Halaman ini berisi artikel tentang kelompok etnis perpaduan antara Tionghoa dan Pribumi Nusantara. Untuk keturunan Tionghoa di Indonesia, lihat Tionghoa-Indonesia.
Anggota etnis ini di Malaka, Malaysia menyebut diri mereka sebagai "Baba-Nyonya". "Baba" adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan "Nyonya" istilah untuk wanitanya. Sebutan ini berlaku terutama untuk populasi etnis Tionghoa dari Negeri-Negeri Selat di Malaya kala era kolonial, Pulau Jawa yang kala itu dikuasai Belanda, dan lokasi lainnya, yang telah mengadopsi kebudayaan Nusantara - baik sebagian atau seluruhnya - dan menjadi lebih berasimilasi dengan masyarakat pribumi setempat. Banyak etnis ini yang merupakan kaum elit Singapura, lebih setia kepada Inggris daripada Tiongkok. Sebagian besar telah tinggal selama beberapa generasi di sepanjang selat Malaka dan sebagian besar telah memiliki garis keturunan dari perkawinan dengan orang Nusantara pribumi dan Melayu. Etnis Peranakan biasanya merupakan pedagang, perantara antara Inggris dan Tiongkok, atau Tionghoa dan Melayu, atau juga sebaliknya karena mereka dididik dalam sistem Inggris. Karena itu, orang Peranakan hampir selalu memiliki kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa atau lebih. Dalam generasi selanjutnya, banyak yang telah kehilangan kemampuan untuk berbicara rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan budaya Semenanjung Malaya dan telah berbicara lancar Bahasa Melayu sebagai bahasa pertama atau kedua.
Istilah "Peranakan" paling sering digunakan di kalangan etnis Tionghoa bagi orang keturunan Tionghoa, di Singapura dan Malaysia orang keturunan Tionghoa ini dikenal sebagai Tionghoa Selat (土生華人; karena domisili mereka di Negeri-Negeri Selat), tetapi ada juga masyarakat Peranakan lain yang relatif kecil, seperti India Hindu Peranakan (Chetti), India Muslim Peranakan (Jawi Peranakan atau Jawi "Pekan") (Abjad Jawi menjadi tulisan Arab yang telah di-Jawa-kan,[2] "Pekan" adalah istilah sehari-hari yang telah mengalami kontraksi pengucapan dari "Peranakan"[2]) dan Peranakan Eurasia (Kristang[2]) (Kristang = Kristen).[2][3] Kelompok ini memiliki hubungan paralel dengan orang Hokkian Kamboja, yang merupakan keturunan Tionghoa Hoklo. Mereka mempertahankan sebagian budaya mereka meskipun bahasa asli mereka secara bertahap menghilang beberapa generasi setelah bermukim.[4]
Terminologi
Baik Bahasa Melayu maupun Bahasa Indonesia menggunakan kata "Peranakan" yang berarti "keturunan" - tanpa arti konotasi dari etnis keturunan apa, kecuali jika diikuti oleh kata keterangan benda berikutnya, seperti misalnya "Tionghoa", "Belanda" atau "Jepang" / "Jepun".[5]Peranakan memiliki arti konotasi tersirat yang mengacu pada keturunan dari kakek-nenek buyut atau nenek moyang yang lebih jauh.[2]
"Peranakan" kini berarti orang keturunan bukan Indonesia-asli (misalnya, Tionghoa) yang lahir di Indonesia. Akan tetapi pada abad ke-17, istilah "Cina peranakan" ditujukan bagi orang Tionghoa muslim; yang dalam istilah Belanda kolonial disebut geschoren Chinees, yakni Tionghoa yang dipotong kuncirnya.[6]:223
Baba, kata dari Persia yang dipinjam oleh penutur bahasa Melayu sebagai sebutan kehormatan hanya untuk kakek-nenek, digunakan untuk menyebut laki-laki Tionghoa Selat. Istilah ini berasal dari penutur Bahasa Hindustani, seperti penjaja dan pedagang, dan menjadi bagian dari bahasa pasar yang umum.[7] Di Nusantara sendiri, pengucapan "Baba" dapat berubah sesuai dialek masyarakat Pribumi setempat, seperti "Babah" oleh orang Jawa atau "Babeh" oleh orang Betawi.
Wanita keturunan Tionghoa Selat entah dipanggil atau menyebut dirinya sendiri sebagai "Nyonya". Kata "nyonya" (juga sering salah dieja "nonya") adalah sebutan kehormatan Jawa yang merupakan pinjaman dari istilah Italia "nonna" ("nenek") yang berarti: wanita asing yang sudah menikah.[butuh rujukan] Atau lebih mungkin dari kata "dona" ("doña" Spanyol), sebutan Portugis untuk "wanita".[butuh rujukan] Karena orang Jawa pada saat itu memiliki kecenderungan untuk menyebut semua perempuan asing (dan mungkin orang-orang yang penampilannya seperti dari luar negeri) sebagai "nyonya", mereka pun menggunakan istilah tersebut untuk wanita Tionghoa Selat, dan secara bertahap menjadi lebih terkait secara eksklusif dengan mereka. "Nona" dalam bahasa Jawa berarti "wanita".[8]
Tionghoa Selat didefinisikan sebagai mereka yang lahir atau tinggal di Negeri-Negeri Selat: sebuah koloni Inggris yang terdiri dari Pulau Pinang, Malaka dan Singapura yang dibentuk tahun 1826.[9] Tionghoa Selat tidak dianggap sebagai "Baba Nyonya" kecuali mereka menampilkan atribut fisik tertentu yang merupakan campuran Melayu pribumi dan Tionghoa.[9]
Keturunan
Kebanyakan Peranakan adalah dari keturunan orang Hoklo (Hokkien), meskipun jumlah yang cukup besar adalah dari keturunan orang Tiociu atau orang Kanton. Peranakan sendiri adalah keturunan ras campuran, sebagian Tionghoa, sebagian Pribumi Nusantara (Indonesia / Melayu).
Baba Nyonya adalah subkelompok dalam masyarakat Tionghoa, dan adalah keturunan serikat Sino-pribumi (Tionghoa asli) di Melaka, Pinang, dan Indonesia. Adalah hal yang biasa bagi pedagang Tionghoa awal di Nusantara zaman dahulu untuk mengambil perempuan pribumi Nusantara dari Semenanjung Malaya / Sumatra / Jawa sebagai istri atau selir,[9] akibatnya Baba Nyonya memiliki campuran ciri-ciri budaya Tionghoa dan Nusantara.[9]
Catatan tertulis dari awal abad ke-19 dan abad ke-20 menunjukkan bahwa pria Peranakan biasanya mengambil pengantin dari dalam komunitas Peranakan setempat. Keluarga Peranakan kadang-kadang mengimpor pengantin wanita dari Tiongkok dan mengirim putri mereka ke Tiongkok untuk mencari suami.
Beberapa sumber mengklaim bahwa Peranakan awal telah menikah-campur dengan penduduk Nusantara pribumi setempat; klaim ini mungkin berasal dari kenyataan bahwa beberapa pegawai yang menetap di Bukit Tionghoa yang melakukan perjalanan ke Malaka dengan Laksamana dari Yunnan adalah Muslim Tionghoa. Namun pakar lainnya, melihat kurangnya kemiripan fisik, sehingga mereka berpendapat bahwa etnis Tionghoa Peranakan telah hampir tidak bercampur dengan Pribumi Nusantara. Satu kasus penting untuk mendukung klaim tentang percampuran tersebut adalah dari masyarakat Peranakan di Tangerang, Indonesia, yang dikenal sebagai Tionghoa Benteng. Penampilan fisik mereka adalah Pribumi Nusantara, tetapi mereka mematuhi adat istiadat Peranakan, dan kebanyakan dari mereka adalah penganut Buddhisme. Beberapa Peranakan membedakan antara "Baba-Peranakan" (Peranakan dengan keturunan Melayu Semenanjung) dari "Peranakan" (mereka yang tanpa keturunan Melayu Semenanjung).
Bahasa orang Peranakan, yaitu Bahasa kreol Melayu (atau "Bahasa Melayu Baba"), adalah dialek kreol dari bahasa Melayu, yang berisi banyak kata dialek Hokkian. Bahasa ini adalah bahasa yang hampir punah, dan penggunaan kontemporernya terbatas pada anggota generasi tua. Bahasa Indonesia, Melayu atau Inggris kini telah menggantikan bahasa ini sebagai bahasa utama yang digunakan di kalangan generasi muda.
Di Indonesia, orang Peranakan muda masih bisa berbicara bahasa kreol ini, meskipun penggunaannya terbatas pada acara-acara informal. Peranakan muda telah kehilangan banyak bahasa tradisional mereka, sehingga biasanya ada perbedaan dalam kosakata antara generasi tua dan muda.
Sejarah
Pada abad ke-15, beberapa negara-kota kecil di Semenanjung Malaya sering membayar upeti kepada berbagai kerajaan seperti Kekaisaran Tiongkok (sekarang Republik Rakyat Tiongkok) dan Kerajaan Siam (sekarang Thailand). Hubungan dekat dengan Tiongkok dimulai pada awal abad ke-15 pada masa pemerintahan Parameswara ketika Laksamana Cheng Ho, utusan Kaisar Tionghoa Yongle, mengunjungi Malaka dan Jawa. Terdapat legenda bahwa di 1459 Masehi, Kaisar Tiongkok mengirimkan seorang putri, Hang Li Po, kepada Sultan Malaka sebagai tanda penghargaan atas penghormatannya. Para bangsawan (500 putra menteri) dan pegawai yang menemani putri tersebut awalnya menetap di Bukit Tionghoa dan akhirnya berkembang menjadi kelas "Tionghoa Selat" (Tionghoa kelahiran Selat Malaka), tetapi legenda ini tidak didukung adanya bukti dari catatan Kekaisaran Tionghoa.
Kala itu karena kesulitan ekonomi di daratan Tiongkok, gelombang imigran datang dari negeri Tiongkok dan menetap di Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia Barat), Pulau Ujong (sekarang Singapura), dan kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia). Beberapa dari mereka kemudian berasimilasi dengan adat istiadat lokal, sementara masih mempertahankan beberapa tingkat budaya nenek moyang mereka, mereka kemudian juga dikenal sebagai kaum "Peranakan". Peranakan biasanya memiliki tingkatan darah pribumi Nusantara tertentu, yang dapat dihubungkan dengan fakta bahwa selama kekaisaran Tionghoa, sebagian besar imigran dari Tiongkok adalah laki-laki yang kemudian menikah dengan wanita pribumi setempat. Orang Peranakan di Tangerang, Indonesia yang dikenal dengan sebutan Tionghoa Benteng, mempunyai tingkatan darah pribumi yang tinggi sehingga mereka hampir tidak bisa dibedakan secara fisik dari penduduk pribumi. Penampilan orang Peranakan di Indonesia dapat bervariasi, antara berkulit sangat terang sampai berwarna kulit cokelat tembaga.
Pria Tionghoa di Malaka kala itu menikah dan menghasilkan keturunan dengan wanita-wanita budak dari Jawa, Batak dan Bali. Keturunan mereka pindah ke Penang dan Singapura selama pemerintahan kolonial Inggris.[10] Orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara era kolonial juga memperoleh istri wanita budak dari Nias. Orang-orang Tionghoa di Singapura dan Penang disediakan istri wanita budak dari Bugis, Batak, dan Bali.[11] Inggris kala itu memperbolehkan perdagangan perempuan budak sebagai istri karena hal ini meningkatkan standar hidup bagi budak-budak tersebut dan memberikan kepuasan kepada penduduk laki-laki.[12] Penggunaan budak perempuan sebagai istri oleh orang Tionghoa adalah sangat umum kala itu.[13]
Tidak bisa dipungkiri, bagaimanapun, bahwa keberadaan perbudakan di kuartal ini, pada tahun-tahun sebelumnya, adalah keuntungan besar untuk pengadaan populasi wanita di Pinang. Dari Assaban saja, sebelumnya ada kadang-kadang 300 budak, terutama perempuan, diekspor ke Malaka dan Pinang dalam setahun. Para perempuan itu menetap nyaman sebagai istri dari pedagang Tionghoa kaya, dan hidup dalam kenyamanan paling tinggi. Keluarga mereka melekatkan pria-pria itu dengan tanah mereka, dan banyak yang tidak pernah berpikir untuk kembali ke negara asal mereka. Populasi perempuan di Pinang masih jauh dari setara dengan [populasi] laki-laki; dan karena itu penghapusan perbudakan, telah menjadi pengorbanan besar untuk filantropi dan kemanusiaan. Karena kondisi para budak yang dibawa ke pemukiman Inggris, membaik secara materiil, dan karena mereka memberikan kontribusi begitu banyak untuk kebahagiaan penduduk laki-laki, dan kesejahteraan umum dari pemukiman, membuat saya untuk berpikir (meskipun saya membenci prinsip perbudakan seperti dengan siapa pun), bahwa kelanjutan sistem ini di sini, di bawah peraturan bijak yang berlaku untuk mencegah penyalahgunaan, tidak dapat telah menghasilkan banyak kejahatan. Perbudakan macam ini yang memang ada di pemukiman Inggris di kuartal ini, tidak ada yang salah dengannya kecuali namanya; karena kondisi para budak yang dibawa dari negara-negara sekitar, selalu terbantu dengan perubahan, mereka diberi makanan dan pakaian dengan baik; para perempuan menjadi istri Tionghoa yang terhormat; dan orang-orang yang berada di tingkat paling tidak rajin, mudah memperbaiki diri, dan banyak yang menjadi kaya. Kejahatan oleh majikan telah dihukum; dan, singkatnya, saya tidak tahu ras orang-orang apapun yang telah, dan memiliki setiap alasan untuk, sangat bahagia dan puas sebagai budak sebelumnya, dan debitur seperti yang disebut sekarang, yang datang dari pantai timur Sumatra dan tempat-tempat lain.[14][15]
John Anderson - Agen Pemerintah Pulau Prince of Wales (nama kolonial Pulau Pinang / Penang)
Orang Peranakan sendiri kemudian bermigrasi di antara Malaysia, Indonesia dan Singapura, yang mengakibatkan tingginya tingkat kesamaan adat dan budaya di antara komunitas Peranakan di negara-negara tersebut. Alasan ekonomi atau pendidikan biasanya mendorong migrasi Peranakan di antara wilayah Nusantara (Malaysia, Indonesia dan Singapura), bahasa kreol mereka sangat dekat dengan bahasa asli negara-negara tersebut, yang membuat adaptasi mereka jauh lebih mudah.
Walaupun tidak sama, dalam perkembangannya karena alasan politik orang Peranakan dan Tionghoa Nusantara lainnya dikelompokkan sebagai satu kelompok etnis, yaitu Tionghoa. Tionghoa Singapura dan Tionghoa Malaysia menjadi semakin lebih menunjukkan budaya Tionghoa daratan, sedangkan Tionghoa Indonesia menjadi lebih terasimilasi dengan budaya Nusantara dalam budaya mereka. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan adanya "Kebijakan Bumiputera" dan Sekolah Kebangsaan Tionghoa di Malaysia; "Kebijakan Bahasa Ibu" ("Mother Tongue Policy") di Singapura; dan adanya larangan terhadap kesenian dan tradisi Tionghoa selama era administrasi Soeharto di Indonesia.
Pada masa lalu orang Peranakan dijunjung tinggi oleh orang Pribumi Melayu. Beberapa orang Melayu pada masa lalu mungkin telah mengambil kata "Baba", merujuk pada lelaki Tionghoa, dan memasukkannya ke dalam nama mereka, ketika nama ini masih digunakan.[16][17][18] Hal ini tidak diikuti oleh generasi muda Melayu, dan Tionghoa Malaysia saat ini tidak memiliki status atau kehormatan yang sama seperti yang dimiliki orang Peranakan kala itu.
Kebudayaan
Busana
Di Malaysia dan Singapura, Peranakan mempertahankan sebagian besar etnis dan agama asal mereka (seperti pemujaan leluhur), tetapi berasimilasi dengan bahasa dan kebudayaan Melayu. Busana Nyonya, yaitu "Baju Panjang" diadaptasi dari busana pribumi Melayu "Baju Kurung". Busana ini dikenakan dengan sarung batik dan 3 "kerosang" (bros). Sandal manik-manik yang disebut "Kasot Manek" (Kasut Manik) adalah buatan tangan yang memerlukan banyak keterampilan dan kesabaran: dirangkai, dimanik-manik dan dijahit ke kanvas dengan manik-manik kaca berbentuk tertentu yang kecil dari Bohemia (sekarang Republik Ceko).
Di zaman modern, manik-manik kaca dari Jepang lebih disukai untuk kasot manek. Desain kasot manek tradisional sering memiliki bentuk bunga Eropa, dengan warna yang dipengaruhi oleh porselin dan sarung batik Peranakan. Mereka dibuat ke dalam bentuk alas kaki atau sandal kamar, tetapi sejak 1930-an, bentuk modern menjadi populer dan tumit ditambahkan ke dalam desain alas kaki ini.
Di Indonesia, Peranakan mengembangkan kebaya-nya sendiri, terutama kebaya encim, berasal dari nama encim atau enci untuk merujuk kepada seorang wanita Tionghoa yang sudah menikah.[19]Kebaya encim biasanya dipakai oleh wanita Tionghoa di kota-kota pesisir Jawa yang mempunyai permukiman Tionghoa yang cukup besar. seperti Semarang, Lasem, Tuban, Surabaya, Pekalongan dan Cirebon. Busana kebaya ini berbeda dari kebaya Jawa dengan bordiran yang lebih kecil dan halus-nya, kain ringan dan warna yang lebih cerah. Mereka juga mengembangkan pola batik mereka sendiri, yang menggabungkan simbol dari Tiongkok. Kebaya encim cocok dipakai dengan kain batik Jawa pesisiran berwarna cerah, yang menggunakan simbol dan motif dari Tiongkok, seperti naga, feniks, peony dan teratai. Para Baba biasanya akan mengenakan baju lokchuan (yang merupakan busana penuh orang-orang Tionghoa), tetapi generasi muda memakai hanya bagian atasannya yang merupakan jaket sutra lengan panjang dengan kerah Tionghoa, atau kemeja batik.
Agama
Peranakan biasanya berkeyakinan Tionghoa: Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme Tiongkok (Mahayana), merayakan Tahun Baru Imlek dan Festival Lampion, sembari mengadopsi adat istiadat tanah yang mereka tinggali, dan adat istiadat orang-orang penguasa kolonial. Telah ditemukan jejak-jejak kebudayaan Portugis, Belanda, Inggris, Melayu dan pengaruh Nusantara (Indonesia) dalam kebudayaan Baba Melayu.[9] Sejumlah keluarga Baba Nyonya zaman dahulu adalah, dan masih merupakan penganut agama Katolik. Namun dalam masyarakat modern, banyak masyarakat Peranakan muda telah memeluk agama Kristen Protestan. Terutama di Indonesia, negara dengan jumlah Peranakan terbesar di dunia, di mana sebagian besar orang Tionghoa beragama Kristen. Namun terdapat pula kaum Peranakan yang memeluk agama Islam tersebar di Indonesia dan Malaysia.
Dari pengaruh Melayu yang unik, Masakan Peranakan (atau juga disebut Masakan "Nyonya" di Singapura dan Malaysia) telah dikembangkan dengan menggunakan rempah-rempah khas Melayu. Contohnya adalah Ayam Kapitan, kari ayam kering, dan Inchi Kabin, versi Peranakan dari ayam goreng. Pindang bandeng adalah sup ikan umum yang disajikan di Indonesia selama tahun baru Imlek dan begitu pula kue bulan putih bulat dari Tangerang yang biasanya digunakan selama Festival Musim Gugur. Swikee Purwodadi adalah masakan Peranakan dari Purwodadi, yang merupakan masakan daging katak.
Nyonya Laksa adalah hidangan yang sangat populer di Singapura dan Malaysia, begitu pula Kueh Lapis, sejenis kue yang bertingkat, paling sering dimakan pada Tahun Baru Imlek untuk melambangkan tangga kemakmuran.
Sejumlah kecil restoran yang menyajikan makanan Nyonya dapat ditemukan di Singapura; Penang dan Malaka di Malaysia; dan Jakarta, Semarang, Surabaya di Indonesia.
Perkawinan
Adalah hal biasa bagi pedagang Tionghoa awal dahulu untuk mengambil perempuan Melayu dari Semenanjung Malaya atau Sumatra sebagai istri atau selir.[9] Akibatnya, Peranakan memiliki campuran yang sinergis dari ciri-ciri budaya Melayu-Tionghoa.[9]
Catatan tertulis dari abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan bahwa pria Peranakan biasanya mengambil pengantin dari dalam komunitas Peranakan setempat. Keluarga Peranakan kadang-kadang mendatangkan pengantin wanita dari Tiongkok dan mengirim putri mereka ke Tiongkok untuk mencari suami.
Perkawinan dalam masyarakat sama dan berstatus serupa adalah norma bagi Peranakan dahulu. Orang kaya akan dipersiapkan untuk menikah dengan chin choay: Atau pernikahan matrilokal di mana suami pindah ke dalam keluarga istri.[9]
Proposal pernikahan biasanya dilakukan dengan hadiah berupa Pinangan, sebuah keranjang dua-lapis yang dipernis, kepada orang tua pengantin wanita yang dimaksudkan dengan dibawa oleh seorang perantara yang berbicara atas nama lelaki yang melamar. Kebanyakan Peranakan bukan Muslim, dan telah mempertahankan tradisi pemujaan leluhur orang Tionghoa, meskipun banyak yang sekarang memeluk Kekristenan dan meninggalkan tradisi tersebut.
Upacara pernikahan Peranakan sebagian besar didasarkan pada tradisi Tionghoa, dan merupakan salah satu upacara pernikahan yang paling berwarna di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pada pesta pernikahan Pernikahan dahulu, Dondang Sayang, sebuah bentuk lagu berima tanpa persiapan dalam bahasa Melayu yang dinyanyikan dan ditarikan oleh para tamu di pesta pernikahan, adalah sorotan acara. Seseorang akan memulai tema romantis yang kemudian dilanjutkan oleh orang lain, masing-masing turun ke lantai dansa pada gilirannya, menari dalam perputaran lambat sembari bernyanyi. Untuk itu diperlukan kecerdasan cepat dan jawaban yang tepat, dan sering memunculkan tawa dan tepuk tangan ketika sebuah frasa yang sangat cerdas dinyanyikan. Aksen melodi dari Baba Nonya dan pergantian khusus frasa mereka adalah pesona utama penampilan ini .
Museum
Peninggalan sejarah dan budaya dari budaya Baba ditampilkan dalam museum budaya di Heeren Street, Jonker Street dan jalan-jalan lain di lingkungan yang sama di Malaka; "Pinang Peranakan Mansion" di Penang, Malaysia; dan di Museum Peranakan di Singapura. Mebel, makanan, dan bahkan tradisional pakaian dari Baba dan Nyonya juga dipamerkan di museum-museum ini. Pertunjukan mingguan yang gratis menampilkan pertunjukan Baba, dan pertunjukan budaya tradisional dan pop Tionghoa dapat ditemukan di Jonker Street di Malaka. Pertunjukan-pertunjukan ini adalah bagian dari pasar malam Malaka, dan biasanya penuh sesak dengan pembeli, baik lokal maupun asing.
Di Indonesia, populasi paling besar Peranakan dapat ditemukan di Tangerang, Jawa Barat.
Pertalian politik
Kaum Peranakan kala itu secara finansial lebih makmur daripada etnis Tionghoa totok kelahiran Tiongkok. Kekayaan keluarga dan koneksi memungkinkan mereka untuk membentuk golongan elit Tionghoa-Selat, yang ketat kesetiaannya kepada Kerajaan Inggris atau Belanda.[9] Karena kesetiaan yang ketat tersebut, kala itu kebanyakan dari mereka tidak mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia atau Malaysia sebelum paruh pertama abad ke-20.[9]
Pada pertengahan abad kedua puluh, kebanyakan Peranakan adalah orang berpendidikan Inggris atau Belanda, sebagai akibat dari penjajahan bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia sekarang) dan Inggris di Malaya. Peranakan kala itu mudah memeluk budaya dan pendidikan Belanda atau Inggris sebagai sarana untuk memajukan perekonomian mereka, sehingga posisi-posisi administrasi dan pelayanan sipil sering diisi oleh Tionghoa Peranakan terkemuka. Banyak masyarakat Peranakan yang kemudian memilih untuk berpindah agama ke Kekristenan karena prestise yang dirasakan dan pilihan untuk kedekatan dengan Belanda dan Inggris.[9]
Di Malaya Britania, komunitas Peranakan kemudian menjadi sangat berpengaruh di Malaka dan Singapura dan juga dikenal sebagai Tionghoa Raja karena kesetiaan mereka kepada Kerajaan Inggris. Karena interaksi mereka dengan budaya dan bahasa yang berbeda, sebagian besar Peranakan adalah (dan masih) menguasai tiga bahasa, mampu berkomunikasi dalam bahasa Tionghoa lisan, Melayu, dan Inggris (atau Belanda di Hindia Belanda). Profesi mereka umumnya adalah sebagai pedagang, penjual, dan perantara umum antara Tionghoa, Malaya dan bangsa Barat; di mana mereka sangat dihargai secara khusus oleh Belanda dan Inggris karena hal ini.
Banyak hal mulai berubah pada paruh pertama abad ke-20, dengan sebagian Peranakan mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dan Malaysia. Di Hindia Belanda, tiga komunitas Peranakan mulai bergabung dan menjadi aktif dalam kancah politik perjuangan kemerdekaan. Kaum Peranakan juga adalah salah satu pelopor dari surat kabar Indonesia. Dalam perusahaan penerbitan yang masih muda, mereka menerbitkan ide-ide politik mereka sendiri bersama dengan kontribusi dari para penulis Indonesia lainnya. Pada bulan November 1928, Sin Po mingguan berbahasa Tionghoa (Hanzi tradisional: 新報; pinyin: xīn bào) adalah makalah pertama yang secara terbuka mempublikasikan naskah lagu kebangsaan Indonesia Raya. Mereka yang terlibat dalam kegiatan seperti ini dihadapkan pada risiko dipenjara atau bahkan kehilangan nyawa mereka, karena pemerintah kolonial Belanda melarang publikasi dan kegiatan nasionalis.
Kaum Peranakan dan Tionghoa juga aktif dalam mendukung gerakan kemerdekaan selama Masa Pendudukan Jepang tahun 1940-an, ketika "Asosiasi Tionghoa Perantauan", atau asosiasi penduduk keturunan Tionghoa (Hanzi tradisional: 華僑中會; pinyin: Huáqiáo Zhōnghuì) dilarang oleh penguasa militer Jepang. Beberapa aktivis pro-kemerdekaan Indonesia yang terkenal adalah Siauw Giok Tjhan, Liem Koen Hian, dan Yap Tjwan Bing, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Status saat ini
Budaya Peranakan telah mulai menghilang di Malaysia dan Singapura. Tanpa dukungan kolonial Inggris terhadap netralitas ras mereka, kebijakan pemerintah di kedua negara setelah kemerdekaan dari Inggris telah mengakibatkan asimilasi budaya Peranakan kembali ke aliran umum budaya Tionghoa. Singapura kemudian mengklasifikasikan Peranakan sebagai etnis Tionghoa, sehingga mereka menerima instruksi formal dalam bahasa Mandarin alih-alih Melayu sebagai bahasa kedua (sesuai dengan "Kebijakan Bahasa Ibu"). Di Malaysia, standardisasi semua Melayu ke dalam Bahasa Melayu - yang diperuntukkan untuk semua kelompok etnis - telah menyebabkan hilangnya karakteristik unik dari para Baba Melayu.
Di Indonesia, budaya Peranakan kehilangan popularitas dibandingkan budaya Barat modern, tetapi dalam beberapa tingkat kaum Peranakan mencoba untuk mempertahankan bahasa, masakan, dan adat istiadat mereka. Peranakan muda masih berbicara bahasa Peranakan, meskipun banyak perempuan muda Peranakan tidak memakai kebaya. Pernikahan biasanya mengikuti budaya barat karena kebiasaan tradisional Peranakan kehilangan popularitas. Tercatat hanya tiga komunitas peranakan yang masih menjunjung tinggi adat pernikahan tradisional Peranakan, yaitu: Tangerang (oleh orang Tionghoa Benteng), Peranakan Makassar dan Peranakan Padang. Dari tiga komunitas tersebut, orang Tionghoa Benteng adalah yang paling patuh terhadap budaya Peranakan, tetapi jumlah mereka semakin berkurang.[20]
Orang Tionghoa Benteng biasanya hidup sebagai golongan ekonomi bawah, banyak dari mereka mencari peluang di bidang lain. Beberapa organisasi mencoba untuk meringankan beban hidup mereka.[21] Hingga Mei 2012, sekitar 108 keluarga Tionghoa Benteng terancam tergusur dari rumah tradisional mereka. Alasan dari pemerintah Tangerang adalah bahwa daerah tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai lahan hijau untuk kota. Hal ini menimbulkan masalah karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berpenghasilan rendah dan tidak tahu di mana untuk berpindah, sedangkan pemerintah juga tidak memberikan uang kompensasi yang cukup untuk membeli rumah baru. Beberapa upaya penggusuran di 2010 dan 2011 yang berakhir dengan kekerasan, telah menyebabkan trauma bagi mereka.[22]
Migrasi dari banyak keluarga Peranakan, khususnya yang berkecukupan, telah menyebabkan terciptanya diaspora Peranakan kecil di negara-negara tetangga, dari Vietnam[23] ke Australia.[24] Namun, komunitas ini sangat kecil, dan dengan meningkatnya penggunaan berbagai bahasa di negara masing-masing, penggunaan bahasa Peranakan Melayu atau Baba Melayu telah semakin tidak terlihat.
Asosiasi saat ini
Asosiasi Tionghoa Peranakan antara lain Peranakan Association of Singapore, Aspertina (Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia) dan Asosiasi Gunung Sayang, sebuah kelompok seni pertunjukan. Asosiasi Peranakan saat ini memiliki sekitar 1.700 anggota, dan Gunung Sayang memiliki sekitar 200 anggota. Meskipun Asosiasi Peranakan terdiri dari campuran orang muda dan tua, Asosiasi Gunung Sayang memiliki anggota yang kebanyakan oran tua atau pensiunan. Di Malaka, terdapat Asosiasi India Peranakan yang dikenal sebagai Chetti Melaka. Asosiasi ini adalah sebuah komunitas erat dari penganut Hindu Shaivisme.[25] Chetti Peranakan menampilkan banyak kemiripan dengan Tionghoa Peranakan dalam hal berpakaian, lagu dan tarian, misalnya pantun rakyat. Berbeda dengan asosiasi di negara lain, Aspertina tidak hanya beranggotakan orang tua saja tetapi justru didominasi oleh para generasi muda yang tertarik dengan seni, kebudayaan dan sejarah Peranakan Tionghoa, khususnya yang ada di Indonesia.
^Harimurti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, Nusa Indah: 1974: 213 pages
^Heuken, A. 2016. Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta:Cipta Loka Caraka.
^Joo Ee Khoo, The Straits Chinese: a cultural history, Pepin Press: 1996 ISBN 90-5496-008-6: 288 pages
^Soeseno Kartomihardjo, Ethnography of Communicative Codes in East Java Dept. of Linguistics, Research School of Pacific Studies, Australian National University: 1981: ISBN 0-85883-255-0: 212 pages: 96
^ abcdefghijkKeat Gin Ooi, Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor ABC-CLIO: 2004: ISBN 1-57607-770-5: 1791 pages Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "ReferenceB" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
^Agnes Swetta Pandia and Nina Susilo (13 January 2013). "Tantangan Bisnis Kebaya Encim" (dalam bahasa Indonesian). Female Kompas.com. Diakses tanggal 19 January 2013.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Santosa, Iwan (2012). Peranakan Tionghoa Di Nusantara. Indonesia: ASPERTINA & Kompas Penerbit Buku. ISBN978-979-709-641-0.
Kee, Ming-Yuet (2009). Peranakan Chinese Porcelain: Vibrant Festive Ware Of The Straits Chinese. Singapore: Tuttle. ISBN0-8048-4007-5.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
Somers, Mary F. (2009). Peranakan Chinese Politics In Indonesia. Singapore: Equinox Publishing. ISBN6-0283-9735-0.
Ho, Wing Meng (2008). Straits Chinese Furniture: A Collector's Guide. Singapore: Marshall Cavendish. ISBN978-981-261-665-4.
Teo, Kok Seong (2003). Peranakan Chinese of Kelantan: A Study of the Culture, Language & Communication of an Assimilated Group in Malaysia. Malaysia: Coronet Books Inc. ISBN1-9019-1921-8.
Rudolph, Jürgen (1998). Reconstructing Identities: A Social History of the Babas in Singapore. Singapore: Ashgate.costumes
Khoo, Joo Ee (1998). The Straits Chinese: A Cultural History. Kuala Lumpur, Malaysia: The Pepin Press. ISBN90-5496-008-6.
Chang, Queeny (1981). Memories of a Nonya. Singapore and Selangor, Malaysia: Eastern Universities Press Sdn Bhd. ISBN9-9717-1145-1.
Lee, Chin Koon (1974). Mrs. Lee's Cookbook: Nonya Recipes And Other Favourite Recipes. Malaysia: s.n. ASINB0006CNVR6.