Ahmad Rifa'i
KH Achmad Rifa'i (lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1786; meninggal di Manado, Sulawesi Utara pada tahun 1871) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah dan juga seorang ulama , penulis buku semangat perjuangan kemerdekaan. BiografiAhmad Rifa’i lahir tahun 1786 M atau bertepatan Kamis 9 Muharam 1200 Hijriyah di Desa Tempuran Kendal Jawa Tengah. Ayahnya bernama Muhammad Marhum bin KH Abu Sujak Wijaya atau Raden Sudjowidjojo, seorang Penghulu di Kendal yang wafat 1794 M. Ia juga keturunan bangsawan keraton Yogyakarta yang dimakamkan di komplek Masjid Agung Kendal, bersama dengan makam Wali Joko dan Wali Hadi. Abu Sujak mempunyai lima putera yaitu Nyai Nakiyamah, Kiai Muhammad Marhum, Kiai Bukhari, KH Ahmad Hasan dan Kiai Abu Musthafa. Putra Kedua Abu Sujak yakni Kiai Muhammad Marhum menikah dengan Siti Rahmah alias Umi Radjiyah. Kemudian mereka dikarunia 8 keturunan yakni KH Qomarun, KH Abdul Karim, Kiai Salamah, KH Zakaria, KH Rakhibah, Nyai Radjiyah, Kiai Muhammad Arif dan terakhir KH Ahmad Rifai, yang kelak jadi ulama besar di Tanah Jawa. Ahmad Rifa’i merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Sejak ditinggal mati kedua orangtuanya pada usia 7 tahun, ia diasuh oleh kakaknya yang bernama Rojiyah istri Kiai Asy’ari seorang ulama terkenal dan pengasuh pondok pesantren di Kaliwungu, Kendal. Di bawah bimbingan KiaiAsy’ari ia belajar ilmu–ilmu Islam yang lazim diajarkan di Pesantren seperti tafsir Al-Qur’an, Hadits, Nahwu, Sharaf, Manthiq, Fikih dan sebagainya.Setelah dianggap mampu oleh Kiai Asy’ari ia membantu kakak iparnya mengajar di pesantren tersebut (Darban, 1999: 23). Sejak remaja Ahmad Rifa’i giat melakukan dakwah keliling di wilayah Kendal dans ekitarnya. Dakwah dan pengajiannya cukup menarik dengan menggunakan syair ditambah dengan sikapnya yang anti pemerintah kolonial. Sebelum pengajiannya diketahui pemerintah kolonial, ia telah berhasil menggalang kekuatan dari santri serta simpatisannya sehingga ketika kemudian pindah ke Kalisalak ia sudah mempunyai jaringan pengikut yang tersebar di daerah Kendal dan sekitarnyaseperti Wonosobo, Pemalang, Pekalongan dan Batang. Dalam berdakwah ia tidak segan-segan menghujat penguasa kolonial dan birokrat pribumi yang berkolaborasi dengan pemerintah kolonial. Ia memandang pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa kafir dan sumber kerusakan yang terjadi pada masyarakat Jawa pada masa itu. Ia mengobarkan semangat pada masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial dan mengatakan bahwa perang melawan penguasa kafir sertaantek-anteknya sebagai perang sabil (jihad fisabilillah), jikagugur akan mati syahid (Jamil, 2001:13). Dalam usia 30 tahun ia menunaikan ibadah haji atas biaya kakaknya.Selama di Mekkah ia tinggal beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang pada masa itu di samping menunaikan ibadah haji juga menuntut ilmu pada ulama setempat. Mekkah dan Madinah atau yang biasa disebut Haramain(dua tempat suci) menduduki posisi yang sangat penting dan menjadi daya tarik tersendiri bagi umat Islam. Mekkah dan Madinah memiliki kedudukan yangberkaitan dengan ibadah haji, kota kelahiran dan pertumbuhan awal Islam maupun pusat ilmu agama Islam.[2]Selama di Mekkah K.H. Ahmad Rifa’i berguru kepada sejumlah ulama di sana. Guru-gurunya antara lain Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Isa al-Barawi, danSyaikh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al Jaisyi (Darban, 1999: 29). KalanganRifa’iyah meyakini di Mekkah ia bertemu dengan dua ulama terkenal Jawa yaitu Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Madura. (Amin, 1994: 29). Ketiganya sangat prihatin dengan kondisi keagamaan masyarakat di Jawa yang masih jauh dari nilai-nilai Islam. Hal ini diperparah dengan hadirnya penjajah Belanda diJawa. Mereka bertiga mengadakan musyawarah dan hasilnya adalah mereka sepakat untuk mengadakan pembaharuan dan pemurnian Islam lewat pengajian, dialog, dan penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa. Selain itu ketiganya berbagi tugas untuk menulis kitab. K.H. Ahmad Rifa’i mengarang kitabyang membahas fikih, Kiai Nawawi menulis kitab yang membahas ushuluddin, dan Kiai Kholil menyusun kitab tasawuf (Amin, 1994: 29). Sesudah menuntut ilmu di Mekkah ia pulang ke Kendal dan membantu kakaknya mengajar di pesantren,pada saat itu ia berumur 51 tahun. Kemudian ia pindah ke Kalisalak sebuah desa di Kecamatan Limpung Batang yang pada masa itu masuk dalam keresidenan Pekalongan. Sepulang dari Timur Tengah inilah masa produktif K.H. Ahmad Rifa’idalam menulis kitab tarjamah atau tarojumah, ia mulai menulis kitab ketika berumur 54 tahun (Amin, 1989: 12). Kitab-kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i dinamakan Tarojumah dan ajarannya juga dinamakan ajaran Tarojumah karena memang kitab-kitab karyanya merupakan terjemahan dari beberapa ayat Al-Qur’an,hadits, dan kitab-kitab berbahasa Arab (Amin, 1989: 45). Sebenarnya penamaan kitab Tarojumah sendiri kurang tepat sebab tidak ada satu pun dari karya K.H.Ahmad Rifa’i yang benar-benar merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab (Abdullah, 2006: 92). Karya KH. Ahmad Rifa’i merupakan saduran dari kitab-kitab berbahasa Arab hasil tulisan ulama terdahulu ditambah dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Penamaan Tarojumah bertujuan menghindari konsekuensi politis karena banyak ungkapan yang dinilai berbahaya bagipemerintah kolonial Belanda, nama itu ditampilkan agar terkesan bahwa kitab itu bukanlah pandangan K.H. Ahmad Rifa’i sendiri, tetapi hanya sekadar menyalindari kitab berbahasa Arab (Jamil, 2001: 25). Mengenai berapa jumlah kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i masih simpang siur karena ada beberapa pendapat, di antaranya sebagai berikut: 61 buah (Amin 1989: 53), 53 buah (Kartodirdjo dkk, 1976: 301),55 buah (Kuntowijoyo, 1999: 130). Perbedaan pendapat ini karena K.H. Ahmad Rifa’i juga menulis tanbih (semacam buletin). Sebagian memasukkannya sebagai kitabkarya K.H.Ahmad Rifa’i sementara sebagian lagi tidak memasukkannya. Sebagian besar kitabTarojumah membahas ushuluddin,fikih, dan tasawuf. K.H. Ahmad Rifa’i adalah seorang juru dakwah yang pandai, ia mengemas ajarannya dalam kitab-kitab berbahasa Jawa berhuruf Arab (Arab Pegon)dan berbentuk syair yang menarik bagi orang Jawa, sehingga ajaran Islam mudah dihafal dan dipahami oleh masyarakat Jawa pada masa itu (Steenbrink, 1984: 106).Dalam berdakwah ia mengobarkan semangat anti kafir, anti penjajah dangagasannya bisa dikategorikan tajdid (pembaharuan) atau purifikasi (pemurnian) dan fikihisasi karena ajarannya bersifat fiqhoriented (Abdullah, 2006: 34). Hal ini tidak mengherankan mengingat K.H.Ahmad Rifa’i pernah belajar dan bermukim beberapa tahun di Haramain (Mekkah danMadinah) yang pada abad ke-19 meskipun secara politis berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (1299-1923), namun penguasa Turki tidak mampu membendung pengaruh gerakan ‘pemurnian’ yang dipimpin oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menguasai Jazirah Arabiadalam bidang keagamaan.[3]Gerakan ini sempat pula menguasai kota Mekkah dan Madinah. Gerakan ini amat menekankan pentingnya pemahaman akidah secara murni dan ketaatan pada syari’ah.
Di Kalisalak K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan kecaman dan protes terhadap Pemerintahdan birokrat pribumi. Tindakan ini tentu sangat meresahkan pemerintah kolonial yang menganggap sikap militan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa melanda birokrat pribumi yang khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam. Berikut ini adalah kutipan pernyataan K.H. Ahmad Rifa’i dalam Nazham Wiqayah, salah satu kitab karangannya (Darban, 1999: 39):
Slametadunya akherat wajib kinira Ngalawan raja kafir sakuasane kafikira Tur perang sabil luwih kadane ukara Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara. Artinya: Keselamatan dunia akhirat wajib diperhitungkan Melawan raja kafir sekemampuannya perlu difikirkan Demikian juga perang sabil lebih dari pada ucapan Cukup tidak menggunakan pasukan yang besar.
Sumerepbadan hina seba ngelangsur Manfaate ilmu lan amal dimaha lebur Tinemune priyayi laku gawe gede kadosan Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung, Kebayan Maring rojo kafir pada asih anutan Haji, abdi, dadi tulung maksiyat Nuli dadi khotib ibadah Maring alim adil laku bener syareate Sebab khawatir yen ora nemu derajat Ikulah lakune wong munafik imane suwung Anut maksiyat wong dadi Tumenggung Artinya: Melihat tubuh hina menghadap dengan tubuh merayap Manfaatnya ilmu dan amal hilang binasa Pendapat dan tindakan kaum priyayi membuat dosa besar Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung, Kebayan Kepada raja kafir senang jadi pengikut Termasuk haji abdi, menolong kemaksiatan Kemudian menjadi kadi khotib ibadah Kepada alim adil bertindak membenarkan syareat Sebab khawatir bila tidak mendapat kedudukan Itulah amalan orang munafik yang kosong imannya Mengikuti perbuatan maksiat orang yang jadi Tumenggung.
Persepsi negatif terhadap K.H. Ahmad Rifa’i dan jamaahnya dapat ditemukan dalam Serat Cebolek karyaRaden Panji Jayasubrata. Dalam Serat Cebolek dikisahkan dua tokoh ulama non-pemerintah yang dianggap mengajarkan ajaran sesat yaitu Syaikh Muhammad Mutamakin dari desa Cebolek-Tuban dan K.H. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (Kuntowijoyo,1999: 123). Syaikh Mutamakin dituduh mengajarkan mistik sesat yaitu ilmukasunyatan dan menganjurkan orang untuk meninggalkan syari’at dan bisa mengganggu ketertiban umum. Mutamakin menjadi tersangka dan Ketib Anom dari Kudus menjadi pahlawan. Mutamakin selamat dari hukuman karena adanya suksesi kekuasaan dari Amangkurat IV kepada Paku Buwono II. Keadaan berbeda dialami K.H.Ahmad Rifa’i yang dituduh mengajarkan ajaran sesat, menyatakan dirinya sebagai satu-satunya ’alim adil, dan tidak mengesahkan shalat jum’at di masjid lain selain masjidnya. K.H. Ahmad Rifa’i disuruh berdebat dengan Haji Pinang Penghulu Batang, meskipun awalnya menang tetapi pada akhirnya ia harus menerima kekalahan dan dibuang ke Ambon kemudian dipindahkan ke Manado hingga wafat pada1286 H/1878 M dalam usia 92 tahun (Yayasan Rifa’iyah, 2001: 2). Tindakan pengasingan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda merupakan usaha preventif untuk mencegah timbulnya bahaya yang bisa mengganggu ketertiban dan keamanan, untuk itu ia harus dijauhkan dari jamaahnya. Meskipun jauh dari pengikutnya ia masih sempat mengirimkan surat dan empat kitab yang dititipkan pada saudagar Semarang yang bernama Abdullah (Darban, 1999: 52). Keempat kitab itu adalah Targhibul Mithalab tentang ushuluddin, Hidayatul Himmah tentang tasawuf, Kaifiyatul Miqshad tentang ibadah dan Nasihatul Haq tentang tasawuf. Surat dariK.H. Ahmad Rifa’i ditujukan kepada menantunya Maufuro, istri dan para santrinya yang isinya antara lain:
Jika pesan-pesan tersebut diamati, ia masih mempunyai semangat dan idealisme dalam perjuangan meskipun ia hidup di pengasingan jauh dari para pengikutnya. Hal ini bisa dilihat dari perintahnya agar tetap amar ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa zalim (Darban, 1999: 62-63). Di antara murid-murid generasi pertama K.H. Ahmad Rifa’i adalah K.H.Abdul Qohar (Kendal), K.H. Muhammad Tubo, K. Abu Ilham (Batang), K. Maufuro(Limpung), K. Hasan Dimejo (Wonosobo), K. Abdus Saman (Kendal), K.Abdullah/Dolak (Magelang), Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Toyyib (Wonosobo),Ahmad Hasan (Pekalongan), Nawawi (Batang), dan sebagainya. Murid-muridnya inilah yang menyebarkan ajaran Tarojumah ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan sekitarnya (Amin,1989: 22). Sekarang pengikut Jamaah Rifa’iyah dan simpatisannya tersebar dibeberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara seperti Kendal,Pekalongan, Batang, Wonosobo, Pati, Magelang, Demak, Purwodadi, Pemalang,Indramayu, Cirebon dan sebagainya bahkan sampai ke Jakarta. Dikarenakan pandangannya terhadap Belanda, Ahmad Rifa'i pernah dijuluki "Setan Kalisasak" oleh kolonial Belanda dan "Ulama Sesat" oleh ulama yang mendukung Belanda. Meskipun pada akhirnya ia mendapat larangan berdakwah, ia tetap berjuang dengan menulis berbagai kitab dan 55 kitab telah ia hasilkan. Sebuah organisasi dengan nama Rifa'iyah didirikan oleh para pengikutnya dan berpusat di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah. KH Achmad Rifa'i akhirnya meninggal dunia di tahun 1870 pada usia 84 tahun saat diasingkan di Kampung Jawa, Tondano, Manado, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kyai Mojo. Setelah lebih dari satu abad akhirnya melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004 ia diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
ReferensiDaftar pustaka
|