Peladangan

Peladangan atau tebang bakar adalah sebuah sistem bercocok tanam berpindah-pindah dari satu bidang tanah atau ladang ke bidang tanah yang lain, biasanya dibuka dengan menebang dan membakar sebagian hutan untuk membuat ladang.[1] Ini adalah teknik pertanian subsisten yang biasanya menggunakan sedikit teknologi atau alat lainnya. Hal ini biasanya menjadi bagian dari pertanian ladang berpindah.[2]

Teknik tebang dan bakar digunakan oleh sekitar 200 hingga 500 juta orang di seluruh dunia.[3][4] Pada tahun 2004 diperkirakan bahwa, di Brasil saja, 500.000 petani kecil masing-masing membabat rata-rata satu hektare hutan per tahun. Teknik ini tidak berkelanjutan bila melampaui kepadatan penduduk tertentu karena, tanpa pepohonan, kualitas tanah menurun hingga tak mampu mendukung tumbuhan. Para petani harus pindah ke hutan primer dan mengulangi proses tersebut. Metode seperti sistem pertanaman lorong di antara deretan pohon Inga telah diusulkan sebagai alternatif dari kehancuran ekologis ini.[5]

Sejarah

Sistem peladangan telah dipraktikan di padang rumput dan hutan di seluruh dunia. Ketika masa Revolusi Neolitik, para pemburu dan pengumpul mulai mendomestikasikan berbagai jenis tumbuhan dan hewan sehingga dapat menghasilkan makanan lebih banyak per hektare wilayah dibandingkan dengan berburu, dan mereka mulai menetap. Kegiatan ini diawali di peradaban sungai di Mesir dan Mesopotamia. Karena tidak semua wilayah tepi sungai berupa lahan terbuka melainkan hutan, mereka mulai membersihkannya dengan cara menebang dan membakar.[6] Api telah digunakan oleh manusia sebelum zaman neolitik.

Karakteristik

Banyak ahli yang berpendapat mengenai sistem peladangan, meski antropolog Amerika Serikat, Harold Conklin, menyatakan bahwa peladangan tidak banyak dibahas dalam literatur karena umumnya pencirian peladangan dikonotasikan dengan istilah yang negatif.[7] Geografer Prancis, Pierre Gourou, secara garis besar menjelaskan empat ciri peladangan yaitu:

  1. Dijalankan di tanah tropis yang gersang;
  2. Berupa teknik pertanian dasar tanpa menggunakan alat-alat, kecuali kapak;
  3. Diusahakan di lahan dengan kepadatan penduduk rendah; dan
  4. Memiliki tingkat konsumsi hasil yang rendah.[8]

Sedangkan menurut geografer asal Amerika Serikat, Karl Josef Pelzer, beberapa karakteristik peladangan ditandai dengan tidak adanya pembajakan lahan, sedikitnya tenaga kerja dibandingkan dengan cara bercocok tanam yang lain, tidak menggunakan tenaga hewan ataupun pemupukan, dan tidak adanya konsep kepemilikan tanah pribadi.[9] Sementara menurut geografer, E. H. G. Dobby, perladangan merupakan "tahapan istimewa dalam evolusi dari berburu dan meramu sampai pada bercocok tanam yang menetap".[10]

Di sisi lain, Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika Serikat, menyatakan bahwa ekosistem peladangan meniru keadaan alam sekitar, yang dicirikan secara sistemis dengan:

  1. Ekosistem meniru keadaan hutan tropis dalam artian tingkat generalisasi yang dicapainya. Ekosistem generalisasi (generalized ecosystem) yang dimaksud yaitu suatu ekosistem yang terdapat beragam spesies sehingga energi yang dihasilkan oleh sistem itu dibagikan di antara berbagai spesies yang jumlahnya relatif besar, masing-masing dengan individu yang jumlahnya relatif kecil. Sebaliknya, kalau sistem itu adalah sistem dengan jumlah spesies yang relatif kecil, masing-masing dengan individu yang jumlah relatif lebih besar, maka disebut dengan ekosistem khusus (spesialized ecosystem). Secara lebih teknik dapat dikatakan kalau perbandingan antara jumlah spesies dengan jumlah organisme dalam komunitas biotik disebut dengan indeks diversitas maka ekosistem umum adalah suatu ekosistem yang bercirikan suatu komunitas dengan indeks diversitas tinggi. Sementara, ekosostem khusus bercirikan komunitas dengan indeks diversitas yang rendah.
  2. Perbandingan kuantitas zat makanan yang tersimpan dalam bentuk-bentuk yang hidup (yaitu komunitas biotik) dengan zat makanan yang tersimpan di dalam tanah (yaitu substratum fisis) pada kedua ekosistem itu sangat tinggi. Meskipun seperti hutan tropis yang terdapat banyak variasi, pada umumnya tanah tropis itu secara ekstensif menjadi laterit. Oleh karena curah hujan di sebagian besar kawasan tropis yang lembap dan banyak turun hujan serta jauh lebih besar daripada penguapan, cukup banyak air murni yang hangat merembas ke dalam bumi. Hal ini semacam proses pelarutan (leaching process) yang efeknya menghanyutkan basa dan silijat yang mudah larut, dan meninggalkan campuran oksida besi dan lempung yang stabil.
  3. Arsitekturnya umumnya yang keduanya sama-sama berstruktur "pelindung" (closedcover). Di ladang, daun-daun dari tanaman yang ditanam tentu saja jauh lebih rendah, tetapi daun yang berdekatan ini tetap terlihat seperti payung. Hal itu terjadi sebagian karena tanaman tidak ditanaman secara berbanjar dan terbuka, melainkan karena struktur botani yang rapat, padat, dan berserakan tidak teratur. Sebagian lain dari hal itu dikarenakan penanaman semak dan pohon-pohonan yang beraneka ragam (kelapa, pinang, nangka, pisang, pepaya, dan sekarang di kawasan yang lebih komersial: karet, lada, dan kopi, dan sebagian lagi karena ada beberapa batang pohon yang tidak ditebang. Dengan cara yang demikian, tanah tidak terkena air hujan dan panas matahari secara berlebihan.[11] Bagaimanapun juga, penyiangan merupakan pekerjaan yang melelahkan karena mataharai yang sampai ke lantai ladang dapat ditekan pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada sistem pertanian terbuka (open field).[12]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ KBBI daring, entri ladang
  2. ^ Tony Waters, The Persistence of Subsistence Agriculture, p. 3. Lexington Books (2007).
  3. ^ Slash and burn, Encyclopedia of Earth
  4. ^ Skegg, Martin.True Stories: Up In Smoke The Guardian 24 September 2011.
  5. ^ Elkan, Daniel. Slash-and-burn farming has become a major threat to the world's rainforest The Guardian 21 April 2004
  6. ^ Jaime Awe, Maya Cities and Sacred Caves, Cu bola Books (2006)
  7. ^ Conklin, Harold Colyer (1959). Shifting Cultivation and the Succession to Grassland. 7. Proceedings, 9th Pacific Science Congress. hlm. 60–62. 
  8. ^ Gourou, Pierre (1956). The Quality of Land Use of Tropical Cultivators. hlm. 336–349. 
  9. ^ Pelzer, Karl Josef (1945). Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics. New York: Institute of Pacific Relations. 
  10. ^ Dobby, E.H.G (1954). Southeast Asia. London: University of London Press. 
  11. ^ Geertz, Cliffiord (2016). Involusi Pertanian [Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia]. Diterjemahkan oleh Triwira, Gatot (edisi ke-Fifth). Depok: Komunitas Bambu. hlm. 20. ISBN 979-979-9542-38-3 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  12. ^ Utomo, Kampto (1957). Masjarakat Transmigran Spontan di Daerah W. Sekampung (Lampung). Djakarta: Penerbitan Universitas.