahanan di Perimeter Pusan, Jenderal MacArthur merekomendasikan sebuah pendaratan amfibi di Incheon, di belakang garis pertahanan Korut.[37] Pada 6 Juli, ia memerintahkan Mayor Jenderal Hobart Gay, komandan Divisi Kavaleri pertama, untuk merencanakan pendaratan amfibi tersebut pada 12—14 Juli, Divisi Kavaleri pertama berangkat dari Yokohama untuk membantu Divisi Invantri ke-24.[70] Operasi yang disebut sebagai Operasi Chromite ini dilaksanakan saat gelombang ombak mengganas.[37] Jenderal McArthur telah lama merencanakan penyerbuan ini, namun Pentagon selalu mencegahnya.[37] Ketika mendapatkan otoritas, ia mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 70.000 infantri Divisi Marinir Pertama, Divisi Infantri ke-7, dan 8.600 tentara Republik Korea.[37] Pada hari-h tanggal 15 September, tim penyerang menghadapi sedikit—namun kuat—tentara Korut; intelijen militer, operasi psikologis, pengintaian, dan pengeboman turut berperan dalam operasi ini. Pengeboman itu sendiri menghancurkan sebagian besar kota Incheon.[37] Pendaratan Incheon memungkinkan Divisi Kavaleri Pertama untuk mulai menyerang ke bagian utara. Mereka maju 106.4 mil ke dalam wilayah musuh dan kemudian bergabung dengan Divisi Infantri Ke-7 di Osan.[1] Diarsipkan 2009-05-09 di Wayback Machine. Perlahan-lahan mereka menghabisi tentara Korut, dan mengepung yang masih tersisa di wilayah Korea Selatan;[37] dengan cepat, Jenderal MacArthur merebut kembali Seoul;[37] namun tentara Korut yang nyaris terkepung berhasil kabur ke Utara dengan hanya 25.000 hinga 30.000 pasukan tersisa.[71] Invasi PBB ke Korea Utara (September–Oktober 1950)Pada tanggal 1 Oktober 1950, Komando PBB mendorong tentara Korea Utara hingga ke Utara, melewati garis paralel ke-38, Republik Korea kemudian mengejar mereka masuk ke wilayah Korea Utara.[37] Enam hari kemudian, pada 7 Oktober, dengan otorisasi dari PBB, pasukan Komando PBB mengikuti pasukan Republik Korea menyerang ke wilayah Utara.[37] Angkatan Darat AS kedelapan dan tentara Republik Korea menyerang ke bagian Barat Korea, dan berhasil merebut Pyongyang, ibu kota Korea Utara, pada 19 Oktober 1950. Di akhir bulan, pasukan PBB menahan 135,000 tawanan perang;[72] dan mereka melihat adanya perpecahan di tentara Korea Utara. Jenderal MacArthur dan beberapa politisi Amerika sempat mengusulkan untuk menyerang Komunis Tiongkok untuk menghancurkan depot Tentara Rakyat Tiongkok yang memasok kebutuhan perang Korea Utara, namun Presiden Truman tidak setuju, dan memerintahkan Jenderal MacArthur tidak melewati perbatasan Tiongkok-Korea.[37] Intervensi TiongkokPada 27 Juni 1950, dua hari setelah invasi terhadap Korut dan tiga bulan sebelum intervensi Tiongkok untuk Perang Korea, Presiden Truman mengirimkan Armada 7 AS ke Selat Taiwan, untuk melindungi Republik Nasionalis Tiongkok dari ancaman Republik Rakyat Tiongkok (RRT).[73] Tanggal 4 Agustus 1950, Mao Zedong melapor kepada Politbiro bahwa ia akan melakukan intervensi bila Tentara Relawan Rakyat (PVA) sudah siap untuk dimobilisasi. Pada 20 Agustus 1950, Perdana Menteri Zhou Enlai menginformasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa "Korea adalah tetangga Tiongkok... Rakyat Tiongkok harus terlibat mencari solusi untuk masalah Korea "-dengan demikian, melalui diplomat dari negara netral, Tiongkok memperingatkan AS, bahwa dalam menjaga keamanan nasional Tiongkok, mereka akan melakukan intervensi terhadap Komando PBB di Korea.[37] Presiden Truman menafsirkan pesan ini sebagai "sebuah usaha untuk pemerasan terhadap PBB", dan mengabaikannya.[74] Politbiro mengizinkan intervensi Tiongkok di Korea pada tanggal 2 Oktober 1950-sehari setelah tentara Republik Korea menyeberangi perbatasan 38-paralel.[75] Kemudian, Tiongkok mengklaim bahwa pesawat-pesawat pembom AS telah melanggar wilayah udara nasional RRT dalam perjalanannya menuju Korea Utara-sebelum Tiongkok melakukan invervensi di Korea Utara.[76] Pada bulan September, di Moskow, Perdana Menteri RRT Zhou Enlai menambahkan tekanan diplomatik dan personal dalam telegram Mao kepada Stalin, meminta bantuan militer dan material. Stalin menundanya; Mao dijadwalkan kembali meluncurkan "Perang Melawan Bala Bantuan Amerika dan Korea" dari 13 ke 19 Oktober 1950. Uni Soviet hanya mau memberikan bantuan serangan udara di bagian Utara Sungai Yalu. Namun Mao menganggap bantuan itu tidak berguna karena pertempuran lebih banyak terjadi di sisi Selatan sungai tersebut.[77] Soviet juga membatasi bantuannya dan hanya mau mengirimkan material berupa truk, senjata mesin, granat, dan sejenisnya.[78] Pada 8 Oktober 1950, sehari setelah tentara AS menyebrang ke wilayah Korea Utara, Mao Zedong memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat Frontier Barat Laut direorganisasi ke dalam People's Volunteer Army (PVA),[79] yang sedang bertempur dalam "Perang Melawan Amerika dan Membantu Korea." Mao menjelaskan kepada Stalin: "Bila kita membiarkan Amerika Serikat menduduki seluruh Korea, kekuatan revolusioner Korea akan mendapatkan kekalahan telak, penjajah Amerika akan merajalela dan memberikan efek negatif terhadap seluruh Timur Jauh." Pengintaian udara AS mengalami kesulitan menemukan unit PVA di siang hari karena disiplin yang mereka miliki.[37] PVA bergerak dari "malam-ke-malam" (19.00-03.00) dan membuat kamuflase agar tak terlihat dari udara pada jam 05.30. Di siang hari, mereka mengirim tim untuk mencari lokasi istirahat dan mendirikan bivak. Bila pesawat melintas, mereka diharuskan untuk diam tak bergerak hingga pesawat tersebut menghilang. Perwira PVA diperbolehkan menembak pasukannya yang dianggap dapat mengancam keamanan pasukan.[44] Disiplin yang keras seperti itu membuat tiga divisi pasukan berjalan sejauh 286 mil (460 km) dari An-tung, Manchuria, ke medan pertempuran dalam 19 hari; divisi lain yang melewati daerah pegunungan berliku mampu berjalan rata 18 mil (29 km) setiap harinya selama 18 hari. Pada 10 Oktober 1950, Batalion Tank ke-89 digabungkan dengan Divisi Kavaleri Pertama, menambah jumlah kendaraan baja yang tersedia untuk menyerang ke Utara. Pada 15 Oktober, setelah menghadapi perlawanan Korut, Resimen Kavaleri ke-7 dan Kompi Charlie, Batalion Tank ke-70 berhasil menguasai kota Namchonjam. Pada 17 Oktober, mereka menyerang lewat arah kanan, menjauhi jalan utama, untuk menguasai Hwangju. Dua hari kemudian, Divisi Pertama Kavaleri menguasai Pyongyang, ibu kota Korea Utara, sehingga pada 19 Oktober 1950 tentara AS sepenuhnya menguasai Korea Utara.[80] Di tempat lain, 15 Oktober 1950, Presiden Truman dan Jen. MacArthur bertemu di Wake Island di tengah Samudera Pasifik.[37] Kepada Presiden Truman, Jen. MacArthur berspekulasi bahwa kecil risiko Tiongkok akan mengintervensi di Korea;[37] bahwa kesempatan tentara Tiongkok membantu Korut telah hilang; bahwa Tiongkok memiliki 300.000 tentara di Manchuria, dan sekitar 100.000-125.000 tentara di Sungai Yalu; dan menyimpulkan bahwa meskipun setengah dari seluruh tentara menyebrang ke Selatan, mereka dapat dengan mudah dihancurkan karena tidak memiliki perlindungan udara.[71][81] Setelah menghadapi dua pertempuran kecil pada 25 Oktober, pertempuran besar pertama antara Tiongkok-Amerika terjadi pada 1 November 1950; jauh di wilayah Korea Utara, ribuan tentara Tiongkok mengepung dan menyerang unit Komando PBB dalam Pertempuran Unsan.[82] Di Barat, akhir November, di sepanjang Sungai Chongchon, tentara Tiongkok menyerang dan mengalahkan beberapa divisi Korea Selatan, dan menghabisi tentara PBB yang tersisa.[37] Pasukan PBB dan tentara ke-8 AS berhasil bergerak mundur[83] karena mendapat dukungan Brigade Turki yang menahan serangan Tiongkok selama 4 hari (26-30 November). Di Timur, pada Pertempuran Waduk Chosin, dan Regimental Combat Team Divisi Infantri ke-7 (3000 tentara) dan divisi marinir (12.000—15.000 marinir) juga mundur setelah dikepung, dengan total tewas secara keseluruhan 15.000 orang.[84] Awalnya, infantri tentara Tiongkok di garis depan tidak memiliki persenjataan berat maupun crew-served light infantry weapons, namun dengan cepat mereka menutupi kelemahan yang mereka miliki; dalam How Wars Are Won: The 13 Rules of War from Ancient Greece to the War on Terror (2003), Bevin Alexander melaporkan:
Dalam South to the Naktong, North to the Yalu, R.E. Appleman menggambarkan taktik menyerang tentara Tiongkok:
Di akhir November, tentara Tiongkok berhasil mengusir pasukan Komando PBB dari timur laut Korea Utara, hingga melewati perbatasan paralel ke-38. Pasukan PBB lari ke pantai timur dan membangun pertahanan di kota pelabuhan Hungnam—dan menunggu bantuan di sana. Pada Desember 1950,[37] 193 kapal yang membawa 105.000 tentara, 98.000 penduduk sipil, 17.500 kendaraan, dan 350.000 ton suplai tiba di Pusan, di bagian selatan tanjung korea.[37] Sebelum kabur, pasukan Komando melakukan operasi untuk menghambat pergerakan pasukan musuh dengan menghancurkan sebagian besar kota Hungam[71][85] dan, pada 16 Desember 1950, Presiden Truman mendeklarasikan keadaan kedaruratan nasional melalui Proklamasi Presidensial No. 2914, 3 C.F.R. 99 (1953),[86] yang berlaku hingga 14 September 1978.[87] Menyeberangi paralel: Penyerangan Musim Dingin Tiongkok (awal 1951)Pada bulan Januari 1951, tentara Tiongkok dan Korut melaksanakan Penyerangan Fase Ketiga (atau dikenal pula dengan sebutan "Penyerangan Musim Dingin Tiongkok") menggunakan taktik serangan malam di mana tentara PBB secara diam-diam dikepung kemudian diserang tiba-tiba. Penyerangan itu juga didukung oleh bunyi-bunyi trompet dan gong dengan tujuan sebagai alat komunikasi kepada pasukan yang menyerang sekaligus membuat pasukan musuh mengalami disorientasi secara mental. Pasukan PBB tidak memiliki pengalaman menghadapi taktik seperti ini dan sebagai hasilnya beberapa pasukan langsung lari meninggalkan persenjataannya ke arah Selatan.[37] Penyerangan Musim Dingin Tiongkok ini berhasil membuat pasukan PBB kewalahan. Tentara Tiongkok dan Korut berhasil menguasai Seoul pada 4 Januari 1951.[88] Selain kekalahan itu, tentara AS juga mengalami pukulan telak setelah Jendral Walker tewas akibat kecelakaan mobil, yang membuat moral pasukan menurun.[37] Kejadian ini hampir memaksa Jendral MacArthur menggunakan bom atom untuk menyerang Tiongkok dan Korut serta memotong jalur persediaan mereka.[89] Akan tetapi, dengan datangnya pengganti Walker, Letnan-Jendral Matthew Ridgway, moral pasukan kembali meningkat.[37] Pasukan PBB di bagian barat mundur ke Suwon, di bagian tengah mundur ke Wonju, di bagian timur mundur ke Samchok, di mana garis depan distabilisasi dan dipertahankan.[37] Tentara Tiongkok mulai kehabisan logistik dan terpaksa membatalkan rencananya menyerang lebih jauh;[37] makanan, amunisi, dan material dibawa di malam hari, dengan berjalan kaki atau sepeda, melewati Sungai Yalu. Pada akhir Januari, setelah menemukan bahwa musuh telah meninggalkan garis pertempuran, Jendral Ridgway memerintahkan operasi mata-mata yang dikenal sebagai Operasi Roundup (5 Februari 1951) yang berlangsung secara bertahap sambil mempertahankan superioritas udara tentara PBB.[37] Operasi ini sukses dan mengakibatkan tentara PBB mampu mencapai Sungai Han dan menguasai Wonju.[37] Pada pertengahan Februari, tentara Tiongkok menyerang balik dengan Penyerangan Fase Keempat, yang dilancarkan dari Hoengsong menghadapi tentara AS di Chipyong-ni, di bagian tengah.[37] Tentara AS dan Tentara Prancis berjuang menghadapi serangan itu dalam sebuah pertempuran singkat namun cukup menghambat efektivitas serangan Tiongkok.[37] Pada dua minggu terakhir Februari 1951, Operasi Roundup diikuti oleh Operasi Killer (pertengahan Februari 1951) yang dilancarkan oleh Angkatan Bersenjata ke-8. Operasi tersebut merupakan serangan berskala penuh untuk menewaskan sebanyak mungkin tentara KPA dan PVA.[37] Operation Killer berakhir dengan I Corps menduduki kembali wilayah di sebelah selatan sungai Han, dan IX Corps merebut Hoengsong.[37] Pada 7 Maret 1951, Angkatan Bersenjata ke-8 melancarkan Operasi Ripper, dan berhasil mengusir PVA dan KPA dari ibu kota Korea Selatan pada 14 Maret 1951.[37][90] Pada tanggal 11 April 1951, Kepala Komando Truman membebastugaskan Jendral MacArthur, Panglima Tertinggi di Korea, karena dianggap melakukan pembangkangan[37] dan menunjuk Ridgway Jendral untuk menggantikannya.[37] Serangan-serangan berikutnya, antara lain operasi Courageous (23-28 Maret 1951) dan Tomahawk (23 Maret 1951), berhasil mendorong mundur tentara Tiongkok dan Korut. Tentara PBB maju ke "Garis Kansas", bagian utara paralel ke-38.[37] Tiongkok melakukan serangan balasan pada bulan April 1951, dengan Penyerangan Fase Kelima (dikenal pula sebagai "Penyerangan Musim Semi Tiongkok") dengan tiga tentara lapangan (field army) (sekitar 700.000 orang)[37] Serangan utama terjadi di Sungai Imjin (22-25 April 1951) dan Kapyong (22-25 April 1951), yang dipertahankan mati-matian oleh tentara AS dan menumpulkan daya dorong Penyerangan Fase Kelima dan akhirnya berhenti di No-name Line di Utara Seoul.[37] Pada tanggal 15 Mei 1951, tentara Tiongkok di timur menyerang Tentara Republik Korea dan Amerika Serikat, namun berhasil dihentikan tanggal 20 Mei.[37] Pada akhir bulan, Angkatan Darat Amerika Serikat melakukan serangan balasan dan merebut kembali "Line Kansas", tepat di bagian Utara paralel 38.[37] PBB kemudian menghentikan serangan dan bertahan di sana, mengakibatkan keadaan kebuntuan hingga gencatan senjata tahun 1953. Kebuntuan (Juli 1951—Juli 1953)Pada tahun-tahun berikutnya, tentara PBB dan Tiongkok tetap berperang, namun perubahan wilayah kekuasaan tidak banyak berubah dan terjadi kebuntuan. Sementara pengeboman wilayah Korea Utara terus berlangsung, perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 10 Juli 1951 di Kaesong.[37][37] Pertempuran juga terus berlangsung meskipun perundingan tengah berjalan; tujuan Korsel-PBB adalah untuk merebut kembali seluruh Korea Selatan dan menghindari kehilangan wilayah.[37] Tentara Tiongkok dan Korut juga melakukan operasi serupa serta melakukan operasi-operasi psikologikal. Pertempuran-pertempuran utama dalam fase ini antara lain Pertempuran Bloody Ridge(18 Agustus—15 September 1951)[37] dan Pertempuran Heartbreak Ridge (13 September—15 Oktober 1951),[91] Pertempuran Old Baldy (26 Juni—4 Agustus 1952), Pertempuran White Horse (6–15 Oktober 1952), Pertempuran Triangle Hill (14 Oktober—25 November 1952), dan Pertempuran Hill Eerie(21 Maret—21 Juni 1952), pengepungan Outpost Harry (10—18 Juni 1953), Pertempuran Hook (28—29 Mei 1953), dan Pertempuran Pork Chop Hill (23 Maret—16 Juli 1953). Negosiasi gencatan senjata berlanjut selama dua tahun;[37] di Kaesong (Korea Utara bagian Selatan), kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea).[37] Problem utama dari negosiasi ketika itu adalah repatriasi tawanan perang.[37] Tiongkok, Korea Utara, dan tentara PBB tidak bisa membuat kesepakatan karena banyak tentara Tiongkok dan Korea Utara yang menolak kembali ke Utara.[92] Dalam perjanjian gencatan senjata terakhir, sebuah Komisi Repatriasi Negara-Negara Netral dibentuk untuk mengurusi masalah tersebut.[37][93] Pada tahun 1952, AS memilih presiden baru, dan pada tanggal 29 November 1952, presiden terpilih Dwight D. Eisenhower terbang ke Korea untuk mempelajari hal-hal yang mungkin dapat mengakhiri perang Korea.[37] Pada 27 Juli 1953, proposal gencatan senjata dari India disetujui oleh Korea Utara, Tiongkok, dan tentara PBB sehingga mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan batas di paralel ke-38. Dalam persetujuan tersebut tertulis bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan sebuah Zona Demiliterisasi Korea. Tentara PBB, yang didukung oleh Amerika Serikat, Korea Utara, dan Tiongkok menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata; Presiden Korea Selatan Syngman Rhee menolak untuk menandatangani perjanjian itu, karenanya Republik Korea dianggap tidak berpartisipasi dalam perjanjian tersebut.[94] Buntut Pertempuran Chosin: Operasi GlorySetelah perang, pasukan PBB menguburkan pasukannya yang tewas di pemakaman sementara di Hŭngnam. Dengan Operasi Glory (Juli-November 1954), masing-masing pihak saling bertukar mayat pasukannya. Mayat 4.167 angkatan darat dan Korps Marinir AS ditukar dengan 13.528 mayat tentara Tiongkok dan Korut. Sebanyak 546 penduduk sipil yang tewas di kamp tahanan perang PBB diserahkan kepada pemerintahan Korsel.[95] Setelah Operasi Glory, 416 "prajurit tak dikenal" dimakamkan di Punchbowl Cemetery, Hawaii.[96][97] Korban perangTentara PBB dan AS menghitung jumlah tentara Tiongkok dan Korea Utara yang tewas berdasarkan laporan korban-tewas di lapangan, interogasi tahanan perang, dan intelejen militer (dokumen, mata-mata, dan lain-lain).[98] Korban tewas: AS: 36.940 terbunuh, Tiongkok:100.000—1.500.000 terbunuh; kebanyakan sumber memperkirakan 400.000 orang yang terbunuh; Korea Utara: 214,000–520,000; kebanyakan sumber memperkirakan 500.000 orang yang terbunuh. Korea Selatan: Rakyat sipil: 245.000—415.000 terbunuh; Total rakyat sipil yang tewas antara 1.500.000—3.000.000; kebanyakan sumber memperkirakan 2.000.000 orang tewas.[99] Akhir perangPerang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Syngman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Namun secara resmi, perang ini belum berakhir sampai dengan saat ini. Tepat pada 15 Oktober 2024, Kepala Staf Gabungan (JCS) Korea Selatan mengatakan bahwa beberapa ruas jalan dan rel kereta di bagian utara yang terhubung hancur. Hal ini disebabkan Korea Utara yang membentengi daerah-daerah di sisi perbatasannya yang memberikan signal untuk membatalkan penyatuan dua Korea [100]. Ketegangan ini berawal dari Korea Utara yang menganggap bahwa Korea Selatan telah mengirim pesawat tanpa awak ke daerahnya. Kondisi ini menggambarkan kedua negara yang masih terjebak situasi perang karena perang sebelumnya pada tahun 1950-1953 berakhir dengan kesepakatan gencatan senjata, bukan persetujuan damai. Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|