Jalur kereta api Jakarta–Bogor
Jalur kereta api Jakarta–Bogor merupakan jalur kereta api pertama di Jakarta yang menghubungkan Jakarta dengan Bogor sepanjang hampir 60 km. Jalur ini termasuk dalam Daerah Operasi I Jakarta dan KAI Commuter.[1] Saat ini seluruh jalur tersebut sudah ganda dan dielektrifikasi. Jalur ini juga memiliki percabangan di Citayam menuju Nambo. Untuk kereta api penumpang, hanya Commuter Line Bogor yang melayani jalur ini, sedangkan petak Manggarai–Gambir diisi kereta api antarkota tujuan Gambir. Pertama kali dirintis oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) sebagai Batavia–Buitenzorg pada 1870, kemudian diakuisisi oleh Staatsspoorwegen pada 1913. SS kemudian mengembangkan jalur ini hingga akhirnya dioperasikan KRL di rute Jakarta–Bogor pada 1925. Sejak 1992, pada segmen Jakarta–Manggarai dibangun jalur layang untuk mengurai kemacetan. SejarahEra Nederlandsch-Indische Spoorweg MaatschappijSetelah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) berhasil membangun jalur kereta api Samarang–Tanggung, William Poolman melalui NIS kembali memperoleh izin membangun jalur kereta api dari Batavia menuju Buitenzorg pada tanggal 27 Maret 1864. Izin tersebut diberikan untuk membantu pengangkutan hasil perkebunan di wilayah Priangan Barat ke Pelabuhan Batavia. Secara politik jalur ini juga penting untuk melancarkan hubungan administrasi pemerintahan. Namun Pemerintah mengurungkan rencana tersebut karena masih banyaknya pro dan kontra terkait pembangunan jalur kereta api Batavia–Buitenzorg.[2] Pembangunan jalur kereta api Batavia–Buitenzorg baru terealisasi pada tanggal 15 Oktober 1869 yang disaksikan langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. Pieter Mijer. Adapun pelaksana pembangunan dipimpin oleh Direktur Utama NIS kala itu, Ir. J.P. de Bordes yang juga merupakan pelaksana pembangunan jalur kereta api Samarang–Tanggung.[2] Awalnya, pembangunan jalur ini mengalami kendala karena masalah keuangan. Pada saat itu, Menteri Urusan Jajahan Belanda De Wall mengubah teknis penyesuaian lebar sepur dari 1.435 mm menjadi 1.067 mm. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Urusan Jajahan Belanda tanggal 27 September 1869. Adanya perubahan lebar sepur tersebut membuat anggaran pembangunan jalur kereta api Batavia–Buitenzorg dapat dipangkas oleh NIS, karena lebih hemat dalam pengadaan tanah. Dengan kata lain, NIS dapat menghemat anggaran sebesar ƒ806.300,00 dari anggaran yang sebelumnya sudah direncanakan, yakni sebesar ƒ4.000.000,00.[2] Pekerjaan pertama dimulai dari 15 Oktober 1869 sampai Februari 1870, yang selama kurun waktu itu, jalur sepanjang 7.590 m untuk bagian Kleine Boom, Meester Cornelis sejauh 13.087 m, dan jalur sepanjang 18.730 m untuk bagian Buitenzorg selesai dikerjakan. Pekerjaan kedua baru bisa dilaksanakan pada Juni 1870 sampai Juni 1871, yaitu jalur di Buitenzorg sepanjang sekitar 9.270 m. Selanjutnya, pada Juni 1871 hingga Januari 1873 barulah seluruh proyek pembangunan jalur kereta api Batavia–Buitenzorg selesai, termasuk segmen Weltevreden–Meester Cornelis NIS, sampai ke Buitenzorg.[3] Di sepanjang lintasan Batavia–Buitenzorg, pada awalnya hanya terdiri dari 15 stasiun. Stasiun pertama di lintas ini adalah Kleine Boom, kemudian kereta api akan berhenti di Stasiun Batavia. Stasiun berikutnya adalah Sawah Besar, Noordwijk (Pintu Air/Juanda), Weltevreden (Gambir), Pegangsaan, Meester Cornelis, Pasar Minggu, Lenteng Agung, Pondok Cina, Depok, Citayam, Bodjonggede, Cilebut, dan Buitenzorg (Bogor).[3] Seiring perkembangan waktu, jumlah penduduk di kota Batavia bertambah. NIS, Staatsspoorwegen (SS), dan Jawatan Pekerjaan Umum Hindia Belanda turut mengembangkan lintas perkeretaapian di kota Batavia. Di samping itu, stasiun-stasiun baru juga ditambah untuk menunjang transportasi publik masyarakat.[4] Pada tahun 1881, SS membangun ulang Stasiun Weltevreden di tempat Stasiun Gambir kini berada, dan merombak Stasiun Buitenzorg menjadi bangunan yang masih bertahan sampai sekarang. Bangunan baru tersebut diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1881 bersamaan dengan dibukanya segmen Buitenzorg–Cicurug dari jalur kereta api Bogor–Bandung–Banjar.[5][6][7] Menjelang akhir abad ke-20, Stasiun Kleine Boom dan Pelabuhan Batavia dinilai tidak layak untuk keperluan bongkar muat barang. Sebagai gantinya, Pemerintah Kolonial membangun Pelabuhan Tanjung Priok.[8] Pada 28 Maret 1878, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johan Wilhelm van Lansberge, meresmikan pelabuhan Tanjung Priok, serta menguji coba kereta api Batavia–Priok. Kala itu, titik keberangkatan awalnya bukan di Batavia NIS, melainkan di Heemradenplein (sekarang Stasiun Jakarta Gudang).[9] Proyek ini sempat mengalami kemelut, karena NIS bersaing dengan Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij dalam memperoleh konsesi pengoperasian Pelabuhan Tanjung Priok dan jalur kereta apinya. Pemerintah Kolonial justru menugasi Staatsspoorwegen, perusahaan yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial, untuk mengoperasikan jalur tersebut mulai 2 November 1885. Beberapa kali upaya untuk menjadikan salah satu dari dua perusahaan swasta tersebut sebagai operator terus bergulir, tetapi negara tetaplah menjadi pengelola jalur tersebut.[10] Era StaatsspoorwegenPada tanggan 1 November 1913, seluruh aset perkeretaapian di jalur kereta api Batavia–Buitenzorg resmi diakuisisi oleh Staatsspoorwegen (SS).[11] Persetujuan pembelian jalur ini dituangkan dalam Staatsblaad No. 469 tertanggal 20 Juni 1913. Sebelumnya, SS sudah tertarik untuk membeli jalur ini pada tahun 1877, saat pemerintah berencana membangun jalur kereta api Batavia–Bandung. Setelah pembelian jalur kereta api Batavia–Buitenzorg, SS mulai melakukan penataan ulang besar-besaran di jalur kereta api ini untuk mempermudah lintasan antara satu dengan lainnya.[2] Pasca-akuisisi, SS membuat percabangan Halte Cikini dan Halte Pegangsaan, menuju Salemba.[12] Pada saat itu, Stasiun Batavia mulai tidak ideal dan tidak efektif mengingat jaraknya yang sangat dekat dengan Stasiun Batavia Zuid. Hal tersebut sangat menyulitkan penumpang yang ingin transit ke rute kereta api lainnya. Akibatnya, penumpang yang tiba di Stasiun Batavia Zuid harus berjalan kaki terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan perjalanan ke Buitenzorg melalui Stasiun Batavia.[13] Untuk menyatukan kedua stasiun tersebut, SS merencakanan pembangunan stasiun sentral yang lebih besar dan megah. Stasiun ini kemudian dibangun pada tahun 1926 di lokasi bekas Stasiun Batavia Zuid. Selama pembangunan stasiun tersebut berlangsung , SS tetap menggunakan Stasiun Batavia (kemudian disebut "Batavia Noord") sebagai stasiun utama dengan merenovasi bangunan dan emplasemennya.[14] Penataan ulang lainnya juga dilakukan di daerah Bukit Duri. Stasiun Meester Cornelis dibongkar dan diubah menjadi depo lokomotif yang kemudian bernama Depo Bukit Duri. Sebagai gantinya, SS membangun Stasiun Manggarai yang kapasitasnya lebih besar pada tahun 1914. Dengan masa pembangunan selama 4 tahun, Stasiun Manggarai diresmikan pada tanggal 1 Mei 1918. Di stasiun ini juga terdapat jalur penghubung ke Stasiun Meester Cornelis SS yang dibuka lebih awal pada bulan Maret 1917. Selain membangun Stasiun Manggarai, SS juga membangun stasiun-stasiun kecil di sepanjang jalur kereta api ini.[15][16] Jalur Weltevreden–Manggarai juga dibuat ganda, meski awalnya SS tak berniat untuk menggandakan jalur tersebut.[12] Pada tahun 1917, Ir. P.A. Roelofsen mendapat tugas untuk melakukan penelitian mengenai sumber air yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik. Hal ini berkaitan dengan pembangunan proyek jaringan kereta listrik di Batavia dan sekitarnya. Pada tahun 1919, mulai dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Cicacih, dan di Ciatan. Sesuai rencana, listrik disalurkan menuju gardu induk yang terletak di unit Buitenzorg, Depok, Meester Cornelis, dan Ancol. Pembangunan dapat diselesaikan pada tahun 1921, dan siap digunakan untuk elektrifikasi jalur kereta api Batavia–Buitenzorg. Tetapi akibat dari adanya krisis malaise di Eropa, Anggota Dewan Belanda memutuskan menunda pemberian anggaran untuk proyek elektrifikasi jalur kereta api Batavia–Buitenzorg. Proyek tersebut dapat terealisasi pada tanggal 1 Mei 1927 sebagai bagian dari elektrifikasi untuk rute yang disebut secara kolektif sebagai ceintur-baan ini. Namun hanya segmen Batavia–Manggarai dari lintas Batavia–Buitenzorg saja yang dialiri listrik.[2] Bahkan alih-alih meniatkan proyek elektrifikasi ke Buitenzorg, Menteri Urusan Jajahan justru pikir-pikir untuk mengalihkan elektrifikasi ini ke lintas yang lebih ramai dan sudah jalur ganda, yakni Meester Cornelis (Jatinegara)–Cikampek.[17] Namun, keputusan untuk melistriki segmen Manggarai–Buintenzorg baru direalisasikan 3 tahun berikutnya, yakni rampung pada tanggal 1 Mei 1930.[2] Setelah Stasiun Sentral Batavia-Benedenstad dibuka pada tanggal 8 Oktober 1929, SS resmi menutup Stasiun Batavia.[14] Per 1930, semua lintas sekitar Batavia sudah berupa jalur ganda.[12] Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, jawatan yang dibentuk oleh pemerintahan pendudukan Jepang, Rikuyu Sokyoku, mengumumkan perubahan nama stasiun dan perhentian yang masih menggunakan nama Belanda (termasuk mengganti "Batavia" menjadi "Jakarta" dan "Buitenzorg" menjadi "Bogor"). Di lintas Batavia–Buitenzorg, nama perhentian yang diumumkan untuk diganti per 1 Juli 1942 antara lain:[18]
Perkembangan pascakemerdekaanKRL tetap beroperasi pada 1950-an. Namun memasuki dekade 1960-an, KRL mengalami kemunduran, terutama pasca G30S. Pada tahun 1966, seluruh pengangkutan kereta api jurusan Manggarai–Jakarta Kota dibatasi. Hal ini berkaitan dengan menurunnya jumlah penumpang dan suasana kota Jakarta yang tidak kondusif.[19] Bahkan, meski lokomotif listrik masih bisa berjalan, dijalankan kereta api yang ditarik lokomotif diesel, utamanya BB200. Tercatat, keberadaan kereta api yang ditarik lokomotif diesel ditunjukkan saat insiden tabrakan kereta api Ratujaya 1968. Pada Juli 1971, muncul proposal yang dikemukakan oleh Pantiarso, yang saat itu menjadi Kepala PNKA Eksploitasi Barat, kepada Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin, untuk membangun jalur kereta api lintas Jakarta sebagai jalur bawah tanah atau layang (asal tidak sebidang dengan jalan raya, sehingga dapat mengurai kemacetan dan beban jalan raya). Menurut Pantiarso, biaya pembangunan jalur layang diperkirakan empat kali lebih murah bila dibandingkan dengan bawah tanah, sehingga opsi jalur layang dipilih.[20] Pada tahun 1972, kereta rel listrik mulai mencuat kembali untuk meningkatkan penggunaan angkutan umum dan mengurangi kemacetan yang mulai terasa saat itu.[21] Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) mengimpor KRL dan kereta rel diesel (KRD) dari Jepang tiba di Jakarta empat tahun kemudian, 1976, untuk menggantikan peran lokomotif listrik lama peninggalan Belanda yang sudah dianggap tidak layak. Tiap rangkaian KRL terdiri atas empat kereta dengan kapasitas angkut 134 penumpang per kereta.[21] Untuk mendukung pengoperasian KRL dan KRD tersebut, juga ditambahkan halte/perhentian yang jaraknya berdekatan agar dapat menjaring penumpang dari kawasan yang berpotensi padat di masa mendatang: Tebet dan Cawang.[butuh rujukan] Pada 1980-an, PJKA dan pemerintah menginisiasi jalur ganda Manggarai–Depok guna mengurangi keterlambatan serta menambah kapasitas lintas menyosong pengoperasian KRL Jabotabek. Peletakan batu pertamanya dilakukan 19 Februari 1983 oleh Menteri Perhubungan, Roesmin Noerjadin. Pada masa itu, terdapat unit KRL Bogor dan KRD Sukabumi yang jalan bersama-sama di rute Jakarta–Bogor. Untuk mengurangi keterlambatan yang terjadi akibat jalur yang masih tunggal, proyek ini menjadi prioritas, dengan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp774 miliar. Selain jalur ganda, juga muncul rencana pembangunan jalur layang untuk rute Jakarta–Manggarai dan Jakarta–Jatinegara.[22] Pada masa ini, proyek ini juga mencakup pembangunan stasiun baru: Depok Baru, Universitas Pancasila, dan Universitas Indonesia.[butuh rujukan] Dalam mendukung pengoperasian jalur ini, pada tanggal 15 Februari 1984, PJKA mengumumkan bahwa setiap proyek yang berhubungan dengan peningkatan fasilitas perkeretaapian akan otomatis juga mengganti bantalan yang semula menggunakan kayu dan besi menjadi bantalan beton dengan penambat elastis.[23] Pada Mei 1988, diumumkan bahwa pengelola Proyek KA Jabotabek membagi jalur layang Jakarta Kota–Manggarai menjadi tiga seksi: Seksi A dimulai dari Gedung Pola hingga dekat Stasiun Pintu Air (kelak menjadi Juanda), seksi B mulai dari Stasiun Manggarai hingga Gedung Pola, dan Seksi C mulai dari Stasiun Pintu Air hingga Stasiun Jakarta Kota.[24] Switch-over jalur layang dimulai pada 3 Juni 1992,[25] kemudian dua hari berikutnya, Presiden Soeharto beserta ibu negara Siti Hartinah dan jajaran pemerintahan meresmikan Stasiun Gambir baru dengan menaiki KRL dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Jakarta Kota.[26] Proyek ini telah menghabiskan dana sebesar Rp432,5 miliar rupiah dan belum sepenuhnya selesai pada saat diresmikan, hingga akhirnya bisa beroperasi penuh setahun kemudian.[27][28] Pembongkaran stasiun lama dimulai setelah proses switch-over dilaksanakan. Sebelum jalur ganda dan jalur layang ini resmi dibuka penuh, pada 21 Juli 1992, Wakil Presiden Soedharmono melakukan inspeksi jalur ganda Jakarta–Depok menggunakan KRL sekaligus menyapa pengguna jasa rutin yang ikut naik KRL Jabotabek. Ia berharap, bahwa prasarana dan sarana kereta api yang sudah dibangun selama hampir sembilan tahun ini perlu dijaga sebaik-baiknya.[29] Pada 3 September 1992, Kepala Proyek KA Jabotabek, Zulfiar Sani, mengatakan bahwa KRL Jabotabek Lin Bogor membutuhkan suntikan modal sebesar Rp1,3 triliun, untuk pengembangan lintas. Di samping itu, ia memaparkan bahwa pembangunan ulang Stasiun Tebet, Cawang, Pasar Minggu Baru, Tanjung Barat, Universitas Pancasila, Universitas Indonesia, dan Depok, masih belum rampung.[30] Menanggapi tabrakan KRL Ratujaya 1993, dilakukan percepatan pembangunan jalur ganda untuk segmen Depok–Bogor pada tahun tersebut kemudian jalur tersebut baru diresmikan pada tanggal 17 September 1996.[31] Bagian dari proyek jalur dwiganda Manggarai–Cikarang, Direktorat Jenderal Perkeretaapian merenovasi Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral di Provinsi DKI Jakarta yang direncanakan beroperasi pada tahun 2025.[32][33][34] Jalur terhubungLintas aktif
Lintas nonaktif
Layanan kereta apiPenumpangKereta api antarkota
Kereta api komuter
Barang
Daftar stasiunJalur lama
Segmen aktifJakarta Kota–Depo KRL Bukit Duri
Bukit Duri–Bogor
Percabangan menuju NamboSejarahProposal pembangunan jalur kereta api baru di kawasan Cibinong diajukan pada 17 Januari 1975 oleh Humas PJKA Eksploitasi Barat saat sedang menaiki kereta api Parahyangan. Hal ini dilakukan karena munculnya dua pabrik semen di Cibinong, di antaranya Semen Cibinong (sekarang Solusi Bangun Indonesia) dan Indocement. Ia mengajukan dua alternatif jalur: dari Cibinong ke Bekasi, atau dari Citayam ke Bekasi. Namun, hal yang menimbulkan masalah adalah, jalur dari Citayam harus membangun banyak jembatan karena di wilayah tersebut banyak sungainya; sedangkan jalur dari Bekasi masih berupa rawa-rawa sehingga rawan pergeseran tanah. Keputusan yang dapat dipertimbangkan akhirnya jatuh pada jalur Citayam.[35] Pada 1985, muncul wacana untuk membangun jalur Cibinong dari Cakung, kemudian disambungkan menuju Tanjung Priok, tetapi rencana itu akhirnya tak mampu diwujudkan.[36] Rencana itu akhirnya terkubur lama sehubungan dengan kondisi keuangan PJKA yang berdarah-darah, sampai akhirnya muncul proposal Departemen Perhubungan Republik Indonesia yang akan membangun jalur lingkar dari Parung Panjang menuju Citayam, kemudian dilanjut sampai Cikarang. Awalnya, lintas cabang Citayam–Nambo memang dibangun hanya untuk kereta api barang, salah satunya KA Babarandek, agar perjalanan kereta api barang menuju Kabupaten Bogor menjadi lebih efisiensi dan waktu tempuh lebih cepat. Pada lintas cabang ini dibangun 4 stasiun baru dengan ujung jalur sebuah stasiun kecil di samping wilayah pabrik Indocement, yakni Stasiun Nambo. Jalur baru ini menggunakan pembiayaan APBN dan pinjaman dari Britania Raya, dan sudah termasuk peningkatan jalan rel dan penggantian persinyalan ke elektrik untuk lintas Cigading–Serpong.[37] Bahkan untuk perkembangan di masa mendatang, jalur ini akan disambungkan ke rencana Kota Mandiri Jonggol (dibangun sebuah stasiun kereta api di sana), yang rencananya akan dibuka untuk mengawali abad ke-21.[38] Namun, krisis finansial Asia 1997 menyebabkan semua rancangan yang telah dibuat tidak mampu diwujudkan, sehingga jalur kereta api hanya sampai ke Stasiun Nambo. Hingga 2016, jalur ini tidak digunakan untuk lintasan KA Babarandek karena beberapa alasan, salah satunya dianggap memperpadat lintasan komuter Manggarai–Bogor yang sudah dilayani kereta rel listrik (KRL) dan KRD. Menghindari sia-sia, diluncurkan kereta api perintis yang beroperasi dengan rangkaian KRDH buatan Nippon Sharyo, kereta api perintis ini memiliki relasi Tanah Abang–Nambo. Namun, layanan kereta api perintis ini dinonaktifkan pada tahun 2006, sehingga lintas ini otomatis mati beberapa tahun.[39] Pada tahun 2013, kereta api Indocement relasi Nambo–Kalimas yang mengangkut Semen mulai beroperasi, seiring dengan kembali beroperasinya percabangan menuju Nambo. Kemudian pada 2014 hingga 2015, dilakukan proses instalasi kabel listrik aliran atas (LAA) atau elektrifikasi, dan direncanakan untuk digunakan sebagai lintas pelayanan Commuter Line. Pada 1 April 2015, kereta api perintis Nambo kembali beroperasi sebagai Commuter Line Bogor Lin Nambo dan menggunakan sarana kereta rel listrik (KRL).[40] Pada 11 Juli 2016, Kereta api batu bara rangkaian pendek mulai beroperasi melalui jalur ini menuju Nambo.[41] Daftar stasiun
Galeri
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luarPeta rute:
|