Angkor adalah ibu kota Kerajaan Khmer dalam periode lama dari abad ke-9 sampai abad ke-15Masehi. Istilah Angkor berasal dari bahasa Sanskertanagara (नगर), yang berarti "negara".[1] Periode Angkor dimulai pada tahun 802 ketika raja HinduKhmerJayawarman II menobatkan dirinya sebagai "penguasa jagat" dan "dewaraja", dan periode ini berlangsung hingga 1431, ketika Ayutthaya menyerbu ibu kota Khmer, dan mendesak rakyatnya mengungsi ke selatan ke kawasan Phnom Penh.
Reruntuhan Angkor terletak di hutan dan tanah perladangan yang membentang antara Danau Besar Tonle Sap di selatan dan perbukitan Kulen di utara. Situs ini terletak dekat kota Siem Reap (13°24′LU, 103°51′BT), Kamboja sekarang ini, dan merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Candi-candi di Angkor, seperti Angkor Wat dan Bayon, sekarang sebagian besar telah dipugar dan merupakan contoh dari arsitektur Khmer. Jumlah pengunjung tempat ini sekitar satu juta per tahun.
Pada tahun 2007, sebuah tim internasional dengan menggunakan pencitraan satelit menyimpulkan bahwa Angkor adalah kota pra-industri terbesar di dunia, dengan sistem infrastruktur rumit yang menghubungkan kawasan permukiman seluas 1000 kilometer persegi hingga ke pusat kota tempat berdirinya kuil-kuilnya yang agung.[2] Kota pra-industri terbesar lainnya adalah kota Tikal di Guatemala, yang berukuran antara 100 dan 150 kilometer persegi.[3] Meskipun perkiraan jumlah penduduk kota Angkor masih menjadi subjek penelitian dan topik perdebatan, penelitian terbaru menunjukkan bahwa sistem pertanian Angkor yang efisien dapat menopang kebutuhan pangan hingga satu juta jiwa penduduk.[4]
Tinjauan Sejarah
Pusat Kemaharajaan Khmer
Periode Angkor dimulai tidak lama setelah tahun 800 M, ketika raja Khmer Jayawarman II mengumumkan kemerdekaan Kambujadesa (Kamboja) dari Jawa dan membangun ibu kota baru di Hariharalaya (kini Roluos) pada ujung utara danau Tonle Sap. Dengan melancarkan ekspedisi militer, persekutuan, perkawinan dan penganugerahan lahan, ia berhasil mempersatukan negara yang berbatasan dengan China (di utara), Champa (kini Vietnam tengah, di timur), lautan (di selatan) dan kawasan yang disebutkan berdasarkan prasasti sebagai "tanah kapulaga dan mangga" (di barat). Pada tahun 802, Jayavarman menyatakan status barunya sebagai "penguasa jagat" (chakrawartin), kemudian mengkaitkan dirinya dengan pemujaan terhadap Shiwa yang ditiru oleh raja-raja penerusnya, dengan mengambil gelar "dewaraja".[5] Sebelum era Jayavarman, Kamboja terdiri atas beberapa kerajaan merdeka yang secara kesatuan disebut oleh bangsa China dengan sebutan negara Funan dan Chenla.[6]
Pada 889 M, Raja Yasowarman I naik takhta.[7] Raja agung ini terkenal sebagai pembangun yang hebat. Dekat ibu kota lama Hariharalaya, Yasowarman cmembangun kota baru yang disebut Yasodharapura. Sesuai tradisi pendahulunya, ia membangun kolam penampungan air yang besar yang disebut baray. Makna pembangunan reservoir atau penampungan air telah menjadi perdebatan bagi ilmuwan modern, beberapa menganggapnya sebagai infrastruktur irigasi pertanian padi, sementara pihak lainnya memandang kolam besar ini sebagai simbol keagamaan yang melambangkan samudra besar dalam mitologi Hindu yang mengelilingi gunung Mahameru, tempat bersemayam para dewa. Gunung itu dilambangkan dengan candi yang menjulang tinggi, di mana sang "dewa-raja" dilambangkan dengan sebuah lingga.[8] Berdasarkan simbolisme semesta ini, Yasowarman membangun kuilnya di sebuah bukit yang disebut Phnom Bakheng, yang dikelilingi parit yang airnya dialirkan dari baray. Ia juga membangun beberapa kuil Hindu dan asrama sebagai tempat kediaman pertapa brahmana.[9]
Selama lebih dari 300 tahun, kurun 900 sampai 1200, Kemaharajaan Khmer membangun mahakarya arsitektur dunia di kawasan Angkor. Kebanyakan bangunan ini memenuhi kawasan yang membujur seluas 24 kilometer timur ke barat, dan 8 kilometer utara ke selatan, meskipun Taman Purbakala Angkor juga mencakup situs yang lebih jauh seperti Kbal Spean yang terletak sekitar 48 kilometer ke utara. Sekitar 72 candi utama dan bangunan lainnya terdapat di kawasan ini, termasuk kuil-kuil kecil yang terpencar lebih jauh. Karena tersebar luas, datarannya yang rendah, dan pola permukiman bangsa Khmer, Angkor tidak memiliki batas formal yang jelas, maka luas persisnya sulit diperkirakan.. Meskipun demikian, kawasan spesifiknya sekitar 1.000 km². Dibalik kuil utama terdapat sistem infrastruktur yang rumit, termasuk jaringan jalan dan kanal yang menunjukkan keterkaitan tinggi dan integrasi antara daerah pinggir kota dengan pusat kota. Dalam hal luas spasial, Angkor menjadi kawasan urban gabungan terbesar sebelum era Revolusi Industri, dengan mudah melampaui kota Tikal dalam peradaban Maya.[2] Dalam hal luasan urban, Angkor bahkan mendekati ukuran kota modern Los Angeles, dan dikatakan berukuran 17 kali lipat lebih besar dari pulau Manhattan.
Pembangunan Angkor Wat
Angkor Wat adalah salah satu candi utama di kawasan Angkor, dibangun antara tahun 1113 dan 1150 atas perintah raja Suryawarman II. Suryawarman naik takhta setelah berhasil mengalahkan pangeran saingannya. Sebuah prasasti menuliskan bahwa Suryawarman memenangi perang dengan cara melompat ke punggung gajah perang musuh sekaligus membunuh musuhnya, bagaikan Garuda membunuh ular naga.[10]
Setelah mengkonsolidasikan posisi politiknya melalui berbagai serangan militer, diplomasi, dan administrasi domestik yang tegas, Suryawarman memulai pembangunan Angkor Wat sebagai candi pribadinya sekaligus kuil dan makam tempat ia dimuliakan. Ia memutus tradisi raja-raja Khmer sebelumnya yang lebih mengutamakan Shiwa dengan berpaling pada aliran Waisnawa seiring bangkitnya aliran yang lebih memuliakan Wishnu ini di India. Ia mempersembahkan candi ini untuk Wishnu dengan menyebutnya Vishnuloka, dan bukan kepada Shiwa. Dengan tembok hampir mencapai panjang 2,4 kilometer pada setiap sisinya, Angkor Wat dengan megahnya menggambarkan kosmologi Hindu, dengan menara utama melambangkan gunung Meru, tempat bersemayam para dewa; dinding luar melambangkan pegunungan yang melingkari dunia; parit besar melambangkan samudra luas. Tema tradisionalnya adalah mengidentifikasikan dewa-raja Kamboja dengan dewa Hindu, dan tempat tinggalnya adalah kerajaan langit (swargaloka) yang tampak dari segala perwujudan dan perlambang candi agung ini. Ukuran candi ini sendiri memiliki arti kosmologis yang melambangkan alam semesta.[11] Suryawarman memerintahkan dinding candi ini dihiasi bas relief yang selain menampilkan adegan dalam mitologi, juga adegan kehidupan sehari-harinya di istana kerajaan. Salah satu adegannya menggambarkan sang raja dalam ukuran besar tengah duduk dengan kaki bersilang di singgasana tinggi tengah memimpin rapat kerajaan, sementara dayang-dayang dan pengiringnya mengipasi dan memayunginya.
Jayavarman VII
Setelah wafatnya raja Suryavarman sekitar tahun 1150 masehi, kerajaan jatuh ke dalam perebutan kekuasaan dan kekacauan dalam negeri. Negeri tetangganya, Champa di timur (kini Vietnam Selatan) memanfaatkan situasi ini pada 1177 dengan melancarkan serangan melalui laut memasuki sungai Mekong dan menyeberangi danau Tonle Sap. Balatentara Champa berhasil menaklukan ibu kota Khmer di Yasodharapura dan menewaskan raja yang berkuasa. Akan tetapi seorang pangeran Khmer yang kelak menjadi raja Jayawarman VII menghimpun rakyatnya dan berhasil memukul mundur tentara Champa di danau dan di daratan. Pada tahun 1181, Jayavarman naik takhta. Ia kemudian menjadi raja Khmer Angkor yang paling agung.[12] Di atas reruntuhan kota Yasodharapura, Jayawarman membangun kota berbenteng Angkor Thom, dilengkapi dengan pusat spiritual yaitu candi Bayon. Bas-relief di Bayon menggambarkan tidak hanya adegan pertempuran sang raja menaklukan orang Champa, tetapi juga berbagai adegan kehidupan sehari-hari rakyat Khmer, baik kehidupan rakyat jelata di pedesaan, ataupun kehidupan bangsawan di istana.
Sebagai tambahan, Jayawarman membangun candi-candi terkenal lainnya, yaitu Ta Prohm dan Preah Khan, dipersembahkan untuk kedua orang tua Jayawarman VII. Proyek pembangunan besar-besaran ini berbarengan dengan peralihan agama kerajaan dari Hinduisme menjadi Buddha Mahayana, ditambah lagi Jayavarman sendiri memeluk agama Buddha Mahayana. Pada masa pemerintahan Jayavarman VII, candi-candi Hindu beralih fungsi menjadi candi Buddha dengan menambahkan arcaBuddha dalam candi tersebut, Angkor Wat untuk sementara beralih fungsi menjadi candi Buddha. Setelah kematian Jayavarman VII, agama Hindu bangkit kembali, dan muncul gerakan mengembalikan kewibawaan agama Hindu dengan aksi besar-besaran merusak arca buddha dan mengembalikan fungsi candi Hindu, gerakan ini berlangsung hingga abad ke-14 ketika Buddha aliran Theravada menjadi agama dominan di Kamboja.[13]
Zhou Daguan
Tahun 1296 ditandai dengan kedatangan duta China Zhou Daguan ke Angkor. Kunjungan Zhou selama satu tahun di ibu kota Khmer ini berlangsung pada masa pemerintahan Indravarman III. Catatan Zhou Daguan memiliki arti penting bagi sejarah, karena dalam buku catatan setebal 40 halaman ia mencatat secara rinci adat istiadat Kamboja berdasarkan pengamatannya atas masyarakat Khmer. Catatannya antara lain terkait keagamaan, sistem peradilan, kerajaan, pertanian, perbudakan, aneka burung, sayur-sayuran, kebiasaan mandi, busana, peralatan, peternakan dan pemanfaatan hewan, serta perdagangan. Dalam satu catatannya ia menggambarkan prosesi kerajaan berupa iring-iringan prajurit, berbagai abdi perempuan dan selir, para menteri dan pangeran, serta diakhiri "Sang Maharaja berdiri di atas gajah dengan menggenggam pedang suci di tangannya." Bersama dengan berbagai prasasti Angkor, candi, monumen, serta bas-relief di Bayon, catatan Zhou adalah salah satu sumber informasi penting mengenai kehidupan sehari-hari di Angkor. Dipenuhi dengan anekdot yang nyata serta pengamatan mendalam atas peradaban yang dianggap Zhou sebagai peradaban yang berwarna dan eksotik, serta merupakan memoir perjalanan yang menarik.[14]
Raja yang bertakhta di Angkor
Angkor adalah pusat pemerintahan bangsa Khmer di Kamboja, berikut ini adalah daftar raja-raja yang bertakhta di Angkor:
Periode Angkor diperkirakan berakhir pada tahun 1431, tahun ketika Angkor ditaklukan dan dijarah oleh Ayutthaya. Meskipun sebenarnya peradaban Angkor sudah mulai menurun pada abad ke-13 dan ke-14 masehi. Pada abad ke-15, hampir semua bagian kota Angkor ditinggalkan penghuninya, kecuali Angkor Wat yang telah beralih fungsi menjadi wihara Buddha. beberapa teori berusaha menjelaskan keruntuhan dan penyebab ditinggalkannya Angkor:
Perang dengan Kerajaan Ayutthaya
Secara luas dipercaya bahwa ditinggalkannya ibu kota Khmer ini akibat dari serbuan Ayutthaya. Perang yang berkepanjangan dengan bangsa Siam telah menguras tenaga Angkor sejak zaman Zhou Daguan menjelang akhir abad ke-13 masehi. Dalam catatan perjalanannya, Zhou melaporkan kerajaan menderita akibat peperangan, sedemikian sehingga segenap rakyat diwajibkan terlibat untuk membela negara.[15] Setelah keruntuhan Angkor pada tahun 1431, banyak orang (seniman, penari, ahli bangunan), naskah, dan sistem pranata Angkor diboyong ke ibu kota Ayutthaya di barat, sementara sebagian lainnya mengungsi ke ibu kota Khmer baru di Longvek jauh di Selatan, meskipun kemudian ibu kota Khmer kembali pindah, pertama ke Oudong sekitar 45 kilometer (28 mi) dari Phnom Penh di distrik Ponhea Leu, sebelum akhirnya menempati kota Phnom Penh.
Merosotnya agama kerajaan
Beberapa ahli sejarah mengaitkan kemerosotan Angkor sebagai akibat peralihan agama bangsa Kamboja dari memeluk Hindu menjadi Buddha Theravada setelah pemerintahan Jayawarman VII. Pendapat ini didasari bahwa peralihan agama ini merusak sistem dan wibawa Dewaraja Hindu sehingga menyebabkan runtuhnya peradaban Angkor.[16] Menurut sejarahwan peneliti Angkor George Coedès, aliran Buddha Theravada menyangkal kenyataan sesungguhnya sebagai dunia fana, sehingga merusak semangat pemujaan terhadap tokoh pribadi atau raja yang selama ini mendasari pembangunan monumen agung berupa candi-candi Angkor.[17]
Pekerjaan umum yang terlantar
Menurut George Coedès, melemahnya pemerintahan kerajaan Angkor akibat perang yang berlarut-larut dan merosotnya pemujaan dewaraja sehingga melemahkan kemampuan dan kewibawaan kerajaan untuk mengelola dan mengerahkan rakyatnya dalam pekerjaan umum, seperti pembangunan dan pemeliharaan saluran air yang penting untuk irigasi sawah, dimana rakyat Angkor yang berjumlah banyak itu sangat bergantung pada pertanian padi sawah. Akibatnya peradaban Angkor menderita penurunan ekonomi dan rakyat terpaksa berpindah dan menyebar ke tempat lain.[18]
Bencana alam
Ahli sejarah lain berusaha mengaitkan antara merosotnya dan penurunan jumlah penduduk Angkor dengan dugaan hipotesis bencana alam dan wabah penyakit; misalnya Pes bubo, gempa bumi, banjir, atau perubahan iklim yang drastis sebagai penyebab kehancuran lingkungan.[18] Penelitian paling mutakhir Arkeolog Australia mengajukan teori bahwa merosotnya peradaban Angkor akibat bencana kekeringan dari periode hangat pertengahan menuju zaman es kecil.[19]LDEO riset dendrokronologi menyatakan kronologi cincin batang pohon menunjukkan periode bencana kekeringan dahsyat di seluruh daratan Asia Tenggara pada awal abad ke-15, menimbulkan dugaan bahwa jaringan kanal saluran air dan danau penyimpan air Angkor mengering.[20]
Beberapa pohon yang di data berusia sembilan abad. pohon-pohon itu mengenyam masa kejayaan dan kejatuhan Angkor. Kisah yang mencengangkan terungkap dari pohon-pohon tersebut. Deretan lingkaran pertumbuhan yang rapat menunjukkan bahwa pohon-pohon itu menghadapi kemarau hebat yang berturut-turut, 1362-1392 dan 1415-1440. Pada masa-masa ini, angin monsun lemah atau terlambat dan pada beberapa tahun mungkin gagal sama sekali. pada tahun-tahun lain, mega monsun mendera wilayah itu.
Bagi kerajaan yang goyah, cuaca ekstrem mungkin menjadi peristiwa yang menjatuhkannya. Beberapa dasawarsa sebelumnya, tata air Angkor sudah melemah,terbukti dari Baray Barat yang ditelantarkan. Kemarau panjang dan parah diselingi hujan deras membuat struktur bangunan menjadi sangat rapuh. Di saat populasi di negeri tropis melebihi kemampuan tanah untuk menopangnya, dimulailah masalah yang sesungguhnya. Hal ini berujung pada keruntuhan budaya serta perang memperebutkan wilayah dan sumber pangan.
Kejatuhan Angkor adalah pelajaran penting tentang batas kecerdasan manusia. Bangsa Khmer telah mengubah dunia mereka, dengan investasi monumental yang sulit diabaikan oleh para penguasa kerajaan itu. Sistem hidraulis Angkor adalah mesin yang luar biasa, mekanisme bagus untuk mengatur dunia. Para insinyur Khmer berhasil mengoperasikan karya palng luar biasa selama enam abad, hingga akhrnya dikalahkan oleh kekuatan yang lebih besar.
Pemugaran, pelestarian, dan ancaman
Banyak ilmuwan percaya bahwa sebagian besar kota dan candi di kota Angkor tertutup tanaman besar hutan rimba hingga akhir abad ke-19, ketika para arkeolog Prancis memulai proses pemugaran. Dari tahun 1907 hingga tahun 1970 proyek pemugaran dilakukan atas arahan dan pengelolaan École française d'Extrême-Orient, dengan menebang pohon besar, memperbaiki fondasi bangunan, serta memasang sistem drainase untuk melindungi bangunan dari kerusakan akibat air. Sebagai tambahan, para ilmuwan dan arkeolog yang terkait institusi ini, termasuk George Coedès, Maurice Glaize, Paul Mus, Philippe Stern dan lainnya, mulai merintis program beasiswa sejarah untuk meneliti dan menerjemahkan bukti-bukti sejarah untuk memahami sejarah Angkor yang sesungguhnya.
Proyek pemugaran sempat terhenti akibat Perang Saudara Kamboja. Sejak 1993 proyek pemugaran dimulai kembali dengan bantuan Prancis, Jepang, dan UNESCO melalui komite koordinasi internasional untuk menjaga dan membangun situs bersejarah Angkor (International Co-ordinating Committee/ICC), sementara dari pihak Kamboja institusi yang berwenang adalah otoritas perlindungan dan pengelolaan kawasan Angkor dan Siem Reap (Authority for the Protection and Management of Angkor and the Region of Siem Reap/APSARA), dibentuk pada tahun 1995. Beberapa candi secara teliti dibongkar batunya satu demi satu untuk disusun kembali dengan fondasi beton, sesuai dengan metode anastilosis. World Monuments Fund telah mendanai pemugaran Preah Khan, relief Samudramanthana yang menggambarkan pengadukan samudra susu oleh dewa dan asura (bas-relief sepanjang 49 meter di Angkor Wat), serta candi Ta Som dan Phnom Bakheng. Pariwisata internasional mengunjungi Angkor telah meningkat tajam pada tahun-tahun terakhir ini dengan jumlah wisatawan mencapai 900.000 orang pada tahun 2006; hal ini menambah masalah baru bagi pelestarian, akan tetapi juga merupakan sumber pendanaan baru untuk upaya pemugaran dan pelestarian Angkor.[21]
Eksploitasi air tanah
Dengan kian maranya pariwisata di Angkor, berbagai hotel dan restoran baru menjamur di Siem Reap untuk mengakomodasi pertumbuhan pesat ini. Tiap proyek pembangunan ini mengebor tanah untuk mengambil air tanah yang terbatas. Eksploitasi penyedotan air tanah yang berlebihan dapat merusak stabilitas tanah berpasir di bawah monumen-monumen Angkor. Hal ini dapat menyebabkan retakan, patahan, dan runtuhnya bangunan di Angkor.[22]
Penjarahan
Penjarahan selama ini telah menjadi masalah yang terus muncul di situs arkeologi Angkor. Menurut APSARA, badan resmi Kamboja yang mengawasi dan mengelola Angkor, "vandalisme telah berlipat ganda dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, melibatkan penduduk setempat yang melakukan pencurian benda bersejarah, atau pencurian benda bersejarah yang melibatkan oknum militer yang membawa dan mengangkut relik bersejarah dalam kendaraan truk militer, atau tank dengan dikawal oknum militer yang menjual relik ini ke luar perbatasan Kamboja."[23]
Pariwisata yang tidak berwawasan lingkungan
Meningkatnya jumlah wisatawan yang diperkirakan mencapai tiga juta pada 2010, menimbulkan tekanan atas situs arkeologi Angkor dengan menaiki dan memanjat bebatuan candi Angkor. Kunjungan wisatawan berlebihan ini secara berlarut-larut dapat secara signifikan merusak monumen pada masa depan.[24]
Wagner, Jonathan (1992). "Environmental planning for a world heritage site: Case study of Angkor, Cambodia." Journal of Environmental Planning & Management Vol 38(3) pp. 419.
(Inggris) Freeman, Michael and Jacques, Claude. Ancient Angkor. River Books, 1999. ISBN 0-8348-0426-3.
Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient, 1901-1936. Now online at gallica.bnf.fr, this journal documents cutting-edge early 20th-century French scholarship on Angkor and other topics related to Asian civilizations.
Royal Angkor FoundationDiarsipkan 2020-09-30 di Wayback Machine. - Foundation concerned with the safeguarding and the development of the cultural site of Angkor. In charge of various cultural projects.