Suku Māori (/ˈmaʊri/; Pengucapan Māori: [ˈmaːɔɾi]simakⓘ[6]) adalah penduduk asli asal Polinesia yang tinggal di Selandia Baru. Suku ini berasal dari pendatang Polinesia timur yang tiba di Selandia Baru dalam beberapa gelombang migrasi menggunakan waka (kano) di antara tahun 1320 dan 1350.[7] Setelah terisolasi beberapa abad, para pendatang ini mengembangkan budaya mereka sendiri dengan bahasa, mitologi, teknik kriya, serta seni pertunjukan yang berbeda dengan budaya Polinesia timur lainnya. Beberapa penduduk awal suku Māori pindah ke Kepulauan Chatham; keturunan penduduk awal ini kemudian menjadi kelompok etnis Selandia Baru yang lain, yaitu Suku Moriori.[8]
Gaya hidup orang Māori banyak mengalami perubahan setelah orang Eropa datang ke Selandia Baru pada abad ke-17. Orang Māori kemudian perlahan-lahan mengadopsi berbagai aspek budaya dan kehidupan masyarakat Barat. Pada awalnya, hubungan antara orang Māori dan Eropa relatif baik. Sejak Perjanjian Waitangi di tahun 1840, kedua budaya tersebut hidup bersama. Pada tahun 1860, mulai terjadi perpecahan akibat konflik penjualan lahan, yang berujung pada penyitaan lahan dalam skala besar. Perpecahan sosial dan epidemi penyakit yang dibawa dari luar menyebabkan populasi suku Māori turun secara tajam. Jumlah penduduk suku Māori baru kembali meningkat pada awal abad ke-20. Sejak saat itu, mulai banyak upaya untuk mengembalikan keadilan sosial dan kedudukan suku Māori di masyarakat Selandia Baru secara umum.
Dengan demikian, budaya tradisional Māori mengalami kebangkitan kembali yang besar, yang juga diperkuat dengan adanya gerakan protes Māori di tahun 1960-an. Sayangnya, suku Māori masih mengalami kesulitan ekonomi dan sosial yang besar. Secara umum, perkiraan umur dan pendapatan mereka pun lebih rendah daripada kelompok etnis lain yang hidup di Selandia Baru. Suku ini juga mengalami angka tingkat kejahatan, masalah kesehatan, serta ketertinggalan pendidikan yang lebih parah daripada kelompok etnis lain di Selandia Baru. Beberapa inisiatif sosio-ekonomis telah dilakukan dengan tujuan untuk menutup jarak antara orang Māori dan penduduk Selandia Baru lainnya. Ganti rugi politis dan ekonomis untuk berbagai kerugian historis juga masih terus berlanjut.
Dalam Sensus Selandia Baru 2018, terungkap bahwa terdapat 775.836 penduduk di Selandia Baru yang menyatakan dirinya orang Māori, yaitu sekitar 16,5% dari populasi nasional. Kelompok ini merupakan kelompok etnis terbesar kedua di Selandia Baru, tepat di bawah penduduk Selandia Baru asal Eropa ("Pākehā"). Terdapat pula 140.000 orang Māori yang tinggal di Australia. Bahasa Māori digunakan oleh sekitar seperlima penduduk Māori atau 3% dari total penduduk. Orang Māori aktif dalam seluruh aspek kehidupan dan kebudayaan Selandia Baru, dengan representasi yang jelas dalam media, politik dan olahraga.
Etimologi
Dalam bahasa Māori, kata māori berarti "normal", "alami", atau "biasa". Dalam legenda dan tradisi lisan, kata ini membedakan antara manusia biasa (tāngata māori) dengan dewa-dewi dan roh.[9][i] Lebih lanjut, wai māori berarti "air bersih", yang diperlawankan dengan air asin. Ada banyak kata yang berkerabat dengan istilah-istilah ini dalam bahasa Polinesia lain,[10] yang semuanya berasal dari kata Proto-Polinesia *ma(a)qoli, yang kira-kira berarti "benar, nyata, asli".[11][12]
Penamaan dan penamaan diri
Pada mulanya, para pendatang dari Eropa ke Selandia Baru menamakan penduduk asli pulau ini sebagai "orang Selandia Baru" ("New Zealanders") atau "pribumi".[13] Orang Māori sendiri menggunakan istilah māori untuk menyebut penduduk mereka sendiri dari dalam maupun luar suku.[ii] Orang Māori cenderung menggunakan istilah tangata whenua (yang secara harafiah berarti "penduduk suatu daerah") untuk menyebutkan hubungan mereka dengan daerah tertentu. Orang Māori dari suatu daerah akan menyebut diri mereka tangata whenua daerah itu, tetapi bukan tangata whenua daerah lain.[14] Istilah ini juga dapat dipahami dalam konteks suku Māori secara keseluruhan dalam hubungannya dengan Selandia Baru (Aotearoa) secara umum.
Dari sudut pandang pemerintah, tidak selalu jelas siapa yang dianggap orang Māori. Pada tahun 1974, demi kepentingan pemilihan umum, pemerintah mewajibkan dokumen yang membuktikan keturunan bagi yang mengaku "orang Māori". Hanya orang-orang yang memiliki 50% keturunan Māori dapat ikut memilih kursi Parlemen khusus orang Māori. Amandemen Undang-undang Urusan Maori tahun 1974 mengubah hukum ini dan memperbolehkan siapa pun untuk menyatakan identitas budayanya sesuai dengan yang orang itu inginkan. Hingga tahun 1986, badan sensus Selandia Baru mewajibkan setidaknya 50% garis keturunan Māori agar dapat mengklaim hubungan dengan suku Māori. Saat ini, dalam semua konteks, pemerintah biasanya akan meminta dokumen pembuktian nenek moyang atau bukti keterlibatan budaya (seperti misalnya pernyataan dari orang lain bahwa orang tersebut memang ada di dalam suku), tetapi tanpa batas persentase turunan.[15][iii]
Tidak ditemukan bukti jelas mengenai adanya penduduk Selandia Baru pra-Māori. Berbagai bukti dari bidang-bidang arkeologi, linguistik, dan antropologi fisik menunjukkan bahwa penduduk pertama pulau ini bermigrasi dari Polinesia dan kemudian menjadi suku Māori.[16][17] Bukti menunjukkan bahwa nenek moyang suku ini, yang merupakan bagian dari kelompok besar bangsa Austronesia, sudah ada sejak 5.000 tahun yang lalu hingga mencapai penduduk asli Taiwan. Orang Polinesia tinggal di daerah yang besar, meliputi kepulauan Samoa, Tahiti, Hawaii, Pulau Paskah (Rapa Nui) – dan terakhir Selandia Baru.[18]
Ada kemungkinan bahwa pulau ini sudah pernah dieksplorasi dan diduduki sebelum meletusnya Gunung Tarawera di tahun 1315. Kemungkinan ini berdasarkan bukti yang didapat dari tulang tikus Polinesia dan kerang yang digigit tikus[19] serta bukti kebakaran hutan yang meluas pada satu dekade sebelumnya.[20][21] Akan tetapi, bukti terbaru menunjukkan bahwa pendudukan terbesar pulau ini terjadi sebagai migrasi besar-besaran terencana yang terjadi antara tahun 1320 dan 1350.[16] Analisis ini sesuai dengan analisis tradisi lisan Māori yang menggambarkan kedatangan nenek moyang mereka dalam kano samudera (waka) di sekitar tahun 1350.[22][23]
Periode terdahulu pendudukan Māori dikenal sebagai periode "Arkais", "Moahunter", atau "Kolonialisasi", kira-kira pada sekitar tahun 1300 hingga tahun 1500. Pada mulanya, makanan orang Māori banyak terdiri dari daging moa dan burung-burung besar lainnya serta anjing laut berbulu yang sebelumnya tidak pernah dimakan. Periode Arkais ini ditandai dengan artefak "kalung kumparan"[24] serta ketiadaan senjata dan benteng yang kemudian akan muncul pada zaman "Klasik" Māori.[25] Situs Arkais yang paling terkenal dan paling banyak diteliti adalah Wairau Bar di Pulau Selatan (South Island).[26][27] Di pulau ini terdapat bukti pendudukan dari awal abad ke-13 hingga awal abad ke-15.[28] Situs ini merupakan satu-satunya situs arkeologis Selandia Baru yang diketahui yang mengandung tulang orang-orang yang lahir di tempat lain.[28]
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan transisi ke periode Klasik (periode pada saat terjadi kontak dengan orang Eropa), antara lain iklim yang sangat mendingin sejak tahun 1500,[29] serta kepunahan burung moa dan spesies makanan lainnya.[30][31][32][33][34]
Periode Klasik ditandai dengan keberadaan senjata dan ornamen yang terbuat dari batu hijau (pounamu), kano perang yang berukiran rumit, serta keberadaan wharenui (rumah musyawarah).[35]Budaya petarung yang garang kemudian juga muncul, besertaan dengan benteng di atas bukit yang dikenal sebagai pā[36] dan kemunculan praktik kanibalisme.[37][38][39]
Pada sekitar tahun 1500, sekelompok orang Māori bermigrasi ke arah timur, ke Kepulauan Chatham. Mereka berkembang menjadi suku Moriori.[40] Suku ini menekankan kedamaian dalam budaya mereka.[41]
Kontak dengan orang Eropa
Penjelajah Eropa pertama yang tiba di Selandia Baru adalah Abel Tasman pada tahun 1642, diikuti Kapten James Cook di tahun 1769 dan terakhir, Marion du Fresne di tahun 1772. Hubungan awal orang Eropa dengan orang Māori tidak baik, kadang berujung fatal. Dalam ekspedisi Tasman, empat orang awak kapalnya meninggal dan satu orang Maori diduga meninggal. Kapal Tasman bahkan tidak sempat mendarat.[42] Anak buah Kapten Cook menembak setidaknya delapan orang Māori dalam waktu tiga hari setelah pendaratan pertamanya.[43][44] Namun demikian, ia kemudian berhasil menjalin hubungan baik dengan orang Māori. Tiga tahun kemudian, setelah awal mula yang tampak baik, du Fresne dan 26 anak buahnya mati dibunuh. Sejak tahun 1780, orang Māori juga semakin banyak berjumpa dengan pemburu anjing laut dari Eropa dan Amerika serta misionaris Kristen. Hubungan mereka secara garis besar berjalan lancar, meskipun tetap terjadi beberapa insiden kekerasan. Insiden yang paling parah adalah pembantaian Boyd dan serangan balas dendam yang muncul setelahnya.[45]
Orang Eropa mulai tinggal di Selandia Baru di awal abad ke-19. Keberadaan mereka menimbulkan pertukaran budaya dan ide secara besar-besaran. Banyak orang Māori yang menghargai orang Eropa. Mereka memanggilnya dengan sebutan pākehā. Orang Māori cenderung memandang orang Eropa sebagai jalur untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi Barat. Mereka juga dengan cepat mengembangkan tulisan sebagai cara bertukar pendapat. Banyak cerita lisan dan puisi mereka yang kemudian dikembangkan ke dalam bentuk tulisan.[46] Masuknya kentang kemudian menimbulkan revolusi agrikultura dan senjata api juga mulai diperkenalkan.[47] Penggunaan senjata api oleh orang Māori kemudian menimbulkan perang antarsuku yang dikenal sebagai Peperangan Senapan. Dalam peperangan ini, banyak kelompok yang dihabisi dan kelompok-kelompok lainnya dipaksa keluar dari daerah tradisional mereka.[48] Orang-orang Moriori yang mementingkan perdamaian di Kepulauan Chatham juga menderita pembantaian dan subjugasi oleh orang-orang iwi dari Taranaki.[49] Pada waktu yang sama, orang Māori juga menderita tingkat kematian yang tinggi akibat penyakit infeksius Eurasia, antara lain influenza, cacar air dan campak. Penyakit-penyakit ini menewaskan sekitar 10–50% orang Māori.[50][51]
Pada tahun 1839, diperkirakan terdapat sekitar 2.000 orang Eropa yang tinggal di Selandia Baru.[52]Mahkota Inggris pun akhirnya menyetujui permintaan dari para misionaris dan beberapa kepala suku Māori (rangatira) untuk turun tangan. Pemerintah Inggris mengirim Kapten Angkatan Laut Kerajaan, William Hobson, untuk menegosiasikan perjanjian antara Kerajaan inggris dan Suku Māori, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Waitangi. Pada bulan Februari 1840, perjanjian ini ditandatangani oleh Mahkota Inggris dan 500 kepala suku Māori dari seluruh Selandia Baru.[53][54] Sebagai hasil dari perjanjian ini, orang Māori menerima hak penuh sebagai subyek Inggris, hak properti dan otonomi kesukuan mereka pun dijamin, dan sebagai gantinya mereka menerima kedaulatan Inggris dan aneksasi Selandia Baru sebagai koloni dalam Imperium Britania.[55] Dalam praktiknya, terus terjadi perselisihan mengenai berbagai aspek Perjanjian Waitangi, termasuk perbedaan editorial dalam kedua versi (bahasa Inggris dan bahasa Māori), serta kesalahpahaman yang terjadi akibat perbedaan konsep kultural.[56]
Namun demikian, hubungan antara orang Māori dan orang Eropa pada masa awal kolonial berjalan lancar dan damai. Banyak kelompok Māori yang membangun bisnis yang besar. Mereka mengirim makanan dan produk lainnya untuk konsumsi domestik dan luar negeri. Apabila ada perselisihan, misalnya Masalah Wairau, Perang Flagstaff, Kampanye Bukit Hutt, dan Kampanye Wanganui, perselisihan ini cenderung kecil dan terbatas serta selesai dengan perjanjian damai. Akan tetapi, pada tahun 1860-an, jumlah penduduk Eropa yang semakin tinggi dan ketegangan akibat konflik pembelian lahan berujung pada Peperangan Selandia Baru antara pemerintah kolonial dan banyak orang asli Māori, melibatkan tentara Imperium Britania dan beberapa iwi yang bersekutu dengan Inggris. Konflik-konflik ini berujung pada penyitaan tanah oleh pemerintah kolonial sebagai hukuman atas apa yang mereka sebut "pembangkangan". Pendatang pākehā kemudian akan menempati tanah-tanah yang disita.[57] Beberapa konflik kecil juga terjadi setelah perang, seperti insiden di Parihaka pada tahun 1881 dan Perang Pajak Anjing dari tahun 1897 hingga 1898. Pengadilan Tanah Adat Selandia Baru kemudian didirikan untuk memindahkan kepemilikan tanah adat Māori dari kepemilikan komunal menjadi sertifikat individual, sebagai cara mengasimilasi dan juga untuk memudahkan penjualan kepada pendatang dari Eropa.[58]
Kemunduran dan kelahiran kembali
Pada akhir abad ke-19, baik orang Pākehā maupun orang Māori banyak yang meyakini bahwa masyarakat Māori akan punah sebagai ras atau budaya yang terpisah dan mereka akan sepenuhnya terasimilasi dengan populasi Eropa.[59] Dalam sensus 1896, populasi Māori di Selandia Baru tercatat sebanyak 42.113 orang, sementara ada lebih dari 700.000 orang Eropa.[60]
Akan tetapi, kemunduran ini tidak berlanjut dan populasi Māori terus kembali meningkat pada abad ke-20. Politikus Māori penting seperti James Carroll, Apirana Ngata, Te Rangi Hīroa dan Maui Pomare berupaya untuk memulihkan masyarakat Māori setelah kehancuran yang terjadi pada abad sebelumnya. Mereka percaya bahwa demi masa depan, orang Māori harus melakukan asimilasi budaya[61] dengan cara mengadopsi teknik pengobatan dan pendidikan Barat (terutama pengajaran bahasa Inggris) sambil tetap menjalankan praktik budaya tradisional. Orang Māori juga turut berperang dalam kedua Perang Dunia dalam bataliun khusus (Bataliun Pionir Māori di Perang Dunia I dan Bataliun ke-28 (Maori) di Perang Dunia II). Orang Māori juga banyak menderita akibat epidemi influenza 1918 dan tingkat kematian mereka 4,5 kali lebih tinggi daripada orang Pākehā. Setelah Perang Dunia II, penggunaan bahasa Māori turun drastis dibandingkan penggunaan bahasa Inggris.
Sejak tahun 1960-an, bangsa Maori telah melalui kebangkitan kebudayaan[62] yang dibarengi dengan aktivisme dan gerakan protes memperjuangkan keadilan sosial.[63] Institusi seperti kōhanga reo (pra-sekolah berbahasa Māori) didirikan pada tahun 1982 untuk memperluas penggunaan bahasa Māori dan menghentikan kemundurannya.[64] Terdapat dua stasiun televisi berbahasa Māori yang bersiar dalam bahasa Māori.[65][66] Sementara itu, kata-kata seperti "kia ora" kini digunakan secara meluas dalam Bahasa Inggris Selandia Baru.[67]
Pemerintah yang menyadari kemunculan kekuatan dan aktivisme politik orang Maori kini mulai memberikan ganti rugi terbatas untuk penyitaan tanah yang terjadi dalam sejarah. Di tahun 1975, Mahkota Inggris mendirikan Tribunal Waitangi untuk menginvestigasi kerugian historis[68] dan sejak tahun 1990-an pemerintah Selandia Baru menegosiasi dan menyelesaikan Perjanjian Waitangi dengan banyak iwi yang tersebar di Selandia Baru. Pada bulan Juni 2008, pemerintah telah menyediakan lebih dari 900 juta dolar Selandia Baru untuk penyelesaian perjanjian, yang kebanyakan diberikan dalam bentuk pembelian tanah.[69]
Meski dalam masyarakat Selandia Baru secara umum sudah ada penerimaan yang meluas akan budaya Māori, penyelesaian perjanjian ini banyak menuai kontroversi. Beberapa orang Māori menilai bahwa harga yang diberikan untuk tanah mereka yang disita hanya 1–2,5 sen untuk setiap dolar. Mereka menganggap bahwa ini bukan merupakan ganti rugi yang cukup. Di sisi lain, beberapa orang non-Māori menganggap bahwa penyelesaian masalah dan inisiatif sosio-ekonomis ini merupakan perlakuan istimewa berbasis ras.[70] Kedua pendapat ini timbul ke muka dalam kontroversi tepi pantai dan dasar laut Selandia Baru di tahun 2004.[71][72]
Demografi
Dalam Amandemen Undang-undang Urusan Māori yang disahkan pada tahun 1974, orang Māori ditentukan sebagai "orang Selandia Baru yang memiliki keturunan Māori, termasuk keturunannya".[73] Pada akhir abad ke-18, James Cook memperkirakan bahwa terdapat 100.000 orang Māori di Selandia Baru. Sejarawan Michael King lebih setuju pada angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu 110.000.[74] Jumlah mereka menurun pada abad ke-19, hingga serendah 42.000. Penurunan ini dikaitkan dengan kemunculan berbagai penyakit baru sebagai dampak kolonialisasi Eropa.[75] Setelah itu, populasinya kembali tumbuh dengan cepat.
Pada Sensus Selandia Baru 2018, terdapat 775.836 orang yang menyatakan dirinya orang Māori. Ini berarti sekitar 16,5% dari seluruh populasi nasional Selandia Baru. Dalam sensus ini, terjadi peningkatan sebesar 177.234 orang (29,6%) sejak sensus terakhir pada tahun 2013, serta peningkatan sebesar 210.507 orang (37,2%) sejak sensus 2006. Peningkatan yang besar antara 2013 dan 2018 ini terjadi akibat Badan Statistika Selandia Baru yang menambahkan data etnisitas dari sumber lain (sensus sebelumnya, data administratif, serta imputasi) ke dalam data sensus 2018 untuk mengurangi jumlah non-responden.[76]
Terdapat 383.019 laki-laki dan 392.820 perempuan dalam suku Māori. Rasio gender berada pada 0,975 laki-laki untuk setiap perempuan. Umur median berada pada 25,4 tahun (dibandingkan dengan 37,4 tahun untuk Selandia Baru secara nasional). 248.784 orang (32,1%) berumur di bawah 15 tahun, 193.146 (24,9%) berumur 15-29 tahun, 285.657 (36,8%) berumur 30-64 tahun, dan 48.252 (6,2%) berumur 65 tahun atau lebih tua.[77]
Dari populasi yang menyatakan diri orang Māori pada sensus 2013, 278.199 menyatakan bahwa mereka murni Māori, sementara 260.229 menyatakan keturunan campuran antara orang Eropa dan Māori. Terdapat tingkat pernikahan antaretnis yang besar antara kedua kelompok etnis tersebut.[79]Iwi yang terbesar menurut populasi adalah Ngāpuhi (125.601), diikuti dengan Ngāti Porou (71.049), Ngāi Tahu (54.819), dan Waikato (40.083). Sekitar 110.000 orang keturunan Māori tidak dapat menemukan iwi mereka.[80]
Di luar Selandia Baru, banyak orang Māori yang hidup di Australia. Kira-kira ada 155.000 pada tahun 2011.[81] Pada tahun 2007, Partai Māori mengatakan bahwa harus ada kursi khusus untuk representasi orang Māori di parlemen Australia.[82] Ada pula populasi kecil di Britania Raya (sekitar 8.000), Amerika Serikat (hingga 3.500) dan Kanada (sekitar 1.000).[3][83][84]
Budaya Māori merupakan bagian yang unik dari budaya Selandia Baru. Sebagai hasil dari besarnya diaspora orang Māori dan masuknya motif Māori ke dalam budaya populer, budaya ini dapat ditemukan di seluruh dunia.[85][86] Budaya Māori kontemporer terdiri dari budaya tradisional maupun budaya yang terkena pengaruh abad ke-20.
Budaya tradisional
Julius von Haast salah menduga bahwa artefak arkeologis terdahulu yang ia temukan adalah artefak dari orang-orang Paleolitik pra-Māori. Peneliti-peneliti selanjutnya, terutama Percy Smith, membesar-besarkan teori semacam itu menjadi sebuah cerita rumit. Menurut versi ini, orang Māori datang melalui sebuah Armada Besar di tahun 1350 dan menggantikan budaya "pemburu moa" yang sudah ada dengan budaya "Māori klasik" yang sumber pangannya berdasar pada agrikultura.[87] Rekam jejak arkeologis menunjukkan bahwa sesungguhnya terdapat perubahan sedikit demi sedikit dalam budaya.[88] Selama beberapa abad, jumlah populasi yang meningkat menimbulkan persaingan untuk sumber daya dan bertambahnya jumlah peperangan dan konflik. Bersamaan dengan itu, muncullah benteng di atas bukit yang disebut sebagai pā. Banyak sistem juga kemudian muncul yang bertujuan untuk mengonservasi sumber daya. Kebanyakan sistem tersebut, seperti tapu dan rāhui, menggunakan ancaman-ancaman religius atau supernatural agar orang-orang tidak berburu spesies tertentu pada musim tertentu atau dari daerah tertentu.
Peperangan antarsuku lazim terjadi. Orang Māori juga kadang memakan musuhnya.[89] Seni pertunjukan seperti haka berkembang dari akar Polinesia mereka, sebagaimana seni ukir dan seni jahit. Banyak dialek regional yang kemudian muncul dengan kosa kata dan pengucapan kata yang berbeda-beda. Pada akhirnya, bahasa Māori tetap mirip dengan bahasa-bahasa Polinesia timur lainnya. Tupaia, seorang navigator asal Tahiti yang ikut dalam ekspedisi pertama James Cook di daerah ini, dapat menjadi penerjemah antara orang Māori dan awak kapal Endeavour.
Kepercayaan Māori tradisional berasal dari budaya Polinesia. Konsep-konsep yang berasal dari Polinesia, seperti misalnya tapu (suci), noa (tidak suci), mana (otoritas/prestise) dan wairua (jiwa), memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari orang Māori. Ada banyak dewa-dewi dalam kepercayaan Māori. Kini, orang Māori banyak yang beragama Kristen, termasuk dalam denominasi Presbiterian, Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir (Mormon), kelompok Kristen Māori seperti Rātana dan Ringatū,[91] dan juga Katolik, Anglikan, dan Metodis.[92][93] Agama Islam diperkirakan sebagai agama yang paling cepat berkembang di kalangan orang Māori,[94] meskipun jumlah orang Muslim Māori masih sangat sedikit. Pada Sensus Selandia Baru 2013, 8,8% mengaku beragama Kristen Māori, 39,6% masuk ke dalam denominasi Kristen lainnya, dan 46,3% mengaku tidak beragama. Proporsi orang Māori yang Kristen dan yang tidak beragama sebanding dengan orang Selandia Baru asal Eropa.[95]
Banyak orang Māori yang masih mempercayai tradisi spiritual seperti tapu dan noa. Benda-benda, daerah, atau bangunan tertentu dapat dianggap tapu (terlarang secara spiritual) dan harus dibuat menjadi noa (tidak terlarang) melalui upacara.[96] Misalnya, ketika hendak memasuki sebuah wharenui (rumah musyawarah), sebaiknya melepas sepatu sebagai tanda penghormatan untuk roh nenek moyang yang diwakilkan dan hadir secara spiritual di dalamnya.[97] Ritual spiritual lainnya adalah hurihanga takapau (penyucian) yang dipraktikkan untuk memastikan bahwa ikan yang ditangkap tidak tapu.[98]
Seni pertunjukan
Pertunjukan waiata (musik), haka (tari), tauparapara (nyanyian) dan mōteatea (puisi) digunakan orang Māori untuk menyampaikan dan melanjutkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang sejarah dan masyarakat. Kapa haka adalah seni pertunjukan Māori [99] yang bermula di tahun 1880-an. Pada awalnya, kapa haka hanya dipertunjukkan untuk turis serta dipertontonkan oleh kelompok seniman yang pergi ke luar negeri.[100] Bentuk kesenian ini kemudian digunakan pada saat Perang Dunia I untuk mengumpulkan dana bagi Dana Prajurit Māori yang dimajukan oleh Apirana Ngata.[100]Haka sering kali dipertunjukkan dalam sebuah pōwhiri (upacara penyambutan).[101]
Sejak tahun 1972, di Selandia Baru sudah diadakan kompetisi kapa haka nasional. Kompetisi ini berbentuk festival, yaitu Festival Nasional Te Matatini, yang diorganisir oleh Komunitas Seni Pertunjukan Tradisional Māori Aotearoa. Sekolah, kampus, dan tempat kerja juga kerap mengadakan kelompok kapa haka. Seni ini juga sering dipertontonkan di tempat turis di seluruh Selandia Baru.[102][103]
Whare tapere (rumah pertunjukan) adalah tempat orang Māori bertukar cerita, tari dan seni boneka di zaman budaya Māori sebelum kedatangan orang Eropa.[104][105] Teater dan tari kontemporer Māori mulai berkembang di tahun 1970-an dan 80-an, dengan kemunculan kelompok-kelompok seperti Te Ohu Whakaari, Te Ika a Maui Players, dan Taki Rua. Beberapa penulis naskah dan aktor Māori yang lumayan tenar adalah George Henare, Riwia Brown, Hone Kouka, Nancy Brunning, Jim Moriarty, Briar Grace-Smith, dan masih banyak lagi.[106]
Instrumen musik tradisional Māori disebut taonga pūoro. Instrumen ini banyak digunakan saat menyampaikan cerita, melakukan tradisi keagamaan, serta juga dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika memulai hari baru.[107] Terdapat dua jenis taonga pūoro, yaitu instrumen melodi seperti suling serta instrumen ritmis seperti poi, "bola biji rami yang diutas tali, untuk diayun dan ditepuk".[108]
Hubungan antara suku Māori dengan orang Indonesia juga sempat ditampilkan melalui seni pertunjukan, yaitu dalam kolaborasi Tantowi Yahya, Dubes Indonesia untuk Selandia Baru yang diangkat jabatan pada tahun 2017, dengan empat penyanyi Selandia Baru, yaitu Ron Mark, Shane Reti, Louisa Wall, dan Caai-Michelle (semuanya dari suku Māori). Mereka menciptakan album berjudul "Friends for Good", yang menggambarkan kedekatan antara Dubes Tantowi dengan rekan kerjanya di Selandia Baru.[109]
Kesusastraan dan media
Seperti dalam budaya lain, selama berabad-abad, tradisi lisan digunakan oleh suku Māori untuk menyimpan cerita dan kepercayaan. Dalam abad ke-19, kemampuan membaca-tulis gaya Eropa mulai masuk ke dalam suku Māori. Mereka mulai mendokumentasikan sejarah dalam bentuk buku, novel dan kemudian acara televisi. Penggunaan bahasa Māori dalam sastra mulai menurun pada abad ke-20, digantikan dengan bahasa Inggris. Sastra Māori berbahasa Inggris semakin lazim.
Novelis yang terkenal dari kalangan suku Māori adalah Patricia Grace, Witi Ihimaera dan Alan Duff. Once Were Warriors adalah sebuah film tahun 1994 yang diadaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Alan Duff. Film yang bercerita tentang penderitaan suku Māori yang hidup di kalangan urban ini banyak ditonton di Selandia Baru, hingga menjadi film yang meraup omzet terbanyak hingga tahun 2006 serta meraih berbagai penghargaan internasional.[110][111][112] Ada orang Māori yang berpendapat bahwa dari film ini penonton akan menganggap laki-laki Māori biasanya berlaku kasar dan keras, tetapi kebanyakan kritik menilai bahwa film ini menyampaikan cerita yang akurat tentang kekerasan dalam rumah tangga.[113]
Di tahun 2010-an, aktor dan sutradara film Taika Waititi menjadi terkenal secara global setelah film Marvel Cinematic Universe berjudul Thor: Ragnarok. Di dalam film tersebut, ia memainkan alien bernama Korg.[114] Ia juga sempat bermain dalam film pemenang Academy Award berjudul Jojo Rabbit. Di dalamnya, ia memainkan Adolf Hitler sebagaimana dibayangkan oleh seorang anggota Pemuda Hitler yang berumur sepuluh tahun. Film-film Waititi sebelumnya termasuk Boy[115] dan Hunt for the Wilderpeople.[116] Kedua film tersebut menggambarkan protagonis muda asal Māori.
Olahraga
Orang Māori berpartisipasi penuh dalam budaya olahraga Selandia Baru. Mereka ikut dalam kesatuan rugby, liga rugby dan kelompok bola jaring dalam semua tingkatan. Selain partisipasi dalam kelompok olahraga nasional, kesatuan rugby, liga rugby dan tim kriket Māori juga bermain dalam tingkatan internasional.
Dalam Olimpiade Musim Panas 2016 di Rio de Janeiro, dari 199 delegasi dari Selandia Baru, sejumlah 41 (20,5%) adalah orang Māori. Tim rugby sendiri berjumlah 24 orang dan 17 orang di antaranya adalah orang Māori. Ada pula tiga atlet Māori dalam delegasi Australia.[117]
Tim kesatuan rugby nasional Selandia Baru dan banyak atlet Selandia Baru lainnya akan melakukan sebuah haka sebelum pertandingan. Haka dalam konteks ini adalah semacam bentuk tantangan tradisional dalam ekspresi Māori.[118][119]
Ki-o-rahi dan tapawai adalah dua jenis permainan bola yang berasal dari suku Māori. Ki-o-rahi sempat menjadi terkenal akibat digunakan McDonald's untuk mewakili Selandia Baru.[120]Waka ama (olahraga kano) juga semakin populer di Selandia Baru sejak tahun 1980-an.[121]
Bahasa Māori, atau te reo Māori (disebut [ˈmaːoɾi,teˈɾeoˈmaːoɾi] atau sederhananya Te Reo yang berarti "bahasa"), berstatus bahasa resmi di Selandia Baru. Para ahli bahasa menilai bahasa ini adalah anggota kelompok Bahasa Polinesia Timur, dekat dengan bahasa Māori Kepulauan Cook, bahasa Tuamotu, dan bahasa Tahiti. Secara lebih besar lagi, bahasa Māori termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia, yang masih satu subgrup dengan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Kemiripan antara bahasa Melayu dan bahasa Māori dalam hal kosakata, kiasan dan angka juga dapat ditemui, seperti:[123]
Bahasa Māori
Bahasa Melayu
rua
dua
rima
lima
whenua
benua
puke
bukit
rarawe
rawa-rawa
ika
ikan
matua
ketua
taringa
telinga
mata
mata
kutu
kutu
tangi
tangis
mate
mati
Sebelum terjadi kontak dengan orang Eropa, orang Māori tidak memiliki bahasa tulis. "Informasi penting seperti whakapapa harus dihafalkan dan diturunkan secara verbal dari generasi ke generasi."[124] Suku Māori mengenal peta dan ketika berinteraksi dengan para misionaris di tahun 1815, mereka mampu menggambarkan peta rohe (batasan iwi) yang akurat, di atas kertas, dan mirip dengan peta Eropa. Para misionaris ini mulanya menduga bahwa orang Māori menggambar peta di pasir atau material alamiah lainnya.[125]
Di banyak daerah di Selandia Baru, bahasa Māori kehilangan perannya sebagai bahasa hidup yang digunakan banyak orang di zaman pasca-perang. Bersamaan dengan permintaan kemerdekaan dan keadilan sosial sejak tahun 1970-an, sekolah-sekolah di Selandia Baru mulai mengajar bahasa dan budaya Māori sebagai mata pelajaran pilihan. Kohanga reo atau prasekolah yang mengajarkan anak-anak kecil secara sepenuhnya dalam bahasa Māori juga mulai bermunculan. Sekolah seperti ini, sejak 2007, kini berlanjut hingga tingkat sekolah sekunder (kura tuarua). Kebanyakan prasekolah mengajarkan kosa-kata dasar seperti warna, angka dan percakapan menggunakan lagu dan nyanyian Māori.[126]
Pemerintah juga mendanai Maori Television, sebuah kanal yang khusus bersiar dalam Te Reo. Kanal TV ini dimulai pada Maret 2004.[65] Sensus tahun 1996 menemukan keberadaan 160.000 penutur bahasa Māori.[127] Sensus 2013 melaporkan 125.352 penutur bahasa Māori (21.3%) yang mampu berbicara bahasa Māori dalam level percakapan.[128]
Masyarakat
Perkembangan historis
Para penduduk Polinesia di Selandia Baru mengembangkan masyarakat yang unik dalam waktu beberapa ratus tahun. Kelompok sosial mereka berbasis kesukuan, tanpa masyarakat bersatu maupun identitas Māori yang utuh, hingga kedatangan orang Eropa. Namun, beberapa elemen yang sama dapat ditemukan di seluruh kelompok Māori di Selandia Baru pra-kontak Eropa, antara lain nenek moyang Polinesia yang sama, bahasa dasar yang sama, hubungan keluarga, tradisi perang, serta mitologi maupun kepercayaan agama yang mirip.[129]
Kebanyakan orang Māori hidup di desa. Desa-desa ini dihidupi oleh beberapa whānau (keluarga besar) yang bersama-sama membentuk hapū (klan atau subsuku). Anggota-anggota hapū bergotong-royong mengurusi produksi makanan, pengumpulan sumber daya, membesarkan keluarga, dan menjaga desa. Masyarakat Māori di Selandia Baru dapat distratifikasi menjadi tiga kelas: rangatira, kepala suku dan keluarga pimpinan; tūtūā, orang biasa; serta mōkai, budak. Ada pula kelas tohunga, yaitu orang-orang yang ahli dalam seni, keterampilan, dan pengetahuan esoteris tertentu. Tohunga ini amat dihormati oleh orang Māori.[130][131]
Hubungan antarsuku diperkuat dengan kesamaan nenek moyang dan pernikahan dan perdagangan antarsuku. Berbagai hapū yang memiliki nenek moyang yang sama kemudian menjadikan iwi (suku), yang merupakan unit sosial terbesar di masyarakat Māori. Hapū dan iwi cenderung bekerja sama mengadakan ekspedisi untuk mengumpulkan makanan dan sumber daya atau menjaga desa pada saat konflik. Sebaliknya, peperangan juga berkembang sebagai bagian penting dalam hidup tradisional, akibat persaingan untuk makanan dan sumber daya, penyelesaian konflik pribadi, serta peningkatan prestise dan otoritas.[130]
Penduduk Eropa yang baru datang kemudian memperkenalkan berbagai alat, senjata, pakaian dan makanan ke suku Māori di seluruh Selandia Baru. Benda-benda itu dipertukarkan dengan sumber daya, tanah, dan waktu kerja. Suku Māori mulai mengadopsi berbagai elemen masyarakat Barat, secara selektif, pada abad ke-19. Hal yang diadopsi termasuk pakaian dan makanan Eropa, dan kemudian struktur pendidikan, keagamaan, dan arsitektur Barat.[132] Namun, sepanjang berjalannya abad ke-19, hubungan antara para penduduk Eropa kolonial dan berbagai kelompok Māori semakin memanas. Persaingan-persaingan ini kemudian mengarah pada konflik berskala besar di tahun 1860-an dan penyitaan jutaan hektar lahan milik Māori. Banyak tanah yang juga dibeli pemerintah kolonial dan lewat Pengadilan Tanah Adat.
Abad ke-20
Pada awal abad ke-20, orang Māori mulai sadar tentang membangun identitas kesatuan Māori, terutama dalam relasinya dengan Pākehā, yang jumlahnya kini mulai jauh lebih banyak daripada suku Māori. Masyarakat Māori dan Pākehā cenderung terpisah, secara sosial, kultural, ekonomis, dan geografis, dari hampir seluruh abad ke-19 hingga awal abad ke-20.[133] Utamanya, hal ini terjadi karena suku Māori cenderung menetap di daerah pedesaan, sementara masyarakat Eropa cenderung tinggal di kota, terutama setelah tahun 1900. Di saat yang bersamaan, kelompok-kelompok Māori terus berhubungan dengan pemerintah dan menggunakan proses hukum untuk meningkatkan kedudukan mereka di masyarakat Selandia Baru yang lebih luas dengan harapan untuk terus dapat berintegrasi dengan masyarakat.[134] Titik utama hubungan Māori dengan pemerintah adalah keempat Anggota Parlemen dari suku Māori.
Banyak orang Māori yang pindah ke kota-kota besar pada masa Depresi dan pasca-Perang Dunia II. Dengan alasan mencari pekerjaan, mereka meninggalkan desa tempat mereka tinggal, menghabiskan sumber daya desa itu dan mencabut banyak orang Māori urban dari kendali sosial tradisional dan rumah asalnya. Sementara standar hidup orang Māori terus naik, mereka tetap tertinggal daripada Pākehā dalam hal kesehatan, pendapatan, pekerjaan berketerampilan, serta akses pendidikan tinggi. Baik pimpinan Māori maupun pembuat kebijakan di pemerintah kebingungan menghadapi isu sosial yang berakar dari migrasi urban yang semakin ramai, yaitu kekurangan perumahan dan pekerjaan serta meningginya tingkat kejahatan urban, kemiskinan, dan masalah kesehatan.[135]
Dalam hal perumahan, sensus tahun 1961 menunjukkan perbedaan yang besar antara kondisi hidup orang Māori dengan orang Eropa. Pada tahun itu, dari seluruh perumahan non-Māori (bagi orang-orang yang hidup sendiri/dengan keluarga sendiri), 96,8% memiliki kamar mandi, 94,1% dilengkapi dengan air panas, 88,7% dengan toilet flush, 81,6% dengan kulkas, dan 76,8% dengan mesin cuci listrik. Sebaliknya, di antara rumah pribadi orang Māori, hanya 76,8% yang memiliki kamar mandi, 68,9% memiliki air panas, 55,8% kulkas, 54,1% toilet flush, dan hanya 47% yang memiliki mesin cuci listrik.[136]
Meskipun kedatangan orang Eropa membawa dampak yang besar bagi gaya hidup orang Māori, ada banyak aspek masyarakat tradisional yang masih tersisa hingga abad ke-21. Sementara orang Māori tetap berpartisipasi penuh dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat Selandia Baru dan menjalani gaya hidup Barat, mereka juga tetap menjaga adat budaya dan adat sosial. Strata sosial seperti rangatira, tūtūā, dan mōkai sudah hampir sepenuhnya hilang dari masyarakat Māori, tetapi peran tohunga dan kaumātua masih dapat ditemui. Hubungan persaudaraan tradisional juga terus dijaga secara aktif, dan whānau terus menjadi bagian yang integral dalam kehidupan orang Māori.[137]
Marae
Dalam tingkatan lokal, orang Māori banyak menggunakan apa yang mereka sebut marae. Dulunya, tempat ini adalah semacam ruang pertemuan pusat yang ada di desa-desa. Kini, marae biasanya terdiri dari beberapa bangunan yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Di ruang ini, mereka biasa mengadakan acara seperti pernikahan, pemakaman, layanan Gereja dan pertemuan besar lainnya. Pada umumnya, ketika berada di marae, mereka akan menghormati protokol dan adat tradisional. Marae juga biasanya berfungsi sebagai tempat berkumpulnya hapū.[138]
Tantangan sosio-ekonomis
Rata-rata, orang Māori memiliki lebih sedikit aset daripada masyarakat Selandia Baru secara besar. Mereka juga memiliki risiko ekonomis dan sosial yang lebih tinggi. Lebih dari 50 persen orang Māori hidup di tiga daerah dengan desil deprivasi sumber daya tertinggi, dibandingkan dengan 24 persen masyarakat non-Māori.[139]
Meskipun orang Māori hanya berjumlah 14% dari seluruh populasi Selandia Baru, sekitar 50% populasi penjara diisi orang Māori.[140] Mereka juga memiliki tingkat pengangguran yang lebih tinggi daripada kelompok lain yang tinggal di Selandia Baru. Hal ini dipercaya berpengaruh besar pada jumlah narapidana mereka yang besar. Banyak anak muda Māori yang ditangkap akibat perilaku terkait alkohol atau kejahatan kecil seperti vandalisme karena mereka tidak dapat mencari pekerjaan.[141] "Setengah pengangguran" (underemployment, pemberian kerja tetapi dengan pemberian tanggung jawab yang tidak sesuai, juga banyak terjadi di kalangan Māori. Hal ini terhubung dengan rasisme institusional yang masih ada di Selandia Baru.[142][143]
"Hanya 47 persen keluaran sekolah Māori yang selesai sekolah dengan kualifikasi lebih tinggi daripada NCEA Level Satu, dibandingkan dengan 74% orang Eropa, dan 87% orang Asia."[144] Meski Selandia Baru secara nasional bertingkat sangat baik dalam ranking PISA (yang mendaftar kemampuan membaca, sains dan matematika dalam level nasional), "ketika Anda membuka kembali nilai PISA ini, siswa Pakeha berada pada nomor dua di seluruh dunia dan siswa Māori hanya berada di nomor 34."[145]
Orang Māori juga menderita lebih banyak masalah kesehatan, termasuk tingginya tingkat penyalahgunaan alkohol dan narkotika, tingkat merokok, serta obesitas. Per kapita, dibandingkan dengan non-Māori, mereka lebih jarang menggunakan sistem kesehatan, yang berarti diagnosis serta pengobatan datang terlambat, bahkan bagi penyakit-penyakit yang dapat diobati, seperti kanker serviks dan diabetes.[146][147][148] Orang Māori juga memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada orang non-Māori.[149] Walau angka harapan hidup orang Māori sudah meningkat tajam dalam 50 tahun terakhir, dibandingkan dengan orang Selandia Baru yang nenek moyangnya bukan orang Māori, angka harapan hidup mereka masih lebih rendah. Pada tahun 2004, laki-laki Māori dapat diperkirakan hidup selama 69,0 tahun versus 77,2 tahun untuk laki-laki non-Māori; perempuan Māori 73,2 tahun versus 81,9 tahun untuk perempuan non-Māori.[150] Perbedaan ini mulai menyempit di tahun 2013: 72,8 tahun untuk laki-laki dan 76,5 tahun untuk perempuan Māori, dibandingkan dengan 80,2 tahun untuk laki-laki dan 83,7 tahun untuk perempuan non-Māori.[151]
Studi oleh New Zealand Family Violence Clearinghouse pada tahun 2008 menunjukkan bahwa anak dan perempuan Māori lebih berpotensi mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan kelompok etnis lain.[152]
Status Māori sebagai orang pribumi Selandia Baru dikenali dalam hukum Selandia Baru melalui istilah tangata whenua (yang secara harfiah berarti "penduduk suatu daerah"). Istilah ini menyatakan hubungan tradisional antara orang Māori dengan daerah tertentu. Secara garis besar, suku Māori dapat dianggap sebagai tangata whenua Selandia Baru secara penuh (kecuali Kepulauan Chatham, yang tangata whenua-nya adalah orang Moriori). Iwi juga ditentukan sebagai tangata whenua di daerah Selandia Baru tempat iwi itu berada, sesuai dengan adat (rohe). Hapū adalah tangata whenua dalam sebuah marae.
Masalah suku Māori menjadi titik fokus besar dalam perkara hubungan antarras di Selandia Baru. Dalam sejarahnya, banyak Pākehā yang menganggap bahwa hubungan antarras di Selandia Baru adalah "yang terbaik di seluruh dunia", sampai akhirnya migrasi urban Māori di pertengahan abad ke-20 menyorot perbedaan kultural dan sosio-ekonomis.[153]
Gerakan protes Māori berkembang besar di tahun 1960-an dan 1970-an. Mereka menuntut ganti rugi untuk kerugian yang terjadi di masa lalu, terutama yang berhubungan dengan hak tanah. Satu demi satu pemerintah telah menjawab dengan membuka program aksi afirmatif yang mendanai inisiatif pemulihan kebudayaan serta menegosiasikan perjanjian pemukiman kesukuan untuk berbagai pelanggaran Perjanjian Waitangi di masa lalu.[154] Upaya juga terus dibangun untuk mengurangi inekualitas ekonomi.[155]
Hubungan antarras tetap menjadi isu yang panas di masyarakat Selandia Baru. Aktivis Māori terus menuntut ganti rugi yang lebih jauh; mereka mengklaim bahwa tuntutan mereka dipinggirkan atau diabaikan. Laporan dari Departemen Hukum Selandia Baru pada tahun 2007 menunjukkan bahwa orang Māori banyak yang menjadi narapidana tidak hanya karena mereka lebih banyak melakukan kejahatan, tetapi juga karena mereka menghadapi lebih banyak itikad buruk dan prasangka.[156] Di sisi lain, kritik terus mengatakan bahwa jumlah asistensi yang diberikan kepada orang Māori kini sudah menjadi perlakuan preferensial kepada sejumlah elemen masyarakat yang dibedakan berdasarkan ras.[70] Kedua sentimen ini mencuat dalam kontroversi pantai Selandia Baru di tahun 2004; pemerintah Selandia Baru mengklaim kepemilikan tunggal atas tepi pantai dan dasar laut, sementara banyak kelompok Māori yang mengatakan bahwa itu adalah hak adat mereka.[157]
Perdagangan
Pengenalan yang lebih luas akan budaya Māori melalui perdagangan membawa masalahnya sendiri. Antara tahun 1998 dan 2006, Ngāti Toa berupaya untuk membuat merek dagang atas haka "Ka Mate" agar tidak dapat digunakan organisasi komersil tanpa izin mereka.[158] Di tahun 2001, pembuat mainan asal Denmark, Lego, menerima tuntutan oleh beberapa kelompok suku Māori yang tidak setuju pemberian merek dagang untuk beberapa kata Māori di dalam seri produk Bionicle.[159]
Sejak Deklarasi Kemerdekaan Selandia Baru dan sebelum Perjanjian Waitangi di tahun 1840, Māori sudah memiliki perwakilan menghadapi Mahkota Inggris. Suku ini juga sudah memiliki kursi pesanan di Parlemen Selandia Baru sejak 1868. Saat ini, terdapat 7 dari 120 kursi di parlemen unikameral Selandia Baru yang dipesan khusus untuk orang Māori. Kontestasi atas kursi Parlemen ini adalah kesempatan pertama orang Māori untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum Selandia Baru, meskipun pada awalnya perwakilan Māori yang dipilih kesulitan untuk memberikan pengaruh politik yang besar. Mereka mendapatkan hak pilih universal dengan warga negara Selandia Baru lain di tahun 1893.
Sebagai masyarakat yang berbasis kesukuan, tidak ada satu organisasi yang dapat mewakili seluruh orang Māori di seluruh negeri. Gerakan Raja Māori sempat didirikan di tahun 1860-an untuk mencoba menyatukan seluruh iwi di bawah satu pemimpin. Dalam masa modern, gerakan ini sifatnya hanya untuk upacara. Persatuan politis kembali dicoba diraih dengan Gerakan Kotahitanga, yang mendirikan Parlemen Māori terpisah dengan pertemuan tahunan dari 1892 hingga pembubarannya di tahun 1902.[161]
Terdapat 7 elektorat Māori di dalam Parlemen Selandia Baru. Lebih lanjut, orang Māori juga dapat dan pernah dipilih dan memenangkan kursi umum Parlemen. Konsultasi dan pertimbangan berbagai badan dan organisasi pemerintah dengan orang Māori juga kini telah menjadi kewajiban rutin.[162]
Ada banyak perdebatan mengenai relevansi dan legitimasi kursi elektoral khusus Māori. Pada tahun 2008, Partai Nasional menyatakan bahwa mereka akan membatalkan kursi elektoral ini ketika seluruh elemen Perjanjian Waitangi sudah diselesaikan, yang mereka janjikan akan selesai pada tahun 2014.[163] Namun, setelah pemilihan umum, Partai ini mencapai kesepakatan dengan Partai Māori untuk tidak membatalkan kursi-kursi tersebut hingga mendapatkan persetujuan dari suku Māori.[164]
Beberapa partai politik Māori telah dibangun selama beberapa tahun belakangan dalam upaya meningkatkan posisi orang Māori dalam masyarakat Selandia Baru. Partai Māori yang kini ada dibentuk pada tahun 2004 dan berhasil meraih 1,32% suara partai dalam pemilihan umum Selandia Baru tahun 2014. Mereka mendapat dua kursi dalam Parlemen Selandia Baru ke-51 dan dua Anggota Parlemen yang juga menjadi menteri di luar Kabinet Selandia Baru. Partai ini gagal mendapat perwakilan di Parlemen Selandia Baru ke-52,[165] namun berhasil mendapatkan kembali dua kursi di Parlemen Selandia Baru ke-53.[166]
Ketika Partai Pekerja Selandia Baru kembali naik ke tampuk pemerintahan di tahun 2020, Menteri Luar Negeri dari Partai Pekerja, Nanaia Mahuta, adalah menteri luar negeri perempuan pertama Selandia Baru. Ia menggantikan Winston Peters yang juga seorang Māori. Di tahun 2016, ia menjadi Anggota Parlemen pertama yang memiliki moko kauae (tato muka Māori tradisional).[167] Dalam pemilihan umum tahun 2020, muncul lebih banyak anggota parlemen lain yang memiliki moko kauae, termasuk salah satu pimpinan Partai Māori, Debbie Ngarewa-Packer dan Anggota Parlemen dari Partai Hijau Aotearoa Selandia Baru, Elizabeth Kerekere.
^ii: Kesepakatan ortografi yang dikembangkan oleh Komisi Bahasa Māori (Te Taura Whiri i te Reo Māori]] menyarankan penggunaan makron (ā ē ī ō ū) untuk menggambarkan huruf vokal panjang. Dalam bahasa Inggris Selandia Baru, mereka jarang membuat jamak kata "Māori" dengan "s", mengikuti bahasa Māori yang menandakan jamak dengan mengubah artikel (te waka berarti satu kano, ngā waka berarti banyak kano).
^iii: In 2003, Christian Cullen menjadi anggota tim rugby Māori meskipun menurut ayahnya ia hanya memiliki darah Māori 1/64.[168]
^iv: Meskipun, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak tempat lain di artikel ini, semakin banyak bukti yang mengatakan bahwa tahun pemukiman paling awal adalah 1280.
^New Zealand-born figures from the 2000 U.S. Census; maximum figure represents sum of "Native Hawaiian and Other Pacific Islander" and people of mixed race. United States Census Bureau (2003)."Census 2000 Foreign-Born Profiles (STP-159): Country of Birth: New Zealand"(PDF).(103 KB). Washington, D.C.: U.S. Census Bureau.
^Walters, Richard; Buckley, Hallie; Jacomb, Chris; Matisoo-Smith, Elizabeth (7 October 2017). "Mass Migration and the Polynesian Settlement of New Zealand". Journal of World Prehistory. 30 (4): 351–376. doi:10.1007/s10963-017-9110-y.
^Atkinson, A. S. (1892)."What is a Tangata Maori?"Journal of the Polynesian Society, 1 (3), 133–136. Retrieved 18 December 2007.
^misalnya kanaka maoli, yang berarti penduduk asli Hawaii. (Dalam bahasa Hawaii, huruf "t" dalam bahasa Polinesia cenderung berubah menjadi "k" dan huruf "r" cenderung berubah menjadi "l".)
^ abWalters, Richard; Buckley, Hallie; Jacomb, Chris; Matisoo-Smith, Elizabeth (7 October 2017). "Mass Migration and the Polynesian Settlement of New Zealand". Journal of World Prehistory. 30 (4): 351–376. doi:10.1007/s10963-017-9110-y.
^Shapiro, HL (1940). "The physical anthropology of the Maori-Moriori". The Journal of the Polynesian Society (dalam bahasa Inggris). 49 (1(193)): 1–15. JSTOR20702788.
^ abMcFadgen, Bruce G.; Adds, Peter (18 February 2018). "Tectonic activity and the history of Wairau Bar, New Zealand's iconic site of early settlement". Journal of the Royal Society of New Zealand (dalam bahasa Inggris). 49 (4): 459–473. doi:10.1080/03036758.2018.1431293.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Till, Charlotte E.; Easton, Luke J.; Spencer, Hamish G.; Schukard, Rob; Melville, David S.; Scofield, R. Paul; Tennyson, Alan J.D.; Rayner, Matt J.; Waters, Jonathan M.; Kennedy, Martyn (October 2017). "Speciation, range contraction and extinction in the endemic New Zealand King Shag". Molecular Phylogenetics and Evolution. 115: 197–209. doi:10.1016/j.ympev.2017.07.011. PMID28803756.
^Holdaway, Richard N.; Allentoft, Morten E.; Jacomb, Christopher; Oskam, Charlotte L.; Beavan, Nancy R.; Bunce, Michael (7 November 2014). "An extremely low-density human population exterminated New Zealand moa". Nature Communications. 5 (5436): 5436. Bibcode:2014NatCo...5.5436H. doi:10.1038/ncomms6436. PMID25378020.
^Perry, George L.W.; Wheeler, Andrew B.; Wood, Jamie R.; Wilmshurst, Janet M. (2014). "A high-precision chronology for the rapid extinction of New Zealand moa (Aves, Dinornithiformes)". Quaternary Science Reviews. 105: 126–135. Bibcode:2014QSRv..105..126P. doi:10.1016/j.quascirev.2014.09.025.
^Moon, Paul (2008). This Horrid Practice. Penguin Random House New Zealand Limited. ISBN978-1-74228-705-8. Diakses tanggal 9 December 2019. Buku ini meneliti tentang praktik kanibalisme tradisional di suku Māori, dari awal mulanya di Polinesia hingga berhenti di awal abad ke-19.
^Clark, Ross (1994). "Moriori and Māori: The Linguistic Evidence". Dalam Sutton, Douglas. The Origins of the First New Zealanders. Auckland: Auckland University Press. hlm. 123–135.
^Manning, Frederick Edward (1863). "Chapter 13". Old New Zealand: being Incidents of Native Customs and Character in the Old Times by 'A Pakeha Maori': Chapter 13.
^Pool, D. I. (March 1973). "Estimates of New Zealand Maori Vital Rates from the Mid-Nineteenth Century to World War I". Population Studies. 27 (1): 117–125. doi:10.2307/2173457. JSTOR2173457. PMID11630533.
^Office of Treaty Settlements (June 2008). "Four Monthly Report"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 18 October 2008. Diakses tanggal 25 September 2008.
^ ab"The Treaty of Waitangi debate". TVNZ. 15 October 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 March 2012. Diakses tanggal 15 October 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Pool, Ian (2015). Colonization and Development in New Zealand between 1769 and 1900: The Seeds of Rangiatea. Switzerland: Springer International Publishing.
^New Zealand-born figures from the 2000 U.S. Census; maximum figure represents sum of "Native Hawaiian and Other Pacific Islander" and people of mixed race. United States Census Bureau (2003)."Census 2000 Foreign-Born Profiles (STP-159): Country of Birth: New Zealand"(PDF).(103 KB). Washington, D.C.: U.S. Census Bureau.
^Hanly, Gil. "Shoes at the door of the wharenui". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand – Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 31 March 2020.
^Swarbrick, Nancy (3 March 2009). "Creative life – Performing arts". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 May 2011. Diakses tanggal 18 May 2010.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Royal, Charles. "Whare Tapere". Te Ahukaramū Charles Royal (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-01.
^"Māori musical instruments". Museum of New Zealand Te Papa Tongarewa, Wellington, NZ (dalam bahasa Inggris). 2016-06-10. Diakses tanggal 2021-01-24.
^Flintoff, Brian (22 Oct 2014). "Māori musical instruments – taonga puoro". Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-24.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Kohanga Reo". Kiwi Family Media. Diakses tanggal 29 June 2017.
^"QuickStats About Māori". Statistics New Zealand. 2006. Diakses tanggal 14 November 2007. (revised 2007)
^"2013 Census QuickStats about Māori". Statistics New Zealand. 3 December 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 July 2017. Diakses tanggal 29 June 2017.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Cormack, Donna (2020). "Māori experiences of multiple forms of discrimination: findings from Te Kupenga 2013". Kōtuitui: New Zealand Journal of Social Sciences Online. 15: 106–122. doi:10.1080/1177083X.2019.1657472.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Scoop.co.nz, Flavell: Maori Education – not achieved
^"Mana Māori"Diarsipkan 14 October 2008 di Wayback Machine.. Community Action Toolkit to Prevent Family Violence Information Sheet #30 (p. 40). Retrieved 16 July 2009.
Hill, Richard S (2009). "Maori and State Policy". Dalam Byrnes, Giselle. The New Oxford History of New Zealand. Oxford University Press. ISBN978-0-19-558471-4.
Howe, Kerry (2006). "Ideas of Māori Origins". In Māori Peoples of New Zealand: Ngā Iwi o Aotearoa. Te Ara – The Encyclopedia of New Zealand. Auckland: David Bateman.
Irwin, Geoffrey (2006). "Pacific Migrations". In Māori Peoples of New Zealand: Ngā Iwi o Aotearoa. Te Ara – The Encyclopedia of New Zealand. Auckland: David Bateman.
Lashley, Marilyn E. (2006). "Remedying Racial and Ethnic Inequality in New Zealand: Reparative and Distributive Policies of Social Justice". Dalam Myers, Samuel L.; Corrie, Bruce P. Racial and ethnic economic inequality: an international perspective. 1996. New York: Peter Lang. ISBN978-0-8204-5656-0.
McIntosh, Tracey (2005), 'Maori Identities: Fixed, Fluid, Forced', in James H. Liu, Tim McCreanor, Tracey McIntosh and Teresia Teaiwa, eds, New Zealand Identities: Departures and Destinations, Wellington: Victoria University Press
Australian Bureau of Statistics (2004). Australians' Ancestries: 2001. Canberra: Australian Bureau of Statistics, Catalogue Number 2054.0. [1]
Biggs, Bruce (1994). Does Maori have a closest relative? In Sutton (Ed.)(1994), pp. 96–-105.
Hiroa, Te Rangi (Sir Peter Buck)(1974). The Coming of the Maori. Second Edition. First Published 1949. Wellington: Whitcombe and Tombs.
Irwin, Geoffrey (1992). The Prehistoric Exploration and Colonisation of the Pacific. Cambridge: Cambridge University Press.
Simmons, D.R. (1997). Ta Moko, The Art of Maori Tattoo. Revised Edition. First published 1986. Auckland: Reed.
Statistics Canada (2003). Ethnic Origin (232), Sex (3) and Single and Multiple Responses (3) for Population, for Canada, Provinces, Territories, Census Metropolitan Areas and Census Agglomerations, 2001 Census - 20% Sample Data.. Ottawa: Statistics Canada, Cat. No. 97F0010XCB2001001. [2]Diarsipkan 2009-07-25 di Wayback Machine.
Statistics New Zealand (2005). Estimated resident population of Māori ethnic group, at 30 June 1991-2005, selected age groups by sex. Wellington: Statistics New Zealand. [3]Diarsipkan 2007-10-26 di Wayback Machine.
Sutton, Douglas G. (Ed.) (1994). The Origins of the First New Zealanders. Auckland: Auckland University Press.
United States Census Bureau (2003). Census 2000 Foreign-Born Profiles (STP-159): Country of Birth: New Zealand. Washington, D.C.: U.S. Census Bureau. [4]
Walrond, Carl (2005). Māori overseas, Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand. [5]Diarsipkan 2009-08-07 di Wayback Machine.
Bacaan lebih lanjut
Ballara, Angela (1998). Iwi: the dynamics of Māori tribal organisation from c. 1769 to c. 1945. The Journal of the Polynesian Society. 108. Wellington: Victoria University Press. hlm. 327–329. ISBN978-0-86473-328-3. JSTOR20706875.
Biggs, Bruce (1994). "Does Māori have a closest relative?" In Sutton (Ed.)(1994), pp. 96–105.