Jalur kereta api Cilacap–Yogyakarta
Jalur kereta api Cilacap–Yogyakarta adalah salah satu dari koridor jalur kereta api utama di Pulau Jawa yang memiliki panjang 175 kilometer (109 mi). Jalur kereta api ini termasuk dalam Daerah Operasi V Purwokerto di segmen Cilacap–Purworejo serta VI Yogyakarta di segmen Montelan–Yogyakarta. KAI Commuter mengoperasikan Commuter Line Prambanan Ekspres (Prameks) di rute Kutoarjo–Yogyakarta, sedangkan KAI Bandara mengoperasikan Lin Yogyakarta International Airport (YIA) dari Yogyakarta menuju Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Jalur ini secara kolektif merupakan bagian dari jalur lintas selatan Jawa membentang dari barat ke timur yang melayani kereta api penumpang maupun kereta api barang, sejajar dengan pantai selatan di Jawa Tengah dan sepenuhnya berada di dataran rendah. Di bagian tengah terdapat Terowongan Ijo, salah satu terowongan KA yang cukup panjang di Jawa Tengah, menembus pegunungan karst Gombong Selatan. Di sisi timur jalur ini (antara Prembun dan Kutoarjo) adalah jalur rawan banjir karena posisi geografisnya yang rendah dan melintasi daerah berawa. Uniknya, seluruh jalur kereta api di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus sebagai Sultan Ground dan Paku Alam Ground.[1] Saat ini lintas Kroya–Yogyakarta sudah berupa jalur ganda, tetapi lintas Kroya–Cilacap dan Kroya–wesel pemisah Kasugihan masih berupa jalur tunggal dan jalur percabangan Cilacap–Pelabuhan Tanjung Intan dan Kutoarjo–Purworejo juga tunggal tetapi masih tidak aktif. Terdapat beberapa jembatan tinggi di jalur ini, yaitu yang melintasi Kali Progo (Jembatan Mbeling). Setelah melewati Stasiun Kutoarjo, jalur ini mengitari ujung selatan Pegunungan Menoreh, lalu berbelok ke arah timur laut menuju Stasiun Yogyakarta, kemudian ke timur dan timur laut hingga mencapai Stasiun Solo Balapan di tengah Kota Surakarta. Jalur tersebut juga menghubungkan DKI Jakarta atau Jawa Barat dengan Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur meskipun rute utama Jakarta–Surabaya adalah lintas utara Jawa (melalui Kota Semarang). SejarahAwal pembangunanJalur kereta api ini dahulu bermula dari negosiasi yang dibuat pada tahun 1875, yang dilakukan antara Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sehubungan dengan perkembangan konsesi jalur Semarang–Vorstenlanden yang akan mengarah pada hal berikut:[2]
Proposal NIS, meski telah diserahkan kepada Kementerian Urusan Jajahan, kurang mendapatkan perhatian sehingga mengalami banyak pengubahan. Di Hindia Belanda, orang-orang mengkritik proposal itu, termasuk David Maarschalk. Menteri Van Goltstein kemudian mengusulkan agar transaksi ini dicatat dalam perjanjian, sebagai berikut:[2]
Pengganti Goltstein, F. Alting Mees, sepakat dengan transaksi tersebut. Namun, ia mengajukan pengubahan proposalnya, termasuk menambah jalur kereta api Yogyakarta–Magelang dan menghubungkannya dengan konsesi Yogyakarta–Cilacap. Pada tanggal 13 Juni 1877, kontrak akhirnya ditandatangani dan konsesi diberikan, tergantung pada persetujuan lebih lanjut terhadap beberapa pasal hukum. Rancangan undang-undang yang membahas hal tersebut telah diserahkan ke Tweede Kamer pada akhir bulan tersebut.[2] Saat proyek-proyek yang dilaksanakan Staatsspoorwegen (SS) sudah mencapai tahap konstruksi, David Maarschalk menyerahkan detail engineering design (DED) untuk jalur kereta api Cilacap–Yogyakarta pada 3 November 1880. Dua belas hari setelahnya, ia menyatakan pensiun dari Kepala SS, dan posisi Kepala SS digantikan oleh Direktur Tekniknya kala itu, H.G. Derx.[2] Berikutnya, pada akhir tahun 1883 Pemerintah Hindia Belanda menerima tiga permohonan pembangunan jalur kereta api Yogyakarta–Cilacap, yaitu dari tim rekayasa dan rancang bangun SS, J. K. Kempees dan Th. A.M. Ruys,Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), serta A.W. Egter van Wissekerke dan M.A. van Walcheren, yang permintaannya terus dipertimbangkan sampai Pemerintah Kerajaan Belanda, sehingga memutuskan bahwa proyek kereta api Cilacap–Yogyakarta dilaksanakan oleh dan atas nama Negara.[2] Proyek ini tidak selalu berjalan mulus. Rancangan awal Maarschalk malah dibatalkan, sementara hubungan antara Surabaya dengan Pelabuhan Ujung justru dihapus dari alokasi dana APBN Hindia Belanda tahun 1883. Hal ini terjadi sebagai imbas dari Perang Aceh, turunnya harga kopi, serta biaya pekerjaan umum, membuat keuangan Hindia Belanda menjadi terpuruk, sehingga memaksa memaksa Menteri W.M. de Brauw dan F.G. van Bloemen Waanders untuk membatasi belanja negara. Campur tangan negara di Tweede Kamer terus-menerus dikritik oleh J.L. de Bruyn Kops, pendiri dan editor majalah de Economist, banyak Menteri yang tidak memperoleh dukungan dari Tweede Kamer, selain anggota L. Oldenhuis Gratama. Terlebih lagi, sikap setengah hati Menteri van Bloemen Waanders, yang ingin memangkas proyek pembangunan rel kereta api oleh Negara dan “membagi” penyelesaian rencana yang disusun dalam jangka waktu yang lebih panjang, justru tidak memberi kepuasan bagi kedua belah pihak maupun oposisi.[2] Maarschalk dan Groll pun menggagas usulan untuk mengambil alih konsesi jalur yang diproposalkan pemerintah, untuk dioperasikan oleh SS. Pada 29 Januari 1884, di hadapan Indisch Genootschap, Maarschalk mengembangkan gagasannya itu. Tawaran ini justru memicu kontroversi panas di media massa. Hal ini juga dibahas berulang kali dalam sidang Tweede Kamer; Namun, Menteri Van Bloemen Waanders menolak berpartisipasi, dan memilih mengundurkan diri ketika anggarannya disetujui saat menyerahkan surat-surat proposal kepada Tweede Kamer. Penggantinya, Tn. J.P. Sprenger van Eyk, semula mendukung rencana pengambilalihan proyek Surabaya–Ujung dan Cilacap–Yogyakarta. Setelah melalui perdebatan sengit dalam sidang Tweede Kamer, akhirnya disetujuilah dana tersebut, sehingga Menteri dapat memasukkan dalam Staatsblad No. 110 dan 111 tertanggal 20 Juli 1884 tentang pembangunan jalur kereta api Surabaya–Ujung dan dari Yogyakarta ke Cilacap dengan cabang dari Kutoarjo ke Purworejo. Jalur Cilacap–Yogyakarta akhirnya dibuka pada 20 Juli 1887.[2] Hubungan Bandung–Yogyakarta kala itu belum terbentuk. Semula, SS merencanakan akan membangun jalur dengan rute Tasikmalaya–Cilacap, yang nantinya disambungkan dengan Stasiun Cilacap Pelabuhan. Namun, karena trase yang akan dibangun melewati rawa-rawa, proyek menjadi semakin menantang, ditambah tidak adanya warga yang tinggal di lokasi proyek, serta banyak di antara pekerjanya yang terserang malaria. Di samping itu, Cilacap sudah tak lagi memainkan peranan penting dalam sektor pertahanan dan keamanan. Sebagai akhir rancangan ini, dipilih titik akhir jalur di emplasemen Stasiun Kasugihan, dan stasiun besar untuk penumpang umum dibuat di Maos.[3] Jalur ganda dan jalur lingkar zaman kolonialDahulu terdapat jalur ganda antara Stasiun Cilacap dan Stasiun Gumilir, dan melewati bekas perhentian Rawahbasum (Rawapasung).[4] Jalur dan stasiunnya dibuat karena permintaan masyarakat Sidanegara dan Gunungsimping, Cilacap Tengah, Cilacap karena jaraknya dengan Stasiun Cilacap dan Gumilir terlalu jauh. Perhentian Rawahbasum dahulu hanya dijadikan perhentian sementara karena dua stasiun itu cukup sibuk untuk angkutan komoditas. Bahkan pada tahun 1945, pernah dibuat jalur kereta api lingkar menuju perhentian ini sehingga KA barang yang tiba di Cilacap Pelabuhan tidak perlu membalik arah menuju Stasiun Cilacap lagi.[5] Namun, saat ini lintas lingkar tersebut sudah tidak aktif, dan KA lebih banyak yang tidak berhenti di perhentian Rawahbasum.[6] Perhentian Rawahbasum diduga dibongkar karena adanya pembangunan jaringan pipa Pertamina dengan rute Cilacap–Rewulu.[butuh rujukan] Pascakemerdekaan: Agresi Militer Belanda IIPada masa Agresi Militer Belanda II, jalur ini sempat dihancurkan. Sejumlah 325 unit jembatan sempat dirobohkan beserta sebagian besar stasiun-stasiunnya., Para pejuang sengaja membumihanguskan jembatan-jembatan tersebut untuk menghambat pergerakan serdadu Belanda menggunakan kereta api. Jembatan Mbeling, yang menjadi jembatan yang cukup vital pada jalur lintas selatan Jawa, masih harus diperbaiki hingga akhirnya rampung dan dapat digunakan lagi mulai tanggal 17 Juni 1951.[7] Pembangunan jalur ganda Kutoarjo–YogyakartaJalur ganda segmen Kutoarjo–Yogyakarta dimulai pembangunannya pada 2004 dan rampung pada 2007. Diresmikan pada tanggal 22 Januari 2008 oleh Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, jalur ganda ini menghabiskan dana sebesar Rp900 miliar rupiah dengan pinjaman dana dari Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC), kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (sebelum tugas penyelenggaraan perkeretaapian dilimpahkan ke Direktorat Jenderal Perkeretaapian). Di dalam pidatonya di Stasiun Kutoarjo, SBY mengatakan bahwa kapasitas lintas jalur KA lintas selatan Jawa, khususnya Kutoarjo–Yogyakarta semakin padat dan banyaknya persilangan yang dianggap tidak efektif bagi perjalanan kereta api yang lebih cepat dan tepat waktu. Di samping meresmikan jalur ganda segmen ini, ia juga meresmikan operasional Depo KRL Depok. Menanggapi peresmian tersebut, Kadaop V Purwokerto saat itu, Noor Hamidi, juga memaparkan rencana pembangunan jalur ganda lintas tengah dan selatan Jawa.[8] Di samping membangun jalur ganda, PT Kereta Api juga memutuskan menutup dua stasiun karena sudah tidak lagi melayani penumpang dan lokasinya yang tidak strategis, yaitu Stasiun Kedundang dan Montelan. Secara rinci, pembukaan jalur ganda ini terbagi menjadi beberapa segmen, yakni:[9][10]
Pembangunan jalur ganda Kroya–KutoarjoSetelah 2008 sukses dengan jalur ganda ruas Kutoarjo–Yogyakarta, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) memulai melanjutkan proyek jalur ganda untuk rute Kroya–Kutoarjo. Proyek ini sedianya dimulai tahun 2013 dengan melakukan pendataan terhadap bangunan terdampak jalur ganda di bantaran rel. Untuk melaksanakan proyek tersebut, Direktorat Jenderal Perkeretaapian melalui Balai Teknik Perkeretaapian wilayah Jawa bagian Tengah (sekarang BTP Semarang) membentuk satuan kerja yang bernama Pengembangan Lintas Selatan Jawa (PLS). Dalam rencana tersebut, DJKA juga akan membangun Terowongan Ijo yang baru untuk menggantikan terowongan eksisting.[11] Jalur ganda ini juga dibangun bersamaan dengan ruas Purwokerto–Kroya di lintas tengah Pulau Jawa, begitu juga dengan Solo Balapan–Jombang. Mengingat kawasan antara Prembun dan Kutoarjo merupakan dataran sangat rendah dan berawa, pembangunan jalur ganda mengalami hambatan karena sering terjadi banjir saat musim hujan tiba. Genangan air yang memerlukan waktu yang lama untuk surut menyebabkan penimbunan tanah bantalan rel menjadi kurang efektif.[12] Jalur ini selesai dengan diaktifkannya ruas terakhir (Gombong–Tambak) pada April 2020, juga dengan aktifnya Terowongan Ijo baru.[13] Pada tanggal 8 Oktober 2020, dilakukan acara peluncuran praresmi untuk jalur ini di Stasiun Solo Balapan, dihadiri Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.[14] Jalur terhubungLintas aktifLintas nonaktifLayanan kereta apiPenumpangAntarkota
Aglomerasi
Barang
Daftar stasiun
Percabangan menuju PurworejoSegmen Kutoarjo–Purworejo menghubungkan dua kota berdekatan, Kutoarjo dan pusat pemerintahan kabupaten, Purworejo. Jalur ini pendek, hanya sekitar 11 km. Alasan jalur ini dibuat untuk mendukung logistik kemiliteran karena kota Purworejo adalah kota yang relatif baru, didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai tangsi militer. Pada tahun 1976 jalur ini sempat dinonaktifkan,[15] tetapi desakan dari warga dan Pemerintah Kabupaten Purworejo dan sekitarnya (bahkan dari daerah selatan Magelang) membuat jalur ini kembali diaktifkan terbatas berdasarkan pengumuman Perumka pada Desember 1995 untuk mendukung operasi kereta api pengumpan (Feeder Purworejo).[16] Pada bulan November 2010, jalur kereta api ini sepenuhnya dinonaktifkan. Rencana reaktivasi sudah digaungkan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian, dengan Stasiun Purworejo akan melayani layanan kereta api antarkota dan komuter yang akan diselesaikan pada bulan November atau Desember 2023.[17][18] Namun, rencana ini belum terealisasi.
Percabangan menuju Karangtalun
Percabangan menuju YIA
Referensi
Pranala luarPeta rute:
|
Portal di Ensiklopedia Dunia