Kitab Jātaka (Pali untuk "Kisah Kelahiran"; disingkat Ja) adalah kitab suci Buddhisme Theravāda sebagai bagian dari Tripitaka Pali. Kitab ini terdapat dalam bagian Khuddaka Nikāya di Sutta Piṭaka.[1] Kitab ini terdiri atas 547 puisi, yang disusun secara kasar berdasarkan jumlah bait yang terus bertambah. Berbagai aliran Buddhis di India memiliki koleksi kisah bergenre sastra jātaka yang berbeda-beda, dan kitab Jātaka definitif dalam Tripitaka Pali adalah salah satu koleksi kanonis yang ada dalam berbagai aliran Buddhis.[2] Beberapa kisah juga ditemukan dalam banyak bahasa dan media lain, seperti dalam kitab Pañcatantra agama Hindu.[3]
Sejarah
Jātaka masa awal
Kisah-kisah bergenre jātaka awalnya disebarkan dalam bahasa Prakerta (dalam bentuk bahasa Pali) dan berbagai bentuk bahasa Sanskerta (dari bahasa Sanskerta klasik hingga bahasa Sanskerta Hibrida Buddhis). Koleksi teks tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Asia Tengah (seperti Khotan, Tokharia, Uighur, dan Sogdi).[4] Berbagai kisah jātaka dan teks sumber juga diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa dan Tibet untuk Tripitaka Tionghoa dan Tripitaka Tibet.[5] Teks-teks tersebut adalah beberapa teks pertama yang diterjemahkan ke bahasa Tionghoa. Kāng Sēnghuì (yang bekerja di Nanking sekitar tahun 247) merupakan salah satu penerjemah pertama kisah jātaka dalam bahasa Tionghoa. Mungkin terjemahannya yang paling berpengaruh adalah Kitab Suci Kumpulan Enam Kesempurnaan.[4]
Tradisi Pali
Berbagai aliran Buddhis India memiliki koleksi teks jātaka yang berbeda-beda. Koleksi terbesar yang diketahui adalah Jātakatthavaṇṇanā dari aliran Theravāda.[2] Dalam Buddhisme Theravāda, kitab Jātaka adalah sebuah bagian kitab suci definitf dalam Tripitaka Pali, termasuk dalam Khuddaka Nikāya di Sutta Piṭaka. Istilah Jātaka juga dapat merujuk pada kitab komentar tradisional (aṭṭhakathā) untuk kitab ini. Kisah-kisah tersebut diperkirakan berasal dari tahun 300 SM hingga 400 M.[1]
Dalam tradisi Pali, terdapat pula banyak kisah jātaka nonkanonis yang disusun kemudian (beberapa bahkan berasal dari abad ke-19), tetapi kisah-kisah tersebut diperlakukan sebagai kategori sastra yang terpisah dari kisah-kisah dalam kitab Jātaka "resmi" yang telah disahkan secara formal sejak abad ke-5—sebagaimana dibuktikan dalam banyak bukti epigrafi dan arkeologi, seperti ilustrasi yang masih ada dalam relief di dinding candi-candi kuno. Beberapa kisah jātakaapokrif telah diadaptasi agar kisahnya sesuai dengan budaya lokal di beberapa negara Asia Tenggara dan telah dikisahkan kembali dengan perubahan pada alur kisahnya untuk lebih mencerminkan moralitas Buddhis sehingga kisah-kisah tersebut juga dianggap kanonis, seperti yang termasuk dalam koleksi Paññāsa Jātaka.[6][7] Menurut Kate Crosby, "terdapat pula koleksi kisah jātaka [nonkanonis] yang mengisahkan sepuluh Buddha masa depan, dimulai dengan Metteyya, yang meskipun kurang terkenal saat ini, pernah beredar luas di dunia Theravāda."[8]
Paralel
Banyak kisah dan pola kisah yang ditemukan dalam kitab Jātaka, seperti Kelinci di Bulan dalam Sasajātaka (Jātaka no.316),[9] juga ditemukan dalam banyak bahasa dan media lainnya. Misalnya saja, kisah "Monyet dan Buaya", "Kura-kura yang Tak Bisa Berhenti Berbicara", dan "Kepiting dan Bangau" juga terkenal dalam kitab Pañcatantra agama Hindu, suatu niti-shastra ('sastra moral populer') Sanskerta yang secara umum memengaruhi sastra dunia.[3] Selain itu, banyak juga kisah dan pola kisah di luar kitab Jātaka kanonis yang bersumber dan diterjemahkan dari bahasa Pali, namun ada juga yang berasal dari tradisi lisan suatu daerah sebelum adanya komposisi kisah tersebut dalam bahasa Pali.[10] Di Mahathupa, Sri Lanka, semua 550 kisah dari kitab Jātaka ditampilkan di dalam tempat penyimpanan relikui.[11]Relikuarium tersebut sering kali menggambarkan kisah-kisah dari kitab Jātaka.
Kisah terkenal
Di Asia Tenggara, kisah yang paling penting dan dikenal luas adalah 10 kisah Mahānipāta Jātaka (Sepuluh Kisah Kelahiran Besar). Kisah-kisah ini dianggap sebagai sepuluh kehidupan terakhir BodhisattaGotama dan dikatakan sebagai penyempurnaan dari 10 paramita.[12] Di antara semuanya, Vessantara Jātaka adalah yang paling populer. Menurut Peter Skilling, salah satu alasan kepopulerannya adalah "kepercayaan yang menyebar luas, yang tersebar melalui Māleyya-sutta dan kepustakaan terkait, bahwa dengan mendengarkan kisah jātaka ini, seseorang dapat bertemu dengan Buddha berikutnya, Metteyya, di masa depan."[13]
Gambaran umum
Kitab Jātaka dalam Tripitaka Pali milik Theravāda terdiri atas 547 puisi, yang disusun secara kasar berdasarkan peningkatan jumlah bait. Menurut Profesor von Hinüber,[14] hanya 50 kisah terakhir yang dimaksudkan untuk dapat dapat dipahami tanpa penjelasan kitab komentar. Kitab komentar tersebut memberikan kisah dalam bentuk prosa yang diklaim menyediakan konteks untuk puisi-puisi yang ada, dan kisah-kisah inilah yang dipandang menarik oleh para ahli cerita rakyat. Versi alternatif dari beberapa kisah dapat ditemukan dalam kitab lain di Tripitaka Pali, seperti Cariyāpiṭaka, dan sejumlah kisah individual dapat ditemukan tersebar di kitab-kitab lainnya dalam Tripitaka Pali.
Daftar berikut ini memuat beberapa kisah jātaka penting dalam kitab Jātaka di Tripitaka Pali (judul dalam bahasa Inggris):
^ ab"Jataka Tales". www.pitt.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 October 2019. Diakses tanggal 11 January 2022.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abJacobs 1888, Introduction, page lviii "What, the reader will exclaim, "the first literary link [1570] between India and England, between Buddhism and Christendom, written in racy Elizabethan with vivacious dialogue, and something distinctly resembling a plot. . ."
^ abSkilling, Peter (2010). Buddhism and Buddhist Literature of South-East Asia, p. 165.
^Robert E. Buswell (2004). Encyclopedia of Buddhism, Volume 1, pp. 400–401.