Jalur kereta api lintas Jakarta
Jalur kereta api lintas Jakarta adalah jalur kereta api yang mengitari seluruh kota administrasi di Provinsi DKI Jakarta. Semua jalur kereta api di lintas ini termasuk ke dalam Daerah Operasi I Jakarta serta KAI Commuter dengan stasiun kereta api utama di provinsi ini adalah, Stasiun Gambir, Pasar Senen, Jakarta Kota, dan Manggarai kecuali Stasiun Halim yang terletak di jalur kereta cepat Jakarta–Bandung. Jalur ini merupakan kumpulan dari banyak segmen jalur kereta api yang melayani kereta api antarkota, komuter, dan kereta bandara. Layanan kereta api antarkota di jalur KA dalam kota Jakarta menghubungkan DKI Jakarta dengan Cirebon, Semarang, Surabaya di lintas utara, dan Bandung, Yogyakarta, Malang di lintas selatan Pulau Jawa. Selain itu, jalur kereta api dalam kota Jakarta juga melayani kereta api komuter maupun menuju berbagai tujuan di Jabodetabekpunjur dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Artikel ini hanya membahas jalur-jalur kereta api yang pada masa pembangunannya bukan merupakan bagian dari proyek kereta api antarkota, dan fokus kepada segmen-segmen pendek yang melayani sekitar Jakarta. Semua jalur ini saat ini merupakan jalur ganda. SejarahJakarta–Tanjung PriokJalur Batavia NIS–Tanjung Priok lama mulai dibuka pada tanggal 2 November 1885; dibangun langsung oleh Pemerintah Kolonial. Pembangunan jalur kereta api ini sempat diwarnai upaya negosiasi antara dua perusahaan yang hendak mengoperasikan kereta api di kawasan Batavia: Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij (BOS). Semula, NIS menyatakan bahwa mereka tidak berminat untuk mengeksploitasi jalur ini, sedangkan BOS yang masih merupakan perusahaan baru, masih pikir-pikir untuk menjalankan rute tersebut. Pemerintah Kolonial memutuskan bahwa eksploitasi kereta api menuju Pelabuhan Tanjung Priok juga mewajibkan eksploitasi atas pelabuhan tersebut, sehingga Pemerintah Kolonial menugasi Staatsspoorwegen, perusahaan yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial, untuk mengoperasikan jalur tersebut. Beberapa kali upaya untuk menjadikan salah satu dari dua perusahaan swasta tersebut sebagai operator terus bergulir, tetapi negara tetaplah menjadi pengelola jalur tersebut. Di samping membangun jalur tersebut, juga dibangun sebuah stasiun di Heemradenplein (sekarang Jakarta Gudang) pada Maret 1887.[1] Pada tahun 1898, seluruh jalur BOS diakuisisi oleh SS. Segera setelah akuisisi rampung, dibuat jalur dari Stasiun Batavia BOS ke Tanjung Priok, serta jalur menuju Anyer Kidul, sehingga Batavia BOS tidak lagi dipandang sebagai stasiun terminus. Persambungan kedua jalur ini bertemu di sebuah stasiun sekaligus pos sinyal, yang kelak bernama Kampung Bandan. Sambungan dengan Tanjung Priok ini dioperasikan sebagai dua jalur tunggal; kemudian beberapa tahun kemudian diubah menjadi satu jalur ganda pada jalur Kampong Bandan–Priok. Dengan adanya "dualisme" stasiun Batavia (NIS dan BOS), pengoperasian sistem ini menjadi semakin kompleks, mengingat terdapat perpotongan yang jaraknya berdekatan tersebut merupakan daerah yang sangat rentan terhadap bahaya kecelakaan kerja serta kesulitan bagi pelayanan kereta api.[2] Untuk menghubungkan ruas Batavia–Meester Cornelis (Jatinegara) dengan Tanjung Priok, pada 1 Maret 1904 telah rampung dibangun jalur Kemayoran–Ancol–Tanjung Priok.[2] Jalur ini menghubungkan Ancol dengan sebuah pos blok bernama Pisangbatu (sekarang Stasiun Rajawali). Selanjutnya, jalur ini kemudian disambungkan menuju Meester Cornelis, sehingga jalur ini sudah dipandang mirip jalur ganda, meski sebenarnya adalah sepasang jalur tunggal yang tugasnya untuk memisahkan kereta api yang menuju Batavia dan yang menuju Tanjung Priok.[3] Karena lalu lintas kereta api di sekitar Batavia semakin ramai, sejumlah perombakan pada jalur Batavia–Tanjung Priok mulai dilakukan. Pertama, jalur baru menuju bangunan baru Stasiun Tanjung Priok, untuk memisah KA barang yang akan bongkar muat ke Pelabuhan dan KA penumpang tanpa mengganggu aktivitas barang. Stasiun baru ini, dibuka untuk umum pada 6 April 1925 yang bertepatan dengan peluncuran pertama KRL rute Priok–Meester Cornelis (Jatinegara). Peluncuran pertama itu sekaligus dilakukan untuk memperingati hari ulang tahun SS yang ke-50.[4] Kedua, sehubungan dengan rampungnya Stasiun Batavia-Benedenstad (kini Jakarta Kota), perpotongan jalur dihilangkan pada 1925 dan dibangun jembatan persilangan jalur ganda Batavia–Priok di atas jalur ganda eksisting Batavia–Kemayoran–Meester Cornelis (sekarang Stasiun Kampung Bandan hasil studi pemerintah dan JICA). Tujuannya agar tidak mengganggu operasional kereta api dan KRL dari Weltevreden yang akan melanjutkan perjalanannya ke Priok. Titik persilangan tersebut berjarak 1.700 meter (5.600 ft) dari area Stasiun Jakarta Kota.[5] Lintas lingkar JakartaJalur ini juga rampung pada 1 Maret 1904, bersama dengan segmen Tanjung Priok–Kemayoran[6] , menghubungkan Tanah Abang dengan Batavia–Karawang melalui Struiswijk (sekarang Salemba). Jalur ini berpotongan dengan dengan jalur Batavia–Buitenzorg yang kala itu masih dimiliki NIS, tepatnya di Stasiun Pegangsaan, mulanya dibangun untuk kepentingan militer.[2] Ke arah timur dari Salemba, jalur ini bercabang dua: yang satu ke arah Kramat, dan yang lain ke arah Gang Sentiong. Semula, jalur ini direncanakan disambungkan dengan Stasiun Weltevreden NIS berdasarkan undang-undang tertanggal 15 Juli 1896, tetapi diubah sehubungan dengan akuisisi BOS oleh SS.[6] Seiring berkembangnya kawasan pinggiran Batavia, jalur lintas tengah ini mengalami permasalahan, karena terdapat tiga perpotongan sekaligus: dengan Batavia–Buitenzorg, jalan raya Batavia–Meester Cornelis; serta jalur milik Nederlandsch-Indische Tramweg Maatschappij (NITM). Setelah jalur Batavia–Buitenzorg diambil alih oleh SS, pada jalur Batavia–Buitenzorg dibuatkan sebuah percabangan di antara Halte Cikini dan Halte Pegangsaan, menuju Salemba. Percabangan jalur ini tidaklah penting bagi lalu lintas penumpang; dan hanya diperuntukkan bagi lalu lintas barang. Meski hubungan ini kurang terjalin, kemacetan lalu lintas jalan raya di perlintasan sebidang dapat diupayakan untuk terus berkurang secara signifikan.[3] Karena kawasan perkotaan Batavia semakin meluas ke arah selatan, dan Stasiun Manggarai telah dioperasikan 1 Mei 1918, sekaligus pengoperasian jalur Manggarai–Meester Cornelis;[7] muncul upaya untuk membuat jalur baru yang membentang sepanjang Kanal Banjir Barat untuk menghubungkan Tanah Abang dengan stasiun tersebut. Jalur ini langsung dibangun sebagai jalur ganda dan beroperasi pada tanggal 1 Agustus 1922. Setelah pembangunan jalur tersebut, maka jalur lama Tanah Abang–Salemba–Kramat dibongkar sebagian, menyisakan segmen Pegangsaan–Salemba.[8] Pada tanggal 12 September 1923, sehubungan dengan penataan tata ruang Batavia yang baru, segmen Angke menuju Batavia BOS (Batavia-Zuid) kemudian diubah menjadi membelok ke kanan melalui Gerbang Amsterdam, kemudian membelok lagi ke kanan menuju Stasiun Kampung Bandan lama,[6] dan digandakan.[9] Per 1930, semua jalur kereta api di lintas Jakarta sudah ganda.[3] Pasca-kemerdekaan dan masa depanDekade 1960-an menjadi dekade suram bagi kereta api perkotaan Jakarta. Banyak layanan kereta api listrik—yang kala itu masih dilayani lokomotif listrik—mengalami kemerosotan pasca G30S. Pada tahun 1966, seluruh pengangkutan kereta api jurusan Manggarai–Jakarta Kota dibatasi. Hal ini berkaitan dengan menurunnya jumlah penumpang dan suasana kota Jakarta yang tidak kondusif. Biro Pusat Statistik mencatat, jumlah penumpang lokal yang dilayani Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) tahun 1965 merosot 47 persen dibandingkan 1963. Tahun 1965, hanya 16.092 penumpang per hari yang memakai kereta lokal.[10] Baru pada tahun 1972, kereta listrik mulai mulai mengalami regenerasi. KRL dan kereta rel diesel (KRD) produksi Nippon Sharyo, Jepang tiba di Jakarta tahun 1976. KRL-KRL ini akan menggantikan lokomotif listrik lama peninggalan Belanda yang sudah dianggap tidak layak. Tiap rangkaian KRL terdiri atas empat kereta dengan kapasitas angkut 134 penumpang per kereta.[10] Sepanjang dekade 1980-an, Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), melaksanakan studi kelayakan pengembangan lintas Jakarta. Pengembangan ini dimaksudkan untuk menambah kapasitas lintas serta memperluas operasional KRL Jabotabek agar dapat menjangkau seluruh wilayah Jakarta. Selain elektrifikasi menyeluruh di lintas lingkar, diproposalkan sebuah konsep Stasiun Jakarta Kota baru dan Stasiun Kampung Bandan baru. Proposal ini kemudian dibukukan dalam sebuah laporan pada Januari 1986 oleh JICA. Pada masa itu, hubungan Rajawali dan Angke belum terbentuk, karena KA dari Angke harus dua kali langsir; di Kampung Bandan dan Jakarta Kota. Karena dianggap tidak praktis lagi seiring pertumbuhan mobilitas, muncul upaya untuk menggeser Stasiun Kampung Bandan ke arah persilangan dua jalur kereta api yang telah ada sejak 1929 tersebut, sehingga memungkinkan Rajawali dan Angke tersambung pada sisi bawah stasiun.[11] Usulan yang terwujud adalah elektrifikasi menyeluruh serta pindahnya Stasiun Kampung Bandan ke tempat yang sekarang. Proses elektrifikasi lintas lingkar Jabotabek akhirnya rampung dengan dibukanya KRL Lin Lingkar pada tanggal 7 April 1987.[12] Sejak 1972, Indonesia rutin mendatangkan KRL buatan Jepang (baru maupun bekas) untuk memperkuat armada KRL di Jakarta. Pada Mei 2000, pemerintah Jepang melalui JICA dan Pemerintah Kota Tokyo menghibahkan 72 unit KRL bekas yang sebelumnya dioperasikan oleh Biro Transportasi Metropolitan Tokyo. Kereta ini diresmikan pada tanggal 25 Agustus 2000 dan menjadi KRL berpendingin udara (AC) pertama di Indonesia.[13] KRL mulai merambah seluruh Jabotabek sejak 1990-an, menggantikan KRD. Kala itu, untuk mendukung wilayah suburban, KRL yang tadinya hanya Jakarta–Bogor, Jakarta–Tanjung Priok, dan Tanjung Priok–Jatinegara dibuatkan relasi baru rutenya hingga merambah ke Bekasi (1992) dan Serpong (1994).[14] Persinyalan yang semula mekanik mulai dilistriki per 1994–1996 dengan sistem Solid State Interlocking. Untuk mendukungnya, centralized traffic control (CTC) dibangun di Manggarai.[15] Di samping elektrifikasi jalur kereta api non-KRL di Jakarta, pemerintah juga membangun jalur rel layang guna mengurangi kemacetan. Jalur tersebut adalah Jakarta Kota–Manggarai. Sebagai akibatnya, jalur kereta api peninggalan NIS/SS dinonaktifkan dan stasiun-stasiunnya dibongkar seluruhnya. Jalur ini dibangun mulai tahun 1988 dan mulai digunakan pada tahun 1992.[16] Bagian dari proyek jalur dwiganda Manggarai–Cikarang, Direktorat Jenderal Perkeretaapian merenovasi Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral di Provinsi DKI Jakarta yang direncanakan beroperasi pada tahun 2025.[17][18][19] Daftar segmenSegmen aktif dan nonaktif yang dibahas di sini tidak mencakup Bantamlijn, jalur NIS Jakarta–Bogor, dan Jakarta Kota–Cikampek Segmen aktif
Segmen nonaktif
Jalur terhubungLintas aktifJalur kereta api yang terhubung dengan lintas megapolitan ini adalah: Lintas nonaktifLayanan kereta apiSegmen Jatinegara–ManggaraiAntarkota
Komuter
Segmen Manggarai–Tanah AbangPenumpang
Barang
Segmen Jakarta Kota–Angke–Tanah AbangPenumpang
Barang
Segmen Jakarta Kota–Tanjung PriokPenumpang
Barang
Daftar stasiunSegmen Jakarta Kota–Tanjung PriokSegmen aktif
Jalur historis Batavia Noord–Kampung Bandan lama
Jalur historis Batavia Zuid–Kampung Bandan lama
Jalur sekitar Pelabuhan Tanjung Priok
Segmen Tanah Abang–Manggarai–Jatinegara
Cabang dari Kampung Bandan menuju Jakarta Gudang
Catatan
Referensi
Daftar pustakaPeta rute:
|