Sejarah Māori bermula dengan kedatangan penduduk Polinesia di Selandia Baru (Aotearoa dalam bahasa Māori). Migrasi lintas-samudera ini dilakukan menggunakan kano di antara akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-14. Setelah beberapa abad terisolasi, pemukim Polinesia ini kemudian membentuk budaya mereka sendiri. Mereka kemudian dikenal sebagai suku Māori.
Sejarah awal Māori umumnya dibagi menjadi dua periode: periode Arkais (sekitar 1300-1500) dan periode Klasik (sekitar 1500-1642). Situs arkeologi seperti ambang sungai Wairau menunjukkan bukti keberadaan awal penduduk Polinesia di Selandia Baru. Kebanyakan tanaman yang dibawa penduduk tersebut dari Polinesia tidak dapat tumbuh dengan baik di iklim Selandia Baru yang lebih dingin; mereka akhirnya memburu berbagai spesies burung dan laut, kadang-kadang hingga spesies itu punah.
Beberapa hal yang mengubah kondisi sosial dan kultural orang Māori dalam periode Klasik adalah populasi yang semakin membesar, persaingan atas sumber daya, dan perubahan iklim lokal. Dalam periode ini, muncullah budaya petarung dan desa-desa berbenteng (pā), serta muncul pula bentuk seni budaya yang berbeda. Sekelompok orang Māori pindah ke Kepulauan Chatham di sekitar tahun 1500 dan membentuk suku yang berbeda dan cinta damai, yaitu suku Moriori.
Kedatangan orang Eropa di Selandia Baru bermula pada tahun 1642 dengan kedatangan Abel Tasman. Perubahan besar terjadi dalam suku Māori, yang kemudian mengenal makanan, teknologi, senjata, dan budaya Barat dari para penduduk Barat, terutama dari Britania. Pada tahun 1840, Mahkota Britania dan banyak kepala suku Māori menandatangani Perjanjian Waitangi, yang memasukkan Selandia Baru ke dalam Imperium Britania dan memberikan status subyek Britania kepada orang Māori. Hubungan awal antara orang Māori dan orang Eropa (yang disebut "Pākehā" oleh orang Māori) cenderung damai. Namun, perseteruan yang makin memanas akibat konflik penjualan lahan berujung pada konflik di tahun 1860-an dan penyitaan tanah dalam skala besar. Permasalahan sosial dan epidemi penyakit baru juga membuat orang Māori semakin menderita. Populasi dan kedudukan mereka di Selandia Baru semakin menurun.
Namun pada awal abad ke-20, populasi Māori mulai meningkat kembali. Upaya mulai diadakan untuk meningkatkan kedudukan sosial, politis, kultural dan ekonomis orang Māori dalam masyarakat Selandia Baru yang lebih luas. Gerakan protes Māori yang meminta ganti rugi atas kerugian historis diadakan pada tahun 1960-an. Pada sensus tahun 2013, tercatat bahwa ada sekitar 600.000 orang di Selandia Baru yang menyatakan dirinya Māori, sekitar 15% dari populasi nasional.
Asal dari Polinesia
Bukti dari bidang-bidang genetika, arkeologi, linguistik dan antropologi fisik menggambarkan bahwa nenek moyang orang Polinesia dapat ditarik balik ke penduduk asli Taiwan. Studi evolusi bahasa[1] dan bukti mtDNA[2] menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat di Pasifik bernenek-moyang dari penduduk asli Taiwan sekitar 5.200 tahun yang lalu.[3] Nenek moyang bangsa Austronesia ini bergerak ke selatan dan sempat tinggal di Filipina.[4] Beberapa di antara mereka kemudian bergerak ke tenggara, mengelilingi sudut-sudut utara dan timur Melanesia di sekitar pantai-pantai Papua Nugini dan Kepulauan Bismarck, hingga Kepulauan Solomon, tempat mereka akhirnya bermukim. Di Kepulauan Solomon dapat ditemukan pot Lapita dan sedikit jumlah DNA Melanesia. Beberapa dari mereka kemudian kembali bermigrasi ke kepulauan di barat Polinesia, antara lain Tonga dan Samoa. Beberapa yang lain bermigrasi kembali ke arah timur, dari Otong Java di Kepulauan Solomon hingga Tahiti dan Ra'iatea (yang dulu dikenal sebagai Havai'i atau Hawaiki) di Kepulauan Society. Dari sana, beberapa kelompok migrasi kemudian masuk dan menduduki Polinesia timur, sejauh hingga Hawai'i di utara, Kepulauan Marquesas dan Pulau Paskah di timur, serta Selandia Baru di selatan jauh.[5]
Analisis yang dilakukan oleh Kayser et al. (2008) menemukan bahwa hanya 21% proporsi kolam gen autosomal Māori-Polinesia yang berasal dari Melanesia; sisanya, sebesar 79%, berasal dari Asia Timur.[6] Studi lain oleh Friedlaender et al. (2008) memastikan bahwa orang Polinesia lebih dekat dengan orang Mikronesia, orang asli Taiwan, dan orang Asia Timur, daripada dengan orang Melanesia. Studi tersebut berkesimpulan bahwa orang Polinesia berpindah-pindah dengan cepat di daerah Melanesia dan tidak melakukan banyak hubungan antara bangsa Austronesia dan Melanesia.[7] Orang Polinesia juga mengalami efek pendiri dan hanyutan genetik.[8] Bukti keberadaan nenek moyang di Filipina selatan dapat dilihat melalui penemuan bahwa orang Polinesia memiliki 40% DNA orang Filipina di daerah tersebut.[4]
Di Selandia Baru, tidak ditemukan sisa jasad, artefak, atau struktur, yang dapat diberikan penanggalan dengan jelas pada masa sebelum Kaharoa Tephra, yaitu lapisan debu vulkanik akibat letusan Gunung Tarawera di sekitar tahun 1314 M.[9] Studi 1999 yang menganalisis gigitan kiore (tikus Polinesia) pada tulang menghasilkan abad paling awal 10 M,[10] tetapi hasil studi ini kemudian dinyatakan salah. Sampel-sampel tulang tikus dan kerang/kotak benih kayu yang digigit tikus menunjukkan dekade kedatangan setelah letusan Gunung Tarawera, kecuali untuk tiga buah, yang diperkirakan datang sekitar satu dekade sebelum letusan.[11]
Ada pula bukti dari serbuk tanaman akibat kebakaran hutan yang meluas sekitar satu atau dua dekade sebelum letusan Tarawera. Beberapa peneliti berpendapat ada kemungkinan bahwa manusia yang membakar hutan tersebut. Apabila benar, maka tahun pendudukan pertama kemungkinan berada dalam periode 1280 hingga 1320 M.[12] Kini rentang tahun ini adalah yang dikenal dan digunakan secara meluas untuk hal ini. Namun, sintesa terbaru seluruh bukti arkeologis dan genetika menunjukkan bahwa pendudukan yang terbesar terjadi dalam dekade-dekade setelah letusan Gunung Tarawera, sekitar 1320 hingga 1350 M, dan tidak terlalu memedulikan apakah sudah ada pendudukan sebelum tanggal itu. Migrasi terbesar ini kemungkinan besar bersifat besar-besaran dan terencana.[13] Skenario ini juga bertepatan dengan set bukti ketiga yang banyak diperdebatkan, yaitu genealogi (silsilah) tradisional yang menunjukkan tahun kedatangan kano migrasi Maori sebagai tahun 1350 M.[14][15]
Tradisi lisan Māori menggambarkan kedatangan nenek moyang mereka dalam sejumlah kano lintas-samudera yang dikenal sebagai waka. Mereka datang dari Hawaiki. Hawaiki adalah tanah air spiritual bagi banyak masyarakat Polinesia timur. Tempat ini sering kali dianggap mitis, namun beberapa peneliti percaya bahwa tempat ini benar-benar ada, yaitu pulau Rai'atea yang terletak di Kepulauan Society, Polinesia Prancis. Dalam dialek lokal, pulau ini bernama Havai'i.[16][4] Cerita migrasi berbeda-beda bagi setiap iwi (suku), namun anggota iwi umumnya dapat menyebutkan waka yang digunakan untuk migrasi nenek moyang mereka.
Para pemukim baru ini datang dengan beberapa spesies yang kemudian tumbuh bebas di pulau, antara lain kumara, taro, yam, labu air, tī, aute, serta anjing Polinesia dan tikus Polinesia. Kemungkinan besar spesies lain dari tanah air mereka juga ikut terbawa, tetapi tidak selamat dalam perjalanan atau tidak mampu tumbuh di pulau baru.[17]
Dalam beberapa dekade terakhir, riset DNA mitokondrial (mtDNA) menemukan bahwa jumlah perempuan dalam para pemukim awal adalah sekitar 50 hingga 100 orang.[18][19]
Periode Arkais (1300-1500)
Periode pendudukan terdahulu orang Māori dikenal sebagai periode "Arkais", "Moahunter" atau "Kolonialisasi". Nenek moyang Polinesia orang Māori tiba di sebuah daerah berhutan yang memiliki banyak burung, termasuk beberapa spesies moa yang kini punah. Beratnya dapat mencapai 20 hingga 250 kg per burung moa. Ada pula spesies lain yang kini juga telah punah, yaitu angsa Selandia Baru, soang Selandia Baru dan elang Haast yang merupakan predator moa. Mamalia laut, terutama anjing laut, banyak tinggal di garis pantai. Banyak pula anjing laut yang terdapat di bagian utara.[20] Banyak sisa tulang moa, diperkirakan antara 29.000 hingga 90.000 ekor, yang ditemukan di hilir Sungai Waitaki, di antara Timaru dan Oamaru di pantai timur Pulau Selatan. Lebih jauh ke selatan, di hilir Sungai Shag (Waihemo), bukti menunjukkan bahwa setidaknya 6.000 ekor moa disembelih manusia dalam jangka waktu singkat.[21]
Situs Arkais yang paling terkenal dan paling banyak diteliti adalah ambang sungai Wairau di Pulau Selatan.[22][23] Situs ini mirip dengan desa terpusat Polinesia timur dan merupakan satu-satunya situs arkeologis Selandia Baru yang berisi tulang manusia yang lahir di tempat lain. Penanggalan radiokarbon batubara, tulang manusia, tulang moa, kerang sungai dan kerak telur moa menunjukkan tanggal yang berbeda-beda, dari awal abad ke-13 hingga awal abad ke-15. Banyak tanggal ini kemungkinan telah terkontaminasi oleh karbon yang lebih tua yang dimakan atau diresapi organisme sampel.[24][25] Akibat kekuatan tektonis termasuk beberapa gempa bumi dan tsunami sejak kedatangan manusia, sebagian situs ambang sungai Wairau kini berada di bawah air.[26]
Periode Arkais dikenal tidak memiliki senjata dan benteng yang kemudian akan muncul di periode "Klasik",[27] serta juga dikenal untuk artefak "kalung kumparan".[28] Sejak periode ini, sekitar 32 spesies burung punah akibat kelebihan predasi dari manusia, kiore, atau kurī (anjing Polinesia) yang dibawa manusia.[29] Dua alasan lain yaitu pembakaran vegetasi yang memusnahkan habitat burung-burung tersebut dan pendinginan iklim yang terjadi pada 1400-1450. Pada sebuah masa yang pendek, sekitar kurang dari 200 tahun, pola makan orang Māori berkisar antara burung-burung besar dan anjing laut berbulu yang sebelumnya tidak pernah dimakan. Populasi binatang-binatang ini segera berkurang. Beberapa binatang seperti spesies-spesies moa berkurang tidak hanya dalam jumlah tetapi juga dalam luas habitat.[30][31][32][33][34]
Penelitian oleh Helen Leach menunjukkan bahwa orang Māori menggunakan setidaknya 36 jenis tanaman pangan, meskipun banyak dari tanaman tersebut memerlukan detoksifikasi dan periode memasak yang panjang (12-24 jam). Riset D. Sutton mengenai fertilitas pada periode terdahulu suku Māori menunjukkan bahwa kehamilan pertama biasanya terjadi di sekitar umur 20 dan angka titik pertengahan kelahiran rendah dibandingkan dengan masyarakat neolitikum lainnya.[35]
Periode Klasik (1500-1642)
Pendinginan iklim yang berhasil dikonfirmasi melalui studi cincin pohon di dekat Hokitika menunjukkan terjadinya Zaman Es Kecil yang signifikan, tiba-tiba, dan bertahan lama. Periode dingin ini bersamaan dengan beberapa gempa bumi besar di dekat patahan Alpine di Pulau Selatan, sebuah gempa bumi masif di daerah Wellington pada tahun 1460,[36]tsunami yang menerjang banyak pemukiman di pantai, serta kepunahan moa dan spesies makanan lainnya. Faktor-faktor ini banyak mengubah budaya Māori yang kini berkembang masuk ke dalam periode "Klasik".[37] Budaya Māori periode Klasik ini adalah saat mereka bertemu dengan orang Eropa.
Periode ini ditandai dengan senjata dan ornamen yang dibuat dengan batu hijau (pounamu), kano yang diukir dengan mewah (sebuah tradisi yang akan dilanjutkan ke arsitektur, menghasilkan rumah musyawarah bernama wharenui)[38] dan budaya petarung yang garang. Orang Māori pada periode ini juga mulai membangun benteng di atas bukit yang dikenal dengan pā dan mempraktikkan kanibalisme.[39][40][41] Mereka juga membangun kano-kano perang (waka taua) terbesar yang pernah mereka bangun.
Pada sekitar tahun 1500, sekelompok orang Māori bermigrasi ke arah timur ke Rēkohu (kini dikenal sebagai Kepulauan Chatham). Di sana, mereka beradaptasi dengan iklim lokal dan ketersediaan sumber daya, dan kini dikenal dengan nama Suku Moriori.[42] Orang Moriori masih berkerabat namun berbeda dengan orang Māori yang tinggal di pulau-pulau besar Selandia Baru. Salah satu karakteristik mereka adalah cinta damai. Ketika sekelompok orang Māori dari Taranaki Utara datang ke kepulauan tersebut di tahun 1835, hanya sedikit dari 2.000 populasi Moriori yang berhasil selamat. Banyak yang langsung dimusnahkan dan sisanya diperbudak.[43]
Kontak awal dengan orang Eropa (1642-1840)
Dalam sejarah, pemukiman Eropa di Selandia Baru termasuk relatif baru. Sejarawan Selandia Baru, Michael King, dalam bukunya The Penguin History of New Zealand, mencatat bahwa orang Māori adalah "masyarakat besar terakhir di muka Bumi yang belum tersentuh dan terpengaruh oleh dunia yang lebih luas".[44] Penjelajah terdahulu Eropa, seperti Abel Tasman (yang tiba pada tahun 1642) dan Kapten James Cook (yang pertama mendarat di tahun 1769) menggambarkan kesan mereka mengenai orang Māori. Kontak awal antara orang Eropa dan orang Māori cenderung banyak bermasalah dan kadang-kadang fatal. Ada catatan mengenai orang Eropa yang dimakan oleh orang Māori.[45]
Sejak tahun 1780-an, orang Māori sudah berpapasan dengan pemburu anjing laut dan pemburu ikan paus dari Eropa dan Amerika. Beberapa orang Māori bahkan menjadi awak kapal-kapal asing tersebut, terutama di kapal-kapal pemburu anjing laut dan ikan paus yang beroperasi di perairan Selandia Baru. Tidak sedikit kru kapal Pulau Selatan yang hampir seluruhnya Māori. Antara tahun 1800 dan 1820, terdapat 65 ekspedisi pemburuan anjing laut di Selandia Baru, utamanya dari Britania dan Australia.[46] Kadang di lingkungan orang Māori juga datang buronan yang kabur dari Australia, desertir dari kapal-kapal asing yang datang, atau misionaris-misionaris Kristen terdahulu. Para pendatang ini membuka potensi orang Māori terkena pengaruh dari luar. Pada pembunuhan massal Boyd di tahun 1809, orang Māori menyandera dan membunuh 66 anggota kru dan penumpang kapal layar Boyd, akibat kapten kapal tersebut yang sebelumnya mencambuk seorang anak kepala suku Māori. Kapal-kapal asing dan misionaris kemudian banyak menghindari kontak dengan orang Māori karena mengenal kebiasaan kanibalisme mereka.[47]
Para buronan tersebut kemudian mencapai kedudukan yang berbeda-beda di dalam masyarakat Māori, berkisar antara budak hingga pelayan berjabatan tinggi. Tidak sedikit pula yang akhirnya tidak lebih dari sekadar narapidana. Ada juga beberapa buronan yang meninggalkan budaya Eropa dan menyatakan diri sebagai orang Māori. Orang-orang Eropa yang "menjadi pribumi" ini kemudian dikenal sebagai Māori Pākehā. Banyak orang Māori yang amat menghargai mereka sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi Barat, terutama tentang senjata. Ketika Whiria (Pōmare II)[48] mengobarkan perang melawan Tītore di tahun 1838, ia memiliki 131 orang Eropa di dalam tentaranya.[49]Frederick Edward Maning, seorang penduduk Eropa terdahulu, menulis dua penjelasan yang menarik mengenai hidup di zaman tersebut. Kini kedua penjelasan itu telah menjadi sumber klasik dalam Sastra Selandia Baru, berjudul Old New Zealand ("Selandia Baru Dulu") dan History of the War in the North of New Zealand against the Chief Heke ("Sejarah Peperangan di Utara Selandia Baru Melawan Kepala Suku Heke"). Permukiman orang Eropa di Selandia Baru pun perlahan-lahan meningkat. Pada tahun 1839, diperkirakan terdapat setinggi-tingginya 2.000 orang Eropa tinggal di antara masyarakat Māori, dua-pertiganya hidup di Pulau Utara, terutama di Peninsula Northland.[50]
Antara tahun 1805 dan 1840, orang Māori yang tinggal di dekat penduduk Eropa berhasil mendapatkan senapan lontak. Permintaan akan senapan semacam ini kemudian meningkat tajam untuk menghindari persekusi dan pemusnahan, sambil juga memudahkan agresi melawan kelompok tetangga. Tidak lama kemudian, orang Māori mulai mengenal kentang. Makanan ini kemudian membuat mereka dapat melakukan ekspedisi lebih jauh dan dengan waktu lebih banyak. Kedua perkembangan ini kemudian berujung pada peperangan antarsuku yang disebut Peperangan Senapan Lontak. Dalam peperangan ini, banyak kelompok yang musnah dan kelompok-kelompok yang lain terpaksa diusir dari wilayah tradisional mereka.[51] Permintaan yang tinggi atas barang dagang seperti flaks dan mokomokai (kepala bertato)[52] membuat banyak orang Māori pindah ke daerah rawa tempat flaks dapat ditumbuhkan. Di sana mereka kemudian menghabiskan waktu bekerja untuk mendapatkan dan mencari flaks (yang selalu tidak cukup), hingga orang-orang yang tetap selamat dari upaya ini kemudian dapat dilengkapi secara penuh dengan senapan lontak dan amunisi, baru kemudian dengan perkakas besi.[53][54] Diperkirakan bahwa pada periode ini jumlah orang Māori berkurang dari sekitar 100.000 (di tahun 1800) menjadi antara 50.000 hingga 80.000 ketika perang selesai di tahun 1843. Rekam sejarah ini menjadi kurang jelas karena tidak diketahui secara pasti berapa atau apakah orang Pākehā Māori juga dihitung dan karena banyak iwi dan hapū yang hampir mengalami kepunahan. Suku Morioripecinta damai yang tinggal di Kepulauan Chatham juga menderita pembantaian dan subjugasi oleh Ngāti Mutunga dan Ngāti Tama yang kabur dari daerah Taranaki.
Pada waktu yang sama, orang Māori juga menderita tingkat kematian yang tinggi akibat penyakit infeksius dari Eurasia, seperti influenza, cacar dan campak, yang menewaskan orang Māori dalam jumlah yang tidak diketahui. Perkiraan berkisar antara 10 hingga 50%.[55][56] Penyakit-penyakit yang baru datang ini menjadi epidemik karena orang Māori tidak memiliki kekebalan tubuh untuk melawannya. Akhirnya, di tahun 1850-an, orang Māori mulai hidup dengan stabil dan ekonomi pun mulai tumbuh. Kedatangan besar-besaran penduduk dari Eropa di tahun 1870 menambah kontak antara orang pribumi dan pendatang baru.
Te Rangi Hīroa mencatat sebuah epidemi yang disebabkan oleh penyakit respiratoris yang disebut rewharewha oleh orang Māori. Epidemi ini "menghabisi" masyarakat di awal abad ke-19 dan "menyebar dengan kecepatan tinggi di seluruh Pulau Utara dan bahkan hingga ke Selatan ... Campak, tipes, demam scarlet, batuk rejan, hampir semuanya kecuali penyakit tidur dan pes, telah menghabisi orang Māori".[57]
Kontak dengan orang Eropa berujung pada pertukaran ilmu. Bahasa Māori pertama kali ditulis oleh Thomas Kendall di tahun 1815 dalam bukunya A korao no New Zealand. Lima tahun kemudian, buku lain berjudul A Grammar and Vocabulary of the New Zealand Language ("Tata Bahasa dan Kosa Kata Bahasa Selandia Baru") yang dikompilasi oleh Profesor Samuel Lee, dibantu oleh Kendall, Waikato Māori dan kepala suku Hongi Hika, terbit ketika mereka sedang berkunjung ke Inggris di tahun 1820. Orang Māori dengan cepat mempelajari tulisan sebagai cara untuk berbagi ide dan banyak tradisi lisan dan puisi mereka yang kemudian diubah ke bentuk tulis.[58] Antara Februari 1835 dan Januari 1840, William Colenso mencetak 74.000 buklet berbahasa Māori dari percetakannya di Paihia. Di tahun 1843, pemerintah menyebarkan majalah gratis kepada orang Māori yang berjudul Ko Te Karere O Nui Tireni.[59] Majalah ini berisi informasi mengenai hukum dan kejahatan, penjelasan dan komentar mengenai adat-istiadat Eropa dan "didesain untuk menyampaikan informasi resmi kepada orang Māori dan untuk menyebarluaskan ide bahwa orang Pākehā dan Māori bergotong-royong di bawah Perjanjian Waitangi".[60]
Salah satu penandatangan perjanjian, Hōne Heke dari iwiNgāpuhi, dengan istrinya Hariata
Tāmati Waka Nene dari iwi Ngāpuhi juga merupakan salah satu penandatangan perjanjian dan merupakan orang yang memengaruhi orang lain untuk menandatangani.
Bersamaan dengan aktivitas misionaris Kristen dan permukiman orang Eropa yang semakin meningkat di tahun 1830-an, disertai dengan ketiadaan hukum di Selandia Baru, Mahkota Britania akhirnya menyetujui permintaan berulang kali dari para misionaris dan beberapa rangatira (kepala suku) untuk campur tangan. Pemerintah Britania mengirimkan Kapten Angkatan Laut Kerajaan, William Hobson, dengan instruksi untuk menegosiasikan perjanjian antara Mahkota Britania dan rakyat Selandia Baru. Tidak lama setelah ia tiba di Selandia Baru pada bulan Februari 1840, Hobson menegosiasikan sebuah perjanjian dengan para kepala suku Pulau Utara, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Waitangi.[61] Pada akhirnya, 500 kepala suku dan sejumlah sedikit orang Eropa ikut menandatangani perjanjian, sementara beberapa kepala suku lain seperti Pōtatau Te Wherowhero di Waikato[62] menolak. Perjanjian tersebut memberikan hak kewarganegaraan Britania kepada orang Māori, serta menjamin hak properti dan otonomi kesukuan Māori. Sebagai gantinya, mereka harus menerima kedaulatan Britania.[63]
Hingga kini, masih terdapat banyak perselisihan mengenai aspek-aspek Perjanjian Waitangi. Perjanjian ini aslinya ditulis oleh James Busby dan diterjemahkan ke dalam bahasa Māori oleh Henry Williams, yang belum tahu banyak mengenai bahasa Māori, dan anaknya, William, yang lebih faseh berbahasa Māori.[64] Mereka terganggu akibat ketidakmampuan berbahasa Māori ini dan juga akibat perbedaan mendalam dari kedua masyarakat tersebut mengenai berbagai konsep tentang hak properti dan kedaulatan.[65] Akhirnya, di Waitangi, para kepala suku itu menandatangani terjemahan berbahasa Māori.
Meskipun banyak interpretasi yang berkonflik mengenai berbagai aspek Perjanjian Waitangi, hubungan antara orang Māori dan orang Eropa pada masa awal periode kolonial relatif berjalan lancar. Banyak kelompok Māori yang kemudian mendirikan bisnis dan menyuplai makanan dan produk lain untuk pasar domestik dan internasional. Beberapa penduduk terdahulu Eropa kemudian belajar bahasa Māori dan mencatat mitologi Māori. Termasuk di dalamnya adalah George Grey, Gubernur Selandia Baru dari tahun 1845-1855 dan 1861-1868.[66]
Namun, pertikaian yang semakin memanas akibat konflik pembelian lahan dan upaya orang Māori di Waikato untuk mendirikan gerakan yang dipandang beberapa orang sebagai saingan sistem kerajaan Britania (Gerakan Raja Māori, Kīngitanga) berujung pada Peperangan Selandia Baru di tahun 1860-an. Konflik ini bermula ketika pemberontak Māori menyerang penduduk terisolasi di Taranaki, tetapi pada akhirnya menjadi perang antara tentara Kerajaan Britania, baik dari Britania maupun dari regimen baru yang dibesarkan di Australia dengan bantuan para penduduk baru dan beberapa orang Māori yang bersekutu (kupapa), dengan beberapa kelompok Māori yang muak akan konflik penjualan lahan, termasuk beberapa orang Māori dari Waikato.
Meskipun konflik-konflik ini hanya memakan sedikit korban jiwa baik dari kaum Eropa maupun dari Māori (ketika dibandingkan dengan Perang Senapan Lontak), pemerintah kolonial akhirnya menyita banyak lahan adat sebagai hukuman untuk apa yang mereka sebut sebagai pemberontakan. Dalam beberapa kasus, pemerintah menyita lahan dari suku yang tidak ikut campur dalam perang, meskipun lahan-lahan ini pada akhirnya segera dikembalikan. Beberapa lahan yang disita dikembalikan kepada kupapa dan Māori "pemberontak". Beberapa konflik kecil lain timbul setelah perang, termasuk insiden di Parihaka pada tahun 1881 dan Perang Pajak Anjing dari tahun 1897-98.
Undang-undang Tanah Adat pada tahun 1862 dan 1865 mendirikan Pengadilan Tanah Adat yang diniatkan untuk memindahkan kepemilikan lahan Māori dari kepemilikan komunal kepada sertifikat individual per keluarga, sebagai suatu cara untuk mengasimilasi dan memudahkan penjualan lahan kepada orang Eropa.[67] Tanah Māori yang dijual dengan sertifikat individual ini kemudian dapat dijual kepada pemerintah kolonial atau penduduk baru dalam penjualan pribadi. Antara 1840 dan 1890, orang Māori menjual 95 persen tanah mereka (63.000.000 dari 66.000.000 ekar di tahun 1890). Sekitar 4% dari tanah yang dijual ini adalah tanah yang disita, meskipun sekitar seperempatnya telah dikembalikan. 300.000 ekar kemudian dikembalikan kepada Māori kupapa, paling banyak di daerah lembah Sungai Waikato. Pemilik sertifikat Māori individual menerima modal yang lumayan banyak dari penjualan tanah ini; beberapa kepala suku Waikota menerima 1.000 poundsterling per orang.
Anggota Parlemen Māori Henare Kaihau dari Waiuku, yang merupakan kepala eksekutif Gerakan Raja, juga bekerjasama dengan Raja Mahuta untuk menjual lahan kepada pemerintah. Pada masa itu, sang raja menjual 185.000 ekar tanah per tahun. Pada tahun 1910, Konferensi Tanah Māori di Waihi membahas tentang penjualan 600.000 ekar tanah lagi. Raja Mahuta berhasil mendapatkan kembali sertifikat untuk beberapa blok tanah yang sebelumnya disita dan tanah ini dikembalikan kepada sang raja di bawah namanya. Henare Kaihau kemudian menginvestasikan seluruh uang ini, sebesar 50.000 poundsterling, ke dalam sebuah perusahaan tanah Auckland yang kemudian bangkrut. Seluruh uang Kīngitanga itu hilang.[68]
Pada tahun 1884, Raja Tāwhiao mengambil uang dari bank Kīngitanga, Te Peeke o Aotearoa,[69][70] untuk pergi ke Inggris menemui Ratu Victoria dan memintanya untuk menyelesaikan perjanjian antara kedua rakyatnya. Ia tidak berhasil melewati Sekretaris Negara Urusan Koloni, yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah Selandia Baru. Ia kembali ke Selandia Baru dan Premir Robert Stout bersikeras bahwa seluruh kejadian yang terjadi sebelum 1863 adalah tanggung jawab Pemerintah Imperial.[71]
Pada tahun 1891, populasi Māori hanya berjumlah 10% dari populasi Selandia Baru tetapi memiliki 17% tanahnya, meskipun kebanyakan kualitas tanah itu rendah.[72]
Kemunduran dan pemulihan
Bella, seorang perempuan Māori dengan suami, anak, dan kedua anjingnya di depan rumah mereka di Whakarewarewa, 1895
Perempuan dan anak kecil Māori bermain kartu di teras rumah, Whakarewarewa, 1895
Pada akhir abad ke-19, baik orang Pākehā maupun orang Māori meyakini bahwa populasi Māori akan segera punah sebagai ras atau budaya yang terpisah dan mereka akan segera terasimilasi ke dalam masyarakat Eropa.[73] Di tahun 1840, populasi Māori di Selandia Baru berjumlah 50.000 hingga 70.000 dan hanya ada 2.000 orang Eropa. Di tahun 1860, jumlah orang Eropa sudah bertambah hingga mencapai 50.000. Populasi Māori berkurang hingga 37.520 dalam sensus 1871, walaupun Te Rangi Hīroa (Sir Peter Buck) meyakini bahwa angka ini terlalu rendah.[74] Jumlah populasi mereka kemudian menjadi 42.113 dalam sensus 1896 sementara orang Eropa berjumlah lebih dari 700.000.[75] Profesor Ian Pool memperhatikan bahwa bahkan pada tahun 1890, 40% anak perempuan Māori meninggal sebelum berumur satu tahun, jumlah yang jauh lebih tinggi daripada anak laki-laki.[76]
Penurunan jumlah populasi Māori ini tidak berlanjut. Angkanya kemudian menjadi stabil dan mulai naik kembali. Pada tahun 1936, orang Māori berjumlah 82.326. Menurut Profesor Pool, jumlah ini meningkat kemungkinan hanya karena tunjangan keluarga baru yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk kelahiran baru yang tercatat. Walaupun banyak terjadi pernikahan silang antara orang Māori dan Eropa, banyak orang etnis Māori yang tetap menjaga identitas budaya mereka.
Parlemen kemudian mendirikan empat kursi khusus Māori di tahun 1867 dan memberikan hak pilih universal kepada seluruh laki-laki Māori[77] (12 tahun lebih cepat daripada orang Eropa di Selandia Baru). Hingga pemilu 1879, laki-laki harus sebelumnya memiliki tanah atau pembayaran sewa lahan agar mendapat hak pilih. Hanya laki-laki yang memiliki lahan yang berharga setidaknya 50 pound atau penyewa tahunan (dengan harga sewa setidaknya 10 pound per tahun untuk tanah sawah atau rumah di kota, atau 5 pound untuk rumah di desa) yang dapat diberi hak pilih. Selandia Baru kini menjadi negara neo-Eropa pertama yang memberikan hak pilih kepada masyarakat adat.[78] Meskipun kursi khusus Māori ini kemudian membuat banyak orang Māori mau berpartisipasi dalam pemilu, proporsi antara orang Māori dan orang Eropa dalam populasi masyarakat seharusnya menghasilkan 15 kursi khusus Māori.
Sejak akhir abad ke-19, politikus Māori seperti James Carroll, Apirana Ngata, Te Rangi Hīroa dan Maui Pomare, menjadi penting dalam politik Selandia Baru. Carroll sempat menjadi Pelaksana Tugas Perdana Menteri Selandia Baru. Kelompok yang kemudian dikenal sebagai Partai Māori Muda ini kemudian banyak disukai orang dari seluruh blok pemilih di Parlemen. Mereka bertujuan untuk merevitalisasi masyarakat Māori sejak kehancuran di abad sebelumnya. Mereka percaya bahwa masa depan orang Māori bergantung pada asimilasi budaya,[79] dengan orang Māori mengadopsi praktik-praktik Eropa seperti pengobatan dan pendidikan Barat, terutama pengajaran bahasa Inggris.
Orang Māori sangat menderita akibat epidemi influenza 1918 setelah batalyon Māori itu pulang dari Front Barat. Tingkat kematian influenza bagi orang Māori 4,5 kali lebih tinggi daripada untuk Pākehā. Banyak orang Māori, terutama yang tinggal di Waikato, tidak ingin bertemu dokter dan mereka hanya pergi ke rumah sakit ketika pasiennya sudah hampir meninggal. Untuk mengatasi perasaan terisolasi, orang Māori di Waikato, di bawah kepemimpinan Te Puea, banyak yang kembali ke kultus Pai Mārire (Hau hau) yang populer di tahun 1860-an.[82]
Hingga tahun 1893, 53 tahun setelah Perjanjian Waitangi, orang Māori tidak membayar pajak untuk aset tanah mereka. Di tahun 1893, pajak yang diberikan sangat ringan dan hanya dikenakan untuk tanah yang disewakan. Baru pada tahun 1917 orang Māori diwajibkan membayar pajak yang lebih besar, setara dengan setengah yang dibayar orang Selandia Baru lainnya.[83]
Pada masa Perang Dunia II, pemerintah memutuskan untuk mengecualikan orang Māori dari wajib perang yang diwajibkan kepada warga negara lain. Namun, orang Māori banyak yang mendaftar secara sukarela. Mereka kemudian dikenal sebagai Batalyon Māori atau Batalyon ke-28[84] dan performa mereka dikenal baik, terutama di Kreta, Afrika Utara, dan Italia.[85] Terdapat 16.000 orang Māori yang ikut perang.[86] Orang Māori, termasuk orang Kepulauan Cook, menjadikan 12% dari total kekuatan Selandia Baru. 3.600 berjuang di Batalyon Māori,[84] sisanya berjuang di artileri, pionir, dalam negeri, infanteri, angkatan udara, dan angkatan laut.[86]
Sejak tahun 1960-an, bangsa Māori mengalami pemulihan kultural[87] yang terjadi bersamaan dengan aktivisme keadilan sosial dan gerakan protes Māori.[88] Kesadaran pemerintah tentang kekuatan dan aktivisme politik Māori yang menguat membuat pemerintah memberikan sedikit ganti rugi untuk penyitaan lahan dan pelanggaran hak properti lainnya. Di tahun 1975, Mahkota Britania mendirikan Tribunal Waitangi,[89] suatu badan yang diberi kekuatan setara dengan Commission of Enquiry, dapat menginvestigasi dan membuat rekomendasi untuk berbagai masalah, tetapi tidak dapat membuat keputusan yang wajib dilakukan. Pemerintah tidak mesti menerima hasil dan laporan Tribunal Waitangi dan sudah ada beberapa yang ditolak.[90] Sejak 1976, dalam hal pemilu, orang-orang berketurunan Māori dapat memilih untuk berada dalam surat suara umum atau surat suara khusus Māori. Mereka pun dapat melakukan pemilihan dalam elektorat Māori atau elektorat umum, tetapi tidak keduanya.[91]
Selama periode 1990-an hingga 2000-an, pemerintah melakukan negosiasi dengan orang Māori untuk memberikan ganti rugi bagi segala pelanggaran yang dijaminkan Mahkota Britania dalam Perjanjian Waitangi pada tahun 1840. Pada tahun 2006, pemerintah telah memberikan lebih dari 900 juta dolar Selandia Baru untuk penyelesaian, yang kebanyakan diberikan dalam bentuk pembelian tanah. Penyelesaian terbesar ditandatangani pada 25 Juni 2008, dengan tujuh iwi Māori, memberikan sembilan bidang tanah hutan besar kepada orang Māori.[92] Sebagai hasil dari ganti rugi yang diberikan kepada banyak iwi ini, kini orang Māori banyak yang tertarik dalam industri nelayan dan kehutanan. Sejumlah pimpinan Māori menggunakan penyelesaian perjanjian ini sebagai platform investasi untuk pengembangan ekonomi.[25]
Meskipun orang Māori semakin diterima di tengah masyarakat Selandia Baru, penyelesaian perjanjian ini juga memiliki kontroversinya sendiri di kedua belah pihak. Beberapa orang Māori mengeluh bahwa penyelesaian ini hanya memberikan mereka 1 hingga 2,5 sen untuk setiap dolar harga tanah yang disita. Sebaliknya, beberapa orang non-Māori menganggap bahwa penyelesaian perjanjian dan inisiatif sosio-ekonomis yang diberikan pemerintah sudah sampai ke tingkat perlakuan istimewa berdasarkan ras. Kedua sentimen tersebut mencuat saat kontroversi tepi pantai dan dasar laut Selandia Baru 2004.[93][94]
^Murray-McIntosh, Rosalind P.; Scrimshaw, Brian J.; Hatfield, Peter J.; Penny, David (21 July 1998). "Testing migration patterns and estimating founding population size in Polynesia by using human mtDNA sequences". Proceedings of the National Academy of Sciences. 95 (15): 9047–9052. Bibcode:1998PNAS...95.9047M. doi:10.1073/pnas.95.15.9047. PMID9671802.
^Holdaway, Richard N. (1999). "A spatio‐temporal model for the invasion of the New Zealand archipelago by the Pacific rat Rattus exulans". Journal of the Royal Society of New Zealand. 29 (2): 91–105. doi:10.1080/03014223.1999.9517586. ISSN0303-6758.
^Bunce, Michael; Beavan, Nancy R.; Oskam, Charlotte L.; Jacomb, Christopher; Allentoft, Morten E.; Holdaway, Richard N. (2014-11-07). "An extremely low-density human population exterminated New Zealand moa". Nature Communications (dalam bahasa Inggris). 5: 5436. Bibcode:2014NatCo...5.5436H. doi:10.1038/ncomms6436. ISSN2041-1723. PMID25378020.
^Walters, Richard; Buckley, Hallie; Jacomb, Chris; Matisoo-Smith, Elizabeth (7 October 2017). "Mass Migration and the Polynesian Settlement of New Zealand". Journal of World Prehistory. 30 (4): 351–376. doi:10.1007/s10963-017-9110-y.
^McFadgen, Bruce G.; Adds, Peter (18 Feb 2018). "Tectonic activity and the history of Wairau Bar, New Zealand's iconic site of early settlement". Journal of the Royal Society of New Zealand (dalam bahasa Inggris). 49 (4): 459–473. doi:10.1080/03036758.2018.1431293.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Holdaway, Richard N.; Allentoft, Morten E.; Jacomb, Christopher; Oskam, Charlotte L.; Beavan, Nancy R.; Bunce, Michael (7 Nov 2014). "An extremely low-density human population exterminated New Zealand moa". Nature Communications. 5 (5436): 5436. Bibcode:2014NatCo...5.5436H. doi:10.1038/ncomms6436. PMID25378020.
^Perry, George L.W.; Wheeler, Andrew B.; Wood, Jamie R.; Wilmshurst, Janet M. (2014). "A high-precision chronology for the rapid extinction of New Zealand moa (Aves, Dinornithiformes)". Quaternary Science Reviews. 105: 126–135. Bibcode:2014QSRv..105..126P. doi:10.1016/j.quascirev.2014.09.025.
^Clark, Ross (1994). "Moriori and Māori: The Linguistic Evidence". Dalam Sutton, Douglas. The Origins of the First New Zealanders. Auckland: Auckland University Press. hlm. 123–135.
^"The Boyd incident" (dalam bahasa Inggris). Ministry for Culture and Heritage. 11 March 2014. Diakses tanggal 4 June 2018.
^Ballara, Angela (30 October 2012). "Pomare II". Dictionary of New Zealand Biography. Te Ara – the Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 4 March 2014.
^Old New Zealand: being Incidents of Native Customs and Character in the Old Times by 'A Pakeha Maori' (Frederick Edward Maning), originally published 1863. http://www.gutenberg.org/ebooks/33342 chapter 3
^Thompson, Christina A. (June 1997). "A dangerous people whose only occupation is war: Maori and Pakeha in 19th century New Zealand". Journal of Pacific History. 32 (1): 109–119. doi:10.1080/00223349708572831. Whole tribes sometimes relocated to swamps where flax grew in abundance but where it was unhealthy to live. Swamps were ideal places for the breeding of the TB bacillus.
^Old New Zealand: being Incidents of Native Customs and Character in the Old Times by 'A Pakeha Maori' (Frederick Edward Maning), originally published 1863. http://www.gutenberg.org/ebooks/33342 chapter 13 "every man in a native hapu of, say a hundred men, was absolutely forced on pain of death to procure a musket and ammunition at any cost, and at the earliest possible moment (for, if they did not procure them, extermination was their doom by the hands of those of their country-men who had), the effect was that this small hapu, or clan, had to manufacture, spurred by the penalty of death, in the shortest possible time, one hundred tons of flax, scraped by hand with a shell, bit by bit, morsel by morsel, half-a-quarter of an ounce at a time."
^Pool, D. I. (March 1973). "Estimates of New Zealand Maori Vital Rates from the Mid-Nineteenth Century to World War I". Population Studies. 27 (1): 117–125. doi:10.2307/2173457. JSTOR2173457. PMID11630533.
^Te Rangi Hiroa (Sir Peter Buck) (1949). "6 – Sickness and Health". The Coming of the Maori. III. Social Organization. hlm. 414.
^"Population – Factors and Trends", An Encyclopaedia of New Zealand, edited by A. H. McLintock, published in 1966. Te Ara – The Encyclopedia of New Zealand, updated 18 September 2007. Retrieved 18 September 2007.
^The Maori Population of New Zealand: 1769–1971. David Ian Pool, 1971. ISBN0196479479, 9780196479477
^"Māori and the Vote". Elections New Zealand. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 February 2013. Diakses tanggal 31 August 2010.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^M King. Hist of New Zealand, Penguin. 2012. P 257