Mentawa, mentawak, atau entawak (Artocarpus anisophyllus) adalah sejenis pohon besar anggota suku Moraceae. Pohon penghasil buah dan kayu ini menyebar di Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo, dan pulau-pulau kecil di antaranya.
Nama-nama lainnya, di antaranya, yalah mentawa, puan, pupuan (Kal.); mentawak (Blt.); mentaba, mendaba (Bk.); bintawak (Swk.); bakil (Mly.); keledang babi (Mal.); tarap ikal (Brun.).[1][2][3]
Pengenalan
Pohon berukuran sedang hingga besar; tinggi mencapai 45 m, gemang batang hingga 60 cm, dan acap berbanir hingga 2,5 m. Daun-daun majemuk menyirip gasal, panjang ibu tulang daun 30–90 cm, dengan 5-12 pasang anak daun dalam dua ukuran, anak daun ukuran besar berpasangan dengan yang kecil (an: tidak, iso: sama, phyllus, phyllum: daun); anak daun tidak rontok, gugur dalam satu helaian daun utuh. Anak daun tebal menjangat, bentuk lonjong hingga bundar telur-lanset, 3,5-40 x 2–13 cm, berujung runcing, gundul, berpangkal membundar tak simetris. Daun penumpu membungkus ujung ranting, 4–25 cm, dengan bulu-bulu halus berwarna kekuningan atau kecokelatan, meninggalkan bekas berupa cincin bila rontok.[1][3]
Bunga-bunga jantan tersusun dalam bongkol jorong melonjong seperti jari, 3-7,5 x 1,5–2 cm, bertangkai 50-65 mm. Buah semu (syncarp) kecokelatan, hampir bulat, lk. 12,5 x 10 cm, gundul, dengan duri-duri pendek silindris, bertangkai 6–13 cm; buah melekuk di bagian ujung tangkai. Biji terbungkus ‘daging buah’ (sebetulnya tenda bunga) berwarna jingga.[1][3]
Ekologi dan kegunaan
Mentawa tumbuh liar di hutan-hutan dataran rendah hingga ketinggian 1.200 m dpl.[1] Di banyak tempat, pohon ini ditanam dalam wanatani campuran untuk buahnya yang enak dan manis.
Daging buah mentawa yang manis dan harum mengandung karbohidrat hingga 92%, dan serat sekitar 2%. Kandungan proteinnya rendah, antara 3,5-7%. Sementara biji mentawa mengandung 40-60% karbohidrat, sekitar 17% serat, dan 10-13% protein. Kandungan lemak pada daging buah dan biji mentawa amat rendah.[4]
Kayu mentawa dalam perdagangan digolongkan sebagai kayu keledang; kayu dengan berat sedang (BJ 0,64-0,87).[1] Kayu ini biasa digunakan untuk konstruksi ringan, tiang dan ramuan rumah, lantai, bahan pembuatan perahu, venir, dan kayu lapis.[3]
Catatan kaki
- ^ a b c d e Djarwaningsih, T., D.S. Alonzo, S. Sudo, and M.S.M. Sosef. 1995. Artocarpus J.R. Forster & J.G. Forster. in R.M.H.J. Lemmens, I. Soerianegara and W.C. Wong (eds.). Timber Trees: minor commercial timber. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5(2): 64. PROSEA - Bogor. ISBN 979-8316-18-5.
- ^ Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 2: 669. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta.
- ^ a b c d Argent, G. et al.. t.t. Manual of the Larger and More Important Non-Dipterocarp Trees of Central Kalimantan, Indonesia. Vol. 2: 430-432. Forest Research Institute, Samarinda.
- ^ Seibert, B. & P.C.M. Jansen. 1997. Artocarpus J.R. & G. Forster, dalam Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). Buah-buahan yang dapat dimakan. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara (PROSEA) 2: 87-91. Penerbit Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.
Pranala luar