Wilayah Champa sekitar tahun 1100 SM, digambarkan dalam warna hijau, terletak di sepanjang pantai Vietnam. Ke utara (warna kuning) terletak Đại Việt; ke barat (warna biru), Angkor.
Kerajaan Champa (Bahasa Cham: Nagarcam; Bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, tetapi hubungan antara Lin-yi dan Champa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Cham termasuk dalam rumpun Bahasa Austronesia.
Sejarah pendirian
Sebelum terbentuknya Kerajaan Champa, di daerah tersebut terdapat Kerajaan Lin-yi (Lam Ap), akan tetapi saat ini belum diketahui dengan jelas hubungan antara Lin-yi dan Champa. Lin-yi diperkirakan didirikan oleh seorang pejabat lokal bernama Ku-lien yang memberontak terhadap Kekaisaran Han pada tahun 192 masehi, yaitu di daerah Kota Huế sekarang. Penguasa Champa pertama yang namanya diketahui secara pasti dan tertulis dalam prasasti adalah Bhadravarman I, yang memerintah antara tahun 380-413 M.[1]
Wilayah kekuasaan
Daerah Champa meliputi area pegunungan di sebelah barat daerah pantai Indochina, yang dari waktu ke waktu meluas meliputi wilayah Laos sekarang. Akan tetapi, bangsa Champa lebih berfokus pada laut dan memiliki beberapa kota berbagai ukuran di sepanjang pantai.
Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, tetapi peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
Sebelum penaklukan Champa oleh Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India. Islam mulai memasuki Champa setelah abad ke-10, tetapi hanya setelah invasi 1471 pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke-17 keluarga bangsawan para tuanku Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama Islam.
Kebanyakan orang Cham saat ini beragama Islam, tetapi seperti orang Jawa di Indonesia, mereka mendapat pengaruh besar Hindu. Catatan-catatan di Indonesia menunjukkan pengaruh Putri Darawati, seorang putri Champa yang beragama Islam, terhadap suaminya, Kertawijaya, raja Majapahit ketujuh sehingga keluarga kerajaan Majapahit akhirnya memeluk agama Islam. Makam Putri Champa dapat ditemukan di Trowulan, situs ibu kota Kerajaan Majapahit.[2]
Champa merupakan jalur penghubung penting dalam Jalur Rempah-rempah (Spice Road) yang dimulai dari Teluk Persia sampai dengan selatan Tiongkok; dan kemudian ia juga termasuk dalam jalur perdagangan bangsa Arab ke Indochina, yang merupakan pemasok aloe.
Champa memiliki hubungan perdagangan dan budaya yang erat dengan kerajaan maritim Sriwijaya, serta kemudian dengan Majapahit. Dalam Babad Tanah Jawi, dikatakan bahwa raja Brawijaya V memiliki istri bernama Anarawati (atau Dwarawati), seorang putri dari Kerajaan Champa.
Demikian pula, terdapat hubungan yang erat antara Kerajaan Champa dan Kerajaan Kamboja. Meskipun sering terjadi peperangan, kedua kerajaan juga mengadakan pertukaran kebudayaan dan perdagangan; dimana sering terjadi pernikahan keluarga kerajaan di antara keduanya.
Konfederasi kota
Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5 kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di India:
Indrapura - Kota Indrapura saat ini disebut Dong Duong, tidak jauh dari Da Nang dan Huế sekarang. Da Nang dahulu dikenal sebagai kota Singhapura, dan terletak dekat lembah My Son dimana terdapat banyak reruntuhan candi dan menara. Wilayah yang dikuasai oleh kepangeranan ini termasuk provinsi-provinsi Quảng Bình, Quảng Trị, dan Thừa Thiên–Huế sekarang ini di Vietnam.
Amaravati - Kota Amaravati menguasai daerah yang merupakan Provinsi Quảng Nam sekarang ini di Vietnam.
Vijaya - Kota Vijaya saat ini disebut Cha Ban, yang terdapat beberapa mil di sebelah utara kota Qui Nhon di provinsi Bình Định di Vietnam. Selama beberapa waktu, kepangeranan Vijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah provinsi-provinsi Quang-Nam, Quang-Ngai, Binh Dinh, dan Phu Yen.
Kauthara - Kota Kauthara saat ini disebut Nha Trang, yang terdapat di Provinsi Khánh Hòa sekarang ini di Vietnam.
Panduranga - Kota Panduranga saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di Provinsi Ninh Thuận sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang ditaklukkan oleh bangsa Vietnam.
Di antara kepangeranan-kepangeranan tersebut terdapat dua kelompok atau suku: yaitu Dua dan Cau. Suku Dua terdapat di Amaravati dan Vijaya, sementara Suku Cau terdapat di Kauthara dan Panduranga. Kedua suku tersebut memiliki perbedaan tata-cara, kebiasaan, dan kepentingan, yang sering menyebabkan perselisihan dan perang. Akan tetapi biasanya mereka berhasil menyelesaikan perselisihan yang ada melalui perkawinan antar suku.[3]
Penaklukan Vietnam
Tahun 1451 Kerajaan Islam Champa diserang kerajaan Buddha dari pedalaman.[4] Para penguasa Champa di Panduranga (Nagar Champa) yang terbentuk pada pertengahan abad ke-15, melakukan perlawanan terhadap Vietnam dan pada tahun 1695 melalui perundingan memperoleh status kepangeranan otonom (Tran Thuan Thanh) di bawah Dinasti Nguyen dari Cochinchina. Kerajaan Champa kemudian menjadi negara bawahan yang setia dari Kaisar Gia Long dari dinasti Nguyen, tetapi pada akhirnya kedaulatannya dibubarkan pada tahun 1832 oleh anak Kaisar Gia Long, yaitu Kaisar Minh Mạng. Pada masa peperangan dengan Vietnam, banyak penduduk Champa termasuk para aristokratnya yang mencari perlindungan di Kamboja, dan mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Legenda Minangkabau
Di dalam legenda atau tambo dari Minangkabau (Sumatera Barat), terdapat seorang tokoh pendekar yang bergelar Harimau Campo atau "Harimau Champa", selain nama-nama lainnya. Harimau Campo ini bersama dengan Datuak Suri Dirajo, Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim merumuskan konsep dari bela diri Minangkabau yang dinamakan silek atau (silat). Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim sama statusnya dengan Harimau Campo, mereka adalah pendatang dari negeri asing ke daerah Minangkabau pada masa dahulunya. Sampai saat sekarang, nama Harimau Campo tetap disebut-sebut dalam sasaran silek (padepokan silat) di Minangkabau sebagai salah satu basis dari gerakan silat mereka.
Referensi
Sumber
Insight Guide - Vietnam (ed.) Scott Rutherford, 2006. ISBN 981-234-984-7.
Vietnam, Trials and Tribulations of a Nation D. R. SarDesai, ppg 33-34, 1988. ISBN 0-941910-04-0