Spesies-spesies yang dibawa mencakup tanaman dan hewan yang diyakini berasal dari kebudayaan Hemudu dan Majiabang yang merupakan kampung halaman hipotetis bangsa Austronesia purba di Tiongkok daratan,[4] serta tanaman dan hewan lainnya yang diperkirakan didomestikasikan untuk pertama kali di Taiwan, Asia Tenggara Maritim, dan Papua.[5][6] Beberapa di antara tanaman ini juga dikenal sebagai "tanaman-tanaman kano", terutama dalam konteks migrasi Polinesia.[7][8][9]
Tanaman
Aleurites moluccanus (kemiri)
Kemiri (Aleurites moluccanus) pertama kali didomestikasikan di Asia Tenggara Maritim. Peninggalan arkeologi berupa kemiri yang sudah dipanen telah ditemukan dari situs-situs di Timor dan Morotai di timur Indonesia, yang masing-masingnya diperkirakan berasal dari 13.000 dan 11.000 tahun yang lalu.
[10] Bukti arkeologis dari penanaman kemiri juga ditemukan di situs-situs Neolitikum kebudayaan Toala di Sulawesi yang berasal dari kisaran 3.700 hingga 2.300 tahun yang lalu.[11][12] Kemiri disebarluaskan ke Kepulauan Pasifik oleh penjelajah-penjelajah awal Austronesia dan menjadi spesies ternaturalisasi di pulau-pulau bergunung api.[13][14][15]
Kemiri mempunyai kegunaan yang sangat luas dan setiap bagian pohonnya dapat dimanfaatkan manusia. Kemiri terutama dibudidayakan untuk diambil minyaknya yang terkandung dalam biji. Kemiri digunakan secara luas untuk penerangan, sebelum diperkenalkannya sumber cahaya lain, oleh karena itu dinamakan candlenut dalam bahasa Inggris. Bijinya ditusuk pada pelepah kelapa yang kemudian dibakar. Setiap biji kemiri membutuhkan waktu sekitar tiga menit untuk terbakar dan dengan demikian rangkaian ini dapat bertindak sebagai obor. Tradisi pembuatan obor kemiri ini dapat ditemui baik di Asia Tenggara maupun Oseania. Minyak kemiri yang diekstraksi dari kacangnya juga dapat digunakan langsung pada lampu. Minyak kemiri juga dapat menjadi bahan pembuatan sabun, salep, dan sebagai pengawet alat pancing. Pemanfaatan tradisional lainnya termasuk penggunaan kayu untuk membuat kano kecil dan karya seni ukir; getahnya untuk membuat pernis dan resin; kulit bijinya untuk hiasan (terutama sebagai lei), kail ikan, mainan, dan pembuatan pewarna hitam; kulit kayunya untuk obat dan serat; dan lain sebagainya. Beberapa varietas kemiri yang tidak beracun juga digunakan sebagai rempah-rempah atau bahan pangan di Asia Tenggara dan Pasifik.[16]
Kata untuk kemiri direkonstruksi ke dalam bahasa Proto-Melayu Polinesia sebagai *kamiri, dengan keturunan modern yang mencakup kata kamiri dalam bahasa Hanunó'o, Iban, and Sunda; kemiri dalam bahasa Jawa dan Melayu; serta kamii dalam bahasa Tetun. Akan tetapi, kosakata Oseania untuk kemiri diyakini berasal dari kata rekonstruksi bahasa Proto-Austronesia*CuSuR yang lalu menjadi *tuhuR dalam bahasa Proto-Melayu-Polinesia, dengan makna asli "terangkai bersama, serupa manik-manik", yang merujuk pada perakitan obor kemiri. Kata ini menjadi *tuRi dalam bahasa Proto-Melayu-Polinesia Tengah-Timur dan Proto-Oseanik sebelum kemudian direduplikasi. Keturunan modernnya mencakup tui-tui dalam bahasa Fiji, Tonga, Rarotonga, dan Niue, serta kui-kui atau kukui dalam bahasa Hawaii.[17]
Alocasia macrorrhizos (bira)
Bira (Alocasia macrorrhizos) pertama kali didomestikasikan di Filipina, tetapi spesimen liar juga sudah ditemui oleh masyarakat Austronesia mula-mula di Taiwan. Dari Filipina, tumbuhan ini menyebar keluar hingga ke seluruh Asia Tenggara Maritim dan ke timur hingga Oseania dan menjadi salah satu tanaman pokok bagi penduduk Kepulauan Pasifik.[18][19] Bira adalah satu dari empat spesies utama araceae (talas-talasan) yang dikultivasi oleh orang-orang Austronesia sebagai sumber pati. Tiga spesies lainnya ialah Amorphophallus paeoniifolius, Colocasia esculenta, dan Cyrtosperma merkusii, yang masing-masingnya terbagi lagi menjadi beragam kultivar. Dedaunan dan batang tanaman-tanaman ini juga dapat dikonsumsi jika dimasak dengan seksama, meskipun hal ini jarang dilakukan pada bira karena tanaman ini mengandung lebih banyak rafid yang dapat membuat gatal-gatal.[20][21]
Kata yang direkonstruksi untuk bira dalam bahasa Proto-Austronesia adalah *biRaq, yang kemudian menjadi *piRaq dalam bahasa Proto-Oseanik. Keturunan modernnya di Asia Tenggara Maritim dan Mikronesia mencakup vi'a atau bi'a dalam bahasa Rukai; bila dalam bahasa Ifugao; biga dalam bahasa Iloko, Cebu, Bikol, dan Mongondow; bira dalam bahasa Tiruray; biha dalam bahasa Ngaju; via dalam bahasa Malagasi; birah dalam bahasa Melayu dan Aceh; bísə dalam bahasa Palau; piga dalam bahasa Chamorro; wia dalam bahasa Bima; fia dalam bahasa Roti dan Tetun; hila dalam bahasa Asilulu; serta fira dalam bahasa Kowiai. Di wilayah Oseania, kerabat kata ini mencakup kata pia dalam bahasa Wuvulu dan Aua; hira dalam bahasa Motu dan 'Are'are; via dalam bahasa Kilivila dan Fiji; serta pia dalam bahasa Hawaii. Perlu dicatat bahwa dalam beberapa kasus, kata-kata ini mengalami pergesaran semantik dan merujuk pada jenis talas-talasan yang lain.[17][18]
Amorphophallus paeoniifolius (suweg)
Suweg (Amorphophallus paeoniifolius) dimanfaatkan sebagai makanan di Asia Tenggara Kepulauan, Asia Tenggara Daratan, dan Asia Selatan. Pada mulanya, tanaman ini diyakini berasal dari India, di mana tanaman ini paling banyak dimanfaatkan sebagai sumber makanan dewasa ini. Namun, kajian genetika pada tahun 2017 menunjukkan bahwa populasi suweg di India memiliki keragaman genetik yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi suweg di Asia Tenggara Kepulauan, sehingga suweg kini dipercaya sebagai tanaman asli Asia Tenggara dan menyebar ke arah barat ke Thailand dan India, sehingga memicu tiga peristiwa domestikasi independen. Dari Asia Tenggara Kepulauan, suweg juga menyebar lebih jauh ke barat hingga Madagaskar, dan ke arah timur hingga pesisir Papua Nugini dan Oseania melalui migrasi orang Austronesia. Meskipun tanaman ini mungkin telah menyebar ke selatan hingga Australia tanpa campur tangan manusia.[22][23][24]
Suweg adalah salah satu dari empat spesies utama aroid (talas-talasan) yang dibudidayakan oleh orang Austronesia sebagai sumber pati, bersama tanaman sejenis seperti bira (Alocasia macrorrhizos), talas (Colocasia esculenta), dan daluga (Cyrtosperma merkusii), di mana masing-masing memiliki beragam varietas yang telah dibudidayakan. Namun, suweg adalah tumbuhan yang paling jarang dikonsumsi di antara mereka berempat dan kemungkinan besar hanya dimakan saat terjadi kelaparan, karena suweg mengandung lebih banyak kristal rafid yang menyebabkan iritasi jika tidak diolah dengan benar.[23][21][25]
Menurut kajian penyidikan DNA, nenek moyang Artocarpus altilis yang tumbuh di alam liar adalah Artocarpus camansi yang memiliki biji, yang berasal dari Papua, Kepulauan Maluku, dan Filipina. A. camansi didomestikasi dan dibiakkan secara selektif di Polinesia, sehingga menghasilkan Artocarpus altilis yang sebagian besar tidak berbiji. Sukun mikronesia juga menunjukkan bukti hibridisasi dengan tanaman asli Artocarpus mariannensis, sedangkan sebagian besar kultivar Polinesia dan Melanesia tidak. Hal ini menunjukkan bahwa Mikronesia awalnya dikolonisasi secara terpisah dari Polinesia dan Melanesia melalui dua peristiwa migrasi berbeda yang kemudian saling bertemu di Mikronesia bagian timur.[33][34][35]
Kata Purwa-Melayu-Polinesia yang direka ulang untuk sukun adalah *kuluʀ, yang menjadi *kulur dalam bahasa Purwa-Oseanik dan *kulu dalam bahsa Purwa-Polinesia. Kata kerabat modern termasuk kulur atau kelur dalam bahasa Sunda dan Melayu; kulu dalam bahasa Aceh; kurur dalam bahasa Iban; kulo atau kolo dalam bahasa Cebuano; kula dalam bahasa Muna; ulu dalam bahasa Mussau; gulu dalam bahasa Kapingamarangi; kulu dalam bahasa Wayan Fiji; kuro dalam bahasa Emae; kuru dalam bahasa Tuamotu, Takuu, dan Rarotonga; ʻuru dalam bahasa Tahiti; ʻulu dalam bahasa Samoa dan Hawaii; dan kuru dalam bahasa Maori. Perhatikan bahwa dalam bahasa Māori, kuru hanya disebutkan dalam tradisi, tetapi tidak mengacu pada tanaman tersebut karena sukun gagal tumbuh di Selandia Baru.[18][36][25][37][38] Perlu diketahui juga bahwa sukun diyakini hanya mencapai Asia Tenggara bagian barat (Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaya) selama beberapa abad terakhir, sebagai hasil perdagangan dengan Kepulauan Maluku.[39]
Kata penting lainnya yang direka ulang untuk sukun adalah *maRi atau *mai dalam bahasa Purwa-Oseanik. Ini adalah akar kata umum untuk sukun di Mikronesia, Papua bagian utara dan barat, Kepulauan Solomon, Kepulauan Admiralty, Pulau Santo Matthias, Kaledonia Baru, dan sebagian Pasifik Tengah. Istilah itu sendiri mungkin awalnya ditujukan untuk Artocarpus mariannensis, bukan Artocarpus altilis. Kata kerabat termasuk māi dalam bahasa Pohnpei, Mokil, dan Ngatik; mai dalam bahasa Palau, Satawal, dan Tuvalu; mais dalam bahasa Puluwat; maiyah dalam bahasa Yap; dan mei dalam bahasa Tonga, Niue, dan Marquesa.[18][36][25]
Berbagai spesies bambu (subkeluarga Bambusoideae) ditemukan di seluruh Asia Tenggara Kepulauan, Asia Tenggara Daratan, Asia Timur, dan Asia Selatan. Di wilayah Austronesia, berbagai jenis bambu memiliki nama yang beragam, begitu pula benda yang dibuat dari bambu itu sendiri. Berbagai kegunaannya adalah sebagai bahan bangunan, kail ikan, alat musik, pisau, wadah air dan makanan, dan sebagainya. Rebung atau tunas bambu juga merupakan bahan pangan di Asia Tenggara. Beberapa spesies bambu dibawa oleh pemukim Austronesia saat mereka menjajah kepulauan Pasifik. Di antaranya adalah ʻohe (Schizostachyum glaucifolium), bambu ampel (Bambusa vulgaris), dan bambu duri (Bambusa bambos).[40][41]
Kata-kata Purwa-Austronesia yang direka ulang untuk menyebut bambu meliputi *qauR, *kawayan, *buluq, dan *betung. Yang terakhir masuk dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia dan Purwa-Oseanik sebagai *bitung, dengan kata kerabat termasuk awi bitung dalam bahasa Sunda; bitu dalam bahasa Fiji; dan pitu dalam bahasa Tonga. Namun, sebagian besar istilah untuk bambu di Polinesia berasal dari *kofe dalam bahasa Purwa Pasifik Selatan-Tengah (asalnya dari *kofe, "akar" dalam bahasa Purwa-Polinesia). Kata kerabat modern termasuk kofe dalam bahasa Tonga dan Niue; kohe dalam bahasa Tokelau, Marquesa, Tuamotu, dan Māori; koʻe dalam bahasa Rarotonga; ʻofe dalam bahasa Samoa dan Tahiti; dan ʻohe dalam bahasa Hawaii. Beberapa kata juga bergeser maknanya untuk menyebut tanaman serupa bambu; terutama di pulau-pulau di mana mereka tidak diperkenalkan atau tidak bertahan hidup, seperti di Selandia Baru.[17][40][42]
Broussonetia papyrifera (daluang)
Daluang (Broussonetia papyrifera), atau dikenal sebagai "pohon kain tapa" di Pasifik, berasal dari daerah beriklim subtropis di Asia Daratan dan merupakan salah satu bukti terbaik untuk hipotesis "Keluar dari Taiwan" yang terpopuler mengenai ekspansi Austronesia. Berbagai penelitian genetik telah menelusuri asal-usul populasi daluang di wilayah Pasifik Jauh hingga ke Taiwan melalui Papua dan Sulawesi. Di Filipina, yang berada di tengah jalur ekspansi, daluang yang ada sebagian besar merupakan turunan dari introduksi modern pada tahun 1935. Diduga, daluang hasil introduksi kuno punah pada zaman prasejarah karena digantikan oleh kain tenunan tangan, mengingat daluang pada umumnya hanya bisa hidup melalui budi daya oleh manusia. Namun, ketiadaannya di Filipina semakin menegaskan asal-usulnya di Taiwan, dan bukan di Asia Tenggara Maritim. Selain itu, populasi daluang di Papua juga menunjukkan masuknya genetik dari ekspansi lain yang berasal dari Indochina dan Tiongkok Selatan.[43][44][45]
Daluang sendiri diyakini sebagai tanaman serat yang paling banyak diangkut pada zaman prasejarah bersamaan dengan perluasan wilayah Austronesia, dibandingkan banyak tanaman komensal lainnya di Oseania. Daluang terdapat di hampir setiap pulau atau gugusan pulau di Polinesia, termasuk Rapa Nui dan Aotearoa. Beberapa populasi daluang punah baru-baru ini setelah berhenti dibudidayakan, seperti di Kepulauan Cook dan Mangareva, meskipun catatan dan spesimen kain kulit kayu serta herbarium yang dikumpulkan bangsa Eropa selama Masa Kolonial masih tersimpan dan terawat di museum. Daluang diperbanyak oleh orang Polinesia melalui reproduksi vegetatif dengan stek dan tunas akar. Mereka jarang dibudidayakan dari biji karena kebanyakan telah dipanen sebelum memunculkan bunga, ketika diameter batangnya mencapai sekitar 1 in (2,5 cm), seperti yang dijelaskan oleh catatan Eropa pada abad ke-18. Juga tidak diketahui apakah tumbuhan liar berkembang biak secara seksual karena tumbuhan tersebut bersifat dioecious dan memerlukan spesimen jantan dan betina untuk berada di satu pulau yang sama.[43][44]
Kiri: Kain kapa dari abad ke-18 dari Hawaii Kanan: Kain tapa peninggalan abad ke-19 dari Fiji
Daluang terutama digunakan di Kepulauan Pasifik untuk membuat kain kulit kayu (tapa dalam sebagian besar bahasa Polinesia).[43][44] Kain kulit kayu, juga dapat dibuat dari anggota keluarga ara-araan (Moraceae) lainnya, antara lain Ficus (buah ara) dan Artocarpus. Kain kulit kayu juga kadang-kadang dibuat dari tanaman Pipturus, khususnya di Hawaii. Namun, kain kulit kayu dengan mutu terbaik berasal dari daluang.[18]
Kain kulit kayu terutama digunakan sebagai pakaian di kalangan orang Austronesia kuno dan secara tradisional dibuat menggunakan pemukul dari batu atau kayu yang merupakan salah satu artefak paling umum yang ditemukan di situs arkeologi Austronesia. Banyaknya temuan arkeologis berupa pemukul kain di Tiongkok Selatan dianggap sebagai bukti bahwa kampung halaman Austronesia pra-Taiwan terletak di wilayah tersebut sebelum ekspansi Dinasti Han ke selatan, khususnya di sekitar Delta Sungai Mutiara. Peninggalan tertua berasal dari Situs Dingmo di Guangxi, berumur sekitar 7.900 tahun yang lalu.[46] Kain kulit kayu tetap menjadi sumber utama bahan sandang di Melanesia, Polinesia, dan sebagian Indonesia sebelum masa penjajahan. Namun, sebagian besar telah digantikan oleh kain serat tenun di sebagian besar Asia Tenggara Kepulauan dan Mikronesia.[18]
Ada banyak nama untuk daluang di seluruh Austronesia, yang paling umum dapat direka ulang menjadi *malaw dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia Timur-Tengah, yang mengacu pada cawat dan jenis pakaian lainnya yang terbuat dari kulit kayu murbei kertas. Kata turunannya termasuk mal dalam bahasa Selaru, mala ai dalam bahasa Asilulu; mal dalam bahasa Buli; mār dalam bahasa Biak; mal dalam bahasa Kuanua, Gedaged, dan Tanga; mago dalam bahasa Rennell; myal dalam bahasa Kairiru; malo dalam bahasa Lusi, Kove, Manam, Gitua, Mota, Niue, Futuna, Samoa, Tuvalu, Nukuoro, Anuta, dan Hawaii; dan maro dalam bahasa Arosi, Rarotonga, dan Maōri.[17]
Di Polinesia Timur, istilah daluang juga dapat direkonstruksi menjadi *aute dalam bahasa Purwa-Polinesia Timur Tengah, dengan kata serumpun termasuk ʻaute dalam bahasa Tahiti dan Rarotonga; ute dalam bahasa Marquesa; wauke dalam bahasa Hawaii; dan aute dalam bahasa Rapa dan Maori.[47]
Di sebagian besar Polinesia, istilah kain kulit kayu juga dapat direkonstruksi menjadi *taba dalam bahasa Purwa-Polinesia Inti, yang berarti "kulit kayu", dengan kata serumpun termasuk taba dalam bahasa Wayan; tapa dalam bahasa Tonga, Samoa, Mangareva, dan Rarotonga; dan kapa dalam bahasa Hawaii. Istilah lain yang banyak digunakan untuk kain kulit kayu dan daluang berasal dari kata Purwa-Polinesia yang direka ulang *siapo, dengan kata serumpun termasuk hiapo dalam bahasa Niue, Tonga, dan Marquesa; dan siapo dalam bahasa Samoa dan Futuna Timur.[18] Selain itu, istilah pemukul kain kulit kayu dapat direka ulang secara lebih luas menjadi *ike dari bahasa Purwa-Melayu-Polinesia, dengan kata serumpun termasuk ike dalam bahasa Uma; iki dalam bahasa Sa'a; ike dalam bahasa Fiji, Tonga, dan Futuna Timur; dan iʻe dalam bahasa Samoa dan Hawaii.[18]
Calophyllum inophyllum (nyamplung)
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) adalah tumbuhan berkayu asli Asia tropis yang tersebar luas di dunia. Tanaman ini terkenal karena kemampuannya untuk tumbuh hingga ukuran besar di pantai berpasir atau berbatu di kawasan pulau dan pesisir, serta perilakunya menghasilkan batang besar yang melengkung di atas air yang menjadi sarana penyebaran benihnya melalui arus laut.[48][49] Kayu pohon nyamplung banyak dimanfaatkan dalam pembuatan perahu cadik tradisional Austronesia yang berukuran besar yang mereka gunakan untuk berkelana hingga ke Oseania dan Madagaskar.[49]
Spesies lain dari genus Calophyllum juga digunakan dengan cara yang sama, seperti Calophyllum soulattri, Calophyllum peekelii, dan Calophyllum goniocarpum. Kayu dari tanaman bergenus ini sulit untuk dibentuk namun itu yang membuatnya lebih kuat serta lebih cocok untuk dibuat menjadi bentuk yang rumit. Pentingnya pohon nyamplung sama dengan pentingnya pohon ek dalam pembuatan kapal dan industri perkayuan di Eropa. [49] Di banyak wilayah Polinesia, pepohonan nyamplung yang ditanam di marae dianggap keramat karena merupakan tempat tinggal roh. Kayu nyamplung juga diukir menjadi benda keagamaan seperti tiki.[50][51] Nyamplung juga banyak disinggung dalam nyanyian dan cerita rakyat Polinesia.[52]
Berbagai bagian tanaman nyamplung merupakan bagian penting dari pembuatan perahu cadik. Batang besar yang melengkung biasanya diukir membentuk lunas kapal cadik Austronesia. Pelat kapal dilekatkan pada lunas dengan teknik unik Austronesia yaitu "menjahit" dengan kombinasi pasak dan kupingan yang diikat sebagai pengganti paku, juga dapat dibuat dari kayu nyamplung, tetapi lebih umum dibuat dari kayu lain yang "lebih lembut" seperti tanaman Artocarpus. Bagian pohon yang lainnya dapat diubah menjadi tiang kapal dan cadik. Bagian pohon yang memiliki lengkungan yang lebih kecil juga dapat diukir pada tulang rusuk perahu.[49]
Selain dalam pembuatan kapal, minyak tamanu yang diekstraksi dari biji buah nyamplung juga penting dalam budaya Polinesia. Minyaknya beserta tuam yang terbuat dari daun dan bunga juga biasa digunakan untuk pengobatan tradisional.[48][50] Daun nyamplung juga mengandung senyawa yang bersifat racun bagi ikan dan dapat dijadikan racun ikan.[48]
Kata Purwa-Austronesia yang direka ulang untuk nyamplung adalah *bitaquR, dengan kata serumpun modern termasuk bittáug dalam bahasa Ilokano; bitául dalam bahasa Ifugao; bitáʻog atau bitaʻug dalam bahasa Bikolano, Cebuano, Maranao, Mansaka, dan Manobo; bito dalam bahasa Nias; btáʻəs dalam bahasa Palau; witora dalam bahasa Luang; dan hataul dalam bahasa Asilulu.[17] Kata Purwa-Melayu-Polinesia Barat untuk nyamplung berasal dari kata ganda Purwa-Austronesia *bintaŋuR, dengan kata serumpun termasuk bintangur atau bentangur dalam bahasa Iban, Melayu, dan Batak Toba; wintangor dalam bahasa Tontemboan; dan vintáno dalam bahasa Malagasi.[17] Dalam bahasa Purwa-Oseanik, kata untuk nyamplung adalah pitaquR, dengan kata turunannya termasuk pitɨ dalam bahasa Nauna; pitow dalam bahasa Loniu; pirow dalam bahasa Nali; hita dalam bahasa Seimat; piʻaw dalam bahasa Aua; isou dalam bahasa Pohnpei; hefau dalam bahasa Rotuma; vetau dalam bahasa Fiji, fetaʻu dalam bahasa Tonga; fetau dalam bahasa Niue, Samoa, dan Tuvalu; hedau dalam bahasa Nukuoro; dan hetaʻu dalam bahasa Rennell.[17] Di sebagian besar bahasa tersebut, nama itu secara khusus mengacu pada C. inophyllum, meskipun dalam bahasa Ifugao, Maranao, Nias, Wetan, dan Fiji, nama tersebut menjadi lebih umum pada pohon berkayu besar.[17][53]
Kumpulan kata serumpun lainnya untuk C. inophyllum dalam bahasa Purwa-Oseanik dapat direkonstruksi menjadi *tamanu. Perbedaannya dengan *pitaquR tidak jelas, tetapi mengingat perbedaan penggunaannya dalam bahasa Mussau, *tamanu mungkin awalnya merujuk pada spesimen pohon yang tumbuh di pedalaman pulau dan bukan di garis pantai. Kata kerabat modern termasuk tamanu dalam bahasa Mussau, Tonga, Niue, Samoa, dan Rarotonga; damanu dalam bahasa Fiji; dan kamani dalam bahasa Hawaii.[17]
Cananga odorata (kenanga)
Cananga odorata, dengan bunganya yang besar dan harum, banyak digunakan sebagai hiasan. Spesies ini diketahui berasal dari Filipina.[54] Tidak diketahui apakah kenanga juga tanaman asli Polinesia dan Melanesia atau tanaman introduksi.[55]
Wilayah antara Asia Barat Daya dan Melanesia merupakan tempat asal kelapa (Cocos nucifera), di mana kelapa memiliki keragaman genetik terbesar.[60][61][62][57] Sebuah penelitian pada tahun 2011 mengidentifikasi dua subpopulasi kelapa yang sangat terdiferensiasi secara genetis, satu berasal dari Asia Tenggara Kepulauan (kelompok Pasifik) dan yang lainnya dari pinggiran selatan Anak Benua India (kelompok Indo-Atlantik). Kelompok Pasifik adalah satu-satunya kelompok yang menunjukkan gejala genetik dan fenotipik yang mengarah pada domestikasi; termasuk ukuran buah yang lebih kecil, penyerbukan sendiri, dan bentuk buah "niu vai" yang bulat dengan rasio endosperma terhadap tempurung yang lebih besar. Persebaran kelapa Pasifik sesuai dengan wilayah hunian para penjelajah Austronesia yang menunjukkan bahwa penyebarannya sebagian besar merupakan hasil introduksi manusia.[57][63]
Hal paling mencolok terlihat di Madagaskar, sebuah pulau yang mulai dihuni oleh pelaut Austronesia pada sekitar 2.000 hingga 1.500 yang lalu. Populasi kelapa di pulau tersebut menunjukkan adanya percampuran genetik antara kedua subpopulasi yang menunjukkan bahwa kelapa Pasifik dibawa oleh pemukim Austronesia yang kemudian kawin silang dengan kelapa lokal Indo-Atlantik.[57][63]
Studi genetik terhadap kelapa juga telah mengonfirmasi populasi kelapa pra-Kolumbus di Panama di Amerika Selatan. Namun, populasi ini bukanlah tanaman asli dan menunjukkan hambatan genetik akibat efek pendiri. Sebuah penelitian pada tahun 2008 menunjukkan bahwa kelapa di Benua Amerika secara genetik memiliki kekerabatan paling dekat dengan kelapa di Filipina, dan tidak dengan populasi kelapa lain di dekatnya (termasuk Polinesia). Informasi demikian menunjukkan bahwa kelapa tidak diperkenalkan secara alami, misalnya melalui arus laut. Para peneliti menyimpulkan bahwa buah ini dibawa oleh para pengelana Austronesia awal ke sana setidaknya sejak 2.250 tahun yang lalu, dan mungkin menjadi bukti adanya kontak pra-Kolumbus antara budaya Austronesia dan budaya Amerika Selatan, meskipun arahnya berlawanan dengan hipotesis awal seperti yang diajukan Heyerdahl. Hal ini semakin diperkuat oleh bukti kontak botani serupa lainnya, seperti kemunculan ubi jalar asli Amerika pada budaya Oseania selama masa pra-kolonial.[62][59][68] Selama masa kolonial, kelapa Pasifik diperkenalkan lebih jauh ke Meksiko dari Hindia Timur Spanyol dengan galiung Manila.[57]
Berbeda dengan kelapa Pasifik, kelapa Indo-Atlantik umumnya diintroduksi oleh pedagang Arab dan Persia ke pesisir Afrika Timur. Kelapa Indo-Atlantik juga diangkut ke Samudra Atlantik oleh kapal-kapal Portugis dari koloni mereka di India dan Sri Lanka; dan pertama kali diperkenalkan ke pesisir Afrika Barat, kemudian ke Kepulauan Karibia dan pantai timur Brasil. Semua introduksi ini terjadi dalam beberapa abad terakhir, relatif baru dibandingkan dengan introduksi kelapa Pasifik.[57]
Colocasia esculenta (talas)
Talas atau keladi (Colocasia esculenta), kadang-kadang disebut sebagai "talas sejati", adalah salah satu tanaman budi daya paling tua yang sudah didomestikasi sebelum ekspansi orang Austronesia.[6] Talas ditemukan secara luas di daerah tropis dan subtropis di Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, Papua Nugini, dan Australia bagian utara dan sangat polimorfik, di mana taksonomi dan perbedaan talas liar dan talas domestikasi sulit dilacak. Talas diyakini didomestikasi secara mandiri beberapa kali di tempat berbeda, diduga di Papua Nugini, Asia Tenggara Daratan, dan India Timur Laut, sebagian besar didasarkan pada perkiraan habitat asli spesimen liarnya.[69][70][71] Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa talas liar mungkin memiliki sebaran asli yang jauh lebih besar daripada yang telah diduga sebelumnya, di mana talas liar mungkin juga berasal dari wilayah lain di sekitar Asia Tenggara.[72][73]
Jejak arkeologis eksploitasi talas telah ditemukan di berbagai situs yang lebih tua dari waktu migrasi Austronesia, meskipun apakah talas ini merupakan hasil budi daya atau pengumpulan dari alam liar tidak dapat dipastikan. Di antaranya adalah Gua Niah di Malaysia Timur, yang berumur <40.000 tahun yang lalu;[74] Gua Ille di Palawan, berumur sekitar 11.000 tahun yang lalu;[74][75] Rawa Kuk di Papua Nugini, berumur 10.200 hingga 9.910 tahun yang lalu;[76][77] dan Gua Kilu di Kepulauan Solomon yang berusia sekitar 28.000 hingga 20.000 tahun.[78] Dalam kasus Rawa Kuk, terdapat bukti munculnya pertanian formal sekitar 10.000 tahun yang lalu, dengan bukti adanya bekas lahan budi daya, meskipun jenis tanaman yang ditanam masih belum diketahui.[79]
Terlepas dari itu, talas jelas merupakan salah satu tanaman budi daya Austronesia serta populasi sebelumnya di Asia Tenggara Kepulauan. Namun, peran penting tanaman ini di Asia Tenggara sebagian besar telah digantikan oleh padi, meskipun di beberapa masyarakat tanaman ini masih ditanam di tepian sawah. Sementara itu, talas tetap menjadi makanan pokok di Melanesia dan Polinesia di mana padi belum dikenal. Talas adalah salah satu dari empat spesies aroid (talas-talasan) yang dikonsumsi oleh orang Austronesia sebagai sumber asupan pati bersama Alocasia macrorrhizos, Amorphophallus paeoniifolius, dan Cyrtosperma merkusii. Talas adalah yang paling penting dan menjadi favorit di antara keempatnya karena tanaman ini cenderung tidak mengandung kristal jarum rafid yang bisa menyebabkan iritasi sebagaimana terdapat pada tanaman lain.[21][80]
Talas juga diidentifikasi sebagai salah satu makanan pokok di Mikronesia, berdasarkan bukti arkeologis yang berasal dari Zaman Latte pra-kolonial (c. 900 – 1521 M), yang menunjukkan bahwa talas turut dibawa oleh pelayar Austronesia ketika mereka menjejaki kepulauan tersebut.[81][82] Karena tanah atol di sebagian besar Mikronesia kurang subur, penduduknya mengakali dengan menggali lubang yang kemudian dapat diisi dengan kompos yang cocok untuk penanaman talas.[25] Serbuk sari talas dan residu pati juga telah diidentifikasi di situs Lapita yang lebih tua berumur sekitar c. 3.050 – 2.500 tahun yang lalu.[25]
Kata Purwa-Melayu-Polinesia untuk talas adalah *taləs, yang kemudian menjadi *talos atau *talo dalam bahasa Proto-Oseanik. Kata kerabat modern termasuk tálus dalam bahasa Hanunó'o; talis dalam bahasa Tagbanwa Abrola; täläs dalam bahasa Batak Palawan; taõ dalam bahasa Nias; talas dalam bahasa Melayu dan Tetun; taleh dalam bahasa Minangkabau; taleus dalam bahasa Rejang dan Sunda; tales dalam bahasa Jawa; dáit dalam bahasa Palau; dan tale dalam bahasa Rote.[17][83][84] Dalam bahasa-bahasa di Polinesia, kata serumpunnya antara lain talo dalam bahasa Motu, Marovo, Tonga, Samoa, Niue, Futuna, dan Tuvalu; alo dalam bahasa Kwaio, Lau, dan Toqabaqita; aro dalam bahasa 'Āre'āre, Arosi, dan Bauro; na-tale dalam bahasa Nakanamanga; tal atau nal dalam bahasa Sye; dalo dalam bahasa Fiji dan Nukuoro; tago dalam bahasa Rennell; taro dalam bahasa Anuta, Rarotonga, dan Māori; dan kalo dalam bahasa Hawaii.[17] Varietas talas merah memiliki nama yang berasal dari kata *pongi dalam bahasa Purwa-Polinesia, dengan kata serumpun termasuk pongi dalam bahasa Niue; poki dalam bahasa Marquesa; poni dalam bahasa Hawaii; dan pongi dalam bahasa Maori.[85]
Dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia-Barat, istilah lain yang direka ulang adalah *kaladi, dengan kata turunannya termasuk kaladi dalam bahasa Agutaynen, Tatana, Iban, Tae', dan Wolio; keladi dalam bahasa Bali dan Melayu; dan koladi dalam bahasa Mongondow.[17]
Cordia subcordata (jati emas)
Jati emas (Cordia subcordata) merupakan pohon kayu yang penting dengan sifat kayu yang ringan, bertekstur halus, dan agak lunak yang ideal untuk diukir. Kayunya paling sering digunakan untuk membuat aneka perkakas seperti cangkir, mangkuk, dan wadah lainnya; serta hiasan berukir dan alat musik di seluruh Austronesia. Kayunya mudah terbakar dan biasa digunakan di Papua Nugini sebagai kayu bakar. Dalam beberapa budaya, kayunya juga dapat digunakan untuk membuat dayung dan lunas perahu.[86][87] Bijinya juga bisa dimakan, meski hanya sebagai alternatif saat kekurangan pangan. Bagian lainnya juga dapat digunakan untuk pengobatan tradisional dan untuk membuat pewarna. Seperti Calophyllum inophyllum, jati emas umumnya ditanam di situs suci seperti marae. Mereka memiliki makna budaya dan agama di beberapa budaya seperti di Kiribati dan Karimunjawa di Indonesia. Di Hawaii, sudah menjadi tradisi untuk menanam jati emas di pekarangan rumah dan menggunakan bunga jingga cerahnya sebagai lei.[86][88][89][90]
Jati emas, seperti kebanyakan pohon yang disukai masyarakat Austronesia, tumbuh dengan baik di tanah berpasir, tanah liat, dan berbatu serta merupakan komponen umum di hutan pantai dan hutan bakau. Jati emas dulunya dianggap sebagai spesies pendatang, tetapi kini diketahui bahwa spesies ini merupakan spesies asli di sebagian besar pulau dan pesisir Indo-Pasifik, dan berkembang biak secara alami melalui bijinya yang ringan. Namun demikian, mereka masih menjadi spesies introduksi di beberapa pulau, dengan ditanam bersama tumbuh bersama pohon-pohon lainnya seperti di atol-atol di Mikronesia.[86][91][92]
Kumpulan kata serumpun lainnya dapat direkonstruksi menjadi *toRu dalam bahasa Proto-Oseanik, dengan kata serumpun termasuk to-tor dalam bahasa Nehan; to-tol dalam bahasa Petats; tou dalam bahasa Fiji, Tonga, dan Rarotonga; dan kou dalam bahasa Hawaii.[17][93]
Andong, atau sering disebut juga ti atau hanjuang (Cordyline fruticosa) adalah tanaman mirip palem yang dapat tumbuh setinggi 3 hingga 4 m (9,8 hingga 13,1 ft) dengan daun berbentuk memanjang yang melebar di pangkal dan melancip di ujung dan tersusun secara spiral di ujung batang yang ramping. Tanaman ini memiliki beragam variasi warna, mulai dari merah, hijau, dan kuning. Tempat asalnya tidak diketahui, tetapi diyakini berasal dari wilayah Bangladesh, Asia Tenggara Daratan, Tiongkok Selatan, Taiwan, Asia Tenggara Kepulauan, Papua, dan Australia Utara. Tanaman ini memiliki keanekaragaman morfologi tertinggi di Papua dan telah dibudidayakan secara luas di sana. Andong dan anggota lain genus Cordyline sering salah diidentifikasi sebagai anggota famili Dracaena karena sistem klasifikasi di masa lalu yang telah usang.[94][95]
Andong diperkenalkan ke seluruh Oseania oleh orang Austronesia, di mana tanaman ini mencapai Hawaii, Selandia Baru, dan Pulau Paskah pada titik terjauhnya. Varietas andong yang sangat penting di Polinesia adalah varietas berdaun hijau besar yang ditanam untuk diambil rimpangnya yang dapat dimakan. Berbeda dengan varietas andong di Asia Tenggara dan Oseania Dekat, varietas ini hampir seluruhnya mandul di kawasan Oseania Jauh. Perkembangannya hanya bisa dilakukan dengan metode setek dari batang atau rimpangnya. Ada dugaan bahwa hal ini disebabkan oleh seleksi buatan, mungkin karena rimpang yang dihasilkan lebih besar dan kurang berserat sehingga lebih cocok untuk dimakan.[94][96][97]
Andong mempunyai banyak kegunaan tetapi yang paling terkenal adalah sebagai salah satu tanaman penting dalam kepercayaan animisme asli Austronesia, bersama dengan tanaman ara (Ficus spp.). Andong secara luas dianggap memiliki kekuatan mistis atau spiritual dalam berbagai budaya Austronesia (dan juga Papua). Di antara banyak kelompok etnis di Austronesia, tanaman ini dianggap suci. Andong secara luas diyakini dapat menampung roh sehingga berguna dalam menyembuhkan penyakit "kehilangan roh" dan mengusir roh jahat. Andong digunakan dalam pakaian dan ornamen dalam ritual, serta sebagai penanda batas. Varietas merah dan hijau juga umumnya mewakili aspek dualistik dalam budaya dan agama sehingga penggunaannya pun berbeda dalam ritual. Spesimen andong merah umumnya melambangkan darah, perang, dan pertalian antara orang hidup dan orang mati; sedangkan tanaman andong hijau umumnya melambangkan perdamaian dan pengobatan.[98][99][100][96] Andong juga banyak digunakan sebagai obat tradisional, pewarna, dan hiasan di seluruh Austronesia dan Papua.[101] Penggunaan mereka dalam ritual di Asia Tenggara telah menurun seiring masuknya agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen, meski di beberapa wilayah masih digunakan atau bahkan disertakan dalam ritual agama baru.[98]
Di Polinesia, andong berdaun hijau digunakan untuk membungkus makanan, melapisi lubang fermentasi sukun, dan rimpangnya dipanen dan diolah menjadi bubur manis atau minuman mirip madu. Di Hawaii, akarnya juga dicampur dengan air dan difermentasi menjadi minuman beralkohol yang disebut okolehao.[94][102][103][104] Serat yang diperoleh dari daun dapat dijadikan tali pengikat dan perangkap burung.[102] Pemanfaatan andong sebagai makanan, yang awalnya dianggap sebagai tanaman suci dan tabu, diyakini merupakan inovasi dalam budaya Polinesia yang berani sebagai tanggapan atas bencana kelaparan.[98]
Dalam kepercayaan anitisme di Filipina, andong biasanya digunakan oleh babaylan (dukun wanita) saat melakukan ritual perantaraan atau penyembuhan. Kepercayaan umum dalam budaya Filipina adalah bahwa tanaman ini memiliki kemampuan untuk menampung roh. Di kalangan masyarakat Ifugao di Luzon Utara, tanaman ini ditanam di sekitar teras-teras sawah dan perkampungan untuk menangkal roh jahat serta menandai batas lahan pertanian. Daun merahnya dipercaya dapat menarik roh dan dipakai ketika ritual penting sebagai bagian dari hiasan kepala atau dimasukkan ke dalam lengan. Di masa lalu, tanaman ini juga dipakai pada tarian upacara yang disebut bangibang, yang dibawakan oleh pria dan wanita untuk mengenang pejuang yang tewas dalam pertempuran atau pertarungan. Andong juga digunakan untuk menghias benda-benda ritual.[105][106][107][108] Di kalangan orang Palawan, tanaman andong ditanam di pekuburan untuk mencegah jiwa orang mati berubah menjadi roh jahat.[109]
Di Nusantara, tanaman andong digunakan sama seperti di Filipina. Di kalangan masyarakat Dayak, Sunda, Kayan, Kenyah, Berawan, Iban, dan Mongondow, andong merah digunakan sebagai penangkal roh jahat dan penanda batas. Andong juga digunakan dalam ritual-ritual seperti pengobatan dan penguburan dan sangat umum ditanam di hutan larangan dan tempat keramat lainnya.[98][110] Suku Dayak juga mengekstrak pewarna hijau alami dari tanaman andong.[111] Dalam ritual penyembuhan masyarakat Mentawai, roh baik dipikat dengan nyanyian dan sesajian untuk kemudian masuk ke dalam batang andong yang kemudian diberikan pada orang yang sakit.[112] Di kalangan masyarakat Sasak, daun andong hijau digunakan sebagai bagian persembahan kepada makhluk halus oleh para dukun belian.[111] Bagi masyarakat Kanekes, andong hijau melambangkan raga, sedangkan andong merah melambangkan jiwa. Keduanya digunakan dalam ritual penanaman padi.[113][114] Andong juga ditempatkan di pekuburan. Di kalangan orang Bali dan Karo, andong ditanam di dekat desa atau tempat suci keluarga di hutan keramat.[115][116] Di kalangan masyarakat Toraja, tanaman andobg merah digunakan dalam ritual dan sebagai hiasan alat-alat ritual. Di dunia roh, tanaman andong dipercaya memiliki wujud sirip dan ekor roh. Di dunia materi, andong dipakai untuk menarik perhatian roh. Daun merah juga melambangkan darah dan kehidupan serta kejantanan.[117][118][119] Di kalangan masyarakat Ngaju, tanaman andong merupakan simbol dari hutan keramat para leluhur. Andong juga berperan penting dalam upacara yang melibatkan dewa-dewa tinggi. Andong dianggap sebagai simbol "Pohon Kehidupan" yang maskulin, sebagai lawan dari tanaman ara yang menyimbolkan "Pohon Kematian" yang feminin.[98]
Di Papua, andong umumnya ditanam untuk menunjukkan batas kepemilikan tanah untuk bercocok tanam dan juga ditanam di sekitar rumah upacara laki-laki. Ia juga digunakan dalam berbagai ritual dan umumnya dikaitkan dengan darah dan peperangan.[120][121][122] Di kalangan masyarakat Maring, mereka diyakini sebagai rumah bagi "roh merah" (roh manusia yang tewas dalam pertempuran). Sebelum ritual peperangan diadakan, tanaman andong dicabut dan babi dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Setelah gencatan senjata disepakati, andong kembali di batas tanah yang baru tergantung pada hasil pertempuran. Orang-orang yang terlibat dalam ritual lalu menaruh jiwa mereka ke dalam tanaman. Peperangan tersebut telah diberantas oleh pemerintah Papua Nugini, meski sebagian aspek dari ritual tersebut masih bertahan.[100][123] Di kalangan masyarakat Ankave, andong merah merupakan bagian dari mitos penciptaan mereka, di mana diyakini tumbuh di lokasi pembunuhan pertama.[124] Di masyarakat Mendi dan Sulka, andong dijadikan pewarna tubuh, dan daunnya digunakan untuk perhiasan dan ritual penyucian.[125] Di kalangan masyarakat Nikgini, daunnya memiliki kemampuan magis untuk membawa keberuntungan dan digunakan dalam ramalan dan dekorasi peralatan upacara.[126] Di kalangan masyarakat Kapauku, tanaman andong merupakan tanaman yang dihormati sebagai tanaman ajaib dan diyakini sebagai makhluk spiritual itu sendiri. Berbeda dengan tanaman ajaib lainnya yang dikendalikan oleh roh lain, tanaman ini memiliki rohnya sendiri dan cukup kuat untuk memerintah makhluk spiritual lainnya. Tanaman andong merah digunakan dalam ritual sihir putih, sedangkan tanaman andong hijau digunakan dalam ritual ilmu hitam. Andong juga biasa digunakan dalam upacara perlindungan dan pengusiran. Di kalangan masyarakat Baktaman, andong merah digunakan dalam upacara inisiasi, sedangkan andong hijau digunakan untuk penyembuhan. Masyarakat Ok juga memuja tanaman ini sebagai totem kolektif.[98]
Di pulau-pulau kecil Melanesia, andong dianggap keramat oleh berbagai masyarakat penutur bahasa-bahasa Austronesia dan digunakan dalam ritual memohon perlindungan, ramalan, dan kesuburan.[98] Di kalangan masyarakat Kwaio, andong merah dikaitkan dengan permusuhan dan balas dendam, sedangkan andong hijau dikaitkan dengan jiwa para leluhur, penanda hutan keramat, dan penangkal kejahatan. Suku Kwaio membudidayakan varietas ini di sekitar perkampungan mereka.[127] Di kalangan masyarakat Maenge di Britania Baru, daun andong dipakai sebagai rok sehari-hari oleh wanita. Warna dan ukuran daun dapat bervariasi menurut preferensi pribadi dan tren. Kultivar baru dengan warna berbeda diperdagangkan secara teratur dan andong ditanam di dekat desa. Sementara daun andong merah hanya boleh dipakai oleh wanita yang sudah melewati masa pubertas. Andong juga merupakan tanaman terpenting dalam ritual sihir dan penyembuhan Maenge. Beberapa kultivar andong dikaitkan dengan makhluk gaib dan memiliki nama khusus dalam cerita rakyat.[128] Di Vanuatu, daun Cordyline, yang dikenal secara lokal dengan nama Bislamananggaria, dipasang di ikat pinggang dalam tarian tradisional dengan variasi berbeda yang memiliki makna simbolis tertentu. Tanaman Cordyline sering ditanam di luar bangunan nakamal (balai pertemuan).[129] Di Fiji, daun andong merah dijadikan rok pada kostum penari dan digunakan dalam ritual yang didedikasikan untuk arwah orang mati. Andong juga ditanam di sekitar bangunan upacara yang digunakan untuk ritual inisiasi.[98]
Di Mikronesia, daun andong ditanam di bawah rumah yang baru dibangun di Pohnpei untuk menangkal ilmu hitam.[120] Dalam kasus kematian yang tidak diketahui, dukun di Mikronesia berkomunikasi dengan roh orang mati melalui tanaman ini, menyebutkan berbagai penyebab kematian hingga tanaman berguncang.[96] Ada juga bukti arkeologis bahwa rimpang tanaman pernah dimakan di masa lalu di Guam sebelum Periode Latte.[130]
Di Polinesia, andong hijau dibudidayakan secara luas untuk tujuan pangan dan keagamaan. Tanaman ini umumnya ditanam di sekitar rumah, di tempat suci (termasuk marae dan heiau), dan di pemakaman. Daunnya juga dibawa sebagai jimat saat bepergian dan digunakan dalam ritual berkomunikasi dengan spesies liar. Seperti di Asia Tenggara, andong dipercaya secara luas dapat memberi perlindungan dari roh jahat dan nasib buruk; serta bisa menjadi medium roh orang mati serta roh alam.[94][96][102]
Di Hawaii kuno, tanaman ini dianggap memiliki kekuatan spiritual yang besar; hanya kahuna (dukun) dan aliʻi (datu) yang boleh memakai daun andong di leher mereka selama kegiatan ritual tertentu. Andong kerap dikaitkan dengan dewa kesuburan dan pertanian Lono, serta dewi hutan dan hula Laka. Daun andong juga digunakan untuk membuat kalung lei, dan untuk menetapkan batas tanah. Andong juga ditanam di sudut-sudut rumah untuk menghalau roh jahat. Hingga kini, beberapa orang Hawaii menanam andong di dekat rumah mereka untuk menuai keberuntungan. Daunnya juga digunakan untuk kereta luncur lava. Sejumlah daun diikat menjadi satu dan orang-orang menaikinya menuruni bukit. Daunnya juga digunakan untuk membuat pakaian termasuk rok yang dikenakan dalam pertunjukan tari.[131][132][133]
Di Selandia Baru, nama tempat tertentu diambil dari tanaman ti, seperti Hutan Puketī dan Temuka. Tanaman ti di Kaingaroa dikenal sebagai nga tī whakāwe o Kaingaroa ("pohon hantu Kaingaroa"), berdasarkan legenda dua wanita yang diubah menjadi tanaman ti dan kerap membuntuti orang-orang yang bepergian melalui kawasan itu.[102]
Kata dalam bahasa Proto-Melayu-Polinesia yang direkonstruksi untuk tanaman andong adalah *siRi. Kata serumpun termasuk síly dalam bahasa Malagasi; sis dalam bahasa Palau; siy dalam bahasa Ere dan Kurti; jihi dalam bahasa Araki; diri dalam bahasa Arosi; tii-n dalam bahasa Chuuk; si atau ti dalam bahasa Wuvulu; sī dalam bahasa Tonga; tī dalam bahasa Samoa, Tahiti, dan Māori; dan kī dalam bahasa Hawaii. Nama-nama dalam beberapa bahasa juga merujuk pada tanaman puring (Codiaeum variegatum), yang juga memiliki daun berwarna merah atau kuning. Kata turunan *sabaqaŋ dari bahasa Purwa-Melayu-Polinesia Barat juga merujuk pada tanaman puring dan andong.[17][134]
Di Filipina, tanaman ini juga dikenal dengan nama yang berasal dari bahasa Purwa-Austronesia*kilala, yang berarti "mengetahui", karena penggunaannya dalam ritual ramalan. Kata serumpun yang berasal dari penggunaan itu antara lain sagilala dalam bahasa Tagalog; kilála atau kilaa dalam bahasa Bisaya dan Bikolano. Di Selandia Baru, istilah ti juga merujuk pada tanaman asli yang berkerabat dekat dengan andong (Cordyline australis), dengan nama tī kōuka.[17][134]
Dioscorea (ubi)
Ubi (Dioscorea spp.) merupakan kelompok besar tanaman yang dijumpai di seluruh wilayah beriklim tropis di dunia. Berbagai spesies ubi didomestikasi dan dibudidayakan secara mandiri di Asia Tenggara Maritim dan Papua untuk diambil umbinya yang mengandung tepung, termasuk ubi kelapa (Dioscorea alata), gembolo (Dioscorea bulbifera), gadung (Dioscorea hispida), gembili (Dioscorea esculenta), selog (Dioscorea nummularia), tomboreso (Dioscorea pentaphylla), dan ubi pensil (Dioscorea transversa).[135] Dari kesemuanya, hanya ubi kelapa dan gembili yang dibudidayakan dan dimakan secara rutin, sedangkan sisanya hanya dianggap sebagai makanan kelaparan karena beracun sehingga harus diolah dengan tepat sebelum dimakan.[136]
Ubi kelapa dan gembili adalah jenis ubi yang paling cocok untuk pengangkutan jarak jauh dengan kapal oleh pelaut Austronesia dan dibawa ke banyak tempat di dalam jangkauan ekspansi Austronesia. D. alata khususnya, diperkenalkan hingga Oseania dan Selandia Baru. Keduanya juga dibawa oleh petualang Austronesia ke Madagaskar dan Komoro.[63][137][138]
Dioscorea alata (ubi kelapa)
Uwi atau ubi kelapa (Dioscorea alata), juga dikenal sebagai ubi besar atau ubi air, merupakan salah satu tanaman pokok terpenting dalam budaya Austronesia. Ini merupakan spesies utama yang dibudidayakan di antara genus Dioscorea terutama karena umbinya yang jauh lebih besar dan mudahnya pengolahan.[139] Asal muasalnya tidak diketahui, tetapi bukti arkeologi menunjukkan bahwa ubi jenis ini telah dieksploitasi di Asia Tenggara Kepulauan dan Papua sebelum ekspansi Austronesia. Bibit ubi kelapa diketahui tidak dapat melintasi badan air. Keadaan ini membatasi penyebaran spesies ini ke seberang pulau tanpa campur tangan manusia, sehingga dapat menjadi indikator pergerakan manusia yang baik. Beberapa penulis telah mengusulkan habitat aslinya di Asia Tenggara Daratan walau tanpa bukti yang cukup, sementara spesies ini menunjukkan variabilitas fenotipik tertinggi di Filipina dan Papua Nugini.[140][141][142]
Berdasarkan bukti arkeologis dari petak pertanian awal dan sisa-sisa tanaman di situs Rawa Kuk, tanaman ini pertama kali diduga telah didomestikasi di dataran tinggi Papua sekitar 10.000 yang lalu dan menyebar ke Pulau Asia Tenggara melalui kebudayaan Lapita sekitar 4000 tahun yang lampau, bersama dengan D. nummularia dan D. bulbifera. Sebagai imbalannya, D. esculenta kemudian diperkenalkan oleh kebudayaan Lapita ke Papua. Terdapat juga bukti terjadinya revolusi pertanian pada periode ini sebagai konsekuensi kontak dengan masyarakat Austronesia, termasuk pengembangan teknik pertanian di lahan basah.[71][143]
Namun, spesimen yang jauh lebih tua yang diduga merupakan D. alata juga telah ditemukan di Gua Niah di Kalimantan (Pleistosen Akhir, <40.000 tahun yang lalu) dan Gua Ille di Palawan (sekitar 11.000 tahun yang lalu), bersama dengan spesimen gadung (D. hispida) yang harus diolah dahulu sebelum dapat dimakan. Meskipun tidak membuktikan adanya pembudidayaan, hal ini menunjukkan bahwa manusia telah memiliki pengetahuan untuk mengeksploitasi tanaman bertepung dan bahwa D. alata adalah tanaman asli Asia Tenggara Kepulauan.[135][74][75][144][145][146]
Ubi kelapa tetap menjadi tanaman penting di Asia Tenggara. Khususnya di Filipina di mana varian yang berwarna ungu cerah banyak digunakan dalam berbagai makanan penutup tradisional dan modern. Tanaman ini juga tetap penting di Melanesia, karena banyak digunakan dalam upacara. Namun, di Polinesia bagian timur dan Selandia Baru, tanaman ini mulai jarang dibudidayakan setelah masuknya tanaman lain, terutama ubi jalar.[139]
Di antara bahasa-bahasa Oseanik, kata-kata serumpunnya seperti kuh dalam bahasa Nauna; kup dalam bahasa Penchal; uh dalam bahasa Leipon; up dalam bahasa Kuanua; la-huvi dalam bahasa Lakalai; kuvi dalam bahasa Gapapaiwa dan Kilivila; na-uvi dalam bahasa Papapana; uvi dalam bahasa Simbo, Bugotu, Nggela, dan Fiji; ufi dalam bahasa Kwaio, Niue, dan Samoa; uhi dalam bahasa Sa'a, Arosi, Tuamotu, Hawaii, dan Rapa Nui; puauhi dalam bahasa Marquesa; a-uhi dalam bahasa Haununu; o-ovi dalam bahasa Avava; ʻuhi dalam bahasa Rennell; ʻufi dalam bahasa Tonga; upi dalam bahasa Anuta; uʻi dalam bahasa Rarotonga; dan uwhi atau uhi dalam bahasa Maori.[139][17]
Di beberapa kelompok etnis, kata tersebut telah bergeser untuk menyebut jenis ubi-ubian lainnya, termasuk ubi jalar dan ubi kayu.[139][17]
Dioscorea bulbifera (gembolo)
Gembolo (Dioscorea bulbifera), juga dikenal sebagai ubi pahit, adalah salah satu spesies ubi yang jarang dibudidayakan. Biasanya hanya dimakan saat terjadi kelaparan di Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia, dan Polinesia, karena beracun jika tidak dimasak dengan benar. Namun, jenis ubi ini merupakan salah satu dari tiga jenis ubi yang dibawa oleh orang Austronesia ke Oseania Jauh, yang lainnya adalah D. alata dan D. nummularia. Bagian tanaman yang dipanen adalah umbi udara yang berukuran kecil karena gembolo jarang menghasilkan umbi besar di dalam tanah.[23][147]
Istilah rekonstruksi dalam bahasa Proto-Oseankk sebagai *pwatika atau *pʷatik, dengan kata serumpun termasuk puet dalam bahasa Lou; pati dalam bahasa Lamusong; posika dalam bahasa Boanako; dan fasia dalam bahasa Kwara'ae. Namun, dalam bahasa Lamusong maknanya telah bergeser menjadi bermakna gembili, sementara dalam bahasa Boanaki, maknanya telah bergeser ke maksud yang lebih umum untuk aneka ubi-ubian. Terdapat pula kata *balai dalam bahasa Proto-Oseanik yang lebih umum, yang berarti "ubi liar", yang menjadi *palai dalam bahasa Proto-Mikronesia, dengan kata serumpun termasuk parai dalam bahasa Rotuma; palai dalam bahasa Tonga, Niue, dan Samoa; dan pagai dalam bahasa Rennell.[17]
Dioscorea esculenta (gembili)
Gembili atau ubi torak (Dioscorea esculenta) merupakan tanaman ubi terpenting kedua di kalangan orang Austronesia. Seperti halnya ubi kelapa, gembili memerlukan pengolahan yang mudah, tidak seperti spesies ubi pahit lainnya. Namun, umbinya lebih kecil dibandingkan D. alata dan biasanya berduri.[148] Seperti halnya D. alata, tanaman ini diperkenalkan ke Madagaskar dan Komoro oleh orang Austronesia, lalu kemudian menyebar ke pantai Afrika Timur.[149][137][150] Tanaman ini juga merupakan tanaman dominan di Oseania Dekat. Namun, tanaman ini tidak sampai ke pulau-pulau terjauh di Polinesia, serta tidak dijumpai di Hawaii dan Selandia Baru.[151][152][153]
Bulir pati yang diketahui berasal dari gembili telah ditemukan dari situs arkeologi kebudayaan Lapita di Viti Levu, Fiji, berumur sekitar 3.050 hingga 2.500 tahun.[154] Sisa ubi D. esculenta (bersama dengan D. alata, D. bulbifera, D. nummularia, dan D. pentaphylla) juga telah diidentifikasi dari situs Gua Mé Auré di Moindou, Kaledonia Baru, berumur sekitar 2.700 hingga 1.800 tahun.[155] Sisa-sisa D. esculenta juga telah digali dari situs arkeologi di Guam yang berasal dari tahun 1031 M.[130]D. esculenta diyakini telah diperkenalkan oleh orang-orang dari kebudayaan Lapita ke Papua sekitar 4.000 tahun yang lalu, bersamaan dengan inovasi agrikultur lainnya seperti pertanian di sawah serta ladang berpindah.[18][71][143] Pada sejumlah situs arkeologi di Papua, temuan ini dikaitkan dengan kemunculan pemukiman padat penduduk di kawasan pantai.[156]
Istilah ubi torak dalam bahasa Austronesia sebagian besar berbentuk imbuhan atau dua kata yang berasal dari akar kata *qubi untuk D. alata, seperti ufi lei dalam bahasa Samoa, ubi aung dalam bahasa Sunda, dan ubi gembili dalam bahasa Jawa. Istilah untuk ubi torak dapat direkonstruksi dalam bahasa Purwa-Filipina sebagai *tugiq, tetapi kata kerabatnya hanya terbatas di Pulau Luzon, termasuk togi dalam bahasa Ivatan; tugí dalam bahasa Ilokano dan Kankanaey; tugi dalam bahasa Bontoc dan Ifugao; dan tugiʻ dalam bahasa Tagalog.[17] Tidak ada istilah dalam bahasa Proto-Oseanik yang dapat direka ulang untuk ubi torak karena ketiadaannya di Oseania Terpencil. Namun, terdapat istilah hasil reka ulang dalam bahasa Purwa-Oseanik-Barat sebagai *kamisa, *qamisa, atau *mamisa.[157]
Dioscorea hispida (gadung)
Gadung (Dioscorea hispida), berasal dari Asia tropis dan Papua. Tanaman ini hanya sedikit dibudidayakan di Jawa. Di tempat lain, tanaman ini diambil dari alam. Seperti halnya D. bulbifera, tanaman ini mempunyai umbi beracun yang perlu dipersiapkan dengan benar sebelum dapat dimakan, sehingga hanya cocok menjadi makanan kelaparan.[158] Namun, gadung adalah salah satu spesies Dioscorea yang teridentifikasi dari situs arkeologi Gua Niah yang berumur <40.000 tahun.[74][159] Namanya dapat direkonstruksi menjadi *gaduŋ dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia-Barat. Kata serumpun modernnya di sebagian besar bahasa Melayu-Polinesia Barat adalah gadung atau gadong (juga ubi gadung atau ubi gadong). Nama-nama tersebut juga dapat merujuk pada sejenis singkong yang sama-sama beracun.[17]
Ficus (ara)
Ficus adalah genus dari sekitar 850 spesies pohon berkayu, semak, tanaman merambat, epifit, dan hemiepifit dari keluarga Moraceae, yang secara kolektif dikenal sebagai ara. Tanaman ini berasal dari daerah tropis, dengan beberapa spesies meluas ke zona beriklim semihangat. Meski bukan genus eksklusif di wilayah Austronesia, beberapa spesies seperti Ficus dammaropsis, Ficus fistulosa, Ficus hispida, Ficus nota, Ficus pseudopalma, Ficus septica, Ficus variegata, Ficus aspera, Ficus fraseri, Ficus tinctoria, Ficus ulmifolia, Ficus wassa, Ficus mutabilis, Ficus deltoidea, Ficus nota, dan Ficus pseudopalma merupakan hewan endemik di wilayah ini, dan memainkan peran penting dalam kebudayaan Austronesia.[160][161][162][163][164][165][166][167][168][169][170][171]
Ficus aspera
Ficus aspera adalah tanaman asli Vanuatu, di kawasan Pasifik Selatan. Buah tanaman ini berbentuk kembang kol (buah yang terbentuk dari batang utama atau batang berkayu, bukan dari pucuk baru). Ficus aspera dimanfaatkan sebagai tanaman hias.[168][172]
Ficus damaropsis
Ficus dammaropsis, yang dikenal dengan nama kapiak dalam bahasa Tok Pisin, adalah pohon ara tropis dengan daun berlipat berukuran 60 cm yang berasal dari dataran tinggi Papua. Buahnya dapat dimakan, tapi jarang dimakan kecuali sebagai makanan darurat. Daun mudanya dapat diasinkan atau direbus dan dimakan sebagai pendamping lauk babi.[173]
Ficus fraseri
Ficus fraseri, juga dikenal sebagai amplas putih dan merupakan salah satu dari beberapa spesies buah ara yang dikenal sebagai "ara kertas". Tanaman ara ini berasal dari New South Wales dan Queensland di Australia, serta Kaledonia Baru bagian utara dan Vanuatu. Buah ara ini dapat tumbuh dalam bentuk semak belukar atau pohon, dengan ketinggian bervariasi antara 6 hingga 15 meter. Daunnya memiliki panjang 6 hingga 14 cm dan lebar 2,5 hingga 6,5 cm pada tangkai daun dengan panjang 1 hingga 2 cm. Buah ara yang berbentuk bulat memiliki panjang 1 hingga 1,5 cm dan mulai berwarna kuning, kemudian berubah menjadi oranye-merah antara bulan Mei dan Februari di wilayah asli spesies tersebut. Buahnya bisa dimakan tapi rasanya hambar.[174][169][175][176] Meskipun jarang dibudidayakan, tanaman ini termasuk tanaman hias yang tumbuh cepat dan dapat dikembangbiakkan dengan cepat dari bijinya.
Ficus nota
Ficus nota adalah spesies tumbuhan berbunga yang dikenal sebagai tibig, ditemukan di dekat perairan di dataran rendah. Tibig berasal dari Filipina, dan dapat ditemukan pula di bagian utara Kalimantan, di Malaysia Timur. Pohonnya bisa tumbuh setinggi 9 meter.
Buahnya juga bisa dimakan manusia, meski rasanya hambar. Biasanya dimakan dengan gula dan krim di Filipina. Daun mentahnya juga dimakan sebagai sayur.[177][178][179]
Ficus pseudopalma
Ficus pseudopalma, adalah spesies buah ara yang umumnya dikenal sebagai ara Filipina dan ara palem adalah spesies endemik Filipina, khususnya Luzon.[180][181]
Tanaman ini berupa semak yang tumbuh tegak dengan batang gundul dan tidak bercabang, di atasnya terdapat rumpun daun yang membuatnya tampak seperti pohon palem (oleh karena itu disebut pseudopalma yang berarti "palem palsu"). Buahnya berupa berwarna hijau tua yang panjangnya hanya satu inci.[182]
Di Luzon, tumbuhan ini ditemukan di habitat padang rumput dan hutan. Pucuk tanaman ini dikonsumsi sebagai sayuran; daunnya juga memiliki kegunaan obat tradisional; di antaranya adalah untuk mengatasi batu ginjal. Di Wilayah Bikol, tanaman ini dikenal dengan nama lubi-lubi. Tumbuhan ini juga telah digunakan sebagai tanaman hias di Hawaii, tetapi tidak pernah tumbuh liar, karena spesies tawon khusus yang dapat menyerbukinya tidak pernah ada di kepulauan tersebut.[183][184]
Ficus tinctoria
Ficus tinctoria dikenal juga sebagai ara bereteh atau ara bungkuk. Tanaman ini ditemukan di Malaysia, Australia dan pulau-pulau di Pasifik Selatan.
Palem merupakan tanaman inang yang disukai tanaman epifit ini. Sistem akar pada buah ara pewarna dapat tumbuh mandiri, tetapi spesies epifit ini biasanya akan mati jika pohon inangnya mati atau membusuk. Buah ara bereteh berwarna coklat karat merupakan sumber pewarna merah yang digunakan dalam pembuatan kain tradisional di beberapa wilayah Oseania dan Indonesia. Buah ini juga dapat dimakan dan merupakan sumber makanan penting di atol-atol rendah Mikronesia dan Polinesia.[185][186]
Ficus variegata
Ficus variegata, merupakan spesies ara tropis yang ditemukan di berbagai Asia, Kepulauan Pasifik, dan Australia Tenggara.[167][166]
Morinda citrifolia (mengkudu)
Mengkudu atau pace (Morinda citrifolia) berasal dari Asia Tenggara hingga Papua dan Australia bagian utara. Mengkudu tumbuh dengan mudah di pantai dan daerah berbatu. Tanaman ini telah diintroduksi secara luas ke Pasifik. Seluruh bagian tanaman digunakan oleh orang Austronesia untuk pengobatan tradisional dan kayu, tetapi penggunaan tradisional yang paling umum adalah untuk ekstraksi pewarna merah atau kuning. Aroma tumbuhan dan buahnya juga dipercaya dapat mengusir roh jahat. Buahnya bisa dimakan, tapi biasanya hanya dimakan sebagai makanan darurat.[187]
Ada beberapa istilah untuk mengkudu yang dapat direkonstruksi. Yang paling tersebar luas adalah kata Proto-Melayu-Polinesia Tengah-Timur *ñəñu. Kata serumpunnya seperti lino dalam bahasa Kapampangan; nino dalam bahasa Tagalog dan Bikol; ninú dalam bahasa Cebu; nanom atau nonom dalam bahasa Gedaged; nom dalam bahasa Takia; nonu dalam bahasa Bima; nenu-k dalam bahasa Tetun; nenu dalam bahasa Leti dan Asilulu; dan neni dalam bahasa Luang. Kata ini menjadi *ñoñu dalam bahasa Proto-Oseanik, dengan kata serumpun termasuk non dalam bahasa Nali; ñoñ dalam bahasa Leipon dan Wogeo, ñoy dalam bahasa Bipi; nono dalam bahasa Gitua dan Rarotonga; non dalam bahasa Kiribati; nonu dalam bahasa Motu, Tonga, Niue, Futuna, Samoa, Tuvalu, Kapingamarangi, Nukuoro, dan Anuta; dan noni dalam bahasa Hawaii. Dalam beberapa bahasa, maknanya telah bergeser menjadi "pohon kecil" atau "semak" atau terkait dengan Morinda umbellata dan Morinda bracteata.[17]
Ada juga rangkaian kata kerabat yang cakupannya lebih kecil, seperti *apatut dalam bahasa Purwa-Filipina untuk pohonnya dan *gurat dan *kurat dalam Purwa-Oseanik untuk pewarna merah yang dihasilkan dari pohon.[17]
Musa (pisang)
Pisang (Musa spp.) didomestikasi pertama kali terhadap individu partenokarpi (tanpa biji) dari Musa acuminata banksii di Pulau Papua, jauh sebelum kedatangan penutur bahasa Austronesia. Banyak sisa-sisa pisang telah ditemukan dari situs arkeologi Rawa Kuk yang berumur sekitar 10.000 hingga 6.500 tahun. Dari Papua, pisang domestik menyebar ke arah barat menuju Asia Tenggara Kepulauan. Mereka terhibridasi dengan subspesies Musa acuminata lainnya (yang mungkin didomestikasi secara independen) serta Musa balbisiana di Filipina, Papua bagian utara, dan Halmahera. Peristiwa hibridisasi ini menghasilkan kultivar pisang triploid yang umum ditanam hingga kini. Di Asia Tenggara Kepulauan, pisang menjadi salah satu tanaman penting orang Austronesia dan turut disebarkan melalui jalur perdagangan dan pelayaran maritim kuno ke Oseania, Afrika Timur, Asia Selatan, dan Indochina.[6][188][189]
Introduksi kuno ini menghasilkan subkelompok pisang yang sekarang dikenal sebagai pisang sejati, yang mencakup pisang matoke dari Afrika Timur dan pisang Pasifik (subkelompok Iholena dan Maoli-Popo'ulu). Pisang matoke dari Dataran Tinggi Afrika Timur berasal dari pisang yang diintroduksi ke Madagaskar mungkin dari wilayah antara Jawa, Kalimantan, dan Papua; sedangkan pisang Pasifik diperkenalkan ke Pasifik dari bagian timur Papua atau Kepulauan Bismarck.[6][188]
Gelombang introduksi kedua kemudian membawa pisang ke wilayah lain di Asia tropis, khususnya Indochina dan anak benua India.[6][188]
Musa textilis (pisang abaka)
Pisang abaka atau pisang manila (Musa textilis) ditanam secara tradisional untuk diambil seratnya di Filipina. Serat ini pernah menjadi salah satu serat terpenting di dunia, yang dihargai karena penggunaannya dalam pembuatan kain yang lembut, berkilau, dan halus. Serat abaka adalah komoditas ekspor mewah Filipina selama Era Kolonial, dan dibawa ke Hawaii dan Amerika Tengah oleh orang Eropa. Namun, kini serat abaka telah digantikan oleh serat sintetis seperti rayon dan nilon.[190]
Musa × troglodytarum (pisang fe'i)
Pisang fe'i (Musa × troglodytarum), juga disebut pisang tongka langit atau pisang ranggap adalah kultivar pisang unik khas Melanesia, Kepulauan Maluku, dan Polinesia. Berbeda dengan kultivar pisang domestik lainnya yang berasal dari Musa acuminata dan Musa balbisiana, pisang fe'i diyakini merupakan hibrida yang berasal dari spesies yang sama sekali berbeda. Nenek moyang pisang fe'i yang diusulkan termasuk Musa jackeyi, Musa lolodensis, Musa maclayi, dan Musa peekelii, kesemuanya berasal dari Papua dan pulau-pulau di sekitarnya. Seperti pisang lainnya, pisang ini tersebar ke timur hingga Polinesia dan digunakan sebagai bahan pangan. Namun, pisang ini tidak dijumpai di Asia Tenggara Kepulauan dan hanya mencapai Maluku.[190]
Padi (Oryza sativa) adalah salah satu makanan pokok orang Austronesia yang tertua, dan kemungkinan besar telah didomestikasi oleh nenek moyang mereka jauh sebelum ekspansi Austronesia berlangsung. Padi tetap menjadi tanaman utama yang dibudidayakan di Asia Tenggara Maritim hingga kini.[191]
Distribusi spasial padi, jelai, dan lokasi pertanian keduanya di Tiongkok Neolitikum (He dkk., 2017)[192]
Perkiraan jalur persebaran padi awal, beserta perkiraan urheimat (sekitar 5.500 hingga 2.500 tahun yang lalu). Perkiraan garis pantai pada masa Holosen awal ditunjukkan dengan warna biru muda. (Bellwood, 2011)[191]
Terdapat dua kawasan yang disinyalir merupakan tempat dimulainya domestikasi padi dan pengembangan teknologi agrikultur lahan basah. Yang pertama, dan paling mungkin, berada di hilir Sungai Panjang, yang diyakini sebagai kediaman penutur bahasa-bahasa Austronesia awal yang terkait dengan kebudayaan Kauhuqiao, Hemudu, Majiabang, dan Songze. Kebudayaan mereka ditandai dengan inovasi khas Austronesia berupa rumah panggung, ukiran giok, dan teknologi pelayaran. Makanan mereka juga dilengkapi dengan akorn, purun tikus, kacang rubah, dan babi domestik.[191][193][194][195][196][192][197]
Penyebaran budi daya padi japonica ke Asia Tenggara diawali dengan perpindahan orang-orang Austronesia dari kebudayaan Dapenkeng ke Taiwan antara tahun 5.500 hingga 4.000 tahun yang lalu. Situs Nanguanli di Taiwan, berumur sekitar 4.800 tahun telah menghasilkan banyak sisa padi dan jelai yang terkarbonisasi dalam kondisi tergenang air, yang menunjukkan budi daya padi di lahan basah yang intensif dan budi daya jelai di lahan kering.[191]
Dari sekitar 4.000 hingga 2.500 tahun yang lalu, ekspansi Austronesia bermula, dengan pergerakan pemukim dari Taiwan ke selatan menuju Luzon di utara Filipina, sambil membawa serta teknologi pertanian padi. Dari Luzon, bangsa Austronesia dengan cepat menduduki seluruh Nusantara, bergerak ke barat menuju Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan Sumatra; dan ke selatan sampai Sulawesi dan Jawa. Telah ditemukan bukti yang menunjukkan pertanian padi di sawah yang intensif telah dilakukan di Jawa dan Bali sejak 2500 tahun yang lalu, di sekitar gunung berapi yang tanahnya subur.[191]
Namun, padi (beserta anjing dan babi) tidak dapat bertahan dalam pelayaran pertama bangsa Austronesia ke Mikronesia karena jauhnya jarak yang mereka tempuh. Para penjelajah inilah yang menjadi leluhur kebudayaan Lapita. Pada saat mereka bermigrasi ke selatan menuju Kepulauan Bismarck, mereka telah kehilangan kemampuan bertani padi berikut pemeliharaan babi dan anjing. Namun, pengetahuan mengenai pertanian sawah pada akhirnya diadaptasi dalam budi daya talas. Kebudayaan Lapita di Bismarck menjalin kembali kontak dengan orang-orang Austronesia lainnya di Asia Tenggara Kepulauan.[191]
Kebudayaan Lapita juga bersentuhan dengan para petani awal non-Austronesia (Pribumi Papua) dan memperkenalkan teknik pertanian basah kepada mereka. Sebagai gantinya, mereka memperoleh pengetahuan budi daya buah-buahan dan umbi-umbian lokal beserta pengetahuan memelihara anjing dan babi domestik, sebelum kemudian menyebar lebih jauh lagi ke timur ke pulau-pulau kecil di Melanesia dan Polinesia.[191]
Padi, bersama dengan tanaman pangan khas Asia Tenggara lainnya juga diperkenalkan ke Madagaskar, Komoro, dan pesisir Afrika Timur pada sekitar milenium pertama Masehi oleh para pengelana Austronesia dari Kepulauan Sunda Besar.[137]
Pelayaran Austronesia dari Asia Tenggara Kepulauan kemudian berhasil membawa beras ke Guam selama Zaman Latte (1.100 hingga 300 BP). Guam adalah satu-satunya pulau di Oseania di mana padi telah ditanam sejak masa prakolonial.[198][199]
Pandanus (pandan)
Pandan (Pandanus spp.) merupakan tanaman budi daya yang penting di Pasifik, nomor dua setelah kelapa dalam hal kegunaan dan penyebarannya. Setiap bagian tumbuhan dapat dimanfaatkan, baik untuk makanan, bahan bangunan, obat tradisional, serta bahan anyaman dalam berbagai kebudayaan di Austronesia. Tumbuhan (khususnya bunganya yang harum) juga memiliki makna spiritual di dalam animisme Austronesia.[200][201]
Pandan juga sangat penting dalam kemajuan ekspansi Austronesia. Daunnya dapat dianyam menjadi layar kapal cadik Austronesia. Layar ini memungkinkan orang Austronesia melakukan perjalanan jarak jauh. Namun, dalam beberapa kasus, perjalanan ini hanya satu arah. Kegagalan pandan untuk tumbuh di Rapa Nui dan Aotearoa diyakini telah mengisolasi kedua daerah tersebut dari wilayah Polinesia lainnya.[202][201]
Kata pandan dalam bahasa Austronesia berasal dari kata rekonstruksi Purwa-Austronesia*paŋudaN, yang menjadi *padran dalam Purwa-Oseanik dan *fara dalam Purwa-Polinesia, dua kata terakhir biasanya merujuk secara spesifik pada Pandanus tectorius. Kata serumpun dalam bahasa Austronesia modern antara lain pangətanə dalam bahasa Kanakanavu; panadan dalam bahasa Thao dan Bunun; pandan dalam bahasa Tagalog dan Melayu; pahong dalam bahasa Chamorro; pondang dalam bahasa Ratahan; pandang dalam bahasa Manggarai; fandrana dalam bahasa Malagasi; fada-da dalam bahasa Lau; vadra dalam bahasa Fiji; fala dalam bahasa Samoa; fā dalam bahasa Tonga; fara dalam bahasa Tahiti; hala dalam bahasa Hawaii; dan whara atau hara dalam bahasa Maori. Namun, dalam bahasa-bahasa Formosa yang digunakan penduduk asli Taiwan, arti kata tersebut umumnya telah bergeser menjadi "nanas", tanaman hasil introduksi oleh orang Eropa yang secara fisik mirip. Dalam bahasa Māori juga, maknanya telah bergeser menjadi Astelia spp. dan Phormium tenax (harakeke), tanaman serupa yang digunakan untuk membuat tenunan, karena pandan tidak bertahan dalam perjalanan ke Aotearoa.[203][204]
Pandan tumbuh dengan baik di habitat pulau, sangat toleran terhadap garam dan mudah diperbanyak, menjadikannya tanaman ideal bagi para petualang Austronesia awal. Seperti halnya kelapa, tanaman ini banyak tumbuh di sepanjang garis pantai, hutan bakau, dan ekosistem pesisir lainnya. Mereka juga dapat ditemukan di bagian bawah hutan di pedalaman pulau-pulau besar. Jenis lainnya juga dapat ditemukan di hutan dataran tinggi, kemungkinan besar ditanam oleh manusia. Pandan dan kelapa beradaptasi untuk menahan angin kencang yang sering menjadi topan di Indo-Pasifik. Pusat keanekaragaman pandan terbesar adalah Pasifik bagian barat dan Asia Tenggara Kepulauan. Genus ini mempunyai sekitar 600 spesies, sementara spesies yang paling penting dan paling tersebar luas dalam budaya Austronesia adalah Pandanus tectorius atau pandan duri.[205]
Pandanus tectorius di Oseania menunjukkan bukti budi daya jangka panjang, dengan ratusan kultivar berbeda yang dibiakkan secara selektif yang terutama diperbanyak melalui stek. Varietas-varietas ini seringkali memiliki nama yang berbeda dalam bahasa lokal dan mempunyai ciri fisik yang berbeda. Varietas ini umumnya dibedakan berdasarkan warna dan apakah buahnya bisa dimakan, serta dapat pula dibedakan berdasarkan hal lain seperti warna dan bentuk daun yang digunakan untuk menenun.[205]
Fosil Pandanus tectorius yang sangat tua telah ditemukan di Hawaii, berusia lebih dari 1,2 juta tahun. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman tersebut pernah sampai di Hawaii (dan kemungkinan besar kepulauan Pasifik lainnya) secara alami melalui buahnya yang ringan. Namun, varietas hasil domestikasi yang dapat dimanfaatkan disebark oleh orang Austronesia dari pulau ke pulau. Apalagi, pandan liar memiliki kristal kalsium oksalat (rafid) di jaringan buahnya yang menyebabkan gatal dan iritasi jika dimakan mentah sehingga perlu dimasak. Oleh karena itu, varietas yang didomestikasi yang memiliki lebih sedikit rafid (yang juga biasanya lebih sedikit berserat dan lebih bergizi), lebih dihargai dan kemudian diintroduksi.[205][201] Terdapat juga bukti fosil buah pandan yang dipanen untuk dimakan di Papua dari situs arkeologi yang berumur sekitar 34.000 hingga 36.000 yang lalu.[201]
Spesies pandan penting lainnya yang dimanfaatkan oleh orang Austronesia antara lain Pandanus amaryllifolius, Pandanus odorifer, Pandanus furcatus, Pandanus julianettii, Pandanus simplex, Pandanus utilis, Pandanus dubius, dan Pandanus whitmeeanus. Pandanus odorifer atau pandan laut tersebar luas di Mikronesia bagian barat hingga Asia Tenggara Kepulauan dan Asia Selatan. Spesies ini diduga merupakan subspesies dari Pandanus tectorius yang berhibridisasi.[205]Pandanus amaryllifolius atau pandan wangi adalah spesies penting lainnya yang banyak digunakan sebagai bumbu masakan oleh orang Asia Tenggara karena daunnya yang harum.[206]
Sirih (Piper betle) merupakan salah satu dari dua tumbuhan yang menjadi bahan utama dalam tradisi menginang selain pinang (Areca catechu). Ini adalah salah satu praktik masyarakat Austronesia yang paling banyak ditemui. Cara konsumsinya adalah dengan mengambil sehelai daun sirih, lalu menggunakannya untuk membungkus pinang dan sedikit kapur (diperoleh dari kulit kerang yang dihaluskan) kemudian dikunyah beberapa saat. Sirih memberikan efek stimulan, menyebabkan sedikit pusing diikuti dengan euforia dan kewaspadaan. Kebiasaan ini dapat menimbulkan efek ketagihan, merusak gigi dan gusi, serta membuat gigi menjadi merah.[209][25]
Berdasarkan bukti arkeologi, linguistik, dan botani, mengunyah sirih paling erat kaitannya dengan budaya Austronesia, meskipun sudah diadopsi secara luas oleh budaya tetangga pada zaman prasejarah dan sejarah. Habitat asli sirih tidak diketahui, namun Areca catechu diketahui berasal dari Filipina, di mana tanaman tersebut memiliki keragaman morfologi terbesar serta jumlah spesies endemik yang berkerabat dekat terbanyak. Tidak diketahui kapan keduanya digabungkan, karena pinang sendiri dapat dikunyah karena sifat narkotikanya.[209] Namun, di Indonesia Timur, daun dari Piper caducibracteum liar (dikenal sebagai sirih hutan) juga diambil dan digunakan sebagai pengganti daun sirih.[210]
Bukti nyata tertua mengenai kebiasaan mengunyah sirih berasal dari Filipina. Khususnya beberapa individu yang ditemukan di lubang pemakaman di situs Gua Duyong di Palawan yang berusia sekitar 4.630±250 tahun. Gigi rangkanya bernoda, ciri khas seorang penginang. Di kuburan tersebut juga terdapat cangkang Anadara yang digunakan sebagai wadah kapur, di mana salah satunya masih berisi kapur. Situs pemakaman di Bohol yang berasal dari milenium pertama Masehi juga menunjukkan ciri khas noda kemerahan akibat mengunyah sirih. Berdasarkan bukti linguistik tentang bagaimana istilah Purwa-Austronesia*buaq yang awalnya berarti "buah" kemudian merujuk pada "pinang" dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia, diyakini bahwa mengunyah sirih awalnya berkembang di suatu tempat di Filipina tidak lama setelah permulaan ekspansi Austronesia (~5.000 tahun yang lalu). Dari Filipina, tradisi ini menyebar kembali ke Taiwan dan selanjutnya ke seluruh Austronesia.[209]
Sirih mencapai Mikronesia sekitar 3.500 hingga 3.000 tahun yang lalu bersama penjelajah Austronesia, berdasarkan bukti linguistik dan arkeologi.[211] Sirih juga ada dalam kebudayaan Lapita, berdasarkan peninggalan arkeologi dari Mussau bertanggal sekitar 3.600 hingga 2.500 BP. Namun, sirih tidak mencapai Polinesia di timur. Ia diyakini berhenti di Kepulauan Solomon karena adanya penggantian sirih dengan tradisi minum kava yang diolah dari tumbuhan kerabat Piper methysticum.[212][17] Sirih juga menyebar ke Afrika Timur melalui pemukiman Austronesia di Madagaskar dan Komoro sekitar abad ke-7.[209]
Terdapat sebuah klaim lama bahwa tradisi menginang setidaknya berumur 13.000 tahun yang lalu di Rawa Kuk di Papua Nugini, berdasarkan temuan jejak spesimen Areca sp. Namun, kini diketahui bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh kontaminasi pada sampel. Klaim serupa juga dibuat di lokasi lain yang lebih tua dengan temuan Areca sp, tetapi tidak ada satu pun yang dapat diidentifikasi secara pasti sebagai A. carechu serta hubungannya dengan tanaman sirih sangat lemah atau bahkan tidak ada sama sekali.[209]
Ada banyak rangkaian kata kerabat yang dapat direka ulang dalam bahasa Austronesia yang artinya berkaitan dengan berbagai aspek menginang. Mulai dari mengunyah sesuatu tanpa ditelan, peralatan yang digunakan untuk memanjat pohon pinang, hingga ludah sirih. Satu set kata serumpun yang dapat direkonstruksi untuk sirih adalah *Rawed dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia-Barat yang menjadi *gawed dalam bahasa Purwa-Filipina, dengan kata serumpun termasuk gaod dalam bahasa Yami, gawed dalam bahasa Itbayat; gawéd dalam bahasa Ilokano; khawád dalam bahasa Isnag; gawə́d dalam bahasa Casiguran Dumagat; kawed dalam bahasa Ibaloi; lawɨ'd dalam bahasa Balangaw; lawód dalam bahasa Kalagan; dan auat atau awet dalam bahasa Kenyah Kelinyau.[17]
Dua rangkaian kata serumpun lainnya mencapai Oseania. Yang pertama adalah *pu-pulu dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia, yang menjadi *[pu-]pulu dalam bahasa Purwa-Oseanik. Kata serumpun termasuk ulo dalam bahasa Mussau ulo; pun dalam bahasa Loniu; pun atau puepun dalam bahasa Bipi; ul dalam bahasa Lukep; ful dalam bahasa Takia; fu dalam bahasa Gedaged fu; ulusalaga dalam bahasa Manam; dan vu-vulu dalam bahasa Bugotu. Yang lainnya adalah *siqa(r,R)(a) dalam bahasa Purwa-Meso-Melanesia dengan kata serumpun termasuk sie dalam bahasa Kara dan Lihir; Tabar sia dalam bahasa Tabar; sier dalam bahasa Patpatar; ier dalam bahasa Kuanua; hiara dalam bahasa Nehan; sil dalam bahasa Petatrs; hia(kuru) dalam bahasa Teop; (ta)sian dalam bahasa Tinputz; siɣana dalam bahasa Banoni; dan hirata dalam bahasa Marovo.[25][215]
Piper cubeba (kemukus)
Kemukus (Piper cubeba) berasal dari Asia Tenggara Kepulauan. Namun, seperti halnya Piper retrofractum, tanaman ini hanya dibudidayakan secara luas di Kepulauan Sunda Besar untuk perdagangan rempah. Orang Jawa mempertahankan monopoli perdagangan dengan mensterilkan benih sebelum menjualnya. Baunya menyengat, sering dibandingkan dengan merica Jamaika, cukup berbeda dengan lada-ladaan lainnya. Rasanya juga sedikit pahit. Tanaman ini penting karena telah mencapai Yunani pada zaman kuno melalui Jalur Sutra. Kemukus adalah rempah-rempah langka yang berharga di Eropa Abad Pertengahan dan Timur Tengah, termasyhur karena memiliki khasiat obat dan magis. Para tabib Arab abad pertengahan biasa menggunakannya untuk berbagai pengobatan, mulai dari mengobati kemandulan hingga penawar racun. Kemukus juga disebutkan dalam cerita Seribu Satu Malam serta Perjalanan Marco Polo. Perdagangannya berkurang selama Era Kolonial ketika Imperium Portugal melarang impor kemukus guna mempromosikan lada hitam yang diproduksi oleh koloninya sendiri.[216][217][218][219]
Piper excelsum (kawakawa)
Kawakawa (Piper excelsum) adalah pohon kecil atau semak endemik Selandia Baru dan di Pulau Norfolk dan Pulau Lord Howe yang ada di dekatnya. Tanaman ini dieksploitasi oleh pemukim Austronesia berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang kava karena kava tidak dapat bertahan hidup di iklim yang lebih dingin di Aotearoa. Nama Māori untuk tumbuhan tersebut, kawakawa, berasal dari kata yang sama untuk kava, tetapi digandakan. Kawakawa merupakan tanaman suci di kalangan orang Māori. Dilihat sebagai lambang kematian, berpasangan dengan rangiora (Brachyglottis repanda) yang merupakan lambang kehidupan. Dahan kawakawa sering digunakan dalam ritual penyucian..[220]
Namun, kemiripan kawakawa dengan kava asli hanya sepintas saja. Akar kawakawa tidak memiliki sifat psikoaktif. Sebaliknya, kegunaan utama kawakawa adalah untuk pengobatan tradisional.[220]
Piper methysticum (kava)
Kava (Piper methysticum) adalah pohon kecil atau semak yang diyakini telah didomestikasi di Papua atau Vanuatu oleh orang Melanesia. Taman inipercaya sebagai varietas domestik Piper subbullatum yang berasal dari Papua dan Filipina.[215]
Tanaman ini disebarkan oleh orang Austronesia setelah melakukan kunjungan ke seluruh Polinesia. Tanaman ini endemik di Oseania dan tidak ditemukan di wilayah Austronesia lainnya. Kava memiliki makna budaya dan agama yang penting di kalangan orang Polinesia. Akarnya ditumbuk dan dicampur air kemudian disaring melalui ijuk. Cairan abu-abu keruh yang dihasilkan terasa pahit dengan sifat psikoaktif dan narkotika ringan, dengan efek umum berupa mati rasa di sekitar bibir dan mulut. Namun, cairan ini tidak bersifat halusinogen atau membuat ketagihan. Potensi akar tergantung pada umur tanaman. Daun dan akarnya juga bisa dikunyah langsung sehingga menimbulkan efek mati rasa dan relaksasi. Secara tradisional juga dikonsumsi baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam ritual religius. Persebaran kava menjangkau Hawaii, tetapi tidak dengan Aotearoa karena tidak dapat tumbuh.[215][212][221]
Konsumsi kava juga diyakini menjadi alasan mengapa kebiasaan menginang yang banyak dilakukan di tempat lain, tidak lagi dipraktikkan oleh masyarakat Austronesia di Oseania.[17]
Menurut Lynch (2002), istilah Purwa-Polinesia yang direkonstruksi untuk tumbuhan, *kava, berasal dari istilah Purwa-Oseanik *kawaRi dalam arti "akar pahit" atau "akar kuat [digunakan sebagai racun ikan]". Awalnya mengacu pada Zingiber zerumbet, yang digunakan untuk membuat minuman pahit psikoaktif ringan serupa dalam ritual Austronesia. Kata serumpun untuk *kava termasuk sa-kau dalam bahasa Pohnpei; kava dalam bahasa Tonga, Niue, Rapa Nui, Tuamotu, dan Rarotonga; ʻava dalam bahasa Samoa dan Marquesa; dan ʻawa dalam bahasa Hawaii. Dalam beberapa bahasa, misalnya kawa dalam bahasa Maori, kata serumpunnya dapat bermakna "pahit", "asam", atau "tajam" seperti rasanya.[215][222][211][25]
Di Kepulauan Cook, istilah kawakawa atau kavakava yang menunjukkan penggandaan juga diterapkan pada anggota genus Pittosporum yang tidak berkerabat. Dan dalam bahasa lain seperti Futuna, istilah majemuk seperti kavakava atua merujuk pada spesies lain yang termasuk dalam genus Piper. Penggandaan bentuk dasar menunjukkan kepalsuan atau kemiripan, dalam arti "kava palsu".[220][221]
Terdapat dua pusat domestikasi tebu (Saccharum spp.): satu untuk Saccharum officinarum oleh orang Papua di Papua dan satu lagi adalah Saccharum sinense oleh orang Austronesia di Taiwan dan Tiongkok Selatan. Masyarakat Papua dan Austronesia awalnya memanfaatkan tebu sebagai makanan babi domestik. Penyebaran S. officinarum dan S. sinense terkait erat dengan migrasi orang-orang Austronesia.[224][225]
Saccharum officinarum pertama kali didomestikasi di Papua dan pulau-pulau di sebelah timur Garis Wallace oleh warga Papua, yang merupakan pusat keanekaragaman modern. Mulai dari sekitar 6.000 tahun yang lalu mereka dibiakkan secara selektif dari spesies asli Saccharum robustum. Dari Papua, tebu menyebar ke arah barat ke Asia Tenggara Kepulauan melalui kontak dengan orang Austronesia, di mana spesies ini berhibridisasi dengan Saccharum spontaneum.[225]
Pusat domestikasi kedua adalah daratan Tiongkok bagian selatan dan Taiwan di mana S. sinense (meskipun penulis lain mengidentifikasinya sebagai S. spontaneum) merupakan salah satu tanaman utama asli masyarakat Austronesia setidaknya sejak 5.500 tahun yang lalu. Introduksi S. officinarum yang lebih manis mungkin secara bertahap menggantikannya di seluruh wilayah budi dayanya di Asia Tenggara Kepulauan.[18][223][226][227] Dari Asia Tenggara Kepulauan, S. officinarum disebarluaskan ke arah timur ke Polinesia dan Mikronesia oleh pengelana Austronesia sebagai tanaman kano sekitar 3.500 tahun yang lalu. Spesies ini juga menyebar ke arah barat dan utara sekitar 3.000 tahun yang lalu ke Tiongkok dan India oleh para pengelana Austronesia, di mana ianya dihibridisasi dengan Saccharum sinense dan Saccharum barberi. Dari sana, tebu menyebar lebih jauh ke barat Eurasia dan Mediterania.[225][223]
Genus Syzigium atau jambu-jambuan memiliki banyak tumbuhan penghasil buah-buahan yang penting di kalangan orang Austronesia. Sejumlah spesies yang dibudidayakan atau dipanen untuk diambil buahnya termasuk jamblang (Syzygium cumini), jambu mawar (Syzygium jambos), lubeg (Syzygium lineatum), maire rawa (Syzygium maire), jambu bol (Syzygium malaccense), lipote (Syzygium polycephaloides), dan jambu semarang (Syzygium samarangense), dan lain-lain. Dua spesies juga merupakan sumber rempah-rempah yang penting: cengkeh (Syzygium aromaticum) dan daun salam (Syzygium polyanthum).[18]
Tanaman ini dihargai terutama karena buahnya yang melimpah dan dapat dimakan. Kayunya juga dimanfaatkan (biasanya untuk membangun rumah) dan bagian lain dari pohonnya digunakan dalam pengobatan tradisional. Bunganya yang menarik juga dipakai sebagai hiasan rambut pribadi dan pembuatan lei. Tanaman ini terutama diperbanyak melalui setek oleh penduduk Melanesia dan Polinesia. Perkebunan jambu bol yang ditemukan di Pasifik sering kali merupakan sisa-sisa penanaman kuno, karena biji buahnya terlalu besar untuk disebarkan oleh burung asli. Spesies terkait yang endemik di Kepulauan Pasifik juga digunakan dengan cara yang sama, seperti Syzygium corynocarpum dan Syzygium neurocalyx.[10][232][231]
Ada banyak nama jambu bol dalam bahasa Austronesia. Di Filipina, nama buah ini dapat direkonstruksi menjadi *makúpa dalam bahasa Purwa-Filipina, dengan kata serumpun termasuk makúpa dalam bahasa Ilokano, Aklanon, dan Cebuano; dan makópa dalam bahasa Tagalog dan Bikol.[17]
Di Oseania, terdapat beberapa rangkaian kata kerabat yang dapat direkonstruksi untuk jambu bol dan spesies terkait. Empat di antaranya adalah *pokaq, *marisapa, *sakau, dan *cay, dengan refleks terbatas dan mungkin awalnya merujuk pada spesies lain. Namun, himpunan kata serumpun yang paling tersebar luas dapat direkonstruksi menjadi *kapika dalam bahasa Proto-Oseanik. Kata kerabatnya termasuk kaviu dalam bahasa Mussau; ahi dalam bahasa Seimat, keik dalam bahasa Lou; gaiva dalam bahasa Maenge dan Nakanai; kapig dalam bahasa Tami; àing dalam bahasa Yabem; gavika dalam bahasa Motu; kavika dalam bahasa Bola; kapika dalam bahasa Babatana; gaviga dalam bahasa Gela; ʻafiʻo dalam bahasa Kwara'ae; ahie dalam bahasa Paam; kavika dalam bahasa Niue, Wayan, Wallis, dan Fiji; fekika dalam bahasa Tonga; kapika dalam bahasa Anuta; kehika dalam bahasa Marquesa; keʻika dalam bahasa Mangareva; ʻahiʻa dalam bahasa Tahiti; ʻoohiaʻai dalam bahasa Hawaii; kaʻika dalam bahasa Rarotonga; kahika dalam bahasa Maori. Dalam bahasa Māori, namanya justru merujuk pada Metrosideros fulgens, yang memiliki bunga serupa, karena tumbuhan asli Nusantara ini tidak tumbuh di Aotearoa.[17][215]
Taka merupakan makanan pokok minor di kalangan orang Austronesia. Akarnya akan terasa pahit jika tidak diolah dengan benar, sehingga hanya dibudidayakan sebagai tanaman sekunder setelah tanaman pokok lain seperti ubi rambat dan keladi. Taka lebih sering dikonsumsi di Kepulauan Pasifik, di mana tanaman pangan sangat langka, dan tanaman pangan ini diperkenalkan ke hampir semua pulau yang berpenghuni. Mereka dihargai karena kemampuannya untuk tumbuh di pulau-pulau rendah dan atol dan sering kali menjadi tanaman pangan utama di pulau-pulau dengan kondisi seperti ini. Di pulau-pulau besar, taka biasanya dibiarkan tumbuh liar dan hanya berguna sebagai makanan darurat. Beberapa kultivar telah dikembangkan di Polinesia melalui seleksi buatan selama ribuan tahun. Pati yang diekstrak dari akarnya dengan cara tradisional dapat bertahan lama sehingga dapat disimpan atau dijual.[233] Patinya bisa dimasak dengan daun untuk membuat agar-agar bertepung.[235] Seiring introduksi tanaman modern, taka jarang dibudidayakan pada masa kini.[233]
Nama-nama taka dalam bahasa Austronesia mencerminkan fungsi sekundernya sebagai tanaman pangan. Tanaman ini sering kali merupakan penugasan ulang dari nama tanaman pati lainnya, bukan khusus untuk tanaman ini. Biasanya, nama taka berasal dari nama tanaman rumbia (Metroxylon sagu), daluga (Cyrtosperma merkusii), dan sukun fermentasi (Artocarpus altilis).[215]
Waru (Talipariti tiliaceum) adalah pohon yang umum ditemukan di pantai-pantai di kawasan tropis Indo-Pasifik. Waru banyak digunakan oleh masyarakat Austronesia untuk diambil kayu dan seratnya. Waru mempunyai beberapa subspesies, dua di antaranya endemik di Filipina dan Sulawesi, dan sisanya tersebar luas di seluruh Asia Tenggara dan Oseania. Benih waru tetap dapat bertahan selama berbulan-bulan setelah terapung di laut. Namun, tidak ada sisa tanaman waru yang ditemukan di Polinesia sebelum kedatangan orang Austronesia, sehingga jelas bahwa tanaman waru adalah hasil introduksi oleh para pengelana Austronesia.[236][237]
Kayunya lunak dan tidak terlalu tahan lama, sehingga kebanyakan hanya digunakan untuk produk kecil seperti ukiran, tombak, mangkuk, dan gelang. Namun, bahan ini juga tahan terhadap air asin sehingga dapat digunakan untuk membuat kano kecil dan cadik. Kayunya juga disukai untuk membuat api dengan cara gesekan. Serat yang dihasilkan dari kulit kayu banyak digunakan untuk membuat tali pengikat atau sambungan kayu. Kulit kayunya juga digunakan dalam pembuatan tempe di Asia Tenggara, dan minuman kava di Polinesia. Bunga-bunganya yang elok biasanya dirangkai menjadi lei di Hawaii.[238]
Selain itu, ada banyak istilah yang berkaitan dengan penggunaan waru untuk tali pengikat dan serat dalam berbagai bahasa Austronesia yang dapat berkerabat dengan mata Purwa-Melayu-Polinesia atau Purwa-Austronesia*Calis yang artinya "tali".[17]
Thespesia populnea (waru laut)
Waru laut (Thespesia populnea) berkerabat dekat dengan waru. Penampilannya mirip dan tumbuh di habitat yang sama, sehingga sering tertukar satu sama lain. Waru laut juga banyak dimanfaatkan dalam kebudayaan Austronesia, karena menghasilkan serat kayu yang bisa dijadikan tali pengikat dan kayu untuk perahu cadik ataupun seni ukir Austronesia. Waru laut berasal dari kawasan beriklim tropis di Dunia Lama. Seperti halnya waru, biji waru laut tetap dapat bertahan selama berbulan-bulan setelah terapung di laut meski tidak ada jejak T. populnea yang ditemukan di Polinesia yang lebih tua usianya dibandingkan ekspansi Austronesia. Oleh karena itu, waru laut dianggap sengaja diintroduksi oleh pelaut Austronesia.[236][237]
Istilah untuk waru laut dapat direka ulang menjadi *balu dalam bahasa Proto-Melayu-Polinesia, dengan kata serumpun termasuk valu dalam bahasa Itbayat; válo dalam bahasa Malagasi; falu dalam bahasa Simeulue; valu dalam bahasa Gela; haru dalam bahasa Arosi; dan bal dalam bahasa Lonwolwol.[17] Istilah lain yang menyebar ke Oseanik adalah *banaRu dengan kata serumpun mencakup banagu dalam bahasa Hanunó'o; banar dalam bahasa Kuanua; banaro dalam bahasa Patpatar; vanau dalam bahasa Mota; dan pana dalam bahasa Pohnpei.[17]
Di Polinesia Timur, sebagian besar nama modern dapat direkonstruksi menjadi *milo dari bahasa Proto-Oseanik Timur, dengan kata serumpun mencakup milo dalam bahasa Tonga, Niue, Samoa, dan Hawaii; miro dalam bahasa Rapa Nui, Tahiti, Tuamotu, dan Māori; dan miʻo dalam bahasa Marquesa. Di beberapa daerah, artinya telah bergeser menjadi tanaman lain yang memiliki kegunaan serupa, seperti Prumnopitys ferruginea di Selandia Baru dan Sophora toromiro di Pulau Paskah.[239]
Zingiberaceae (temu-temuan)
Temu-temuan atau jahe-jahean (keluarga Zingiberaceae) dibudidayakan secara luas oleh masyarakat Austronesia untuk pangan, obat-obatan, bahan tenun, dan keperluan keagamaan. Spesies yang paling umum dibudidayakan antara lain lengkuas (Alpinia galanga), temu kunci (Boesenbergia rotunda), kunyit (Curcuma longa), kecombrang (Etlingera elatior), dan jahe (Zingiber officinale). Spesies lain juga dieksploitasi dalam skala yang lebih kecil atau dipanen dari alam, termasuk kapulaga kerdil (Alpinia nutans), panasa (Amomum acre), temu putih (Curcuma zedoaria), jiddo (Hornstedtia scottiana), gandasuli (Hedychium coronarium), dan lempuyang (Zingiber zerumbet).[215][17][240]
Alpinia galanga (lengkuas)
Lengkuas (Alpinia galanga) berasal dari Asia Tenggara. Pusat budi daya utamanya pada masa perdagangan rempah-rempah adalah di Jawa, dan saat ini masih dibudidayakan secara luas di Asia Tenggara Kepulauan, terutama di Kepulauan Sunda Besar dan Filipina. Lengkuas bernilai karena penggunaannya dalam makanan dan pengobatan tradisional dan dianggap lebih unggul daripada jahe. Baunya menyengat mengingatkan pada lada hitam. Kultivar merah dan putih sering kali digunakan secara berbeda, di mana kultivar merah banyak digunakan sebagai obat, dan kultivar putih dijadikan bumbu masakan.[150][241] Lengkuas juga memiliki daun yang digunakan untuk membuat alat musik nanel oleh orang Kavalan di Taiwan.[242]
Kata lengkuas dapat direkonstruksi menjadi *laŋkuas dalam bahasa Proto-Melayu-Polinesia Barat dengan kata serumpun termasuk langkuás dalam bahasa Ilokano; langkáuas atau langkáwas dalam bahasa Tagalog, Bikol, Kapampangan, Bisaya, dan Manobo; eangkawás dalam bahasa Aklanon, hongkuas dalam bahasa Dusun; lengkuas dalam bahasa Melayu dan Idaan; langkuas dalam bahasa Ngaju; dan engkuas dalam bahasa Iban. Beberapa nama telah mengalami pergeseran semantik di mana merujuk pada spesies Alpinia lainnya dan juga Curcuma zedoaria.[17]
Curcuma longa (kunyit)
Terdapat bukti kuat bahwa kunyit (Curcuma longa) serta temu putih (Curcuma zedoaria) didomestikasi secara independen oleh orang Austronesia. Kunyit mempunyai persebaran yang sangat luas dan nama-nama yang digunakan sejak sebelum kontak dengan pedagang India, ditemukan di seluruh wilayah Austronesia kecuali Taiwan. Namun, tampaknya tanaman ini awalnya didomestikasi untuk pembuatan pewarna, yang menjadi asal-usul kata untuk warna "kuning" dan "merah" dalam berbagai bahasa Austronesia.[243]
Tanaman ini banyak dimanfaatkan di Filipina dan Indonesia sebagai pewarna tradisional untuk tekstil maupun makanan. Di mana tanaman ini banyak digunakan untuk mewarnai sesajian makanan untuk roh leluhur serta mewarnai tubuh dalam ritual keagamaan atau upacara sosial. Kunyit juga digunakan sebagai bumbu, sebagai obat, dan sebagai makanan. Kegunaan serupa juga ditemukan di pulau-pulau lain yang dihuni oleh bangsa Austronesia, seperti Madagaskar dan Komoro di Afrika Timur. Di Mikronesia, kunyit adalah komoditas dagang yang bernilai yang diperoleh dari Pulau Yap. Di Polinesia dan Melanesia, kunyit terutama digunakan sebagai cat tubuh dalam ritual atau sebagai kosmetik. Kedua wilayah tersebut telah terisolasi selama berabad-abad dari pulau-pulau Asia Tenggara lainnya sebelum adanya kontak dengan Eropa.[243][244]
Ada dua himpunan kata serumpun utama untuk C. longa dan C. zedoaria (keduanya menghasilkan pewarna kuning) dalam bahasa-bahasa Austronesia. Yang pertama direkonstruksi sebagai *kunij dalam bahasa Purwa-Melayu-Polinesia yang awalnya merujuk pada kunyit. Kata serumpunnya termasuk kúnig dalam bahasa Ilokano, Kankanaey, dan Isnag; kunəg dalam bahasa Bontok; ūnig dalam bahasa Ifugao; kuneg dalam bahasa Dumagat Casiguran; kunyit dalam bahasa Iban dan Melayu; hunik dalam bahasa Batak Toba; kunir dalam bahasa Jawa; kuniʻ dalam bahasa Sangir dan Tae'; kuni dalam bahasa Uma; kunis dalam bahasa Rembong; wuné dalam bahasa Ngada; dan wuni dalam bahasa Manggarai. Dalam bahasa Malagasi dan Betsimisaraka, kata serumpun hónitra dan húnitra telah berubah makna menjadi tanaman lain yang digunakan untuk membuat pewarna merah. Kata serumpun lainnya seperti kimmúnig dalam bahasa Ilokano; mo-kuni dalam bahasa Uma; dan pakuniran dalam bahasa Tae'; semuanya memiliki makna "kuning" atau "mewarnai sesuatu yang kuning".[243][17]
Himpunan serumpun lainnya berasal dari *temu dari bahasa Purwa-Melayu-Polinesia-Barat yang terekonstruksi, dan awalnya berarti C. zedoaria yang terutama digunakan sebagai bumbu. Kadang-kadang artinya juga bergeser menjadi jahe dan tanaman sejenis jahe lainnya yang digunakan untuk memasak (bukan produksi pewarna). Kata serumpunnya meliputi tamu dalam bahasa Kapampangan dan Bali; támo dalam bahasa Tagalog; tamangyan dalam bahasa Bisaya; tamohilang dalam bahasa Bukidnon; tamahilan atau tamaylan dalam bahasa Bikol; temu dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Sasak; tammu dalam Makassar; dan tamutamu dalam bahasa Malagasi. Namun, dalam bahasa Austronesia lain di Afrika Timur, kata serumpun lainnya memiliki arti "warna kuning", termasuk tamutamu dalam bahasa Bushi dan Antemoro; dan manamutamu dalam bahasa Antambahoaka dan Antankarana.[243][17]
Dalam bahasa Purwa-Oseanik, ada dua himpunan kata serumpun utama yang berasal dari kata *aŋo dan *deŋ(w)a yang direkonstruksi, keduanya tidak ada hubungannya dengan etimologi Purwa-Melayu-Polinesia. Kata terakhir mungkin awalnya merujuk pada zat pewarna yang dihasilkan dari kunyit, sedangkan kata pertama merujuk pada tanaman itu sendiri. Kata serumpun termasuk cango dalam bahasa Fiji; dan ango dalam bahasa Tonga dan Rennell. Kata serumpun yang berarti "kuning" juga terdapat dalam beberapa bahasa lain di Oseania Dekat.[243][17]
^Reilly, Kevin (2012). Volume I: Prehistory to 1450. The Human Journey: A Concise Introduction to World History. 1. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. hlm. 207–209. ISBN9781442213869.
^ abcdeDenham, Tim (Oktober 2011). "Early Agriculture and Plant Domestication in New Guinea and Island Southeast Asia". Current Anthropology. 52 (S4): S379–S395. doi:10.1086/658682.
^Kitalong, Ann Hillmann; Ballick, MichaelJ.; Rehuher, Faustina; Besebes, Meked; Hanser, Sholeh; Soaladaob, Kiblas; Ngirchobong, Gemma; Wasisang, Flora; Law, Wayne (2011). "Plants, people and culture in the villages of Oikull and Ibobang, Republic of Palau". Dalam Liston; Clark, Geoffrey; Alexander, Dwight. Pacific Island Heritage: Archaeology, Identity & Community. Terra Australis. 35. ANU E Press. hlm. 63–84. ISBN9781921862489.
^Theroux, Paul (Desember 2002). "The Hawaiians". National Geographic. 202 (6): 2–41.
^Kirch, Patrick V. (1989). "Second Millennium B.C. Arboriculture in Melanesia: Archaeological Evidence from the Mussau Islands". Economic Botany. 43 (2): 225–240. doi:10.1007/BF02859865.
^Elevitch, Craig R.; Manner, Harley I. (2006). "Aleurites moluccana (kukui)". Dalam Elevitch, Craig R. Traditional Trees of Pacific Islands: Their Culture, Environment, and Use. Permanent Agricultural Resources (PAR). hlm. 41–56. ISBN9780970254450.
^ abcdefghijklOsmond, Meredith (1998). "Horticultural practices"(PDF). Dalam Ross; Pawley, Andrew; Osmond, Meredith. The lexicon of Proto Oceanic : The culture and environment of ancestral Oceanic society. Vol. 1: Material Culture. Pacific Linguistics. hlm. 115–142. doi:10.15144/PL-C152.115.
^Nauheimer, Lars; Boyce, Peter C.; Renner, Susanne S. (April 2012). "Giant taro and its relatives: A phylogeny of the large genus Alocasia (Araceae) sheds light on Miocene floristic exchange in the Malesian region". Molecular Phylogenetics and Evolution. 63 (1): 43–51. doi:10.1016/j.ympev.2011.12.011. PMID22209857.
^Horrocks, M; Nieuwoudt, MK; Kinaston, R; Buckley, H; Bedford, S (13 November 2013). "Microfossil and Fourier Transform InfraRed analyses of Lapita and post-Lapita human dental calculus from Vanuatu, Southwest Pacific". Journal of the Royal Society of New Zealand. 44 (1): 17–33. doi:10.1080/03036758.2013.842177.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Orwa, C.; Mutua, A.; Kindt, R.; Jamnadass, R.; Anthony, S. (2009). Artocarpus heterophyllus(PDF). Agroforestree Database:a tree reference and selection guide v.4.0. World Agroforestry.
^Mônica M., de Almeida-Lopes; de Souza, Kellina O.; Ebenezer, de Oliveira-Silva (2018). "Cempedak—Artocarpus champeden". Dalam Rodrigues, Sueli; de Oliveira-Silva, Ebenezer; de Brito, Edy Sousa. Exotic Fruits: Reference Guide. Academic Press. hlm. 121–127. doi:10.1016/B978-0-12-803138-4.00017-4. ISBN9780128031384.
^Orwa, C.; Mutua, A.; Kindt, R.; Jamnadass, R.; Anthony, S. (2009). Artocarpus lakoocha(PDF). Agroforestree Database:a tree reference and selection guide v.4.0. World Agroforestry.
^Orwa, C.; Mutua, A.; Kindt, R.; Jamnadass, R.; Anthony, S. (2009). Artocarpus mariannensis(PDF). Agroforestree Database:a tree reference and selection guide v.4.0. World Agroforestry.
^Abu Bakar, Fazleen Izzany; Abu Bakar, Mohd Fadzelly (2018). "Tarap—Artocarpus odoratissimus". Dalam Rodrigues, Sueli; de Oliveira-Silva, Ebenezer; de Brito, Edy Sousa. Exotic Fruits: Reference Guide. Academic Press. hlm. 413–418. doi:10.1016/B978-0-12-803138-4.00041-1. ISBN9780128031384.
^Madulid, Domingo A. (6 Agustus 2011). "Artocarpus treculianus". Philippine Native Plants. The Philippine Star. Diakses tanggal 14 January 2019.
^ abRagone, Diane (2006). "Artocarpus camansi (breadnut)"(PDF). Dalam Elevitch, Craig R. Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR).
^Zerega, N. J. C.; Ragone, D.; Motley, T.J. (2004). "The complex origins of breadfruit (Artocarpus altilis, Moraceae): Implications for human migrations in Oceania". American Journal of Botany. 91 (5): 760–766. doi:10.3732/ajb.91.5.760. PMID21653430.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcSeelenfreund, Daniela; Clarke, Andrew C.; Oyanedel-Giaverini, Naria Factina; Piña-Muñoz, Ricardo; Lobos, Sergio; Matisoo-Smith, Lisa; Seelenfreund, A. (September 2010). "Paper mulberry (Broussonetia papyrifera) as a commensal model for human mobility in Oceania: Anthropological, botanical and genetic considerations". New Zealand Journal of Botany. 48 (3–4): 231–247. doi:10.1080/0028825X.2010.520323. hdl:10533/143279.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^González-Lorca, J.; Rivera-Hutinel, A.; Moncada, X.; Lobos, S.; Seelenfreund, D.; Seelenfreund, A. (2 April 2015). "Ancient and modern introduction of Broussonetia papyrifera ([L.] Vent.; Moraceae) into the Pacific: genetic, geographical and historical evidence". New Zealand Journal of Botany. 53 (2): 75–89. doi:10.1080/0028825X.2015.1010546.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Li, Dawei; Wang, Wei; Tian, Feng; Liao, Wei; Bae, Christopher J. (December 2014). "The oldest bark cloth beater in southern China (Dingmo, Bubing basin, Guangxi)". Quaternary International. 354: 184–189. Bibcode:2014QuInt.354..184L. doi:10.1016/j.quaint.2014.06.062.
^"*Aute". Te Mära Reo: The Language Garden. Benton Family Trust.
^ abcOrwa, C.; Mutua, A.; Kindt, R.; Anthony, S. (2009). "Calophyllum inophyllum"(PDF). Agroforestree Database:a tree reference and selection guide version 4.0. World Agroforestry.
^Allen, James A. (2002). "Calophyllum inophyllum"(PDF). Dalam Vozzo, J.A. Tropical Tree Seed Manual. Agriculture Handbook. 721. US Department of Agriculture Forest Service. hlm. 357–359.
^Zorc, R. David (1995). "A Glossary of Austronesian Reconstructions". Dalam Tryon, Darrell T.; Ross, Malcolm D.; Grimes, Charles E.; Clynes, Adrian; Adelaar, K.A. Comparative Austronesian Dictionary: An Introduction to Austronesian Studies. Trends in Linguistics Documentation. 10. Mouton de Gruyter. ISBN9783110884012.
^Lalith, Perera; Suriya A.C.N., Perera; Champa K., Bandaranayake; Hugh C., Harries (2009). "Coconut". Dalam Vollmann, Johann; Rajcan, Istvan. Oil Crops. Springer. hlm. 370–372. ISBN9780387775937. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 April 2016.
^Chan, Edward; Elevitch, Craig R. (2006). "Cocos nucifera (coconut)"(PDF). Dalam Elevitch, Craig R. Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR).
^ abBaudouin, Luc; Lebrun, Patricia (26 Juli 2008). "Coconut (Cocos nucifera L.) DNA studies support the hypothesis of an ancient Austronesian migration from Southeast Asia to America". Genetic Resources and Crop Evolution. 56 (2): 257–262. doi:10.1007/s10722-008-9362-6.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ahuja, S.C.; Ahuja, Siddharth; Ahuja, Uma (2014). "Coconut – History, Uses, and Folklore"(PDF). Asian Agri-History. 18 (3): 221–248. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 10 Agustus 2017.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kreike, C.M.; Van Eck, H.J.; Lebot, V. (20 Mei 2004). "Genetic diversity of taro, Colocasia esculenta (L.) Schott, in Southeast Asia and the Pacific". Theoretical and Applied Genetics. 109 (4): 761–768. doi:10.1007/s00122-004-1691-z. PMID15156282.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abBalbaligo, Yvette (15 November 2007). "A Brief Note on the 2007 Excavation at Ille Cave, Palawan, the Philippines". Papers from the Institute of Archaeology. 18 (2007): 161. doi:10.5334/pia.308.
^Fullagar, Richard; Field, Judith; Denham, Tim; Lentfer, Carol (Mei 2006). "Early and mid Holocene tool-use and processing of taro (Colocasia esculenta), yam (Dioscorea sp.) and other plants at Kuk Swamp in the highlands of Papua New Guinea". Journal of Archaeological Science. 33 (5): 595–614. Bibcode:2006JArSc..33..595F. doi:10.1016/j.jas.2005.07.020.
^Denham, Tim P.; Golson, J.; Hughes, Philip J. (2004). "Reading Early Agriculture at Kuk Swamp, Wahgi Valley, Papua New Guinea: the Archaeological Features (Phases 1–3)". Proceedings of the Prehistoric Society. 70: 259–297. doi:10.1017/S0079497X00001195.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"talas". Malay Literary Reference Centre. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Juni 2021.
^Syamsarul (2013). Kamus Bahasa Indonesia-Minangkabau [Indonesian-Minangkabau Dictionary] (PDF) (edisi ke-Revised). Padang: Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 201. ISBN9789790691254. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 19 Agustus 2021.
^"*Talo/Taro". Te Mära Reo: The Language Garden. Benton Family Trust.
^ abcFriday, J.B.; Okano, Dana (2006). "Cordia subcordata (kou)"(PDF). Dalam Elevitch, Craig R. Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR).
^Boerger, Brenda H. (2009). "Trees of Santa Cruz Island and their Metaphors"(PDF). Proceedings of the Seventeenth Annual Symposium About Language and Society, Austin. Texas Linguistic Forum. 53. hlm. 100–109.
^ abcdHinkle, Anya E. (May 2007). "Population structure of Pacific Cordyline fruticosa (Laxmanniaceae) with implications for human settlement of Polynesia". American Journal of Botany. 94 (5): 828–839. doi:10.3732/ajb.94.5.828. PMID21636452.
^Philip, Simpson (9 September 2012). "Cordyline fruticosa (ti plant)". Invasive Species Compendium. Centre for Agriculture and Bioscience International. Diakses tanggal 19 January 2019.
^Lense, Obed (1 April 2012). "The wild plants used as traditional medicines by indigenous people of Manokwari, West Papua". Biodiversitas. 13 (2): 98–106. doi:10.13057/biodiv/d130208.
^ abcdSimpson, Philip (1 Januari 1997). "Are Cabbage Trees Worth Anything? Relating Ecological and Human Values in the Cabbage Tree, tī kōuka". The Journal of New Zealand Studies. 7 (1). doi:10.26686/jnzs.v7i1.395.
^Harvest Rituals in Hapao(PDF). Social Practices, Rituals and Festive Events. International Information and Networking Centre for Intangible Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region under the auspices of UNESCO (ICHCAP). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 9 September 2018.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Balangcod, T.D.; Balangcod, A.K. (Januari 2009). "Underutilized Plant Resources in Tinoc, Ifugao, Cordillera Administrative Region, Luzon Island, Philippines". Acta Horticulturae (806): 647–654. doi:10.17660/ActaHortic.2009.806.80.
^Iskandar, Johan; Iskandar, Budiawati S. (15 Maret 2017). "Various Plants of Traditional Rituals: Ethnobotanical Research Among The Baduy Community". Biosaintifika: Journal of Biology & Biology Education. 9 (1): 114. doi:10.15294/biosaintifika.v9i1.8117.
^ abSheridan, Michael (1 January 2016). "Boundary Plants, the Social Production of Space, and Vegetative Agency in Agrarian Societies". Environment and Society. 7 (1): 29–49. doi:10.3167/ares.2016.070103.
^Hill, Rowena Catherine (2011). Colour and Ceremony: the role of paints among the Mendi and Sulka peoples of Papua New Guinea (Tesis MSc). Durham University.
^Keesing, Roger M. (September 2012). "On not understanding symbols". HAU: Journal of Ethnographic Theory. 2 (2): 406–430. doi:10.14318/hau2.2.023.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Malapa, R.; Arnau, G.; Noyer, J.L.; Lebot, V. (November 2005). "Genetic Diversity of the Greater Yam (Dioscorea alata L.) and Relatedness to D. nummularia Lam. and D. transversa Br. as Revealed with AFLP Markers". Genetic Resources and Crop Evolution. 52 (7): 919–929. doi:10.1007/s10722-003-6122-5.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Cruz, V.M.V.; Altoveros, N.C.; Mendioro, M.S.; Ramirez, D.A. (1999). "Geographical patterns of diversity in the Philippine edible yam collection". Plant Genetic Resources Newsletter. 119: 7–11.
^Barton, Huw; Denham, Timothy (2011). "Prehistoric vegeculture and social life in Island Southeast Asia and Melanesia"(PDF). Dalam Barker, Grame; Janowski, Monica. Why cultivate? Anthropological and Archaeological Approaches to Foraging–Farming Transitions in Southeast Asia. McDonald Institute for Archaeological Research. hlm. 61–74. ISBN9781902937588. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 28 Maret 2019.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Reynolds, Tim; Barker, Graeme; Barton, Huw; Cranbrook, Gathorne; Hunt, Chris; Kealhofer, Lisa; Paz, Victor; Pike, Alasdair; Piper, Philip; Rabett, Ryan; Rushworth, Gary; Stimpson, Christopher; Szabó, Katherine (2013). "The First Modern Humans at Niah, c. 50,000–35,000 Years Ago"(PDF). Dalam Barker, Graeme. Rainforest Foraging and Farming in Island Southeast Asia. McDonald Institute for Archaeological Research. hlm. 133–170. ISBN9781902937540.
^Sykes, W. R. (Desember 2003). "Dioscoreaceae, new for the adventive flora of New Zealand". New Zealand Journal of Botany. 41 (4): 727–730. doi:10.1080/0028825X.2003.9512884.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^White, Lynton Dove. "Uhi". Na Meakanu o Wa'a o Hawai'i Kahiko: The "Canoe Plants" of Ancient Hawai'i.
^Horrocks, Mark; Nunn, Patrick D. (Mei 2007). "Evidence for introduced taro (Colocasia esculenta) and lesser yam (Dioscorea esculenta) in Lapita-era (c. 3050–2500cal.yrBP) deposits from Bourewa, southwest Viti Levu Island, Fiji". Journal of Archaeological Science. 34 (5): 739–748. Bibcode:2007JArSc..34..739H. doi:10.1016/j.jas.2006.07.011.
^Horrocks, M.; Grant-Mackie, J.; Matisoo-Smith, E. (Januari 2008). "Introduced taro (Colocasia esculenta) and yams (Dioscorea spp.) in Podtanean (2700–1800 years BP) deposits from Mé Auré Cave (WMD007), Moindou, New Caledonia". Journal of Archaeological Science. 35 (1): 169–180. Bibcode:2008JArSc..35..169H. doi:10.1016/j.jas.2007.03.001.
^Oliveira, Nuno Vasco (2012). "Recovering, Analysing and Identifying Colocasia esculenta and Dioscorea spp. from Archaeological Contexts in Timor-Leste". Senri Ethnological Studies. 78: 265–284. doi:10.15021/00002521.
^Ezedin, Z.; Weiblen, GD (27 September 2019). "Additions and changes to Ficus (Moraceae) in New Guinea with comments on the world's largest fig". Gardens' Bulletin Singapore. 71 (suppl.2): 197–216. doi:10.26492/gbs71(suppl.2).2019-15. ISSN0374-7859.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ ab"Ficus fraseri". Endémic – Faune & Flore de Nouvelle-Calédonie. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Juli 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ezedin, Z.; Weiblen, GD (27 September 2019). "Additions and changes to Ficus (Moraceae) in New Guinea with comments on the world's largest fig". Gardens' Bulletin Singapore. 71 (suppl.2): 197–216. doi:10.26492/gbs71(suppl.2).2019-15. ISSN0374-7859.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Tibig". Expanded National Greening Program. Department of Environment and Natural Resources, Republic of the Philippines.
^<!- -Not stated--> (n.d.). "Ficus pseudopalma Blanco". Plants of the World Online. The Trustees of the Royal Botanic Gardens, Kew. Diakses tanggal 23 August 2020.
^Liu W., Wang P., Li J., Liu Wenyao, and Li Hongmei (2014), Plasticity of source‐ water acquisition in epiphytic, transitional and terrestrial growth phases of Ficus tinctoria, Ecohydrol., 7; pages 1524–1533, doi:10.1002/eco.1475
^Nelson, Scot C. (2006). "Pandanus tectorius (pandanus)"(PDF). Dalam Elevitch, Craig R. Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 31 Agustus 2021.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Fuller, Dorian Q; Boivin, Nicole; Hoogervorst, Tom; Allaby, Robin (2 Januari 2015). "Across the Indian Ocean: the prehistoric movement of plants and animals". Antiquity. 85 (328): 544–558. doi:10.1017/S0003598X00067934.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Normile, Dennis (1997). "Yangtze seen as earliest rice site". Science. 275 (5298): 309–310. doi:10.1126/science.275.5298.309.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Hsieh, Jaw-shu; Hsing, Yue-ie Caroline; Hsu, Tze-fu; Li, Paul Jen-kuei; Li, Kuang-ti; Tsang, Cheng-hwa (24 Desember 2011). "Studies on Ancient Rice—Where Botanists, Agronomists, Archeologists, Linguists, and Ethnologists Meet". Rice. 4 (3–4): 178–183. doi:10.1007/s12284-011-9075-x.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Baba, Shigeyuki; Chan, Hung; Kezuka, Mio; Inoue, Tomomi; Chan, Eric (2016). "Artocarpus altilis and Pandanus tectorius: Two Important Fruits of Oceania with Medicinal Values". Emirates Journal of Food and Agriculture. 28 (8): 531. doi:10.9755/ejfa.2016-02-207.
^ abcdGallaher, Timothy (2014). "The Past and Future of Hala (Pandanus tectorius) in Hawaii". Dalam Keawe, Lia O'Neill M.A.; MacDowell, Marsha; Dewhurst, C. Kurt. ʻIke Ulana Lau Hala: The Vitality and Vibrancy of Lau Hala Weaving Traditions in Hawaiʻi. Hawai'inuiakea School of Hawaiian Knowledge; University of Hawai'i Press. doi:10.13140/RG.2.1.2571.4648. ISBN9780824840938.
^ abHeathcote, Gary M.; Diego, Vincent P.; Ishida, Hajime; Sava, Vincent J. (2012). "An osteobiography of a remarkable protohistoric Chamorro man from Taga, Tinian". Micronesica. 43 (2): 131–213.
^ abLebot, V.; Lèvesque, J. (1989). "The Origin and Distribution of Kava (Piper methysticum Forst. F., Piperaceae): A Phytochemical Approach". Allertonia. 5 (2): 223–281.
^Mahdi, Waruno (1999). "The Dispersal of Austronesian boat forms in the Indian Ocean". Dalam Blench, Roger; Spriggs, Matthew. Archaeology and Language III: Artefacts languages, and texts. One World Archaeology. 34. Routledge. hlm. 144–179. ISBN978-0415100540.
^ abcdefghRoss, Malcolm (2008). "Other cultivated plants". Dalam Ross, Malcolm; Pawley, Andrew; Osmond, Meredith. The lexicon of Proto Oceanic: The culture and environment of ancestral Oceanic society. 3. Pacific Linguistics. hlm. 389–426. ISBN9780858835894.
^Dalby, Andrew (2002). Dangerous Tastes: The Story of Spices. University of California Press. ISBN9780520236745.
^Snodgrass, Mary Ellen (2013). World Food: An Encyclopedia of History, Culture and Social Influence from Hunter Gatherers to the Age of Globalization: An Encyclopedia of History, Culture and Social Influence from Hunter Gatherers to the Age of Globalization. Sharpe Reference. ISBN9781317451600.
^Spriggs, Matthew (2 Januari 2015). "Archaeology and the Austronesian expansion: where are we now?". Antiquity. 85 (328): 510–528. doi:10.1017/S0003598X00067910.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Dotte-Sarout, Emilie (2016). "Evidence of forest management and arboriculture from wood charcoal data: an anthracological case study from two New Caledonia Kanak pre-colonial sites". Vegetation History and Archaeobotany. 26 (2): 195–211. doi:10.1007/s00334-016-0580-0.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcFarley, Gina; Schneider, Larissa; Clark, Geoffrey; Haberle, Simon G. (December 2018). "A Late Holocene palaeoenvironmental reconstruction of Ulong Island, Palau, from starch grain, charcoal, and geochemistry analyses". Journal of Archaeological Science: Reports. 22: 248–256. Bibcode:2018JArSR..22..248F. doi:10.1016/j.jasrep.2018.09.024.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Spennemann, Dirk H.R. (1994). "Traditional Arrowroot Production and Utilization in the Marshall Islands". Journal of Ethnobiology. 14 (2): 211–234.
^ abcDotte-Sarout, Emilie; Kahn, Jennifer G. (November 2017). "Ancient woodlands of Polynesia: A pilot anthracological study on Maupiti Island, French Polynesia". Quaternary International. 457: 6–28. Bibcode:2017QuInt.457....6D. doi:10.1016/j.quaint.2016.10.032.
^Elevitch, Craig R.; Thomson, Lex A.J. (2006). "Hibiscus tiliaceus (beach hibiscus)"(PDF). Dalam Elevitch, Craig R. Traditional Trees of Pacific Islands: Their Culture, Environment, and Use. Permanent Agricultural Resources (PAR). hlm. 41–56. ISBN9780970254450.
^"*Milo". Te Mära Reo: The Language Garden. Benton Family Trust.
^Ujang, Zanariah; Nordin, Nurul Izza; Subramaniam, Thavamanithevi (Desember 2015). "Ginger Species and Their Traditional Uses in Modern Applications". Journal of Industrial Technology. 23 (1): 59–70. doi:10.21908/jit.2015.4.
^Ravindran, P.N.; Pillai, Geetha S.; Babu, K. Nirmal (2004). "Under-utilized herbs and spices". Dalam Peter, K.V. Handbook of Herbs and Spices. 2. Woodhead Publishing. ISBN9781855737211.
^ abcdeKikusawa, Ritsuko; Reid, Lawrence A. (2007). "Proto who utilized turmeric, and how?"(PDF). Dalam Siegel, Jeff; Lynch, John; Eades, Diana. Language Description, History and Development: Linguistic indulgence in memory of Terry Crowley. John Benjamins Publishing Company. hlm. 339–352. ISBN9789027292940. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 25 November 2021.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^McClatchey, W. (1993). "Traditional use of Curcuma longa (Zingiberaceae) in Rotuma". Economic Botany. 47 (3): 291–296. doi:10.1007/bf02862297.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)