Kitab Paṭṭhāna (Pali untuk "Hubungan Kondisi-Kondisi"),[1] juga dikenal sebagai Paṭṭhānapakaraṇa dan Mahāpakaraṇa, adalah sebuah kitab suci Buddhisme sebagai kitab ketujuh dan terakhir dari Abhidhamma Piṭaka ("Keranjang Dhamma Luhur") yang merupakan salah satu bagian dari Tripitaka Pali aliran Theravāda.
Kitab Paṭṭhāna terdiri dari tiga bagian (Eka, Duka, dan Tīka). Kitab ini memberikan pemeriksaan rinci tentang hukum Kemunculan Bersebab (kepercayaan Buddhis bahwa dasar keberadaan adalah kausalitas—bukan sesosok Tuhan atau Dewa Pencipta) dengan menganalisis 24 jenis hubungan kondisional (paccaya) dalam kaitannya dengan klasifikasi dalam mātika (Pali untuk "matriks") seperti dalam kitab Dhammasaṅgaṇī.[2] Kitab ini menekankan bahwa—selain Nirwana, yang merupakan sesuatu yang mutlak—semua fenomena lainnya bersifat relatif (muncul secara bergantung) dalam satu cara atau lainnya.[1]
Paṭṭhāna juga berperan sebagai paritta (bacaan perlindungan) yang paling populer di Myanmar.[3] Dalam Buddhisme Burma, kitab suci ini dibacakan secara ritual oleh para biksu dan umat awam untuk perlindungan, dan umat Buddha Burma percaya bahwa pembacaan Paṭṭhāna dapat melindungi seseorang dari ancaman dan bahaya, menyenangkan dewa-dewi yang suka menolong, dan mengusir makhluk-makhluk jahat.[3]
24 hubungan kondisional
Menurut Paṭṭhāna, dhamma, semua fenomena jasmani dan mental, bergantung pada beberapa kombinasi dari 24 kemungkinan kondisi. Kondisi atau paccaya tersebut adalah:[4]
Kondisi akar (hetu paccaya): lobha (keserakahan), alobha (tanpa-keserakahan), dosa (kebencian), adosa (tanpa-kebencian), moha (delusi atau kebodohan batin), dan amoha (tanpa-delusi) menjadi enam akar atau penyebab awal yang menimbulkan semua pemikiran dan perasaan.[5]
Kondisi objek (ārammana paccaya): objek-objek eksternal beserta pengaruhnya, seperti cahaya dan suara, merupakan salah satu penyebab munculnya pemikiran dan perasaan dengan cara merangsang sensasi seseorang.[5]
Kondisi dominansi (adhipati paccaya): beberapa aspek mental, seperti hasrat (chanda) dan energi/semangat (viriya), diyakini sebagai penyebab dominan dalam Psikologi Buddhis karena masing-masing dari mereka dapat secara mendalam mendominasi aspek mental lainnya pada suatu waktu.[6]
Kondisi tanpa interval (anantara paccaya): setiap tahapan atau proses vīthi, prosedur mental dalam psikologi Buddhis, terjadi secara berurutan. Salah satu tahapan yang merupakan akibat juga berperan sebagai penyebab berikutnya yang memunculkan akibat berikutnya.[7]
Kondisi keberlanjutan (samanantara paccaya): kondisi ini adalah semacam penekanan pada kesinambungan antara dua tahapan proses vīthi yang berurutan.[8]
Kondisi kemunculan bersama (sahajāta paccaya): kata Palisaha berarti "bersama" dan jata berarti "muncul (menjadi ada)." Penafsiran tentang kondisi ini dapat dilakukan dalam dua versi utama. Dalam versi yang lebih lugas, kondisi yang muncul bersama-sama dan menimbulkan akibat tertentu bersama-sama merupakan sebab-simultan. Dalam pengertian yang lebih luas, menurut Abhidhamma, semua variasi ciri fisik atau mental hanyalah manifestasi dari sejumlah prinsip fisik atau mental yang fundamental, dan karenanya semua variasi tersebut dapat disatukan menjadi satu kelompok sederhana, seperti halnya gaya fundamental dapat disatukan dalam interaksi elektrolemah dan Teori Manunggal Akbar.[8]
Kondisi timbal balik (aññamañña paccaya): dalam Abhidhamma, beberapa fenomena mental dan fisik merupakan penyebab yang saling mendukung yang dapat menimbulkan satu sama lain. Hubungan antara perubahan fluks magnetik dan medan listrik dapat menjadi gambaran yang baik untuk kondisi ini.[8]
Kondisi ketergantungan (nissaya paccaya): apabila satu atau lebih proses atau fenomena dikaitkan dengan suatu sebab tertentu, tak peduli apakah kausalitasnya langsung atau tak langsung, maka sebab tersebut, dalam Abhidhamma, dipandang sebagai sebab yang bertanggung jawab atau sebab-terdekat.[9]
Kondisi ketergantungan kuat (upanissaya paccaya): kata pengubah gramatis upa ("kuat") ditambahkan ke kata nissaya ("dukungan" atau "ketergantungan"). Ada 3 subkondisi di bawah kondisi ketergantungan kuat (upanissaya paccaya), yaitu:[10]
Ketergantungan kuat melalui objek (ārammanupanissaya)
Ketergantungan kuat melalui tanpa-interval (anantarupanissaya)
Ketergantungan kuat melalui kondisi alamiah (pakatupanissaya)
Kondisi kemunculan lebih dulu (purejāta paccaya): suatu kondisi yang telah muncul sebelum suatu akibat yang ditimbulkannya merupakan sebab yang sudah ada sebelumnya.[11]
Kondisi kemunculan belakangan (pacchājāta paccaya): suatu kondisi yang muncul setelah suatu fenomena yang kemudian didukung atau dipertahankan merupakan penyebab yang ada setelahnya.[12]
Kondisi perbuatan (kamma paccaya): dalam ajaran Theravāda, makna karma yang benar pada dasarnya mirip dengan makna 'agensi' dalam humanisme, yaitu tindakan yang bertujuan (dengan kehendak). Jika suatu proses atau fenomena tertentu dari seseorang cukup bertujuan untuk menimbulkan suatu akibat (vipāka), maka hal itu disebut karma sebagai sebab-sebab.[12]