Front Barat (Perang Dunia I)
Front Barat atau Teater Barat adalah teater perang utama selama Perang Dunia I. Menyusul pecahnya perang pada bulan Agustus 1914, Angkatan Darat Jerman menyerang Front Barat dengan terlebih dahulu menginvasi Luksemburg dan Belgia, kemudian memperoleh penguasaan militer atas daerah industri yang penting di Prancis. Puncak serangan tersebut secara dramatis berubah menjadi Pertempuran Marne. Menyusul perlombaan menuju laut, kedua belah pihak menggali sepanjang garis berkelok-kelok dari parit berbenteng, membentang dari Laut Utara ke Swiss berbatasan dengan Prancis. Garis ini secara esensial tidak berubah pada sebagian besar perang. Antara tahun 1915 dan 1917 ada beberapa serangan besar di sepanjang front ini. Serangan tersebut menggunakan pengeboman artileri besar-besaran dan memobilisasi gerakan maju infanteri. Namun, kombinasi pertahanan parit, emplasemen senapan mesin, kawat berduri, dan artileri berulang kali menimbulkan korban parah pada penyerang dan pembela serangan balik. Akibatnya, tidak ada kemajuan signifikan yang dibuat. Di antara yang paling mematikan dari serangan-serangan ini adalah Pertempuran Verdun, pada tahun 1916, dengan gabungan 700.000 korban (perkiraan), Pertempuran Somme, juga pada tahun 1916, dengan lebih dari satu juta korban jiwa (perkiraan), dan Pertempuran Passchendaele, pada tahun 1917, dengan sekitar 600.000 korban (perkiraan). Dalam upaya untuk memecahkan kebuntuan, kedua belah pihak mencoba teknologi militer baru, termasuk gas beracun, pesawat udara, dan tank. Namun itu terjadi hanya setelah adopsi taktik yang lebih baik sehingga beberapa tingkat mobilitas diperbarui. Serangan Spring Angkatan Darat Jerman tahun 1918 dimungkinkan karena adanya Perjanjian Brest-Litovsk yang menandai berakhirnya konflik di Front Timur. Dengan menggunakan taktik infiltrasi yang baru saja diperkenalkan, tentara Jerman maju hampir 100 kilometer (60 mil) ke barat, yang menandai pergerakan maju terjauh kedua belah pihak sejak 1914 dan sangat hampir berhasil memaksa sebuah terobosan. Meskipun front ini umumnya bersifat stagnan, teater ini akan terbukti menentukan. Kemajuan yang tak terhindarkan dari tentara Sekutu selama paruh kedua tahun 1918 meyakinkan komandan Jerman bahwa kekalahan tidak dapat dielakkan, dan pemerintah dipaksa untuk menuntut syarat gencatan senjata. Ketentuan perdamaian disepakati dengan ditandatanganinya Perjanjian Versailles pada tahun 1919. 1914Rencana perang, Pertempuran PerbatasanPada saat pecahnya Perang Dunia I, Angkatan Darat Jerman (meliputi tujuh tentara gabungan di barat) menjalankan versi modifikasi dari Rencana Schlieffen, yang dirancang untuk menyerang Prancis dengan cepat melalui Belgia yang netral sebelum berbalik ke selatan untuk mengepung Angkatan Darat Prancis di perbatasan Jerman.[7] Netralitas Belgia dijamin oleh Britania di bawah Perjanjian London tahun 1839; hal ini menyebabkan Britania bergabung dalam perang pada saat berakhirnya ultimatum pukul 23.00 GMT tanggal 4 Agustus. Tentara di bawah Jenderal Jerman Alexander von Kluck dan Karl von Bülow menyerang Belgia pada tanggal 4 Agustus 1914. Luksemburg telah dikuasai tanpa perlawanan pada tanggal 2 Agustus. Pertempuran pertama di Belgia adalah Pengepungan Liège, yang berlangsung dari tanggal 5-16 Agustus. Liège dibentengi dengan baik dan mengejutkan Angkatan Darat Jerman di bawah von Bülow dengan tingkat perlawanannya. Artileri berat Jerman mampu menghancurkan benteng utama dalam beberapa hari.[8] Menyusul jatuhnya Liège, sebagian besar tentara gabungan Belgia mundur ke Antwerpen, meninggalkan garnisun Namur terisolasi, serta ibu kota Belgia, Brussel, jatuh ke Jerman pada tanggal 20 Agustus. Meskipun tentara Jerman mengepung Antwerpen, itu tetap merupakan ancaman bagi sayap mereka. Pengepungan yang lain diikuti di Namur, yang berlangsung sekitar tanggal 20-23 Agustus.[9] Untuk wilayah mereka, Prancis memiliki lima angkatan darat yang ditempatkan di perbatasan mereka. Rencana serangan Prancis praperang, Rencana XVII, dimaksudkan untuk merebut Alsace-Lorraine menyusul pecahnya pertempuran.[10] Pada tanggal 7 Agustus, Korps VII menyerang Alsace dengan tujuan untuk merebut Mulhouse dan Colmar. Serangan utama dilancurkan pada 14 Agustus di mana Angkatan Darat ke-1 dan ke-2 menyerang Sarrebourg-Morhange di Lorraine.[11] Sesuai dengan Rencana Schlieffen, Jerman mundur perlahan sambil menimbulkan kerugian besar bagi Prancis. Prancis menggerakkan Angkatan Darat ke-3 dan ke-4 menuju Sungai Saar dan berupaya untuk merebut Saarburg, menyerang Briey dan Neufchateau, sebelum dipukul mundur.[12] Korps VII Prancis merebut Mulhouse setelah melakukan pertempuran singkat pada tanggal 7 Agustus, namun pasukan cadangan Jerman melawan mereka dalam Pertempuran Mulhouse dan memaksa Prancis mundur.[13] Angkatan Darat Jerman menyapu bersih Belgia, mengeksekusi warga sipil dan menghancurkan desa-desa. Penerapan "tanggung jawab kolektif" terhadap penduduk sipil selanjutnya mengejutkan sekutu, dan surat kabar mengecam invasi Jerman dan kekerasan tentara terhadap warga sipil dan properti, yang serentak disebut "Pemerkosaan Belgia".[14][b] Setelah berpawai melalui Belgia, Luksemburg, dan Ardennes, Angkatan Darat Jerman bergerak maju, pada paruh akhir Agustus, ke utara Prancis di mana mereka bertemu dengan Angkatan Darat Prancis, di bawah Joseph Joffre, dan enam divisi awal Pasukan Ekspedisi Britania di bawah Sir John French. Serangkaian pertempuran yang dikenal sebagai Pertempuran Perbatasan terjadi, meliputi Pertempuran Charleroi dan Pertempuran Mons. Dalam pertempuran sebelumnya Angkatan Darat Prancis ke-5 hampir dihancurkan oleh Angkatan Darat Jerman ke-2 dan ke-3 dan yang terakhir menunda kemajuan Jerman sehari. Penarikan mundur Sekutu menyeluruh terjadi, mengakibatkan lebih banyak bentrokan pada Pertempuran Le Cateau, Pengepungan Maubeuge, dan Pertempuran St Quentin (juga disebut Pertempuran Pertama Guise).[16] Pertempuran Pertama MarneAngkatan Darat Jerman berada dalam jarak 70 km (43 mi) dari Paris namun pada Pertempuran Marne Pertama (6-12 September), pasukan Prancis dan Britania dapat memaksa Jerman mundur dengan memanfaatkan celah yang muncul antara Angkatan Darat ke-1 dan ke-2, mengakhiri kemajuan Jerman menuju Prancis.[17] Angkatan Darat Jerman mundur ke utara Sungai Aisne dan berkubu di sana, membangun permulaan front barat yang statis yang akan berlangsung selama tiga tahun ke depan. Menyusul penarikan mundur Jerman ini, pasukan yang berlawanan membuat manuver pengepungan timbal balik, yang dikenal sebagai Perlombaan menuju Laut dan dengan cepat memperluas sistem parit mereka dari perbatasan Swiss ke Laut Utara.[18] Wilayah yang diduduki oleh Jerman menguasai 64 persen produksi besi kasar Prancis, 24 persen pabrik bajanya, dan 40 persen industri batu bara, menimbulkan pukulan serius bagi industri Prancis.[19] Di pihak Entente (negara-negara yang menentang aliansi Jerman), lini akhir ditempati oleh tentara negara-negara Sekutu, dengan masing-masing negara mempertahankan sebagian dari front. Dari pantai di utara, pasukan utama berasal dari Belgia, Imperium Britania dan kemudian Prancis. Menyusul Pertempuran Yser pada bulan Oktober, tentara Belgia menguasai 35 km (22 mi) dari West Flanders sepanjang pantai, yang dikenal sebagai Front Yser,sepanjang sungai Yser dan kanal Yperlee, dari Nieuwpoort hingga Boesinghe.[20] Ditempatkan di selatan adalah sektor dari Pasukan Ekspedisi Britania (BEF). Pertempuran Ypres PertamaDari 19 Oktober hingga 22 November, pasukan Jerman melakukan upaya terobosan terakhir mereka pada tahun 1914 selama Pertempuran Ypres Pertama. Kedua belah pihak mengalami korban berat namun tidak terjadi terobosan.[21] Setelah pertempuran, Erich von Falkenhayn menilai bahwa tidak mungkin Jerman memenangkan perang dan pada tanggal 18 November 1914 dia meminta solusi diplomatik namun Kanselir Theobald von Bethmann-Hollweg, Paul von Hindenburg, dan Erich Ludendorff tidak setuju.[22] 1915Antara pantai dan Vosges terdapat tonjolan ke barat di garis parit, dinamakan tonjolan Noyon untuk kota Prancis yang direbut pada titik maksimum kemajuan di dekat Compiègne. Rencana Joffre tahun 1915 adalah menyerang tonjolan pada kedua sisi untuk memotongnya.[23] Angkatan Darat ke-4 telah menyerang Champagne dari tanggal 20 Desember 1914 hingga 17 Maret 1915 namun Prancis tidak dapat menyerang Artois pada saat bersamaan. Angkatan Darat ke-10 membentuk pasukan serangan utara dan menyerang ke arah timur hingga Dataran Douai.[butuh rujukan] Pada tanggal 10 Maret, sebagai bagian dari serangan yang lebih besar di kawasan Artois, Angkatan Darat Britania berjuang dalam Pertempuran Neuve Chapelle untuk merebut Pegunungan Aubers. Serangan dilakukan oleh empat divisi di sepanjang front 2 mi (3,2 km). Didahului oleh badai pengeboman yang berlangsung 35 menit, penyerangan awal membuat kemajuan pesat dan desa tersebut direbut dalam waktu empat jam. Pergerakan maju kemudian melambat karena kesulitan perbekalan dan komunikasi. Jerman menggerakkan pasukan cadangan militer dan melancarkan serangan balik, mencegah upaya untuk merebut pegunungan tersebut. Karena Britania telah menghabiskan sekitar sepertiga dari perbekalan amunisi artileri mereka, Jenderal Sir John French menyalahkan kegagalan karena kekurangan amunisi, meskipun pada awalnya sukses.[24][25] Peperangan gasSemua pihak telah menandatangani Konvensi Den Haag 1899 dan 1907, yang melarang penggunaan senjata kimia dalam peperangan. Pada tahun 1914, ada upaya kecil baik dari Prancis maupun Jerman untuk menggunakan berbagai gas air mata, yang tidak dilarang secara tegas oleh perjanjian awal namun juga tidak efektif.[26] Penggunaan pertama senjata kimia yang lebih mematikan adalah pasa saat melawan Prancis di dekat kota Ypres, Belgia.[27] Meskipun Jerman berencana untuk mempertahankan kebuntuan dengan Prancis dan Britania, Albrecht, Adipati Württemberg, komandan Angkatan Darat ke-4 merencanakan sebuah serangan di Ypres, lokatsi Pertempuran Ypres Pertama pada bulan November 1914. Pertempuran Ypres Kedua, April 1915, dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian dari serangan di Front Timur dan mengganggu perencanaan Prancis-Britania. Setelah pengeboman dua hari, Jerman melepaskan sebuah awan gas klorin 168 ton panjang (171 t) ke medan perang. Meskipun terutama merupakan zat iritasi yang kuat, ia dapat menyebabkan sesak nafas dalam konsentrasi tinggi atau pemaparan yang terlalu lama. Berwujud lebih berat daripada udara, gas merayap menyeberang daerah tak berpenghuni dan melayang ke parit-parit Prancis.[28] Awan hijau-kuning mulai membunuh beberapa penahan dan orang-orang di belakang melarikan diri dalam kepanikan, menciptakan celah 3,7 mil (6 km) yang tidak dipertahankan di lini Sekutu. Jerman tidak siap menghadapi tingkat keberhasilan mereka dan kekurangan pasukan cadangan yang cukup untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Pasukan Kanada di sebelah kanan menarik sayap kiri mereka dan memperlambat kemajuan Jerman.[29] Serangan gas diulang dua hari kemudian dan menyebabkan penarikan lini Prancis-Britania sepanjang 3,1 mi (5 km) namun kesempatan itu telah hilang.[30] Keberhasilan serangan ini tidak terulang, karena Sekutu melawannya dengan memperkenalkan masker gas dan tindakan-tindakan penanggulangan lainnya. Contoh keberhasilan tindakan-tindakan ini datang setahun kemudian, pada 27 April dalam serangan gas di Hulluch, 40 km (25 mi) di selatan Ypres, di mana Divisi ke-16 (Irlandia) bertahan menghadapi beberapa serangan gas Jerman.[31] Britania membalas, mengembangkan gas klorin mereka sendiri dan menggunakannya dalam Pertempuran Loos pada bulan September 1915. Angin yang berubah-ubah dan kurangnya pengalaman menyebabkan lebih banyak korban gas di pihak Britania daripada Jerman.[32] Pasukan Prancis, Britania, dan Jerman semua meningkatkan penggunaan serangan gas selama sisa perang, mengembangkan gas fosgen yang lebih mematikan pada tahun 1915, kemudian gas moster yang keji pada tahun 1917, yang dapat bertahan selama berhari-hari dan bisa membunuh perlahan dan menyakitkan. Tindakan-tindakan penanggulangan juga diperbarui dan kebuntuan berlanjut.[33] Peperangan udaraPesawat khusus untuk pertempuran udara diperkenalkan pada tahun 1915. Pesawat udara telah digunakan untuk kepanduan dan pada tanggal 1 April, pilot Prancis Roland Garros menjadi orang pertama yang menembak jatuh sebuah pesawat musuh dengan menggunakan senapan mesin yang melesat maju melalui bilah baling-baling. Hal ini dicapai dengan memperkuat bilah secara sederhana untuk menghindari peluru.[34] Beberapa minggu kemudian Garros mendarat darurat di belakang garis Jerman. Pesawatnya ditangkap dan dikirim kepada insinyur Belanda Anthony Fokker, yang segera menghasilkan perbaikan yang signifikan, gir penyela, di mana senapan mesin disinkronkan dengan baling-baling sehingga dapat menembak dalam interval ketika bilah baling-baling di luar garis tembakan. Kemajuan ini dengan cepat menandai sesuatu yang baru dalam angkatan bersenjata, dalam Fokker E.I (Eindecker, atau pesawat terbang bersayap sepasang, Mark 1), pesawat tempur berkursi tunggal pertama yang menggabungkan kecepatan maksimum yang wajar dengan persenjataan yang efektif. Max Immelmann mencatat sukses sebagai yang pertama dikonfirmasi menewaskan dengan sebuah Eindecker pada 1 Agustus.[35] Kedua belah pihak mengembangkan senjata, mesin, badan pesawat, dan material yang lebih baik, sampai akhir perang. Ini juga mengawali kultus terhadap jagoan, yang paling terkenal adalah Manfred von Richthofen (sang Baron Merah). Bertentangan dengan mitos tersebut, tembakan antipesawat mengklaim lebih banyak menewaskan daripada pejuang.[36] Serangan musim semiSerangan Entente terakhir pada musim semi adalah Pertempuran Artois Kedua, sebuah serangan untuk merebut Vimy Ridge dan bergerak maju ke Dataran Douai. Angkatan Darat Prancis ke-10 menyerang pada 9 Mei setelah pengeboman enam hari dan bergerak maju 5 kilometer (3 mi) untuk merebut Vimy Ridge. Bala bantuan Jerman menyerang balik dan mendorong Prancis kembali ke titik awal mereka karena pasukan cadangan Prancis telah ditahan dan keberhasilan serangan tersebut mengejutkan. Pada 15 Mei, pergerakan maju telah dihentikan, meskipun pertempuran berlanjut sampai 18 Juni.[37] Pada bulan Mei, Angkatan Darat Jerman merebut sebuah dokumen Prancis di La Ville-aux-Bois yang menggambarkan suatu sistem pertahanan baru. Alih-alih mengandalkan garis depan yang sangat diperkuat, pertahanannya diatur dalam serangkaian eselon. Garis depan menjadi serangkaian pos terdepan yang memiliki sedikit personel, diperkuat dengan serangkaian benteng dan pasukan cadangan yang terlindung. Jika terdapat lereng, pasukan dikerahkan di sisi belakang untuk perlindungan. Pertahanan menjadi terintegrasi penuh dengan komando artileri di tingkat divisi. Anggota komando tinggi Jerman melihat skema baru ini dengan manfaat tertentu dan kemudian menjadi dasar doktrin pertahanan kedalaman elastis terhadap serangan Entente.[38][39] Selama musim gugur 1915, "Fokker Scourge" mulai memiliki pengaruh dalam medan perang ketika pesawat udara pengintaian Sekutu hampir diusir dari angkasa. Pesawat-pesawat pengintaian ini digunakan untuk mengarahkan senjata tempur dan memotret benteng musuh namun kini Sekutu hampir dibutakan oleh pejuang Jerman.[40] Namun, dampak superioritas udara Jerman berkurang oleh keengganan doktrin mereka untuk mengambil risiko tertawannya pilot mereka dengan bertempur di atas wilayah yang dikuasai Sekutu.[butuh rujukan] Serangan musim gugurBulan September 1915 para sekutu Entente melancarkan serangan lainnya, dengan Pertempuran Artois Ketiga, Pertempuran Champagne Kedua oleh Prancis dan Britania di Loos. Prancis telah menghabiskan musim panas untuk mempersiapkan aksi ini, dengan Britania menguasai lebih banyak garis depan untuk mempermudah pasukan Prancis melancarkan serangan tersebut. Pengeboman, yang telah ditargetkan secara cermat melalui fotografi udara,[41] dimulai pada 22 September. Serangan Prancis utama dilancarkan pada 25 September dan, pada awalnya, membuat kemajuan yang bagus meskipun melewati belitan kawat berduri dan pos senapan mesin. Alih-alih mundur, Jerman menerapkan skema pertahanan secara mendalam baru yang terdiri dari serangkaian zona dan posisi pertahanan dengan kedalaman hingga 8,0 km (5 mi).[42] Catatan
Catatan kaki
Referensi
Bacaan lebih lanjutBuku
Jurnal
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Western Front theatre of World War I.
|