Laksamana Muda Tadashi Maeda (前田 精code: ja is deprecated , Tadashi Maeda, 3 Maret 1898 – 13 Desember 1977) atau yang lebih dikenal dengan nama Laksamana Maeda adalah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik. Selama pendudukan Indonesia di bawah Jepang, ia menjabat sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang.
Maeda lahir di kota Kajiki, prefektur Kagoshima, Jepang, pada tanggal 3 Maret 1898. Ayah Maeda merupakan seorang kepala sekolah di Kajiki dan keluarganya merupakan keluarga keturunan kelas samurai. Maeda masuk ke Akademi Angkatan Laut Jepang saat usianya 18 tahun. Di akademi tersebut, Maeda mengambil spesialisasinavigasi, dan pada tahun 1930 ia telah berpangkat letnan satu dalam Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.[2][3]
Karier
Sebelum Perang
Di dalam AL Jepang, Maeda awalnya merupakan staf khusus seksi urusan Eropa selama satu setengah tahun, sebelum ditugaskan ke Markas AL Ōminato [en] antara tahun 1932 dan 1934. Maeda berspesialisasi dalam hal-hal yang terkait dengan Jerman. Istrinya meninggal selama penugasan Maeda, dan sepanjang sisa hidupnya Maeda tetap seorang duda. Maeda ditunjuk menjadi ajudan Laksamana MudaSonosuke Kobayashi, dan menemaninya ke Britania Raya sebagai bagian kontingen perwakilan Jepang ke koronasi Raja George VI.[2][4] Pada tahun 1940, Maeda ditunjuk menjadi atase AL untuk Belanda, dan setelah Jerman Nazi menyerbu Norwegia dan Denmark, Maeda memperingatkan pemerintah Belanda bahwa Jerman akan menyerbu Belanda selanjutnya.[5]
Pada bulan Oktober 1940, Maeda ditugaskan ke Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda) untuk menegosiasikan perjanjian dagang dengan pemerintah kolonial, terutama untuk membeli minyak untuk Jepang. Selain perdagangan, Maeda juga ditugaskan membangun jaringan mata-mata di Indonesia, dengan bantuan warga Jepang sipil seperti Shigetada Nishijima. Maeda dipanggil kembali ke Jepang pertengahan 1941, dimana ia kembali bekerja di seksi urusan Eropa.[2]
Penjajahan Jepang dan Proklamasi
Saat Jepang menyerbu Hindia Belanda, Maeda ditugaskan untuk mengatur operasi-operasi AL di wilayah Irian Jaya.[6] Setelah invasi usai dan pemerintah kolonial Belanda jatuh, Maeda ditugaskan ke Batavia/Jakarta sebagai penghubung antara AL Jepang dan Angkatan Darat ke-16 Jepang.[2] Sepanjang masa Jepang, Maeda mengijinkan kapal selam Jerman Nazi untuk beroperasi dan transit di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.[7] Seusai diutarakannya janji Koiso yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia oleh perdana menteri Jepang Kuniaki Koiso, Maeda membentuk Asrama Indonesia Merdeka pada bulan Oktober 1944. Maksud asrama ini adalah untuk menciptakan pemimpin-pemimpin untuk negara Indonesia yang merdeka.[8]
Setelah Jepang dibom atomSekutu pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Kekalahan Jepang semakin dekat. Hal ini membangkitkan semangat pemuda Indonesia untuk segera mencapai kemerdekaan. Pada tanggal 12 Agustus 1945, tiga tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat dipanggil oleh Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara, Marsekal Hisaichi Terauchi di markas besarnya di Dalat (sekarang Ho Chi Minh ) di Vietnam. Dalam pertemuan itu, Terauchi berjanji akan memberi bangsa Indonesia kemerdekaan pada tanggal 24 Agustus 1945.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Radio Asia Raya mengumumkan kekalahan Jepang. Kaisar Jepang, Hirohito menyerah kepada Sekutu. Berita ini kemudian tersebar luas di seluruh kalangan pemuda dan rakyat Indonesia. Mereka ingin pelaksanaan kemerdekaan dilakukan secepat mungkin. Mereka itulah yang termasuk golongan muda. Tetapi disisi lain, golongan tua ingin agar kemerdekaan dilaksanakan sesuai janji Jepang agar menghindari adanya pertumpahan darah.
Akhirnya pada tanggal 16 Agustus 1945, golongan muda seperti Sukarni dan Chaerul Saleh menculik Soekarno dan Muhammad Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak mereka segera membacakan proklamasi. Setelah melalui pembicaraan yang panjang, akhirnya semua setuju proklamasi dibacakan diluar janji Jepang yakni 24 Agustus.
Di hari yang sama, para pemuda mengantarkan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta untuk segera merumuskan naskah proklamasi. Namun ketika tiba dari Rengasdengklok ke Jakarta, hari sudah larut. Pada pukul 22.00, rombongan tiba di Hotel Des Indes. Mereka akan memesan ruangan untuk dijadikan tempat merumuskan naskah proklamasi. Sayangnya tempat itu sudah tutup. Para pemuda tidak kehabisan akal. Mereka lalu menghubungi seorang perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia, Laksamana Maeda. Ia pun mengizinkan rumahnya, yang sekarang beralamat di Jalan Imam Bonjol no.1 untuk dijadikan tempat perumusan naskah proklamasi dan menjamin keamanan selama rapat karena Maeda merupakan Kepala Perwakilan Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) sehingga rumahnya merupakan extraterritorial dan harus dihormati oleh Rikugun (Angkatan darat kekaisaran Jepang / Kempetai) maka rumah Maeda dianggap aman. Rumah Maeda tersebut kini berubah menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
^De Jong, Louis (1969). Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog, Deel 2: Neutraal (dalam bahasa Belanda). Amsterdam: Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie. hlm. 254.