Halaman ini berisi artikel tentang Nathan Vincetio H, salah seorang diakon Gereja Perdana. Untuk Santo Stefanus, Raja Hungaria pertama, lihat István I dari Hungaria. Untuk tokoh lain dengan nama yang sama, lihat Stefanus (disambiguasi).
Stefanus (bahasa Yunani: Στέφανος, Stéfanos, lahir ca. 5 M, wafat ca. 34 M) adalah tokoh yang dihormati umat Kristen sebagai protomartir atau syahid perdana Kekristenan.[1] Diriwayatkan di dalam Kisah Para Rasul bahwa Stefanus adalah diakonjemaat Kristen purba di Yerusalem yang dakwahnya mengobarkan antipati umat Yahudi dari berbagai golongan. Ketika diseret ke hadapan sidang majelis ulama Yahudi dengan dakwaan penistaan agama, ia malah berkhotbah mengecam mereka, dan akhirnya dijatuhi pidana rajam. Gugurnya Stefanus sebagai syahid Kristen disaksikan langsung oleh Saulus dari Tarsus, seorang ulama Yahudi dari mazhab Farisi yang kemudian hari menjadi pengikut Yesus dan dikenal sebagai Rasul Paulus.
Satu-satunya sumber primer mengenai Stefanus adalah kitab Kisah Para Rasul di dalam kumpulan Kitab Suci Perjanjian Baru.[2] Diriwayatkan di dalam bab 6 Kisah Para Rasul bahwa Stefanus adalah salah seorang Yahudi Helenis (orang Yahudi penutur bahasa Yunani) yang dipilih untuk membantu mengelola penyaluran santunan kepada janda-janda dari golongan umat Kristen penutur bahasa Yunani.[3]
Gereja Katolik, gereja Anglikan, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja di Timur menghormati Stefanus sebagai santo. Bentuk asli nama Stefanus menurut kitab Kisah Para Rasul dalam bahasa Yunani adalah Stefanos, artinya "bumban dafnah", perlambang "pahala" atau "tanda jasa", sehingga kerap dijadikan gelar ketimbang nama diri. Menurut tradisi, Stefanus dianugerahi tajul istisyhad, mahkota kesyahidan. Di dalam seni rupa, Stefanus kerap digambarkan bersama tiga bongkah batu dan sepelepah daun palma syahid. Menurut kaidah ikonografi Kristen Timur, ia digambarkan sebagai seorang pemuda tanpa cambang dan bauk, kumis maupun janggut, dengan kepala bertonsur, berbusana diakon, dan sering kali menatang maket gereja atau menenteng wiruk.
Gugur sebagai martir
Latar belakang
Nama Stefanus pertama kali mengemuka di dalam kitab Kisah Para Rasul. Ia adalah salah seorang di antara tujuh diakon yang dipilih para rasul untuk menyalurkan bantuan pangan dan santunan lain kepada warga termiskin Gereja Perdana. Menurut ajaran Kristen Ortodoks, Stefanus adalah diakon yang paling tua umurnya, sehingga digelari "penghulu diakon" (bahasa Yunani: ἀρχιδιᾱ́κονος, arkidiakonos).[4] Karena salah seorang rekannya sesama diakon, yakni Nikolaus dari Antiokhia, diriwayatkan secara khusus sebagai orang yang masuk agama Yahudi, maka Stefanus diduga terlahir Yahudi. Selain itu tidak ada keterangan mengenai dirinya sebelum menjadi diakon.[2] Diriwayatkan bahwa rasul-rasul memilih para diakon sesudah munculnya keluhan di kalangan orang Yahudi Helenis (orang Yahudi yang berbudaya dan berbahasa Yunani) yang merasa janda-janda dari golongan mereka disepelekan sementara janda-janda dari golongan Yahudi Ibrani didahulukan dalam urusan pembagian santunan yang didanai derma jemaat. Karena "Stefanos" adalah nama khas Yunani, maka diduga Stefanus adalah seorang Yahudi Helenis. Diriwayatkan bahwa Stefanus adalah orang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan pernah mengadakan mukjizat-mukjizat disaksikan khalayak ramai (Kisah Para Rasul 6:5, Kisah Para Rasul 6:8 8).
Agaknya Stefanus berdakwah serta mengadakan "tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat" di rumah-rumah ibadat Yahudi Helenis, karena diriwayatkan bahwa tindakan-tindakannya itu menimbulkan penentangan dari "jemaat Yahudi yang disebut jemaat orang Libertini (orang-orang yang dimerdekakan), anggota-anggota jemaat itu adalah orang-orang dari Kirene dan dari Aleksandria, bersama dengan beberapa orang Yahudi dari Kilikia dan dari Asia" (Kis 6:9). Anggota-anggota jemaat ini menyanggah dakwah Stefanus, tetapi Stefanus mampu mengungguli mereka dalam adu pendapat. Gusar karena merasa dipermalukan, mereka merekayasa dakwaan palsu bahwa Stefanus pernah mengucapkan kata-kata hujat terhadap Nabi Musa dan Allah. Mereka menyeretnya ke hadapan Sanhedrin, mahkamah tertinggi yang beranggotakan para pemuka agama Yahudi, dan memperkarakannya dengan dakwaan menghina Bait Allah dan Hukum Musa (Kis 6:9–14). Stefanus diriwayatkan tidak gentar, bahkan mukanya berseri-seri laksana "muka seorang malaikat".[2]Robert Eisenman mengemukakan teori bahwa riwayat perajaman Stefanus sesungguhnya adalah riwayat perajaman Yakobus, Uskup Yerusalem yang pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh sejarawan Yosefus, pada 62 M.
Khotbah di hadapan Sanhedrin
Dalam khotbah panjang lebar di hadapan Sanhedrin, sebagaimana yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul 7, Stefanus menjabarkan pandangannya mengenai sejarah Israel. Allah Yang Mahamulia, ujar Stefanus, menampakkan diri pada Abraham di Mesopotamia; dengan kata-kata ini Stefanus mengawali penjabarannya dengan salah satu tema pokok dalam khotbahnya, yakni sesungguhnya Allah tidak semata-mata berdiam di dalam satu bangunan tertentu (maksudnya Bait Allah).[5] Stefanus mengulas secukupnya tentang riwayat bapa-bapa leluhur Israel, kemudian mengulas secara lebih terperinci mengenai riwayat Nabi Musa. Allah menampakkan diri kepada Musa dalam belukar yang bernyala-nyala (Kis 7:30–32), dan menggugah hati Musa untuk menuntun umat Israel keluar dari Mesir. Meskipun demikian, umat Israel berpaling pada ilah-ilah lain (Kis 7:39–43); inilah tema pokok kedua dalam khotbahnya, yakni pendurhakaan Israel terhadap Allah.[5] Stefanus menghadapi dua dakwaan: ia pernah menyatakan bahwa Yesus akan merobohkan Bait Allah di Yerusalem dan bahwa Yesus telah mengubah adat istiadat yang diwariskan Musa. Gereja Katolik Roma menyatakan bahwa Santo Stefanus merujuk Kitab Suci Yahudi guna membuktikan bahwa hukum-hukum Musa bukan diselewengkan melainkan digenapi oleh Yesus.[6] Stefanus mengecam sidang pendengarnya[5] sebagai orang-orang "degil" yang menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyang mereka dahulu kala. "Siapakah dari nabi-nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu? Bahkan mereka membunuh orang-orang yang lebih dahulu memberitakan tentang kedatangan Orang Benar, yang sekarang telah kamu khianati dan kamu bunuh" (Kis 7:51–53).
Dirajam
Diriwayatkan bahwa sidang pendengarnya tidak mampu lagi membendung amarah mendengar kecaman Stefanus.[7] Akan tetapi Stefanus justru menatap ke langit dan beerseru, "sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah." Ia bersaksi bahwa Yesus yang belum lama dieksekusi mati itu kini sudah tegak di sisi Allah (Kis 7:54).[8] Menurut keyakinan Kristen Ortodoks, "orang-orang Yahudi berteriak-teriak sambil menutup telinga, dan serentak menyerbunya. Mereka menyeretnya ke luar kota dan merajamnya, akan tetapi Sang Syahid suci itu malah mendoakan para pembunuhnya."[4] Orang-orang yang mula-mula merajam[8][9] menanggalkan jubah luar mereka agar lebih leluasa merajam, dan menitipkan jubah-jubah mereka pada seorang "pemuda bernama Saulus" yang di kemudian hari dikenal sebagai Rasul Paulus. Setelah berdoa memohon Tuhan menerima rohnya dan mengampuni para pembunuhnya, Stefanus roboh bertekuk lutut dan akhirnya "terlelap" untuk selama-lamanya (Kis 7:58–60). Saulus, yang menyaksikan aksi perajaman selaku wakil dari Sanhedrin yang dikendalikan pemerintah Romawi, "juga setuju Stefanus mati dibunuh" (Kis 8:1a).
Lokasi istisyhad
Tempat Stefanus dirajam tidak disebutkan dalam Kisah Para Rasul, namun ada dua tempat berbeda yang dipercaya sebagai lokasi peristiwa istisyhad itu. Lokasi pertama, yang diklaim sebagai lokasi istisyhad yang kuno oleh para arkeolog terkemuka Prancis, Louis-Hugues Vincent (1872–1960) dan Félix-Marie Abel (1878–1953), adalah gerbang utara Yerusalem. Lokasi kedua, yang menurut Louis-Hugues Vincent dan Félix-Marie Abel diyakini sebagai lokasi istisyhad Stefanus semenjak Abad Pertengahan dan tidak lebih awal daripada abad ke-12, adalah gerbang timur Yerusalem.[10]
Pandangan mengenai khotbah Stefanus
Di antara semua khotbah dalam Kisah Para Rasul, khotbah Stefanus di hadapan Sanhedrin adalah yang terpanjang.[11] Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa agaknya tidak mungkin khotbah sepanjang itu dapat diingat dan diriwayatkan kembali secara tertulis dengan kata-kata yang persis sama sebagaimana saat dilisankan, beberapa pengkaji Alkitab menanggapi dengan pernyataan bahwa khotbah Stefanus memperlihatkan ciri perorangan yang khas.[5]
Orang sering kali mencermati bahwa sejumlah ulasan Stefanus mengenai sejarah umat Israel menyimpang dari riwayat umat Israel yang termaktub dalam Kitab Suci; sebagai contoh, Stefanus mengatakan bahwa makam Yakub berada di Sikhem (Kis 7:16), sementara kitab Kejadian (Kej 50:13) meriwayatkan bahwa tempat peristirahatan terakhir Yakub adalah Gua Makpelah di Hebron (Kis 8:1).[5] Sekurang-kurangnya ada lima penyimpangan semacam ini. Sejumlah pengkaji menganggapnya sebagai kekeliruan, sementara pengkaji lain menyebutnya sebagai tindakan yang disengaja dengan maksud menegaskan pokok-pokok teologi tertentu.[11] Ada pula sejumlah teolog yang menduga bahwa penyimpangan-penyimpangan ini mungkin bersumber dari riwayat Yahudi kuno yang tidak termaktub dalam Kitab Suci, atau mungkin pula dari riwayat-riwayat yang beredar luas di kalangan masyarakat Yerusalem yang bukan ahli Taurat.[12] Banyaknya persamaan riwayat Stefanus dalam Kisah Para Rasul dengan riwayat Yesus dalam kitab-kitab Injil – sebagai contoh, kedua-duanya bermukjizat, kedua-duanya diadili oleh Sanhedrin, kedua-duanya berdoa memohon pengampunan bagi para pembunuhnya – telah menerbitkan dugaan bahwa penulis Kisah Para Rasul sengaja menonjolkannya – dengan maksud menunjukkan kepada sidang pembacanya bahwa orang menjadi suci bilamana meneladani Kristus – atau mengarang-ngarang beberapa (atau seluruh) persamaan ini.[8] Dalam khotbahnya, Stefanus sangat keras mengecam keyakinan dan adat istiadat turun-temurun umat Yahudi – manakala ia berkata bahwa Allah tidak berdiam di dalam bangunan "buatan tangan manusia", yang mengacu pada bangunan Bait Allah, ia sebenarnya memanfaatkan suatu ungkapan yang kerap digunakan dalam nas-nas Alkitab untuk mencela berhala-berhala.[5] Banyak pengkaji yang sepakat bahwa dengan berbuat demikian, Stefanus berusaha meyakinkan sidang pendengarnya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, dan oleh karena itu segala bentuk penentangan terhadap dirinya maupun ajarannya sama saja dengan penentangan terhadap iman mereka sendiri.
Beberapa orang menuduh khotbah Stefanus bersifat anti-Yahudi, misalnya imam dan ahli perbandingan agama yang bernama S. G. F. Brandon. Ia berpendapat bahwa "polemik anti-Yahudi dalam khotbah ini mencerminkan sikap pribadi dari penulis Kisah Para Rasul."[13]
Makam dan relikui Stefanus
Kisah Para Rasul meriwayatkan bahwa "orang-orang saleh menguburkan mayat Stefanus serta meratapinya dengan sangat" (Kis 8:2), namun lokasi kuburnya tidak disebutkan.
Pada 415 M, seorang imam bernama Lusianus konon mendapatkan petunjuk melalui mimpi tentang tempat persemayaman jenazah Stefanus di Bait Jamal. Setelah digali, relikui Sang Protomartir itu diarak menuju gereja Hagia Sion pada 26 Desember 415. Tanggal ini kemudian dijadikan tanggal peringatan Santo Stefanus. Pada 439, relikui Stefanus dipindahkan ke sebuah gereja baru yang dibangun oleh Permaisuri Bizantin yang bernama Ailia Eudokia untuk mengenang Santo Stefanus di sebelah utara Gerbang Damsyik. Gereja ini dihancurkan pada abad ke-12. Pada abad ke-20, bangsa Prancis membangun sebuah gereja Katolik yang diberi nama Saint-Étienne (Santo Stefanus) di lahan bekas gereja yang sudah runtuh itu, sementara umat Ortodoks Yunani membangun sebuah gereja yang diberi nama Santo Stefanus di sebelah luar gerbang timur Yerusalem,[14] yakni salah satu dari dua tempat yang dipercaya sebagai lokasi Stefanus gugur sebagai martir, alih-alih di lokasi lainnya yang terletak di sebelah utara di luar Gerbang Damsyik (untuk penjelasan mengenai dua lokasi ini, baca Lokasi istisyhad).
Mula-mula nama "Gerbang Santo Stefanus" (bahasa Latin: Porta Sancti Stephani) diberikan oleh para Tentara Salib kepada gerbang utara Yerusalem karena berdekatan dengan situs istisyhad Santo Stefanus, yang ditandai dengan bangunan gereja beserta biara oleh Permaisuri Eudokia.[15] Tempat lain yang dipercaya sebagai lokasi istisyhad Stefanus termaktub dalam catatan sejarah dari penghujung kurun waktu kekuasaan Tentara Salib di Tanah Suci, setelah gedung gereja buatan Bizantin tiada lagi. Karena para peziarah Kristen kala itu dilarang mendekati tembok utara Yerusalem yang kurang aman, maka nama "Gerbang Santo Stefanus" pun dialihkan menjadi nama gerbang timur Yerusalem yang masih aman dilewati; nama ini menjadi lekat dengan gerbang timur sampai sekarang.[16]
Relikui Stefanus kemudian dipindahkan ke Roma oleh Sri Paus Pelagius II pada masa pembangunan basilikaSan Lorenzo fuori le Mura. Sisa-sisa jenazah orang kudus ini disemayamkan bersama-sama dengan relikui Santo Laurensius yang makamnya berada di dalam gedung gereja itu. Menurut kitab Legenda Aurea (Hikayat Kencana), relikui Santo Laurensius secara ajaib bergeser ke salah satu sisi ruangan demi menyediakan tempat bagi persemayaman relikui Santo Stefanus.[17]
Dalam karya tulisnya yang berjudul Kota Allah, Santo Agustinus menjabarkan berbagai macam mukjizat yang terjadi tatkala sebagian relikui Santo Stefanus dibawa ke Afrika.[18]
Di Gereja Barat, tanggal 26 Desember disebut "hari Santo Stefanus". Frasa "hari raya Stefanus" (bahasa Inggris: feast of Stephen) terangkai dalam bait kidung Natal Inggris yang berjudul "Good King Wenceslas" (Wensislaus Raja Budiman). Hari Santo Stefanus adalah hari libur nasional di banyak negara yang dahulu kala merupakan negara-negara berpenduduk Katolik, Anglikan, atau Lutheran, antara lain Austria, Kroasia, Republik Ceko, Hungaria, Irlandia, Luksemburg, Slowakia, Polandia, Italia, Jerman, Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, dan negeri-negeri Katala. Di Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Britania Raya, hari Santo Stefanus dirayakan sebagai "Boxing Day" (hari bingkisan Natal).
Gereja Barat
Menurut kaidah-kaidah liturgi mutakhir Gereja Katolik Roma, Hari Santo Stefanus diperingati dalam perayaan Ekaristi, namun dalam ibadat harian hanya diperingati pada waktu-waktu sembahyang saat hari siang, sementara waktu sembahyang malam pada hari itu diperuntukkan bagi peringatan OktafNatal. Menurut sejarah, "Penemuan Relikui Santo Stefanus" diperingati setiap tanggal 3 Agustus.[20] Hari-hari peringatan Santo Stefanus, baik 26 Desember maupun 3 Agustus, telah digunakan sebagai ayat keterangan tarikh penerbitan dalam dokumen-dokumen bersejarah di Inggris.[21]
Sejumlah Gereja Ortodoks, khususnya di belahan dunia barat, menggunakan penanggalan Yulian yang sudah disesuaikan. Kaidah penanggalan ini nyaris identik dengan kaidah penanggalan Gregorian yang umum digunakan di dunia. Dengan demikian, Gereja-Gereja ini memperingati hari raya Santo Stefanus setiap tanggal 27 Desember. Akan tetapi Gereja-Gereja Ortodoks selebihnya, termasuk Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, masih menggunakan penanggalan Yulian asli. Sepanjang abad ke-21, tanggal 27 Desember dalam penanggalan Yulian asli senantiasa akan bertepatan dengan tanggal 9 Januari dalam penanggalan Gregorian, dengan demikian Gereja-Gereja ini akan memperingati hari raya Santo Stefanus setiap tanggal 9 Januari.
Liturgi Gereja Armenia
Di Gereja Apostolik Armenia dan Gereja Katolik Armenia, hari Santo Stefanus diperingati setiap tanggal 25 Desember, yakni tanggal peringatan kelahiran Yesus (hari Natal) di semua Gereja lain. Hal ini terjadi karena Gereja-Gereja Armenia masih menaati maklumat Kaisar Konstantinus yang menetapkan penyelenggaraan peringatan kelahiran Yesus dan teofani setiap tanggal 6 Januari. Di keuskupan-keuskupan Gereja Armenia yang menggunakan penanggalan Yulian, hari Santo Stefanus bertepatan dengan tanggal 7 Januari dan hari Natal/Teofani bertepatan dengan tanggal 19 Januari dalam penanggalan Gregorian (sepanjang abad ke-21 menurut kaidah penanggalan Yulian).
Dalam perayaan Ekaristi pada peringatan hari Santo Stefanus, sudah menjadi tradisi bagi para diakon yang bertugas untuk mengenakan mahkota liturgi (bahasa Armenia: խոյրkuir), yakni salah satu vestimentum yang hanya dikenakan oleh para imam selain pada hari Santo Stefanus. Bilamana dikenakan oleh para diakon pada hari Santo Stefanus, mahkota liturgi ini menjadi lambang istisyhad (mati syahid).
Ada banyak gedung gereja dan selain gereja yang dibangun untuk mengenang Santo Stefanus. Yang paling terkenal di antaranya adalah dua situs di Yerusalem yang dipercaya sebagai tempat Stefanus mati syahid, biara tarekat SalesianBait Jamal di Israel yang dipercaya sebagai tempat jenazahnya ditemukan secara ajaib, dan gereja San Lorenzo fuori le Mura di Roma, tempat sisa-sisa jenazah Stefanus dikebumikan.
Ada sejumlah besar gedung gereja dan lokasi yang diberi nama "Santo Stefanus" untuk mengenangnya, misalnya:
Stephansdom, Wina, Austria – Gereja Katedral Santo Stefanus, didirikan pada 1147, dan merupakan pusat Keuskupan Agung Wina. Bangunan yang menjadi lambang dari Kota Wina sekaligus Negara Austria ini adalah gedung dengan menara beratap tertinggi di Austria, dan merupakan "hiasan utama Kota Wina".[22]
Kapel Santo Stefanus di Istana Westminster, London, pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Raya Henry III; kapel ini menjadi tempat pertama yang digunakan sebagai ruang debat Majelis Rakyat Britania Raya. Menara tempat jam raksasa Big Ben, yang lazim disebut Menara Jam, dulunya disebut sebagai Menara Santo Stefanus oleh para wartawan era Viktoria dan diikuti oleh orang-orang lain kala itu, sampai akhirnya diganti namanya menjadi Menara Elizabeth untuk memperingati Yubileum Intan Ratu Elizabeth II pada 2013.[23]
Gereja Katolik Santo Stefanus, Kecamatan Tandes, Surabaya: Gereja paroki di wilayah Keuskupan Surabaya ini dibangun dengan gaya arsitektur yang unik namun tampak menyatu dengan permukiman masyarakat di sekitarnya.[25]
Irlandia
Taman Santo Stefanus (bahasa Inggris: Saint Stephen Green, bahasa Irlandia: Faiche Stiabhna), Dublin. Taman terbesar di Kota Dublin yang berasal dari zaman Raja George. Taman ini diberi nama yang sama dengan nama sebuah bekas rumah sakit kusta di dekatnya.[26]
San Lorenzo fuori le Mura, tempat relikui Santo Stefanus disemayamkan bersama relikui Santo Lurensius di sebuah ruangan bawah tanah, tepat di bawah altar utama.
Prancis
Kota Saint Étienne, Prancis, serta berbagai tempat dan bangunan yang diberi nama "Saint Étienne" (Santo Stefanus) di negara-negara penutur bahasa Prancis.
Yerusalem
Basilika Santo Stefanus, Yerusalem, atau basilika Saint-Étienne dalam bahasa Prancis, berdiri di atas lahan yang dipercaya sebagai lokasi peristiwa istisyhad Stefanus; gedung yang sekarang didirikan di atas reruntuhan gereja Bizantin dari abad ke-5.
Gerbang Santo Stefanus, adalah sebutan umat Kristen bagi salah satu gerbang Kota TuaYerusalem. Gerbang ini juga dikenal dengan nama "Gerbang Singa". Menurut salah satu keyakinan turun-temurun dari kurun waktu pasca-Bizantin, Stefanus dirajam di tempat ini, sementara menurut keyakinan yang lebih tua, ia dirajam di dekat Gerbang Damsyik, di lahan yang kini menjadi tempat berdirinya basilika Santo Stefanus dan gugus bangunan biara yang didirikan untuk mengenang Santo Stefanus pada abad ke-5 (baca di atas). Gereja Santo Stefanus, Sebuah rumah ibadat modern milik Gereja Ortodoks Yunani, berdiri tak jauh dari Gerbang Singa.
Lain-lain
Gilda Santo Stefanus adalah perhimpunan misdinar internasional dalam Gereja Katolik yang bertujuan memajukan "tolok ukur yang tinggi di bidang pelayanan dalam liturgi Gereja".[28]
^ abcSouvay, Charles. "Saint Stephen" [Santo Stefanus]. Catholic Encyclopedia,1912. New Advent. Diakses tanggal 3 April 2013.
^Mal Couch, A Bible Handbook to the Acts of the Apostles, 2003, hlm. 246. "Stefanus dinilai sebagai 'orang yang penuh iman dan Roh Kudus' (Kisah Para Rasul 6:5). Stefanus dan beberapa pria lain yang terpilih menjadi diakon adalah orang-orang Yahudi Helenis yang bahasa ibunya adalah bahasa Yunani. Ia pernah hidup di tengah-tengah bangsa-bangsa non-Yahudi di daerah-daerah lain dalam wilayah Kekaisaran Romawi."
^Hannah M. Cotton, Leah Di Segni, Werner Eck, Benjamin Isaac, Alla Kushnir-Stein, Haggai Misgav, Jonathan J. Price, Ada Yardeni, ed. (2012). Jerusalem, Part 2: 705–1120. Corpus Inscriptionum Iudeae/Palaestinae. 1. De Gruyter. hlm. 275. ISBN978-3-11-025188-3. Diakses tanggal 31 Agustus 2016. .... Gerbang Santo Stefanus (disebut pula Gerbang Singa dan Bab Siti Maryam). Gerbang ini dinamai demikian karena adanya kepercayaan turun-temurun bahwa Diakon Stefanus, Sang Syahid Perdana, dirajam di tempat itu. Pada permulaan abad ke-20, Kebatrikan Ortodoks Yunani mendirikan sebuah gereja untuk mengenang Sang Protomartir di atas lahan milik kebatrikan di sebelah depan gerbang itu, sebagai suatu upaya untuk mengabadikan kepercayaan turun-temurun mengenai situs itu, yang semakin dilupakan setelah pembangunan gereja dan biara Dominikan di situs gereja Santo Stefanus yang didirikan Eudokia di sebelah utara Gerbang Damsyik. Para tukang bangunan Yunani bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan mengklaim bahwa mereka telah menemukan pecahan ambang pintu berukir doa kepada Santo Stefanus tatkala melakukan penggalian untuk pembuatan fondasi gereja baru itu, akan tetapi klaim tukang-tukang bangunan yang diterima oleh Macalister dan Vailhé itu serta-merta dimentahkan oleh Vincent, yang mampu membuktikan bahwa ambang pintu itu sesungguhnya berasal dari Bersyeba. Vincent dan Abel bersikukuh bahwa kepercayaan turun-temurun tentang dirajamnya Stefanus di gerbang timur Yerusalem tidak lebih tua dari abad ke-12, sementara kepercayaan turun-temurun mengenai gerbang utara jauh lebih tua. .... J. Milik .... berpendapat bahwa semua batu nisan yang ditemukan di daerah itu berasal dari kawasan pemakaman Probatika.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penyunting (link)
^Jerome Murphy-O’Connor (2008). The Holy Land: An Oxford Archaeological Guide from Earliest Times to 1700 [Tanah Suci: Panduan Arkeologis Oxford Sedari Dulu Hingga 1700]. Oxford Archaeological Guides. Oxford: Oxford University Press. hlm. 21. ISBN978-0-19-923666-4. Diakses tanggal 2 March 2018. Para pemandu setempat hanya memindahkan ke Lembah Kidron tempat-tempat suci tertentu, terutama gereja Santo Stefanus, yang pada kenyataannya terletak di sebelah utara kota, dan usaha pun berjalan sebagaimana sebelumnya.
^Oxford Dictionary of Saints, ed. David Hugh Farmer, corr. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1979), hlm. 361. ISBN0198691203
^Handbook of dates for students of British history, ed. C. R. Cheney. New, rev. ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlmn. 59, 85. ISBN0521770955